I. AYAT-AYAT WARIS
ALLAH SWT berfirman:
"Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)
"Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)
"Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa':
176)
A. Penjelasan
Allah SWT melalui ketiga ayat
tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'-- menegaskan dan
merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat
serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak
berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan
ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia
menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga
ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata
cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab
itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih
mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah
Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang Maha Adil tidak
melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang
sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan
adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan
tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di
kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak
membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang
lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya
mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama,
penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki
martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini
tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
"Pelajarilah Al-Qur'an dan
ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada
orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun
bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan
berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak
mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR
Daruquthni)
Lebih jauh Imam Qurthubi
mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa
tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh
mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat
disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu kita ketahui bahwa semua
kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama merupakan
penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut.
Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan
adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan
syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang
bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan waris selain
dari ketiga ayat tersebut?
Di dalam Al-Qur'an memang ada
beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab),
akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak
dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali
kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an
yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari ketiga ayat yang saya
sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat kedua dan ketiga
(al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit)
lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat
atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada
orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah
permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi
harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan
oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan
datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru
saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian
berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah
benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah
begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan
kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan
hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan
kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama
(an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa
menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT
menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan,
yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut
Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan
antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa
membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela
atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris
karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling
mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah.
Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan
jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam
ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat
dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat
tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa
bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita
jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga
sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah
tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
- Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari
sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum
laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena
rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut
sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar
--hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih
berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam
telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar
daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat
dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa
yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru
lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki.
Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum
laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung
nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris,
tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan
kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk
keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada
suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan
hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah
dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal
ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..."
(al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan
permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah
Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata.
Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang
banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan
mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang
tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut
ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak
perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut
telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar
dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua
pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian,
uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah
menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila
ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar
dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak
perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta
warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu,
sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah
rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam
kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah
istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak
perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini
manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati
harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika
keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih
besar daripada hak kaum wanita.
1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56. B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam
Sebelum Islam datang, kaum
wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan
pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak
dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan
tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta
peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda,
tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh."
Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka
mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita bahwa
sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka
tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta
peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang
ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan
kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan.
Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan
menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya
sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu kepada
Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada
saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja
hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut
anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat
bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai
ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari
meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia
berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan
Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada
laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian
bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada
keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian
kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan
setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada
anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk
berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya.
Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah
melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan
untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai
Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih
ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah
kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak
dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan
musuh?'"
Inilah salah satu bentuk nyata
ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan
kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada
kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah
menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan
bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran
yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk.
Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris,
karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
Anggapan mereka semata-mata
dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita tentang hak yang mereka terima. Mereka
berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara
menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan
warisan.
Mereka yang memiliki anggapan
demikian sama halnya menghasut kaum wanita agar mereka menjadi pembangkang dan
pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam.
Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan hak penerimaan
warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang sangat mengherankan dan
sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yang berpura-pura prihatin tentang
hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita
dalam hal memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh
kaum wanita untuk bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja
di ladang, di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.
Corak pemikiran seperti ini
dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti oleh
orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur seperti itu tidak
menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang
adil. Budaya mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat.
Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan
mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan
seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan
kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian,
mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita.
C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan
tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang
menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata,
"Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang
telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri
Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan
barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
"Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat
tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
Rasulullah saw. kemudian
mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya
agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu.
Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya
menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang
dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit
wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh
harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum
laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan
masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban
persoalan itu.
Masih ada sederetan riwayat
sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua riwayat
tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa
turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan pada
waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.
D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris
Pertama:
Firman Allah yang artinya
"bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
- Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
- Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
- Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
- Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Hukum bagian kedua orang tua.
Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam."
Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
- Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
- Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Utang orang yang meninggal lebih
didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir
wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun,
secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi,
utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan
wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan
Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi
Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan
Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal,
lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah mendahulukan pembayaran
utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena utang merupakan keharusan
yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun
sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang
mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan
menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu
amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang
yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa
manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT
mendahulukan penyebutannya.
Firman Allah (artinya)
"orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas
memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur
pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun
orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha
manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara
sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti
yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah
di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya
terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah
yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan
lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Firman Allah (artinya) "Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan
tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing
mempunyai dua cara pembagian.
- Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
- Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Hukum yang berkenaan dengan hak
waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Firman-Nya (artinya):
"Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara)
dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara
perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan
tidak pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain
ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh
ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak
waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan
yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini,
bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya
banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara
rata.
Sementara itu, ayat akhir surat
an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian, mendapat separo
harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per
tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan
dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk
meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara
kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan nasab--
dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar
dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian
kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu',
sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki
pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
A.
Apabila seseorang meninggal dan
mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan
seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
B.
Jika yang meninggal mempunyai saudara
seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi
secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan
adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara
laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian saudara perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah
seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan kata
lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata
al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla
ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa
kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak
memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata:
"Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini
benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun
bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas
dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal
yang tidak mempunyai ayah dan anak. "
Firman Allah (artinya)
"sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya
dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut
menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung
kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai
wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk
menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud
berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal
sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat
menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib
dilaksanakan.
Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman Allah SWT dalam surat
an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian saudara
kandung atau saudara seayah.
A.
Apabila seseorang meninggal dan hanya
mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris
mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak
mempunyai ayah atau anak.
- Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
- Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
- Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
II. WARIS DALAM PANDANGAN ISLAM
SYARIAT Islam menetapkan aturan
waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan
cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau
kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan
merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri,
suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau
seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an
merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama
sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali
hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab
adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini
tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan
hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah
mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah
pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam
hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para
nabi'.
Sedangkan makna al-miirats
menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang
dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk
di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan
dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang
yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya
pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus
ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan
pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan
catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut
menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga
pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya
pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang
terakhir.
Satu hal yang perlu untuk
diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis
kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang
masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin
bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang
piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut
berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan
nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit
perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli
warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi
beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan
kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut
mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan
hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan
tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang
sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia
tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan
keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila
sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun,
bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang
menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah
beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia.
Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat
karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta
peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik
pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan menurut pandangan ulama
mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang
berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa
hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama
seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan
dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan
utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara
itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan
utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh
harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3. Wajib menunaikan seluruh
wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang
yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya,
termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris
melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini
berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi
Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta
yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga,
dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli
warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh
harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang
lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i,
persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian
melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu
mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar
melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang
seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan
ayat tersebut.
B. Derajat Ahli Waris
Antara ahli waris yang satu dan
lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut ini akan
disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
- Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
- Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
- Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.
- Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
- Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
- Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
- Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.
- Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.
C. Bentuk-bentuk Waris
- Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
- Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
- Hak waris secara tambahan.
- Hak waris secara pertalian rahim.
Pada bagian berikutnya
butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.
D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan
seseorang mendapatkan hak waris:
- Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
- Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
- Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
E. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
- Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
- Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
- Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
F. Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada
tiga:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
- Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan
meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa
seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau
sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang
tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang
keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya
sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara
pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap
mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak
dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak
kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk
mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang
atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu
peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang
lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi
harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan
fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,
mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli
waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan
sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus
diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan
jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita
tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan
tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau
saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak
menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang
terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.
G. Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang
maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal
ini ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai
budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab
segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik
budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan
merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan
perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua
belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi
dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris
membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak
mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh
berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi
tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang
sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan
bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha
tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa
pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang
wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat
menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain
itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab
Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak
waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman
rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam
pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat
mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat
mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini
telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang
muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim."
(Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat
demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat
sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang
mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh
mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu
walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang
menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang
yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini
ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama,
karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama
terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat
mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i,
dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti
telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah
menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya,
bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi,
seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan
kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta
peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim."
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis, pendapat ulama
mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta
warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal.
Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara
rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus
antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan
sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya
jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke
dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya,
seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah
mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris
disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat
kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau
saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka
kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang
lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya
dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara
kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan
istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran
tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia
dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak
kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri
mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak
memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi
hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak
mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja
anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan
saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang
mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8,
menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak
mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih
dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang
berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak
laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari
pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7)
saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9)
anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung
bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman
(saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15)
laki-laki yang memerdekakan budak.
Catatan
Bagi cucu laki-laki yang disebut
sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya,
yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang
dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
I. Ahli Waris dari Golongan Wanita
Adapun ahli waris dari kaum
wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari
keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari
bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8)
saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan
Cucu perempuan yang dimaksud di
atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan
anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu
maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
III. PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR'AN
JUMLAH bagian yang telah
ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak
mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan
laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah
suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:
1.
Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat
apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya
adalah firman Allah:
"...
dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan
istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..."
(an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan (kandung)
mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
- Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah.
3. Cucu perempuan keturunan anak
laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:
- Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki).
- Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
- Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
Dalilnya sama saja dengan dalil
bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila
anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi
auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal
ini telah menjadi kesepakatan para ulama.
4. Saudara kandung perempuan
akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:
- Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
- Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.
Dalilnya adalah firman Allah
berikut:
"Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa':
176)
5. Saudara perempuan seayah akan
mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat
syarat:
- Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
- Apabila ia hanya seorang diri.
- Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4
(an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.
B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang
berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu
suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak mendapat
bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat,
yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari
suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan mendapat
bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat,
yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman
Allah berikut:
"... Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..."
(an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut
diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang
dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri
yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain,
sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap
mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman
Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang
bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri
ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta
peninggalan.
C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh
yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik
seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan
suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"... Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu
..." (an-Nisa': 12)
D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat
bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan
semuanya terdiri dari wanita:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh
syarat-syarat seperti berikut:
1.
Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki,
yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"...
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti
kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam
Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih
dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan
kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis
Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana
diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut sangat jelas dan
tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau
lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah
"anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma'
para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan
persyaratan sebagai berikut:
- Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
- Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung perempuan
(atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai
berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
- Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
"...
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan seayah
(atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
- Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
Persyaratan yang harus dipenuhi
bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir
sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara
seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun
perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "...
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan
saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut.
Wallahu a'lam.
E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang
berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua
saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan
bagian sepertiga dengan syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga
firman-Nya:
"...
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun bila digunakan
dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga atau
lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk
jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk
jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah
shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai
imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal
ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu berdua bertobat
kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima
kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga
dengan syarat sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
- Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun
dalilnya adalah firman Allah:
"...
Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)
Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat
"walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'.
Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki
dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan
hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam
ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan
"akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang
perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u fits
tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu
menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara
laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh
bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara
laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah
sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan.
Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung
dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian
saudara perempuan.
Masalah 'Umariyyatan
Pada asalnya, seorang ibu akan
mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia
mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan---
berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan dengan
ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni
'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini
dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah
'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', karena
kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga
bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian
suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.
Contoh Pertama
Seorang istri wafat dan
meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah (1/2) dari
seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari sisa setelah
diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Untuk lebih
jelas lagi saya berikan tabelnya:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Suami
|
1/2
|
3
|
Ibu
|
1/3 dari sisa setelah
dikurangi bagian suami
|
1
|
Ayah
|
Seluruh sisa peninggalan
sebagai 'ashabah
|
2
|
Dalam contoh kasus ini ibu
mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambil bagian suami pewaris,
sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia akan
mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunya bertentangan dengan
kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an dalam bagian ayat
"lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetap
menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta
warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi
dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.
Contoh Kedua
Seorang suami meninggal dunia
dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian seperempat
(1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu mendapat bagian
tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan bagian ayah
adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Isteri
|
¼
|
1
|
Ibu
|
1/3 dari sisa setelah
dikurangi bagian isteri
|
1
|
Ayah
|
Mendapat bagian seluruh sisa
peninggalan yang ada sebagai 'ashabah
|
2
|
Dari kedua contoh tersebut
tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada tabel pertama adalah
seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat (1/4). Adapun
penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau
istri adalah karena menyesuaikan adab qur'ani.
Masalah 'umariyyatan ini pernah
terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam masalah
ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid
bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh
Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa
setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat yang kedua
diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat bagian
sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri
(anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah
memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak
suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam
Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta
peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami
atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu
abawahu".
Jadi, menurut hemat saya, apa
yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh Umar bin
Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.
F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang
berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah,
(2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki
dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan mendapat
bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau
anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua orang
ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek (bapak dari
ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak
laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan
syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek
akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan
saya rinci dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh seperenam
(1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
- Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
- Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"...
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila
yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian,
anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap
dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam
sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan
seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari
keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian menjawab:
"Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah
sisanya menjadi bagian saudara perempuan."
Merasa kurang puas dengan
jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud
berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah diputuskan
Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris,
dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam
(1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan
pewaris."
Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud,
sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu
permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian
menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."
Catatan
Cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6) dengan syarat bila
pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka
anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak
mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari satu
orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan
sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki pewaris.
5. Saudara perempuan seayah satu
orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila pewaris
mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama dengan
keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya
anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara
perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara
perempuan seayah mendapat bagia\n seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua
per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah
(1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan
hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara laki-laki atau
perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam (1/6) bila
mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) "jika seseorang
mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya adalah bila pewaris
tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik
laki-laki atau perempuan).
7. Nenek asli mendapatkan bagian
seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Ketentuan demikian
baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang
jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan
pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan
bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak
warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an
maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat
Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar:
"Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak seorang
nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar
kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.
IV. DEFINISI 'ASHABAH
KATA 'ashabab dalam bahasa Arab
berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan
mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa
Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat.
Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya
dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia
benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya
kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat
diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah
menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya
bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak
laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki
dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan
mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat
masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena
ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta
warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
A. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para
'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu
bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga"
(an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa
bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam
(1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai
anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat
tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka
ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan
berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil
bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan
ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya
ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak." (an-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan
bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan
menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata
pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa
yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya.
Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah
adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
"Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah
Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih
tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari
'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam
hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut
"dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata
"rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini
hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang
ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal
penggunaan kata "dzakar".
B. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu:
'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis
'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang
tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya
apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah
terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur
wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan (3)
'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila
lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil
ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu
laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai
empat arah, yaitu:
- Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
- Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
- Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
- Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs
tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih
kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa
'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya
sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli
waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan
yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada
ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata
tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal,
seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara
laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian
setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara
seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Adapun bila para 'ashabah bin
nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai
berikut:
Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya
dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain.
Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa
harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing.
Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan
seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara
kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki.
Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah
termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak
laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris
dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung
laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya,
insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.
Kedua: Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka
pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka,
siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai
misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak
laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak,
sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada
pewaris dibandingkan cucu laki-laki.
Contoh lain, bila seseorang
wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara kandung,
maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya
dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut
derajat kedekatannya dengan pewaris.
Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan
derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang
paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih
kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari
saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.
Catatan
Perlu untuk digarisbawahi dalam
hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut
hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya,
pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan
arah paman.
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?
Satu pertanyaan yang sangat
wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya
memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah
sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis
anak tidak didahulukan daripada garis ayah.
Namun demikian, ada dua landasan
mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an,
sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
Dalam ayat tersebut Allah SWT
menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan
bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan
mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari
ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.
Sedangkan secara aqli, manusia
pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal
keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua
berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam
membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak
sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan
hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang
disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah
majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
Makna hadits tersebut sangat
jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat khawatir
terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta
dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit
orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan
keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut berhadapan
dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan rezekinya. Inilah
alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan
kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
Catatan
Satu hal yang mesti kita ketahui
bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari
kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita
tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak
mempunyai keturunan (kerabat).
'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah bi ghairihi hanya
terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
- Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
- Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
- Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi Ghairihi tidak akan
terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah wanita yang
tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh,
maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan
dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya
saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan
demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi
'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat
menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak
sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib
(penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak
sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi
penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya,
saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan.
Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara
laki-laki seayah.
Catatan
Setiap perempuan ahli waris
berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan
bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan
menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku
bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan,
dan saudara perempuan seayah).
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil bagi hak waris para
'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan
juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).
Para ulama sepakat bahwa yang
dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah saudara
laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat
bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu,
disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan
sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan
perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).
Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
Adapun sebab penamaan 'ashabah
bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena
kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah
lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara
laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka
keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.
'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus
bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila
mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara
laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah
bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak
laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di
kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
Satu hal yang perlu diketahui
dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm.
108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika
berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena
pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab
bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah
pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di
segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu
dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai
'ashabah agar terkena pengurangan."
Dalil 'Ashabah ma'al Ghair
Yang menjadi landasan bagi hak
waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan
(sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo,
dan bagian saudara perempuan separo."
Penanya itu lalu pergi
menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis
seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah
(1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6)
sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara
perempuan kandung atau seayah."
Penanya itu pun kembali kepada
Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud.
Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama
sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud
dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan
anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara
kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Catatan
Sangat penting untuk diketahui
bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al
ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat
menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang
perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka,
seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang seayah.
Begitu juga saudara perempuan
seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak
perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah
hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
Untuk lebih menjelaskan masalah
tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:
Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki seayah,
maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pokok masalahnya dari 2
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Anak perempuan
|
½
|
1
|
Saudara kandung perempuan
'ashabah ma'al ghair
|
½
|
1
|
Saudara laki-laki seayah
|
Gugur
|
0
|
Keterangan
Bagian anak perempuan adalah
setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung perempuan
disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara
kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara
kandung perempuan menjadi 'ashabah.
Contoh Kedua
Seorang wanita meninggal dunia
dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang
saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya
seperti dalam tabel berikut:
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Suami
|
1/4
|
1
|
Cucu perempuan
|
1/2
|
2
|
Saudara kandung perempuan
|
'ashabah
ma'al ghair
|
1
|
Saudara laki-laki seayah
|
mahjub
|
0
|
Keterangan
Suami memperoleh seperempat
bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian
sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris
sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur
karena adanya dua saudara kandung.
Contoh Ketiga
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak
laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 3
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Dua anak perempuan
|
2/3
|
2
|
Saudara perempuan seayah
|
'ashabah
ma'al ghair
|
1
|
Anak saudara laki-laki
|
mahjub
|
0
|
Keterangan
Dua orang anak perempuan
mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan
ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub
oleh saudara perempuan seayah.
Contoh Keempat
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah
kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Anak perempuan
|
1/2
|
3
|
Cucu perempuan
|
1/6
|
1
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
Saudara perempuan seayah
|
'ashabah
ma'al ghair
|
1
|
Keterangan
Anak perempuan mendapat bagian
setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat
seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan
seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah
ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia
menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.
Catatan
Saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak
perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara
(laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi 'ashabah.
C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair
Dari uraian sebelumnya dapat
kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiap wanita ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan
saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi 'ashabah bila bersama
saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki pewaris). Saudara kandung perempuan
ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil ghair dengan adanya
saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini bagi
yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun 'ashabah ma'al ghair
adalah para saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila
berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam hal ini mereka mendapatkan bagian
sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul furudh mengambil bagian
masing-masing. Tampak semakin jelas perbedaan antara dua macam 'ashabah itu,
pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih, seperti anak
laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki
dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al ghair tidak
terdapat sosok 'ashabah bi nafsih.
Jadi, secara ringkas, pada
'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandeng kaum wanita ashhabul
furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan 'ashabah
ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah
tidak menerima bagian seperti bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian saudara
perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.
Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?
Kita mungkin sering mendengar
pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini memerlukan jawaban. Maka dapat
ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkan warisan dari dua arah yang
berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai 'ashabah, atau
satu dari arah fardh dan yang kedua dari arah karena rahim. Agar persoalan ini
lebih jelas, saya sertakan contoh:
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang suami, yang
juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka pembagiannya sebagai berikut:
Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), suami
setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai 'ashabah
karena ia anak paman kandung.
Contoh lain: seorang suami
meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan, bibi (saudara ibu) yang
salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti berikut: sang istri
mendapat bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanya ikatan perkawinan,
dan hak lainnya ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada karena ikatan rahim.
V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)
A. Definisi al-Hujub
Al-hujub dalam bahasa Arab
bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
"Sekali-kali tidak
sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan
mereka" (al-Muthaffifin: 15)
Yang dimaksud oleh ayat ini
adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan
mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab
juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu',
disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna
menemui para penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek)
untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub.
Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain
untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang
mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub
menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima
waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang
yang lebih berhak untuk menerimanya.
B. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni
al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang
lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari
mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh
pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi
yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih
berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman
dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak
waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya
ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris
saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang
nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan
(pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris
ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris
mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang
suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari
seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di
sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata
lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan
tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris yang
tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan
tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung
laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang
mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus
mendapatkan warisan.
Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Sederetan ahli waris yang dapat
terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima
dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:
- Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris.
- Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
- Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
- Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
- Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat).
- Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh saudara laki-laki seayah.
- Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).
- Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
- Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
- Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya paman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman seayah.
- Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi sepupu laki-laki (anak paman kandung).
Sedangkan lima ahli waris dari
kelompok wanita adalah:
- Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya sang ibu.
- Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada 'ashabah.
- Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).
- Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandung perempuan jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya 'ashabah.
- Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.
Saudara Laki-laki yang Berkah
Apabila anak perempuan telah
sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara laki-laki
(yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat ataupun yang
lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapat menyeret
cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapat fardh.
Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atau
saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki,
cucu perempuan tidak akan mendapat warisan.
Kemudian, apabila saudara
kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah
hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara laki-laki
seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya menjadi
'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebab
tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan menerima hak
waris mereka.
Saudara Laki-laki yang Merugikan
Kalau sebelumnya saya jelaskan
tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini saya akan menjelaskan
kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut saudara laki-laki
yang merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita
tidak mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara laki-laki itu tidak ada,
ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris. Agar lebih jelas saya berikan
beberapa contoh kasus.
Pertama:
Seorang wanita meninggal dunia
dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan cucu perempuan dari
anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami seperempat (1/4)
bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak
perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian
seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena merupakan
bagian wanita.
Seandainya dalam kasus ini
terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak cucu
perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu
perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa
ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan".
Kedua:
Untuk lebih memperjelas, dalam
contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang merugikan. Seorang wanita
meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah, anak perempuan, serta cucu
laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4) bagian karena istri
mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian, ayah seperenam (1/6)
bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian karena tidak
ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapat bagian.
Itulah contoh tentang saudara
laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena memang tidak
ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu perempuan keturunan
anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua
per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucu perempuan dirugikan --tidak
mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara laki-laki yang sederajat, yakni
adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki.
Ilustrasi seperti itu dapat kita
ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan keturunan anak
laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah. Maka, saudara
perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudara laki-laki
seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah, maka
saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa.
C. Tentang Kasus Kolektif
Menurut kaidah yang biasa
dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta waris dimulai dengan ashhabul
furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah. Para ulama menyandarkan kaidah ini
pada hadits Rasulullah saw. (artinya): "Berikanlah hak waris kepada
ashhabul furudh, dan sisanya diberikan kepada kerabat laki-laki yang lebih
dekat."
Namun demikian, dalam masalah
ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif, sesuatu yang keluar dan
menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal juga dengan istilah
"kasus musytarakah" (kasus kolektif). Sementara itu, di sisi lain
masalah ini telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para sahabat,
tabi'in, dan imam mujtahidin.
Contoh permasalahannya sebagai
berikut; seorang wanita wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, dua saudara
laki-laki seibu (atau lebih dari dua orang), dan dua orang saudara kandung
laki-laki (atau lebih dari dua orang). Pembagiannya adalah seperti berikut:
suami mendapat setengah (1/2) bagian dikarenakan pewaris tidak mempunyai anak
secara fardh, ibu mendapat seperenam (1/6) bagian disebabkan pewaris mempunyai
dua orang saudara laki-laki atau lebih, dan dua orang saudara seibu mendapat
bagian sepertiga (1/3). Sedangkan saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan
bagian karena ia sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris yang dibagikan telah
habis.
Berdasarkan kaidah yang berlaku,
saudara kandung laki-laki sebenamya memiliki kekerabatan lebih kuat
dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada kasus ini justru terjadi sebaliknya.
Karena, masalah ini merupakan kasus kolektif, selain sebagai masalah yang
menyimpang dari kaidah aslinya, juga karena para sahabat, tabi'in, serta para
imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini-- menyatakan bahwa saudara
kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-laki yang seibu, hingga mereka
mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan secara rata di antara mereka
(termasuk saudara kandung laki-laki). Di samping itu, masalah ini juga
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak masa para
sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.
Perbedaan Pendapat Para Fuqaha
Dalam masalah musytarakah
(kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhur dalam hal membagi hak waris
sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa hak waris
saudara kandung digugurkan sebagaimana mengikuti kaidah yang ada. Pendapat ini
pernah dilakukan oleh Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, dan lainnya.
Sedangkan pendapat kedua
menyatakan bahwa hak waris pada saudara kandung dikolektifkan dengan hak waris
para saudara laki-laki seibu. Pendapat ini dilakukan oleh Zaid bin Tsabit,
Utsman, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat pertama dianut dan diikuti oleh
mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan pendapat yang kedua diikuti dan dianut
oleh mazhab Maliki dan Syafi'i.
Selain itu, masalah ini di
kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan "umariyah", karena Umar
bin Khathab pernah memvonis masalah ini --juga pernah dikenal dengan sebutan
Himariyah, Hajariyah, dan Yammiyah.
Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah
ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin Khathab r.a.. Umar baru pertama kali
menjumpai kasus seperti ini dan memvonis: saudara kandung tidak mendapat bagian
hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun berikutnya, masalah ini diajukan
kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonis seperti tahun lalu, proteslah
salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh mustahil bila
ayah kami dianggap keledai atau batu yang terbuang di sungai. Bukankah kami ini
anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan berpikir
bahwa apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan memberi
hak kepada mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara bersamaan dan
dibagi sama rata. Contohnya adalah sebagai berikut:
Asal masalah dari enam 6 naik
menjadi 18
Suami 1/2 harta waris yang ada
secara fardh
|
3
|
9
|
Ibu 1/6 harta waris yang ada
secara fardh
|
1
|
3
|
Saudara seibu 1/3 secara fardh
dan dibagi merata dengan saudara kandung
|
2
|
4
|
Saudara kandung dapat hak
waris, karena dianggap seperti saudara seibu dengan mendapat bagian sepertiga
(1/3) dibagi adil
|
-
|
2
|
Persyaratan Masalah Kolektif
- Jumlah saudara seibu dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.
- Saudara yang ada benar-benar saudara kandung, sebab bila saudara seayah maka gugurlah haknya secara ijma'. Dan dalam hal ini tidak berbeda apakah hanya satu orang atau banyak.
- Saudara kandung itu harus saudara laki-laki. Sebab bila perempuan, maka akan mewarisi secara fardh, dan masalahnya pun akan naik, serta kekolektifan ini akan batal.
Beberapa Kaidah Penting
Hak waris banul a'yan (saudara
kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat (saudara laki-laki/perempuan
seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-laki/perempuan seibu) akan gugur
(terhalangi) oleh adanya anak laki-laki pewaris, cucu laki-laki (keturunan anak
laki-laki), dan ayah. Hal ini merupakan kesepakatan seluruh ulama.
Menurut mazhab Abu Hanifah hak
mereka juga digugurkan oleh adanya kakek pewaris. Sedangkan menurut ketiga imam
mazhab yang lain tidaklah demikian. Masih menurut mazhab Hanafi, hak waris
banul akhyaf digugurkan dengan adanya anak perempuan pewaris, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki pewaris, dan seterusnya.
Kaidah yang lain ialah bahwa
banul akhyaf mendapatkan hak waris secara merata pembagiannya antara yang
laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah (artinya)
"mereka bersekutu dalam yang sepertiga."
VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARA
A. Pengertian Kakek yang Sahih
Makna kakek yang sahih ialah
kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita, misalnya
ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita
disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari
ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid:
"bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi
rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah kakek yang
sahih."
B. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara
Baik Al-Qur'an maupun hadits
Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek yang sahih dengan
saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat
sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat
takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a.
dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami tentang
masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku
tentang masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."
Pernyataan serupa juga
ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:
"Barangsiapa yang ingin
diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia memvonis masalah waris
antara kakek yang sahih dengan para saudara."
Ketakutan dan kehati-hatian para
sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek dan saudara itu tentu sangat
beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits Nabi yang
menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan
ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat mengkhawatirkan mereka,
karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya mempunyai
hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang yang
sebenamya tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan
materi, atau hukum tentang hak kepemilikan, mereka merasa sangat takut
kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya.
Perlu saya tekankan bahwa
masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah SWT tidak
membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan
materi ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail agar tidak
terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di kalangan umat manusia, khususnya para
ahli waris.
Namun demikian, masalah yang
sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad para salaf ash-shalih
dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga serta dibukukan
secara lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan
setiap orang yang ingin mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang
dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta dapat dijadikannya sandaran
dalam berfatwa.
C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek
Para imam mazhab berbeda
pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan dengan saudara, sama seperti
perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Perbedaan
tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.
Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara kandung,
saudara seayah, ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya
kakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah
tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling 'tinggi'. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah
saya sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya, maka
yang lebih didahulukan adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah,
kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan
berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu
hilang atau habis. Misalnya, jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang
didahulukan adalah arah anak. Bila 'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman
maka yang didahulukan adalah arah saudara, kemudian barulah arah paman.
Lebih lanjut golongan yang
pertama ini menyatakan bahwa arah ayah --mencakup kakek dan seterusnya-- lebih
didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris para saudara akan
terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara
bila ada ayah.
Mazhab ini merupakan pendapat
Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Pendapat ini diikuti oleh
mazhab Hanafi.
Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan dan
saudara laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan
kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang
seayah, sama seperti halnya ayah.
Alasan yang dikemukakan golongan
kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama.
Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek
merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara adalah cabang dari ayah, karena
itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka
sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain
berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal ini
sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung kemudian di antara
mereka ada yang tidak diberi.
Alasan lain yang dikemakakan
mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara --yang jelas lebih muda daripada
kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para kakek. Sebagai gambaran,
misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan kepada para kakek,
kemudian ia wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya
yang berarti paman para saudara. Dengan demikian para paman menjadi ahli waris,
sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak mendapat warisan dari
saudaranya yang meninggal.
Pendapat ini dianut oleh ketiga
imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal, dan diikuti
oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah
pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit,
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah
'alaihim.
D.Tentang Mazhab Jumhur
Untuk lebih menjelaskan pendapat
yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- maka saya perlu mengatakan bahwa
sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan saudara, maka ia mempunyai
dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.
Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli
waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan,
dan sebagainya.
Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain,
seperti ibu, istri, dan anak perempuan.
Hukum Keadaan Pertama
Bila seseorang wafat dan
meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang lain, maka
bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agar lebih banyak
memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan cara
pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan.
Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang
menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara
pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang
menjadi haknya.
Makna Pembagian
Makna pembagian menurut ulama
faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia mendapatkan
bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki. Apabila kakek
berhadapan dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi yang sama
seperti saudara kandung laki-laki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali
lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Bila cara pembagian tersebut
kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih cara mendapat
sepertiga (1/3) harta waris yang ada.
Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek
Ada lima keadaan yang lebih
menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima keadaan tersebut
sebagai berikut:
- Kakek dengan saudara kandung perempuan.
- Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
- Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
- Kakek dengan saudara kandung laki-laki.
- Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.
Adapun penjelasannya seperti
berikut:
Pada keadaan pertama kakak
mendapat dua per tiga (2/3).
Pada keadaan kedua kakek
mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan ketiga kakek
mendapat dua per lima (2/5).
Pada keadaan keempat kakek
mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan kelima kakek
mendapat dua per lima (2/5).
Kelima keadaan itu lebih
menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.
Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang
Ada tiga keadaan yang
menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian ataupun
dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu sebagai
berikut:
- Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.
- Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.
- Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek
Selain dari delapan keadaan yang
saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga (1/3) kepada sang kakek lebih
menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan
tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara kandung perempuan atau lebih.
Dalam hal ini kakek mendapat sepertiga (1/3), dan sisanya dibagikan kepada para
saudara, yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita.
Kalau saja dalam keadaan seperti
itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan dirugikan karena akan menerima
kurang dari sepertiga harta warisan.
Catatan
Hukum tentang hak waris saudara
laki-laki dan perempuan seayah ketika bersama dengan kakek --tanpa saudara
kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnya sama dengan hukum yang saya
jelaskan di atas.
Hukum Keadaan Kedua
Bila kebersamaan antara kakek
dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh yang lain
--yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilih salah satu dari tiga
pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian, menerima
sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6) dari seluruh harta waris yang
ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat bagiannya tidak kurang dari
seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris setelah
dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkan
kurang, maka tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan
para saudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya. Ketetapan ini telah
menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
Adapun bila cara pembagian
--setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya-- bagian sang kakek lebih
menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu. Dan jika sepertiga
(1/3) sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah
bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari seperenam
(1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah bagiannya yang
telah ditentukan syariat.
Contoh Keadaan Kedua
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara kandung
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah (1/2)
karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak
seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.
Pada contoh kasus ini kakek
lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara pembagian. Sebab dengan
pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam (1/6).
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung
laki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:
ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa
harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan,
dengan ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Dalam contoh kedua ini bagian
kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan sepertiga dari sisa harta setelah
diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat sepertiga (1/3) dari lima per enam
(5/6).
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek,
kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi
anak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6),
dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung perempuan sesuai jumlah
orangnya secara rata.
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami,
kakek, dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
suami mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua per tiga
(2/3), dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara laki-laki
tidak mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.
Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak
perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu,
dan sepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk
kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan cucu
perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua
per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam.
Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebab
ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada.
E. Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek
Persoalan yang saya jelaskan
sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanya bersamaan dengan saudara
kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek jika ia tidak hanya
bersama dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengan saudara seayah.
Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa para saudara seayah
dikategorikan sama dengan saudara kandung, mereka dianggap satu jenis.
Apabila pemberian dilakukan
secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalam keadaan seperti ini
dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakek mendapatkan
bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya menjadi hak para saudara
kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah bersama-sama, maka saudara
seayah mahjub, haknya menjadi gugur.
Akan tetapi, jika saudara seayah
mewarisi bersama kakek dan seorang saudara kandung perempuan, maka para saudara
laki-laki seayah akan mendapatkan bagian sisa harta yang ada, setelah diambil
hak saudara kandung perempuan (1/2) dan hak kakek (1/3).
Agar persoalan ini tidak terlalu
kabur dan membingungkan saya sertakan beberapa contoh kasus.
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-laki
dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakek mendapat
sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki memperoleh dua per tiga
(2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah mahjub (terhalangi) karena
adanya saudara kandung laki-laki.
Dalam contoh pertama, saudara laki-laki
dikategorikan sebagai ahli waris, karena itu bagian kakek sepertiga (1/3), hak
saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3), sedangkan saudara laki-laki
seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih kuat dan dekat, yakni
saudara kandung laki-laki.
Jumlah sepertiga (1/3) bagi
kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yang ada: "hendaklah
kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling menguntungkannya,
mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara pembagian". Kebetulan dalam
kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek menghasilkan bagian yang sama,
yaitu sepertiga.
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung
perempuan, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara
perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung perempuan
mendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian,
sedangkan sisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan seayah
--dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Pada contoh kedua ini, saya
langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpa menggunakan cara
pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwa keberadaan para
saudara laki-laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikan kakek pada
cara pembagian. Kalaulah pemberian kepada kakak dalam contoh ini menggunakan
cara pembagian, tentu hal ini akan merugikannya karena ia akan menerima bagian
kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu, saya berikan
haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga (1/3).
Setelah itu saya berikan hak
waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh, karena ia lebih kuat dan
lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkan para saudara laki-laki/perempuan
seayah. Sisanya barulah untuk mereka.
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara
kandung laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya
seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua per
enam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki.
Dalam hal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan
keberadaannya hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Catatan
Pada contoh ketiga --seperti
telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-laki/perempuan seayah merugikan
kakek bila menggunakan cara pembagian. Kemudian, dalam masalah ini kita berikan
nasib (bagian) saudara perempuan seayah sebanyak dua per enam (2/6), dan itu
menjadi bagian saudara laki-laki kandung, sebab saudara perempuan seayah gugur
haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung. Bila kita lihat secara seksama
akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan kakek dalam hal ini adalah
cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga (1/3) sisa harta waris
setelah diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah ibu.
Barangkali untuk lebih
memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya.
Masalahnya 12
Bagian ibu 1/6 secara fardh
|
2
|
Bagian kakek 2/6 secara
pembagian dengan saudara kandung laki-laki
|
4
|
Bagian saudara kandung
(sisanya)
|
6
|
Bagian saudara perempuan
seayah mahjub
|
0
|
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudara
kandung perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka pembagiannya seperti
berikut: ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian, kakek sepertiga (1/3), dan
saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2), sedangkan bagian dua orang
saudara seayah sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
Masalahnya 12 dan naik menjadi 36
Bagian ibu 1/6
|
6
|
Bagian kakek 1/3 (sisa setelah
diambil ibu)
|
10
|
Bagian saudara kandung
perempuan setengah (1/2)
|
18
|
Bagian dua orang saudara
laki-laki seayah (sisanya)
|
2
|
Catatan
Apabila pewaris hanya
meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-laki/perempuan
seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab, seperti yang
telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak waris
saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu hanyalah bila pewaris sebagai
kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan tidak pula
mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Di samping itu, hal lain yang
telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris dari keturunan para
saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya kakek. Misalnya,
bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta anak saudaranya,
maka seluruh warisannya menjadi hak kakek.
F. Masalah al-Akdariyah
Istilah al-akdariyah muncul
karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani Akdar.
Sedangkan sebagian ulama
mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah --yang
artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori
mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan
kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan
memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari
kaidah-kaidah faraid yang masyhur.
Permasalahannya seperti berikut:
bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, kakek, dan seorang
saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah disepakati
seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka pembagiannya
adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat
setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya hanya
seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian kakek yang tidak mungkin
digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah
semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak ada sisa
harta waris.
Akan tetapi, dalam kasus ini
Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia memberi
saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari enam (6)
menjadi sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung perempuan
dengan saham kakak, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat
bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluh tujuh (27), dan
pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu enam (6)
bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4)
bagian.
Dalam hal ini Imam Malik dan
Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit, sehingga
menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut.
Berikut ini saya sertakan
tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga setelah ditashih.
Masalahnya adalah dari enam (6)
Suami mendapat setengah (1/2)
secara fardh
|
3
|
Ibu mendapat sepertiga (1/3)
secara fardh
|
2
|
Kakek mendapat seperenam (1/6)
sisanya/fardh-nya
|
1
|
Saudara kandung perempuan
mahjub
|
0
|
Adapun tabel setelah ditashih
menurut al-akdariyah seperti berikut:
Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)
Bagian suami menjadi
|
9
|
Bagian ibu menjadi
|
6
|
Bagian kakek menjadi
|
8
|
Bagian saudara kandung
perempuan menjadi
|
4
|
Catatan
Dalam masalah al-akdariyah ini
sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah satu yang diubah,
maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.
VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD
A. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab
mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil,
seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik'
atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang
naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam
kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul
menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya
nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin
banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di
antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita
harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris
dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi
berkurang.
Misalnya bagian seorang suami
yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3)
dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula
enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya
mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula
halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala
pokok masalahnya naik atau bertambah.
B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai
masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan
--sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak pernah
terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab
r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan pokok
masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika
fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih lengkap, riwayatnya
dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua
orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang
mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung
perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi
peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk
menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang
saudara kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak
waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian
Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di
antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku
berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan
karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih
dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah
nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para
sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan
kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata:
"Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat
menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan)
fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di dalam
ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang
empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat
di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24).
Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2),
tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh pokok yang dapat
di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua
(2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung
perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini
tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian,
dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3),
jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat dan
meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4), bagian
istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4)
dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan,
dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah
(1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima
sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan semuanya tidak
dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para
ashhabul furudh.
Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan
Sebagaimana telah saya sebutkan
sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam
(6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu
masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam
(6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi
tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa.
Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas
(12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka
ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan
ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu
tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua
puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan
itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama
faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk lebih menjelaskan dan
memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu
kita simak contoh-contohnya.
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
- Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al-mubahalah.
- Seseorang wafat dan meninggalkan
seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara
laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam
(6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua
saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan
bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah. - Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh tersebut jumlah
bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding sepuluh (6:10).
Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi
sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah
syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Seperti telah saya kemukakan
bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu
menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini
saya berikan contoh-contohnya:
- Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya
sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri
seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua
bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga
(2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada. - Seseorang wafat dan meninggalkan
seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara
perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya
sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri seperempat
(1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian,
saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian,
sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) --sebagai penyempurna
dua pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga
seperenam (1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15). - Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan
jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui pokok masalahnya,
yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus di-'aul-kan
dari dua belas menjadi tujuh belas.
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)
Pokok masalah dua puluh empat
(24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan menjadi angka
dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang
oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya
demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di
atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti
berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak
perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam
(1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat
bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan
mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan
keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna
dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak
sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul
furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan
pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada
para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini
pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh
tujuh.
Catatan
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada 'aul.
D. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab
berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti
terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa
berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau
orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..."
(al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan
"Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah
tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut istilah
ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya
jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu
keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya
masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu
tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu
diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan
bagian mereka masing-masing.
E. Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam
suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
- adanya ashhabul furudh
- tidak adanya 'ashabah
- ada sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak
ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.
F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi dan
melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami atau
istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta
waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang
dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
- anak perempuan
- cucu perempuan keturunan anak laki-laki
- saudara kandung perempuan
- saudara perempuan seayah
- ibu kandung
- nenek sahih (ibu dari bapak)
- saudara perempuan seibu
- saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek,
sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu,
mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila
dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya --ayah atau kakek-- -maka
tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai
'ashabah.
G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari ashhabul
furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini
disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena
kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan
kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan
istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai
bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri
tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
H. Macam-macam ar-Radd
Ada empat macam Ar-radd, dan
masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam itu:
- adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Hukum Keadaan Pertama
Apabila dalam suatu keadaan ahli
warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang sama --yakni dari
satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian setengah, atau
seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau
istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini
bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepat sampai pada
tujuan dengan cara yang paling mudah.
Sebagai misal, seseorang wafat
dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga,
sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga
(2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak
masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari
bagian yang sama.
Contoh lain, bila seseorang
wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan, maka pokok
masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd.
Misal lain, seseorang wafat dan
meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya
dari dua, disebabkan bagiannya sama.
Hukum Keadaan Kedua
Apabila dalam suatu keadaan
terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada salah satu dari suami
atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan dari
jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu
seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3). Di sini
tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikan pokok masalah,
yakni tiga.
Contoh-contoh keadaan kedua
- Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat, karena jumlah bagiannya ada empat.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya empat.
- Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.
Begitu seterusnya, yang penting
tidak ada salah satu dari suami atau istri.
Hukum keadaan Ketiga
Apabila para ahli waris semuanya
dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri,
maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok masalahnya dari sahib fardh
yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada
yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Sebagai misal, seseorang wafat
dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan
seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan kepada anak
secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari
empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya
(yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata.
Misal lain, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang
saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat, karena angka itu
diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang
bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4).
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Pokok masalahnya
adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan
(tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8)
bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8)
merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara
mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnya
menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan
seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga
puluh lima bagian-- dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan
pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh bagian.
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam hal ini pokok
masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib fardh yang tidak dapat
di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan
sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secara merata untuk keempat anak
perempuan pewaris.
Dalam contoh ini juga harus ada
pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu, pokok masalah yang mulanya
empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga pembagiannya seperti berikut:
bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti empat bagian. Sedangkan
sisanya dua belas bagian dibagikan secara merata kepada keempat anak perempuan
pewaris. Dengan demikian, setiap anak memperoleh tiga bagian.
Hukum keadaan Keempat
Apabila dalam suatu keadaan
terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di dalamnya terdapat pula
suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus menjadikannya
dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau
istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Kemudian
kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat kedua
ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang
paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul
(kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Untuk lebih memperjelas masalah
yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok
masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah
bagian yang ada).
Bagian nenek seperenam (1/6)
berarti satu bagian.
Bagian kedua saudara perempuan
seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok masalahnya dari empat,
yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu
istri.
Bagian istri seperempat (1/4)
berarti memperoleh satu bagian.
Sisanya, yakni tiga bagian,
merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi
tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua
saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti
tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat
bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian.
Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya
tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua
itu sebagai pokok masalah.
Contoh lain: seseorang wafat
meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.
Pada ilustrasi pertama --tanpa
menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari enam, dan dengan ar-radd
menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.
Sedangkan dalam ilustrasi kedua
--menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari delapan, karena
merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.
Apabila istri mengambil
bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan (7/8), dan
sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd.
Seperti kita ketahui bahwa
antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah berikutnya kita
kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah pertama (lima). Maka
hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua
ilustrasi tersebut.
Kini, setelah kita kenali pokok
masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri adatah
seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia mendapat lima (5)
bagian.
Bagian kedua anak perempuan dan
ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang tersisa tiga puluh lima
(35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian kedua anak perempuan
adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi pertama) dengan
tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti dua puluh
delapan (28) bagian.
Adapun bagian ibu adalah hasil
perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian) dengan tujuh
(yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh (7) bagian.
Jadi, dari jumlah keseluruhan
antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah bagian ibu
adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri
Pokok masalahnya aslinya dari
65, dengan radd, menjadi 5
|
||
Bagian kedua anak perempuan
2/3
|
berarti
|
4
|
Bagian ibu seperenam (1/6)
|
berarti
|
1
|
Jumlah bagian
|
5
|
Ilustrasi kedua dengan
menyertakan suami/istri
Pokok masalah dari delapan,
diambil dari ahlul fardh yang tak dapat di-radd
|
setelah
tashih menjadi
|
40
|
|
Bagian istri 1/8, berarti
|
1
|
setelah
tashih
|
5
|
Bagian dua anak perempuan dan
ibu
|
7
|
||
setelah tashih bagian anak
perempuan
|
4
x 7
|
28
|
|
bagian ibu
|
4
x 7
|
7
|
VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN
MENGETAHUI pokok masalah
merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar
kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga
pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak
masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok
masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh
angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit.
Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang
jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah,
terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita
harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah,
atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan
ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang
ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika
semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima
orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat
meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari
sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang
ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita
hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari
kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok
masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan
hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka
pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima
anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan
demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli
waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok
masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan
saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian
suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2).
Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya
masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam
(6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3).
Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya
dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris
yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu
jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita
harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara
angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling berpadu),
atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini,
baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid.
Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah
ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian
berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah
tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh
hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti
pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu
keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka
pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu
keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat
(1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan--
maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan
ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6)
atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam
(6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini
hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu
keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4,
dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain
untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di
bawah ini:
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah
tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka
pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki
seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah,
ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian
masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada
campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan
seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada,
pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihat diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)
|
3
|
Saudara laki-laki seibu
seperenam (1/6)
|
1
|
Ibu sepertiga (1/3)
|
2
|
Paman kandung, sebagai
'ashabah
|
0
|
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada
campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama--
dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok
masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara
empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara
laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4))
|
3
|
Ibu seperenam (1/6)
|
2
|
Dua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3)
|
4
|
Saudara kandung laki-laki
sebagai 'ashabah (sisanya)
|
3
|
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada
percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam
(1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah
pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan
(1/8)
|
Berarti
|
3
|
Bagian anak perempuan setengah
(1/2)
|
Berarti
|
12
|
Cucu perempuan dari anak
laki-laki seperenam (1/6)
|
Berarti
|
4
|
Bagian ibu seperenam (1/6)
|
Berarti
|
4
|
Saudara kandung laki-laki,
sebagai 'ashabah (sisa)
|
1
|
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.
A. Tentang Tashih
Agar kita dapat memahami dan
menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus mengetahui
nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan. Yaitu, at-tamaatsul
(kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur),
at-tawaafuq (saling bertautan), dan at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
Apabila pokok masalah --harta
waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah bagian
tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara yang
berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut kurang dari jumlah
bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah bagian ashhabul
furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini memerlukan pentashihan
pokok masalahnya.
Definisi Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti
'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid berarti
mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan dalam
pembagiannya.
Definisi at-Tamaatsul
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab
berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut ulama faraid
berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih
sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga berarti sama dengan tiga, dan lima
sama dengan lima, dan seterusnya.
Definisi at-Tadaakhul
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab
berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari "keluar". Sedangkan
menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar oleh angka yang lebih
kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah yang
tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat (4), angka delapan
belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27) dengan angka
sembilan (9).
Definisi at-Tawaafuq
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab
berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah setiap dua angka
yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka di antara kedua
bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6 keduanya dapat dibagi
oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30 sama-sama dapat dibagi oleh angka 6.
Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4, demikian seterusnya.
Definisi at-Tabaayun
At-Tabaayun dalam bahasa Arab
berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling berbeda. Sedangkan menurut
kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang satu dengan lainnya tidak
dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan lain (ketiga).
Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5 dengan 9.
Untuk mengetahui secara tepat
pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannya dengan istilah lainnya.
Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu
tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang kecil
--tetapi dibagi angka yang lain-- maka kedua bilangan itu ada tawaafuq.
Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka
disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua
bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.
B. Cara Mentashih Pokok Masalah
Setelah kita ketahui dengan baik
makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita
perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok
masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama
faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan
angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan
agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain
itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang
merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan.
Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam
usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang
dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa
dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat bagian
setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah
dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk
menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila
jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada
--jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum
mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua
hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan
jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan
jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok
masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan
bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat
bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah
(ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau
dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok
masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah"
oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk
mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok
masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai
bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.
Untuk lebih memperjelas masalah
ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat lebih
memahaminya.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah
Seseorang wafat dan meninggalkan
empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6).
Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4)
bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam
berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua
orang, penj.).
Dalam contoh tersebut kita lihat
jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat.
Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang
mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi
memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan
mudah, setiap anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul.
Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya
dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam
(1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu
sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung
perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan baik-baik
contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan.
Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua
saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi
keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu
bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok
masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung
(bernisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh masalah yang at-tawaafuq.
Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman
kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6).
Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian,
ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah
bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Kita lihat dalam contoh di atas
ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian
yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama
faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu
dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah
tashih pokok masalah.
Misal lain, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara
laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam
(6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2)
berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per
tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di atas kita lihat
ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan
dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo
jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok
masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil
dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah
pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian
(9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua
saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak
perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak
laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara
kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah
tabelnya:
3
|
|
|
12
|
36
|
|
Suami ¼
|
3
|
9
|
Anak perempuan ½
|
6
|
18
|
Tiga cucu perempuan keturunan
anak laki-laki 1/6
|
2
|
6
|
Saudara kandung laki-laki
('ashabah)
|
1
|
3
|
Berdasarkan tabel tersebut kita
lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki dengan jumlah per
kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita
kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu
berarti pokok masalah hasil pentashihan.
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung
laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24,
kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan
mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu
mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub
(terhalang). Inilah tabelnya:
5
|
|
|
24
|
27
|
135
|
Istri 1/8
|
3
|
15
|
Lima anak perempuan 2/3
|
16
|
80
|
Ayah 1/6
|
4
|
20
|
Ibu 1/6
|
4
|
20
|
Saudara kandung laki-laki
(mahjub)
|
-
|
-
|
Dalam tabel tersebut kita lihat
bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala
mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita
kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per
kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokok masalah setelah
pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.
Misal lain, seorang wafat dan
meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat
saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti
berikut:
Pokok masalahnya dari 24. Ketiga
istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek
1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai
'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
28
|
||
24
|
672
|
|
3 istri bagiannya 1/8
|
3
|
84
|
7 anak perempuan 2/3
|
16
|
448
|
2 orang nenek 1/6
|
4
|
112
|
saudara kandung laki-laki
('ashabah)
|
1
|
28
|
Saudara laki-lah seibu (mahjub
|
-
|
-
|
Dalam tabel tersebut kita lihat
bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka (7) ada
perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang
hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk
mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak
perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti
7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us
sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya
itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti ini
dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.
C. Pembagian Harta Peninggalan
At-tarikah (peninggalan) dalam
bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan
kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta
waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang
paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan
dengan harta yang dapat ditransfer.
Cara pertama: kita ketahui nilai
(harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap
ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris.
Cara kedua: kita ketahui
terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita
lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah
(nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok
masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing
ahli waris.
Contoh Cara Pertama
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta peninggalannya sebanyak
480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri
mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian,
ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian)
merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun nilai (harga) per
bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi
pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.
Jadi,
|
bagian istri
|
3 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
60 dinar
|
Anak perempuan
|
12 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
240 dinar
|
|
Ibu
|
4 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
80 dinar
|
|
Ayah ('ashabah)
|
5 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
100 dinar
|
|
Total
|
=
|
480 dinar
|
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian
di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12
bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6
yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung
perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:
2
|
|||
12
|
24
|
||
24 Cucu perempuan keturunan
anak laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Suami ¼
|
1/4
|
3
|
6
|
Ibu 1/6
|
1/6
|
2
|
4
|
2 saudara perempuan kandung
('ashabah ma'al ghair)
|
1
|
2
|
Adapun nilai per bagian; 960
dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli waris:
Jadi,
|
Cucu pr. keturunan anak
laki-laki
|
12
|
x
|
40 dinar
|
=
|
480 dinar
|
Suami
|
6
|
x
|
40 dinar
|
=
|
240 dinar
|
|
Ibu
|
4
|
x
|
40 dinar
|
=
|
160 dinar
|
|
Dua saudara kandung perempuan
|
2
|
x
|
40 dinar
|
=
|
80 dinar
|
|
Total
|
=
|
960 dinar
|
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga
saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000 dinar. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi
12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2
bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki
dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian
(masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian
(masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak
tabel berikut:
2
|
|||
6
|
12
|
||
Empat anak perempuan
|
4
|
4
|
|
Dua anak laki-laki
|
3
|
4
|
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
2
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
2
|
Tiga saudara kandung laki-laki
(mahjub)
|
-
|
-
|
Adapun nilai per bagiannya
adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi,
|
Jadi bagian 4 anak perempuan
|
4
|
x
|
250 dinar
|
=
|
1.000 dinar
|
dua anak laki-laki
|
4
|
x
|
250 dinar
|
=
|
1.000 dinar
|
|
ibu
|
2
|
x
|
250 dinar
|
=
|
500 dinar
|
|
ayah
|
2
|
x
|
250 dinar
|
=
|
500 dinar
|
|
Total
|
=
|
3.000 dinar
|
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan
nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan)
menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2
berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek
mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:
6
|
9
|
||
Suami
|
1/2
|
3
|
|
Saudara kandung perempuan
|
1/2
|
3
|
|
Saudara laki-laki seibu
|
1/3
|
2
|
|
Nenek
|
1/6
|
1
|
Adapun nilai per bagiannya
adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi,
|
Suami
|
3
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
3.300 dinar
|
Saudara perempuan kandung
|
3
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
3.300 dinar
|
|
Dua saudara laki-laki seibu
|
2
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
2.200 dinar
|
|
Nenek
|
1
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
2.200 dinar
|
|
Total
|
=
|
9.000 dinar
|
Bila seseorang wafat dan
meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta
yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12
kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu
mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8
bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu
dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh bagian karena
harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel
berikut:
12
|
13
|
|
Suami
|
¼
|
3
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
Dua anak perempuan
|
2/3
|
8
|
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan |
'ashabah
|
-
|
Jadi,
|
Suami
|
3
|
x
|
585:13 dinar
|
=
|
135 dinar
|
Ibu
|
2
|
x
|
585:13 dinar
|
=
|
90 dinar
|
|
Dua anak perempuan
|
8
|
x
|
585:13 dinar
|
=
|
360 dinar
|
|
Total
|
=
|
585 dinar
|
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu,
suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan
1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara
kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12
|
24
|
||
Cucu pr. ket. anak laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
4
|
Suami
|
1/4
|
3
|
6
|
Dua saudara kandung ('ashabah)
|
1
|
2
|
Cucu pr. ket. anak laki-laki
|
12
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
120 dinar
|
Ibu
|
4
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
40 dinar
|
Suami
|
6
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
60 dinar
|
Dua saudara kandung ('ashabah)
|
2
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
20 dinar
|
Total
|
=
|
240 dinar
|
Misal lain, seseorang wafat dan
meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah,
saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian),
cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak
kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang
lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:
6
|
||
Ibu
|
1/6
|
1
|
Cucu pr. ket. anak laki-laki
|
1/2
|
3
|
Dua saudara kandung pr.
('ashabah)
|
2
|
|
Saudara perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub) |
-
|
Masalah Dinariyah ash-Shughra
Ada dua masalah yang dikenal
oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra dan
ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh
ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima
satu dinar.
Contoh masalahnya, seseorang
wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek, delapan (8)
saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta
peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya
dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4
(berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian),
kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian),
sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian).
Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya
pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini
disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
12
|
17
|
||
Ke-3 istri
|
1/4
|
3
|
masing-masing 1 bagian = 1
dinar
|
Kedua nenek
|
1/6
|
2
|
masing-masing 1 bagian = 1
dinar
|
Ke-8 sdr. pr. seayah
|
2/3
|
8
|
masing-masing 1 bagian = 1
dinar
|
Ke-4 sdr. pr. seibu
|
1/3
|
4
|
masing-masing 1 bagian = 1
dinar
|
Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah ad-dinariyah
al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri dari
ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di
antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada
yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih
dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah
al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut:
misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua
belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan.
Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri
mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian),
kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian
merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung
perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian
|
Istri
|
3
|
x
|
600:24 dinar
|
=
|
75 dinar
|
Ibu
|
4
|
x
|
600:24 dinar
|
=
|
100 dinar
|
|
Kedua anak perempuan
|
16
|
x
|
600:24 dinar
|
=
|
400 dinar
|
|
Total
|
=
|
575 dinar
|
Sedangkan ke-12 saudara kandung
laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat sisanya, yakni 25
dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat
bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara
kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1)
dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:
25
|
|||
24
|
600
|
||
Istri
|
1/8
|
3
|
75
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
100
|
Kedua anak perempuan
|
2/3
|
16
|
100
|
12 saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah) |
1
|
24
1 |
Masalah ad-dinariyah al-kubra
ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan masalah
kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung
perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan
hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih
telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari
peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak
menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan, namun dengan
ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali
saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12
saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab,
"Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak
kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a.
memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil
dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.
IX. HUKUM MUNASAKHAT
A. Definisi Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa Arab
berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu
al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat
asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan
bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni
memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
"... Sesungguhnya Kami
telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua
sesuai dengan firman berikut:
"Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah:
106)
Adapun pengertian al-munasakhat
menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum
pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang
lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak
warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada
ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan
ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.
Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:
Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan
sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak
berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang
wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak
itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris
kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya
dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang
meninggal itu tidak ada dari awalnya.
Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris
dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka
terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri
yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri
kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal,
berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga
perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta
waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah
sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu
terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan
yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak.
Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki
terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang
perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya
akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut
oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.
Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris
pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima
waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam
hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian
bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.
B. Rincian Amaliah al-Munasakhat
Sebelum kita melakukan rincian
tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahulu harus melakokan
langkah-langkah berikut:
- Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.
- Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian pewaris kedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.
- Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama, dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam masalah kedua.
- Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap ketiga nisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah, dan al-mubayanah. Bila antara keduanya --yakni antara bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain-- ada mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah hanya dengan tashih yang pertama (lihat tabel).
Sebagai contoh, seseorang wafat
dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara kandung perempuan, dan
seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian salah seorang saudara kandung
perempuan itu meninggal. Berarti ia meninggalkan seorang saudara kandung
perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari tiga (3). Ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (2
bagian). Dan sisanya (satu bagian) merupakan hak para 'ashabah (yakni dua
saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki).
Kemudian kita lihat jumlah per
kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4 = 12. Kemudian angka ini kita
kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12 = 36. Bilangan inilah yang
kemudian menjadi pokok masalah hasil pentashihan. Jadi, pembagiannya seperti
berikut: ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (24 bagian), dan sisanya (12
bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung perempuan dan seorang saudara
kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian anak
perempuan, jadi setiap saudara kandung perempuan mendapat tiga (3) bagian, dan
saudara laki-laki kandung enam (6) bagian.
Kemudian, kita lihat antara
bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok masalahnya (juga dari 3) ada
kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini sama dengan hasil
pentashihan pada masalah yang pertama (yakni dari 36).
Kemudian, hak waris/bagian
saudara kandung perempuan yang meninggal (3 bagian) hanya dibagikan kepada ahli
waris, yaitu seorang saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung
laki-laki. Kemudian, hasil pembagian itu ditambahkan pada hasil bagian mereka
yang pertama. Maka, bagian saudara kandung perempuan menjadi empat (4): tiga
(3) bagian --yang diperolehnya dari masalah pertama-- ditambah dengan bagian
yang berasal dari saudara kandung perempuan yang meninggal, yaitu satu (1)
bagian (3 + 1 = 4).
Sedangkan saudara kandung
laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang kemudian ditambahkan dengan perolehannya
dari peninggalan pada masalah pertama, yaitu enam (6) bagian. Maka saudara
laki-laki kandung memperoleh delapan (8) bagian.
Adapun tiga anak perempuan
pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak mendapatkan hak waris,
disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakan pewaris kedua, yakni anak
perempuan dari saudara laki-laki pewaris kedua. Karena itu, mereka mahjub.
Berikut ini saya sertakan tabelnya:
Jumlah kepala
|
Tashih masalah ke I
|
al-Jami'ah
|
12
|
3
|
36
|
3
|
36
|
|
3
anak pr. 2/3
|
2
|
24
|
-
|
24
|
|
Sdr.
kandung pr.
|
3
|
Meninggal
|
-
|
-
|
|
Sdr.
kandung pr.
|
1
|
3
|
Sdr.
kandung pr.
|
1
|
3+1=4
|
Sdr.
kandung lk.
|
6
|
|
Sdr.
kandung lk.
|
2
|
6+2=8
|
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Kemudian cucu tersebut meninggal dengan meninggalkan suami, ibu, tiga anak
perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua puluh
empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu 1/6 (4 bagian), cucu
perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkan sisanya (lima
bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlah semuanya adalah
dua puluh empat (24) bagian.
Kemudian, kita lihat al-jami'ah
dalam masalah ini sama dengan pokok masalah pertama, yaitu dua puluh empat (24).
Hal ini karena kita dapati bagian pewaris kedua (cucu perempuan keturunan anak
laki-laki) dalam masalah pertama ada tamatsul (kesamaan) dengan pokok masalah
yang kedua. Dalam keadaan demikian, kaidah yang berlaku di kalangan ulama
faraid adalah kita menjadikan pokok masalah pertama sebagai al-jami'ah, yang
berarti bagian pewaris kedua hanya dibagikan kepada ahli warisnya. Oleh sebab
itu, kita tidak lagi membuat al-jami'ah yang baru, tetapi cukup menjadikan
al-jami'ah yang pertama itu berlaku pada masalah kedua. Berikut ini tabelnya:
Pokok
Masalah I
|
Pokok
Masalah II
|
al-Jami'ah
|
||
24
|
12
|
24
|
||
Istri 1/8
|
3
|
3
|
||
Ibu 1/6
|
4
|
-
|
4
|
|
Ayah ('ashabah)
|
5
|
-
|
5
|
|
Cucu pr. keturunan anak lk.
1/2
|
12
|
meninggal
|
-
|
|
Suami 1/4
|
3
|
3
|
Contoh yang memiliki kasus
al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan suami, ayah, ibu, dan dua anak
perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan,
ibu, istri, dan saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua belas
(12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15). Sedangkan pokok masalah yang
kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi tiga belas (13).
Suami mendapatkan seperempat
(1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan seperenam (1/6) berarti dua bagian,
begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam (1/6), berarti dua bagian.
Kemudian dua anak perempuan
mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8) bagian. Jumlahnya lima belas
(15) bagian.
Kemudian, antara masalah yang
pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah (perbedaan), karenanya kita
kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokok masalah yang kedua (yakni
13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195) merupakan al-jami'ah
(penyatuan) antara dua masalah.
Lalu kita tempatkan bagian pewaris
yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian) di atas pokok masalah kedua, dan
ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hak waris). Juz'us sahm ini
kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka akan
merupakan hasil bagian ahli waris dari al-jami'ah (penyatuan dari dua masalah).
Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah kedua ini, kita lihat hasil
perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3) dengan pokok
masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39 ini
merupakan jumlah bagian seluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel
berikut:
13
|
3
|
|||
12
|
15
|
12
|
13
|
39
|
Suami ¼
|
3
|
meninggal
|
-
|
-
|
Ayah 1/6
|
2
|
-
|
26
|
|
Ibu 1/6
|
2
|
-
|
26
|
|
2 anakperempuan (2/3)
|
8
|
-
|
104
|
|
Sdr. Kandung perempuan (2/3)
|
6
|
18
|
||
Ibu 1/6
|
2
|
6
|
||
Istri ¼
|
3
|
9
|
||
Sdr. laki-laki seibu 1/6
|
2
|
6
|
Catatan
Kemungkinan besar dapat pula
terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu. Misalnya, dalam suatu keadaan
pembagian waris salah seorang ahli warisnya wafat sebelum pembagian, kemudian
ada lagi yang meninggal, dan seterusnya. Maka jika terjadi hal seperti ini,
kita tetap harus menempuh cara seperti yang telah kita tempuh dalam
al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada posisi pertama, dan
tashih ketiga pada posisi kedua, dan seterusnya. Dan hasilnya dinamakan
al-jami'ah kedua, al-jami'ah ketiga, dan seterusnya.
Untuk menjelaskan hal ini perlu
kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk al-jami'ah yang lebih dari satu
ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan suami, saudara perempuan seibu, dan
paman kandung (saudara ayah). Kemudian suami wafat dan meninggalkan anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian
anak perempuan juga meninggal, dan meninggalkan nenek, dua saudara kandung
perempuan, dan dua saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabel berikut:
2
|
1
|
7
|
3
|
8
|
|||
6
|
6
|
12
|
6
|
7
|
84
|
||
Suami 1/2
|
3
|
meninggal
|
-
|
||||
Sdr.pr. seibu 1/6
|
1
|
2
|
14
|
||||
Paman ('ashabah)
|
2
|
4
|
28
|
||||
Anak
perempuan 1/2
|
3
|
3
|
meninggal
|
||||
Cucu pr. 1/6
|
1
|
1
|
-
|
7
|
|||
Ayah 1/6
|
1
|
1
|
-
|
7
|
|||
Ibu 1/6
|
1
|
1
|
-
|
7
|
|||
Nenek 1/6
|
1
|
3
|
|||||
2 sdr.
kandung pr. 2/3
|
4
|
12
|
|||||
2 sdr. lk.
saudara seibu 1/3
|
2
|
6
|
C. At-Takharuj min at-Tarikah
Yang dimaksud dengan at-takharuj
min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang
dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i). Dalam hal ini dia hanya
meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang
ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam
syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
Syariat Islam juga
memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris menyatakan diri tidak akan
mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan kepada ahli waris yang lain,
atau siapa saja yang ditunjuknya. Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan
diri dari hak warisnya".
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman
bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yang mempunyai empat orang istri. Ketika ia
wafat, salah seorang istrinya, Numadhir binti al-Asbagh, menyatakan bahwa
dirinya hanya akan mengambil hak waris sekadar seperempat dari seperdelapan
yang menjadi haknya. Jumlah yang diambilnya --sebagaimana disebutkan dalam
riwayat-- ialah seratus ribu dirham.
Tata Cara Pelaksanaannya
Apabila salah seorang ahli waris
ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau menyatakan hanya akan mengambil
sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua cara yang dapat menjadi
pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh ahli waris yang ada, dan
cara kedua, ia hanya memberitahukannya kepada salah seorang dari ahli waris
yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.
Cara pertama: kenalilah pokok
masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris yang mengundurkan diri,
sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada
ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada itulah pokok masalahnya.
Sebagai contoh, seseorang wafat
dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Kemudian sebagai misal,
pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp 42 juta. Kemudian istri
menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya
untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp 42 juta itu. Dalam keadaan
demikian, maka warisan harta tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan
ayah. Lalu jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang menjadi pokok masalahnya.
Rincian pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua puluh
empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil) hak istri, yakni seperdelapan dari dua
puluh empat, berarti tiga (3) saham. Lalu sisanya (yakni 24 - 3 = 21) merupakan
pokok masalah bagi hak ayah dan anak perempuan. Kemudian dari pokok masalah itu
dibagikan untuk hak ayah dan anak perempuan. Maka, hasilnya seperti berikut:
Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000
Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000
Bagian ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000
Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000
Cara kedua: apabila salah
seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan hakuya lalu memberikannya
kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka pembagiannya hanya dengan cara
melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada bagian
orang yang diberi. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang isteri,
seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Kemudian anak perempuan itu
menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah seorang dari saudara
laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya.
Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak
laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang
saudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Perhatikan tabel berikut:
Pokok masalah 8
|
Tashih
40
|
40
|
|
Isteri 1/8
|
1
|
5
|
5
|
Anak laki laki ('ashabah)
|
14
|
14
|
|
Anak laki laki ('ashabah)
|
7
|
14
|
14+14
|
Anak perempuan ('ashabah)
|
7
|
-
|
Maka, pokok masalahnya dari
delapan, dan setelah ditashih menjadi empat puluh. Istri mendapat seperdelapan
(1/8) berarti lima (5) bagian, dan bagian setiap anak laki-laki empat belas
(14) bagian, dan sisanya --yakni tujuh bagian-- adalah bagian anak perempuan.
Kemudian, hak anak perempuan itu diberikan kepada salah seorang saudara
laki-lakinya yang ia tunjuk sebelumnya.
X. HAK WARIS DZAWIL ARHAM
A. Definisi Dzawil Arham
Arham adalah bentuk jamak dari
kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat
pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi
'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian
ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka.
Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat',
baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman:
"... Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)
"Maka apakah kiranya jika
kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan?" (Muhammad: 22)
Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa yang
berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya, maka
hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Adapun lafazh dzawil arham yang
dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai
bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan
pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang
bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham
adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka
tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah.
Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki
ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak
perempuan, dan sebagainya.
B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham
Para imam mujtahid berbeda
pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini
ada dua pendapat:
Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat
tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta
waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika
itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan
masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta
tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat
demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat
darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak
mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima
harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham
adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab
mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan
untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur
ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga
merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
Adapun dalil yang dijadikan
landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah:
1. Asal pemberian hak waris atau
asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan qath'i dari
Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan
kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila
kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan
hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat
Islam adalah batil.
2. Rasulullah saw. ketika
ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu-- beliau
saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa
dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."
Memang sangat jelas betapa
dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu
dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima
harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak
dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi
tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah
tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik
pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para
bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain.
3. Harta peninggalan, bila
ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari ashhabul
furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat
mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan
kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan
dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang
merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa
kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas
dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang
tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.
Adapun golongan kedua, yakni
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para
kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
Makna yang mendasar dari dalil
ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam
Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak
waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah
umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek
kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih
umumnya hubungan darah.
Ayat tersebut seolah-olah
menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul furudh,
para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk
menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat
dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu
kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah
maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang
baitulmal.
Hal ini juga berdasarkan
firman-Nya yang lain:
"Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)
Melalui ayat ini Allah SWT
menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan
yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang
disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah
para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima
warisan.
Kemudian sebagaimana dinyatakan
oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada
awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan
menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi
hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah
yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.
Adapun dalil dari Sunnah
Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur, dalam
riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka
Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui
nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal
sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya
anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.
Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu
Lubabah bin Abdul Mundzir.
Keponakan laki-laki dari anak
saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari
ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah
saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti
bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak
mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah.
Dalam suatu atsar diriwayatkan
dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan
persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah
meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal
tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya.
Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk
memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku
telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara laki-laki ibu)
berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat
yang berhak untuk menerimanya."
Atsar ini --yang di dalamnya
Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil yang kuat
bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang
baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan
pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya,
maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul
Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin
Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti
yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.
Adapun dalil logikanya seperti
berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta
warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris
hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang muslim.
Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.
Oleh sebab itu, ikatan dari dua
arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah.
Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki
dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang
dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab,
ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya
dari ayah.
Di samping itu, kelompok kedua
(jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i
bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau,
mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris
ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas --jika melihat
konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw. tentang hak
waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya.
Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan.
Setelah membandingkan kedua
pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok
kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat
mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka
kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika
dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh, kelompok pertama
berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat, sementara di sisi
lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di
antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil
dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta
baitulmal.
Maka muncul pertanyaan,
dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita sekarang
ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah
lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh
Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan memporakporandakan
barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi
negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang
digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di
kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam."
Melihat kenyataan demikian, para
ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan fatwa dengan
mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga
Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi
penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama
tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan pemberian harta
waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat tentunya
dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir
abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.
C. Cara Pembagian Waris Para Kerabat
Di antara fuqaha terjadi
perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat,
dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak
waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat
waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan
perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara
perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka
dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan
atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan
sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau
membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal
pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan
seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu
haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan
dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam
mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah
sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin
ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut
ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan
pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang
ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul
furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli
waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni
pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat
para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman
tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:
- Bila seseorang wafat dan
meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki
keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan
saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan
meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara
laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak
perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan
mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak
mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini
sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub. - Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan
perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan
keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara
perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara
laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan
keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian,
keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan
laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6)
bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga
mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian
dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman
kandung. Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6
Begitulah cara pembagiannya,
yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada
pewaris.
Adapun yang dijadikan dalil oleh
mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada
Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara
perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada
ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per
tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak
ibu).
Selain itu, juga berlandaskan
fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris
seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan
keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud
memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya
untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits
Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa
kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang yang
memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan
hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada
nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian
mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu,
dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan
posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab,
rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan.
Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan
menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada
pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.
3. Menurut Ahlul Qarabah
Adapun mazhab ketiga menyatakan
bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan
mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan
mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka
(para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan
kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan,
dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya
secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah,
yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris,
kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu,
pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki
adalah dua kali bagian wanita.
Mazhab ini merupakan pendapat
Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.
Di samping itu, mazhab ketiga
ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan,
kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya.
Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan
hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:
- Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.
- Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
- Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
- Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris.
Yang bernisbat kepada pewaris
sebagai berikut:
- Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
- Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
Yang dinisbati oleh pewaris:
- Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
- Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat kepada kedua
orang tua pewaris:
- Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
- Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
- Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
Yang bernisbat kepada kedua
kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
- Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
- Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya.
- Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
- Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.
- Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.
- Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya.
Itulah keenam kelompok yang
bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.
Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
Dari uraian-uraian sebelumnya,
ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab
ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
- Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
- Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah
Telah saya kemukakan bahwa ahlul
qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan
mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang
pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan
seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya.
Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila
mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika
tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti
anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan
urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal
disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.
D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham
- Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
- Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka para 'ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para shahibul fardh.
Namun, apabila shahibul fardh
hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya
secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab kedudukan hak
suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham. Dengan
demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.
Beberapa Catatan Penting:
Apabila dzawil arham (baik
laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan
menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu
dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaaan
dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:
a.
Mengutamakan dekatnya kekerabatan.
Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari keturunan anak
perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang
didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.
- Apabila
ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih berhak
untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat shahibul
fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan
anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki.
Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan melalui dzawil arham. - Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara kandung laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari saudara laki-laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
- Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi kekerabatan.
Catatan lain
Di antara persoalan yang perlu
saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian hak waris terhadap para
dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian perempuan, seperti
halnya dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham itu keturunan
saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
Penutup
Itulah sekelumit mengenai hak
waris para dzawil arham menurut mazhab ahlul qarabah yang merupakan mazhab imam
Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama mazhab Hanafi. Pendapat ini banyak
diterapkan di sebagian negara Arab dan negara Islam lainnya.
Sebenamya, di kalangan ulama
mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang cara pembagian masing-masing
kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan Imam Muhammad (keduanya murid
dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun, saya tidak mengemukakannya di sini
sebab akan bertele-tele dan menjenuhkan. Oleh karenanya, bagi yang menghendaki
pengetahuan lebih luas dalam masalah ini dapat merujuknya pada kitab-kitab
fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak diamalkan adalah pandangan
mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian dianut oleh ulama
muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segi pengamalannya memang
lebih mudah.
XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL
A. Definisi Banci
Pengertian al-khuntsa (banci)
dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'.
Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan
seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya
dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Allah SWT melaknat
laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki."
Adapun makna khanatsa menurut
para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin
wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali.
Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya
tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang
jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan.
Kejelasan jenis kelamin
seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta
waris sesuai bagiannya.
Oleh karena itu, adanya dua
jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada-- -disebut
sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan,
kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya
dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya
keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris
sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina,
ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun,
bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara
berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan
tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Di samping melalui cara
tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau
mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan
perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan
mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh
payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda
tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.
Dikisahkan bahwa Amir bin
adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika
ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita
melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai
laki-laki dan perempuan.
Mendengar jawaban yang kurang
memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis
tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena
memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir
dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya.
Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak
wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara
melihat dari mana keluar air seninya."
Amir merasa puas dengan gagasan
tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang
telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya
air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar
dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima
secara aklamasi.
Ketika Islam datang,
dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa
Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan
demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat
keluarnya air seni."
B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga pendapat yang masyhur
di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
- Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
- Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.
- Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.
C. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
Untuk banci --menurut pendapat
yang paling rajih-- hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling
sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan
sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya
dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu
di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya
berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak banci dengan
bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar--
yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris
yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai
laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki.
Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan
haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam
Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya
dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai
laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.
Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci
1. Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan seorang anak
banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pokok
masalahnya dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (al-jami'ah) antara dua
masalah, seperti dalam masalah al-munasakhat. Bagian anak laki-laki adalah
delapan (8), sedangkan bagian anak perempuan empat (4), dan bagian anak banci
lima (5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita bekukan untuk sementara hingga
keadaannya secara nyata telah terbukti.
2. Seseorang wafat meninggalkan
seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci. Pokok masalahnya dari enam (6)
bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, kemudian di-'aul-kan menjadi
delapan (8). Sedangkan bila sang banci dianggap sebagai laki-laki, maka pokok
masalahnya dari enam (6) tanpa harus di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah (penyatuan)
dari keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat (24).
Sedangkan pembagiannya seperti
berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian, saudara laki-laki
banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita bekukan. Inilah tabelnya:
6
|
8
|
|
6
|
24
|
Suami 1/2
|
3
|
Suami 1/2
|
3
|
9
|
Ibu 1/3
|
2
|
Ibu 1/3
|
2
|
6
|
Banci
|
3
|
Banci kandung
|
1
|
4
|
Pada tabel tersebut sisa harta
yang ada yaitu lima (5) bagian dibekukan sementara, dan akan dibagikan kembali
ketika keadaan yang sebenamya telah benar-benar jelas.
3. Seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah
banci. Maka pembagiannya seperti berikut:
Bila banci ini dikategorikan
sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua (2), sedangkan bila dikategorikan
sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari tujuh (7), dan penyatuan dari keduanya
menjadi empat belas (14).
Bagian suami enam (6), saudara
kandung perempuan enam (6) bagian, sedangkan yang banci tidak diberikan haknya.
Adapun sisanya, yakni dua (2) bagian dibekukan. Ini tabelnya:
|
2
|
6
|
7
|
14
|
Suami 1/2
|
1
|
Suami 1/2
|
3
|
6
|
Sdr. kdg. pr. 1/2
|
1
|
Sdr. kdg. pr. 1/2
|
3
|
6
|
Banci lk.
|
-
|
Sdr. pr. seayah 1/6
|
1
|
-
|
D. Definisi Hamil
Al-hamlu (hamil) dalam bahasa
Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat. Dikatakan:
"al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita itu
hamil apabila ia sedang mengandung janin).
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Kami perintahkan kepada
manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya
dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula) ..." (al-Ahqaf:
15)
Sedangkan menurut istilah
fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki maupun
perempuan.
Dalam masalah hamil ini ada
beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, dan pada kesempatan ini saya
hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allah saya memohon pertolongan.
Pada pembahasan sebelumnya
--tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah saya kemukakan bahwa salah
satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup)
ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan
ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat
diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau
tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi tersebut
lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan
hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati,
maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat.
Secara ringkas dapat dikatakan,
selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti keadaannya, maka
mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang harus diterimanya.
Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu
lahir.
Namun demikian, tidak tertutup
kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat --menyangkut kemaslahatan
sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuk segera membagi harta warisan
dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli
waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para
pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci dengan menyertakan
berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.
E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak
menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
- Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
- Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud
dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dari dalam
kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam
kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan
menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam
falkah mighzal."
Pernyataan Aisyah r.a. tersebut
dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw.. Pernyataan ini
merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki
berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat
inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para
ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua
dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda
kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut
menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut
mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi
tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i
dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup
bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan.
Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka
tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi yang baru
keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan
berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar
dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup
tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak
stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
F. Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin
dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
- Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
- Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
- Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
- Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
- Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.
Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada
dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung, tanpa harus menunggu
kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak
termasuk ahli waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat
dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris.
Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam
keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris.
Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri seperempat (1/4),
ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya menjadi
bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).
Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada
dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang
dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya
dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak
warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk
dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli
waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang wafat
dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang sedang
hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut:
istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan
hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak
laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang dibekukan
tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan
saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan
paman kandung.
Namun, apabila yang lahir anak
perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab
keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk
dzawil arham.
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah yang
sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut
melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam
keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari
harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi
tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal
ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6)
di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian
masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam
kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan
menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta
waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada.
Tabelnya seperti berikut:
|
6
|
9
|
Suami 1/2
|
|
3
|
Ibu 1/6
|
|
1
|
3 sdr. pr. seibu 1/3
|
|
1
|
Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2
|
|
1
|
Sisanya tiga (3), untuk
sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.
Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam
kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya --hanya saja hak waris
yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan)-- maka dalam
keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk
janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk
kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian daripada bayi
perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan
bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya
kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang
ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang wafat
dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan
demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya
sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam
(1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya
merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.
Agar keadaan ketiga ini lebih
jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam dua kategori (laki-laki dan
perempuan).
24
|
24
|
24
|
||
Istri 1/8
|
3
|
Istri 1/8
|
3
|
3
|
Ayah 1/6
|
4
|
Ayah 'ashabah
|
5
|
4
|
Ibu 1/6
|
4
|
Ibu 1/6
|
4
|
4
|
Janin lk. sbg. 'ashabah
|
13
|
Janin pr. 1/2
|
12
|
12
|
Sisanya satu (1), dibekukan.
Bila bagian janin dalam
kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita
sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada
secara sempurna.
Sebagai misal, seseorang wafat
dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu
yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari
rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki
ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau
saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan
tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai
laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.
6
|
6
|
||
Sdr. kdg. pr. 1/2
|
3
|
Sdr. kdg. pr. 1/2
|
3
|
Sdr. pr. seayah 1/6
|
1
|
Sdr. pr. seayah 1/6
|
1
|
Ibu (hamil) 1/6
|
1
|
Ibu
|
1
|
(Janin) sdr. seibu 1/6
|
1
|
(Janin) sdr. seibu 1/6
|
1
|
Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris
lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi
mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita
tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut.
Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak
warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada
akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat
dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan anak
laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam
kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau
perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris
yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti
kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan
begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai
'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian separo (1/2)
harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd)
bila ternyata tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian
istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat bagian
bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut
perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah
(1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung laki-laki sebagai
'ashabah.
XII HAK WARIS ORANG YANG HILANG, TENGGELAM, DAN TERTIMBUN
A. Definisi
Al-mafqud dalam bahasa Arab
secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu asy-syai'a idzaa adha'tuhu
(saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu itu berada). Kita juga
bisa simak firman Allah SWT berikut:
"Penyeru-penyeru itu
berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya." (Yusuf: 72)
Sedangkan menurut istilah para
fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak
diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.
Hukum Orang yang Hilang
Para fuqaha telah menetapkan
beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang/menghilang, di
antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh
diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar
diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau
telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum -- telah mati,
dan hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.
Kadang-kadang bisa juga
ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga
benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang
demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang
suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah
seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal
untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian
suaminya."
B. Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati
Ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam masalah ini terutama para ulama dari mazhab yang empat.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
orang yang hilang dan tidak dikenal rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang
yang sudah mati dengan melihat orang yang sebaya di wilayahnya --tempat dia
tinggal. Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia
dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari
Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah sembilan pulah tahun (90).
Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh tahun (70). Hal ini didasarkan
pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw.
antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.
Dalam riwayat lain, dari Imam
Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam --hingga
tidak dikenal rimbanya-- dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna
mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapat mengenali
keberadaannya atau mendapatkan informasi secara jelas melalui sarana dan
prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang
hakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk menunggu.
Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan
atau dikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana
lazimaya istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.
Bila usai masa idahuya, maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi.
Sedangkan dalam mazhab Syafi'i
dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah sembilan puluh tahun,
yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebaya di wilayahnya. Namun,
pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'i ialah bahwa batas
waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup
dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya sebagai
orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakim hendaknya
berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagi dikenal
rimbanya sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu
--kebanyakan orang tidak hidup melebihi waktu tersebut.
Sementara itu, mazhab Hambali
berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan
kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau menjadi salah seorang
penumpang kapal yang tenggelam-- maka hendaknya dicari kejelasannya selama
empat tahun. Apabila setelah empat tahun belum juga diketemukan atau belum
diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya.
Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia boleh menikah
lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai.
Namun, apabila hilangnya orang
itu bukan dalam kemungkinan meninggal, seperti pergi untuk berniaga, melancong,
atau untuk menuntut ilmu, maka Imam Ahmad dalam hal ini memiliki dua pendapat.
Pertama, menunggu sampai diperkirakan umurnya mencapai sembilan puluh tahun
Sebab sebagian besar umur manusia tidak mencapai atau tidak melebihi sembilan
puluh tahun. Kedua, menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad hakim. Kapan saja
hakim memvonisnya, maka itulah yang berlaku.
Menurut hemat penulis, pendapat
mazhab Hambali dalam hal ini lebih rajih (lebih tepat), dan pendapat inilah
yang dipilih az-Zaila'i (ulama mazhab Hanafi) dan disepakati oleh banyak ulama
lainnya. Sebab, memang tidak tepat jika hal ini hanya disandarkan pada batas
waktu tertentu, dengan alasan berbedanya keadaan wilayah dan personel.
Misalnya, orang yang hilang pada saat peperangan dan pertempuran, atau banyak
perampok dan penjahat, akan berbeda halnya dengan orang yang hilang bukan dalam
keadaan yang demikian. Karena itu, dalam hal ini ijtihad dan usaha seorang
hakim sangat berperan guna mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yang dapat
menuntunnya kepada vonis: masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapat yang
lebih mendekatkan kepada wujud kemaslahatan.
C. Hak Waris Orang Hilang
Apabila seseorang wafat dan
mempunyai ahli waris, dan di antara ahli warisnya ada yang hilang tidak dikenal
rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
- Ahli waris yang hilang sebagai hajib hirman bagi ahli waris yang lain.
- Bukan sebagai hajib (penghalang) bagi ahli waris yang ada, tetapi bahkan sama berhak mendapat waris sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni termasuk ashhabul fardh)
Pada keadaan pertama: seluruh
harta warisan peninggalan pewaris dibekukan --tidak diberikan kepada ahli
waris-- untuk sementara hingga ahli waris yang hilang muncul atau diketahui
tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang
berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun, bila
ternyata hakim telah memvonisnya sebagai orang yang telah mati, maka harta
waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masing
mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya.
Sebagai contoh, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang saudara kandung laki-laki, saudara kandung perempuan,
dan anak laki-laki yang hilang. Posisi anak laki-laki dalam hal ini sebagai
"penghalang" atau hajib hirman apabila masih hidup. Karena itu,
seluruh harta waris yang ada untuk sementara dibekukan hingga anak laki-laki
yang hilang telah muncul. Dan bila ternyata telah divonis oleh hakim sebagai
orang yang telah meninggal, maka barulah harta waris tadi dibagikan untuk ahli
waris yang ada.
Misal lain, seseorang wafat dan
meninggalkan saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, dan dua
saudara perempuan seayah. Posisi saudara kandung bila masih hidup adalah
sebagai haiib bagi seluruh ahli waris yang ada. Karenanya untuk sementara harta
waris yang ada dibekukan hingga hakikat keberadaannya nyata dengan jelas.
Sedangkan pada keadaan kedua,
ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara
dua keadaan orang yang hilang (sebagai ahli waris yang hidup atau yang mati,
atau mirip dengan pembagian hak waris banci). Maksudnya, bila ahli waris yang
ada --siapa saja di antara mereka-- yang dalam dua keadaan orang yang hilang
tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara sempurna
(tanpa dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa ada yang dibekukan). Namun, bagi
ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris
yang hilang tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka diberi lebih
sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak
untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya
tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
Sebagai contoh, seseorang wafat
dan maninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki seayah, dan saudara kandung
laki-laki yang hilang. Dalam keadaan demikian, bagian istri adalah seperempat
(1/4), ibu seperenam (1/6), dan sisanya (yakni yang seperenam) lagi untuk
sementara dibekukan hingga ahli waris yang hilang telah nyata benar keadaannya,
atau telah divonis sebagai orang yang sudah meninggal. Sedangkan saudara
laki-laki yang sesyah tidak mendapat hak waris apa pun.
Dalam contoh tersebut, tampak
ada penyatuan antara ahli waris yang tidak berbeda bagian warisnya dalam dua
keadaan orang yang hilang --yaitu bagian istri seperempat (1/4)--dengan ahli
waris yang berbeda hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang
tadi, yaitu bagian ibu seperenam (1/6). Sebab bila ahli waris yang hilang tadi
telah divonis hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka ibu akan mendapat
bagian sepertiga (1/3).
Contoh-contoh Kasus
Seseorang wafat dan meninggalkan
suami, saudara kandung perempuan, dan saudara kandung laki-laki yang hilang,
maka pembagiannya sebagai berikut:
Dalam hal ini kita harus memboat
dua cara pembagian, yang pertama dalam kategori orang yang hilang tadi masih
hidup, dan yang kedua dalam kategori sudah meninggal. Kemudian kita menggunakan
cara al-jami'ah (menyatukan) kedua cara tadi. Dari sinilah kita keluarkan hak
waris masing-masing, kemudian membekukan sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
4
|
7
|
8
|
||||
Anggapan msh. hdp.
|
2
|
8
|
Anggapan sdh. Mati
|
6
|
7
|
56
|
Suami 1/2
|
1
|
4
|
Suami ½
|
3
|
24
|
|
yang dibekukan 4
|
Sdr. kdg. pr
|
1
|
Sdr. kdg. Pr
|
2
|
16
|
|
yang dibekukan 9
|
|
|
|
2/3
|
|
|
|
Sdr. kdg. pr
|
1
|
1
|
Sdr. kdg. Pr
|
2
|
16
|
|
yang dibekukan 9
|
Sdr. kdg. lk. hlg
|
1
|
Sdr. kdg. lk. Hlg
|
-
|
-
|
|
Misal lain: seseorang wafat dan
meninggalkan istri, ibu, saudara kandung, dan cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki, maka bagian masing-masing ahli waris itu seperti berikut:
1
|
2
|
|||
Anggapan msh. hdp.
|
24
|
Anggapan sdh. Mati
|
12
|
24
|
Istri 1/8
|
3
|
Istri ¼
|
3
|
6
|
yang dibekukan 3
|
Ibu 1/6
|
4
|
Ibu 1/3
|
4
|
8
|
yang dibekukan 4
|
Sdr. lk. mahjub
|
-
|
Sdr.lk.kdg.'ashabah
|
5
|
10
|
yang dibekukan 10
|
Cucu lk. (hilang)
|
17
|
Cucu lk. (hilang)
|
Jumlah yang dibekukan 17
|
Contoh lain, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan, dan anak laki-laki yang hilang, maka bagian masing-masing seperti
berikut:
Anggapan msh. hdp.
|
4
|
Anggapan sdh. Mati
|
4
|
4
|
Suami 1/4
|
1
|
Suami ¼
|
1
|
1
|
Cucu pr.dr.anak.lk. (mahjub)
|
-
|
Cucu pr.dr.anak.lk. ½
|
2
|
2
|
yang dibekukan 2
|
Sdr.kdg.pr. (mahjub)
|
-
|
Sdr.kdg.pr. 'ashabah
|
1
|
1
|
yang dibekukan 1
|
Anak lk. (hilang)
|
3
|
Anak lk. (hilang)
|
-
|
-
|
Contoh lain: seseorang wafat dan
meninggalkan istri, saudara laki-laki seibu, anak paman kandung (sepupu), dan
cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka rincian pembagiannya seperti
berikut:
Anggapan msh. hdp.
|
8
|
Anggapan sdh. Mati
|
12
|
24
|
Istri 1/8
|
1
|
Istri ¼
|
3
|
6
|
yang dibekukan 3
|
Sdr.lk.seibu (mahjub)
|
-
|
Sdr.lk. seibu 1/6
|
2
|
4
|
yang dibekukan 4
|
Sepupu. lk. 'ashabah
|
3
|
Sepupu. lk. 'ashabah
|
7
|
14
|
yang dibekukan 5
|
Cucu pr. (hilang)
|
4
|
Cucu pr. (hilang)
|
-
|
-
|
yang dibekukan 12
|
Demikianlah beberapa contoh
tentang hak waris yang di antara ahli warisnya ada yang hilang atau belum
diketahui keadaannya.
D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Betapa banyak kejadian dan
musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit
di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan
musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali
membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian manusia
berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam
menghadapinya.
Hanya orang-orang mukmin yang
ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan cobaan, karena
mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh pada
salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa
mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka --jika
menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita berasal
dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".
Begitulah kehidupan dunia yang
selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan merasa lapang dada,
tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karenanya tidak ada
sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri kepada-Nya.
Perhatikan firman Allah SWT berikut:
"... Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.'"
(al-Baqarah: 155-156)
Bukan sesuatu yang mustahil jika
dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergian bersama-sama menggunakan
pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalami kecelakaan. Atau mungkin saja
terjadi bencana alam yang mengakibatkan rumah yang mereka huni runtuh, sehingga
sebagian anggota keluarga mereka menjadi korban. Maka jika di antara mereka ada
yang mempunyai keturunan, tentulah akan muncul persoalan dalam kaitannya dengan
kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan pemberian hak waris kepada
masingmasing ahli waris?
Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Kaidah yang berlaku dalam
pembagian hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan menentukan
mana di antara mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah
diketahui dengan pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan
memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua
(yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi
berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.
Sebagai contoh, apabila dua
orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal
seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka
yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup
yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut
ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli
waris pada saat kematian pewaris.
Sedangkan jika keduanya
sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara
keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang
telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidak ada hak
saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan,
dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta
yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."
Hal demikian, menurut para
ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan
hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli
waris dari kerabat yang masih hidup.
Sebagai contoh, dua orang
bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu meninggalkan istri, anak
perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan yang satunya lagi
meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki paman kandung (sepupu yang
pertama disebutkan). Maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat
seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama setengah (1/2), dan
sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.
Adapun bagian kedua anak
perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya merupakan
bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.
Misal lain, suami-istri
meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-laki. Suami-istri itu
masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernah mempunyai anak
laki-laki dari suaminya yang dahulu, begitupun sang suami telah mempunyai istri
lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
Harta istri yang meninggal untuk
anaknya, sedangkan harta suami yang meninggal seperdelapannya (1/8) merupakan
bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanya adalah untuk anak laki-lakinya
dari istri yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketiga anak laki-laki,
seperenamnya (1/6) diberikan atau merupakan bagian saudara laki-laki mereka
yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-lakinya yang seayah
dengan mereka.
Pembahasan tentang hak
waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atau tertimbun reruntuhan
atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini. Semoga apa yang
saya lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntut ilmu faraid,
amin. Allahlah yang memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan saya akhiri
pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb semesta alam.
No comments:
Post a Comment