I.
KERAJAAN KUTAI
1. Lokasi Kerajaan
Berdasarkan
sumber-sumber berita yang berhasil ditemukan menunjukkan bahwa kerajaan Kutai
terletak di Kalimantan Timur, yaitu di hulu sungai Mahakam. Nama kerajaan ini
disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuan prasati, yaitu di daerah Kutai.
Sumber menyatakan
bahawa di Kalimantan Timur telah berdiri dan berkembang kerajaan yang mendapat
pengaruh Hindu (India) adalah beberapa dari penemuan peninggalan berupa tulisan
(prasasti). Tulisan itu berhasil ditemukan terdapat pada tujuh buah tiang batu
yang disebut dengan nama Yupa. Tulisan yang terbuat pada Yupa itu mempergunakan
huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.
2. Kehidupan Politik
Raja-raja yang
berhasil diketahui pernah memerintah kerajaan Kutai adalah sebagai berikut.
- Raja Kudungga, merupakan raja pertama yang berkuasa di kerajaan Kutai. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah seorang kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan menganggap dirinya menjadi raja, sehingga pergantian raja dilakukan secara turun temurun.
- Raja Aswawarman, prasasti Yupa menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan seorang raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan upacara Aswamedha. Upacara-upacara ini pernah dilaksanakan di India pada masa pemerintahan Raja Samudragupta, ketika ingin memperluas wilayahnya.
- Raja Mulawarman, adalah putra dari Raja Aswawarman. Ia adalah raja terbesar dari kerajaan Kutai. Di bawah pemerintahannya kerajaan Kutai mengalami masa yang gemilang. Rakyat hidup tentram dan sejahtera. Dengan keadaan seperti itulah akhirnya raja Mulawarman mengadakan upaca kurban emas yang amat banyak.
Berikut adalah nama raja-raja kutai :
1.
Maharaja Kudungga
2.
Maharaja Asmawarman
3.
Maharaja Irwansyah
4.
Maharaja Sri Aswawarman
5.
Maharaja Marawijaya Warman
6.
Maharaja Gajayana Warman
7.
Maharaja Tungga Warman
8.
Maharaja Jayanaga Warman
9.
Maharaja Nalasinga Warman
10.
Maharaja Nala Parana Tungga
3. Kehidupan Sosial
Berdasarkan isi prasasti-prasasti Kutai dapat diketahui bahwa pada abad ke-4 M
di daerah Kutai terdapat suatu masyarakat Indonesia yang telah banyak menerima
pengaruh Hindu. Masyarakat tersebut telah dapat mendirikan suatu kerajaan yang
teratur rapi menurut pola pemerintahan di India. Masyarakat Indonesia menerima
unsur-unsur yang datang dari luar (India) dan mengembangkannya sesuai dengan
tradisi bangsa Indonesia sendiri.
4. Kehidupan Ekonomi
Dilihat dari letaknya, Kutai sangat strategis, terletak pada jalur aktifitas
pelayaran dan perdagangan antara dunia barat dan dunia timur. Secara langsung
maupun tidak langsung besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Kutai,
terutama dalam bidang perekonomian masyarakatnya, dimana perdagangan juga
dijadikan mata pencaharian utama saat itu.
5. Kehidupan Budaya
Salah satu yupa menyebutkan suatu tempat suci dengan kata Vaprakecvara, yang
artinya sebuah lapangan luas tempat pemujaan. Vaprakecvara itu dihubungkan
dengan Dewa Siwa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa masyarakat Kuta
memeluk agama Siwa. Hal ini didukung oleh beberapa faktor berikut.
- Besarnya pengaruh kerajaan Pallawa yang beragama Siwa menyebabkan agama Siwa terkenal di Kutai.
- Pentingnya peranan para Brahmana di Kutai menunjukkan besarnya pengaruh Brahmana dalam agama Siwa terutama mengenai upacara korban.
II.
KERAJAAN TARUMANEGARA
1. Lokasi Kerajaan
Berdasarkan
penemuan dari beberapa prasasti tentang kerajaan Tarumanegara, maka letak
kerajaan itu adalah di wilayah Jawa Barat, dengan pusat kerajaan diperkirakan
terletak di sekitar daerah Bogor sekarang.
Adapun wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanegara meliputi daerah Banten, jakarta
sampai ke perbatasan Cirebon, sehingga dapat ditafsirkan bahwa pada masa
pemerintahan Raja Purnawarman wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanegara hampir
menguasai seluruh wilayah Jawa Barat.
2. Kehidupan Politik
Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan
rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti tugu yang menyatakan bahwa Raja
Purnawarman telah memerintahkan untuk menggali sebuah kali. Penggalian sebuah
kali ini sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini berarti pembuatan
saluran irigasi untuk memperlancar pengairan sawah-sawah pertanian rakyat.
Dengan upaya itu, Raja Purnawarman dipandang sebagai raja besar yang
memperhatikan kehidupan rakyatnya.
Penjelasan tentang
Tarumanagara cukup jelas di Naskah
Wangsakerta. Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon
itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian
digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman
dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Maharaja
Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun
ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu
Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.
Prasasti Pasir
Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda
itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara
adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa,
parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa
pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah
yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas
kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman
melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru
Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang
pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan
pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti
mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana?
Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat
penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber
prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman
berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan
bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara,
parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan
Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau
Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang
Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang
dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti
Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M,
merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah
kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah
bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura
atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun
150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja
Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat
pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah
status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah
menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di
India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja
Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak
hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih
banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga
mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya,
Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah
Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal
bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan
Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika
cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara
sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669,
Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa.
Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih
menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi
isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis,
tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya,
yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan
Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena
Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri,
yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan
Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan
untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
Berikut adalah raja-raja Tarumanegara menurut
Naskah Wangsakerta :
No
|
Raja
|
Masa pemerintahan
|
1
|
||
2
|
||
3
|
||
4
|
||
5
|
||
6
|
||
7
|
||
8
|
||
9
|
||
10
|
||
11
|
||
12
|
3. Kehidupan Sosial
Pada parasasti Ciaruteun disebutkan bahwa telapak kaki Raja Purnawarman
disamakan dengan telapak kaki Dewa Wisnu, di mana Dewa Wisnu dipandang sebaga
dewa pelindung dunia. Jadi, Raja Purnawarman adalah seorang raja yang terus
berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya.
4. Kehidupan Ekonomi
Pada prasasti Tugu dinyatakan, bahwa Raja Purnawarman memerintahkan untuk
membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak. Pembangunan terusan ini mempunyai
arti ekonomis yang besar bagi masyarakat, karena dapat dipergunakan sebagai
sarana pencegah banjir dan sarana lalu lintas pelayaran perdagangan antar
daerah di Kerajaan Tarumanegara atau dengan dunia luar.
5. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah Tarumanegara berasal dari berita asing dan
prasasti-prasasti sebagai berikut.
- Berita Cina, berita dinasti T'ang menyebutkan bahwa seorang pendeta Cina yang bernama Fa-Hien terdampar di Pulau jawa (414 M) ketika ia hendak kembali dari India ke negerinya di Cina. Dalam catatan perjalanannya, ia menyebutkan bahwa di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat telah ditemukan masyrakat yang mendapat pengaruh Hindu India. Masyarakat yang ditemukan itu diperkirakan menjadi bagian dari masyrakat kerajaan Tarumanegara.
- Prasasti-prasasti, diantaranya: Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor), Prasasti Kebon Kopi (Bogor), Prasasti Jambu (Bogor), Prasasti Muara Cianten (Bogor), Prasasti Tugu (daerah Tugu, Jakarta Utara), Prasasti Awi (Leuwiliang), Prasasti Munjul (Banten).
Prasasti Tugu
|
Setiap prasasti itu memuat tentang keberadaan kerajaan Tarumanegara
dengan rajanya yang memerintah bernama Purnawarman. Misalnya, tulisan yang
terdapat prasasti Ciaruteun (yang juga dikenal dengan sebutan Batutulis) itu
berbunyi:
“ Vikrantasya Vanipateh,
Crimateh Purnawarmanah Tarumanegarandrasa, Visnor iwa padadvayam.”
Artinya:
"Kedua buah tapak kaki yang seperti tapak kaki Dewa Wisnu
adalah tapak kaki dari Raja Purnawarman, raja dari negeri Taruma, raja yang
gagah berani."
Bahasa pada prasasti itu adalah Bahasa Sansekerta dengan huruf
Pallawa. Dari perbandingan melalui huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan di
India, maka parasasti-prasasti tersebut diperkirakan ditulis pada abad ke-5 M.
6. Kepurbakalaan masa
Tarumanegara.
Candi
Jiwa di situs Percandian Batujaya
Berikut
peninggalan kerajaan Tarumanegara.
No.
|
Nama Situs
|
Artepak
|
Keterangan
|
1
|
Kampung Muara
|
Menhir (3)
|
|
|
|
Batu dakon (2)
|
|
|
|
Arca batu tidak berkepala
|
|
|
|
Struktur Batu kali
|
|
|
|
Kuburan (tua)
|
|
2
|
Ciampea
|
Arca gajah (batu)
|
Rusak berat
|
3
|
Gunung Cibodas
|
Arca
|
Terbuat dari batu kapur
|
|
|
3 arca duduk
|
|
|
|
arca raksasa
|
|
|
|
arca (?)
|
Fragmen
|
|
|
Arca dewa
|
|
|
|
Arca dwarapala
|
|
|
|
Arca brahma
|
Duduk diatas angsa
(Wahana Hamsa) dilengkapi padmasana |
|
|
Arca (berdiri)
|
Fragmen kaki dan lapik
|
|
|
(Kartikeya?)
|
|
|
|
Arca singa (perunggu)
|
Mus.Nas.no.771
|
4
|
Tanjung Barat
|
Arca siwa (duduk) perunggu
|
Mus.Nas.no.514a
|
5
|
Tanjungpriok
|
Arca Durga-Kali Batu granit
|
Mus.Nas. no.296a
|
6
|
Tidak diketahui
|
Arca Rajaresi
|
Mus.Nas.no.6363
|
7
|
Cilincing
|
sejumlah besar pecahan
|
settlement pattern
|
8
|
Buni
|
perhiasan emas dalam periuk
|
settlement pattern
|
|
|
Tempayan
|
|
|
|
Beliung
|
|
|
|
Logam perunggu
|
|
|
|
Logam besi
|
|
|
|
Gelang kaca
|
|
|
|
Manik-manik batu dan kaca
|
|
|
|
Tulang belulang manusia
|
|
|
|
Sejumlah besar gerabah bentuk wadah
|
|
9
|
Unur (hunyur) sruktur bata
|
Percandian
|
|
|
|
Segaran I
|
|
|
|
Segaran II
|
|
|
|
Segaran III
|
|
|
|
Segaran IV
|
|
|
|
Segaran V
|
|
|
|
Segaran VI
|
|
|
|
Talagajaya I
|
|
|
|
Talagajaya II
|
|
|
|
Talagajaya III
|
|
|
|
Talagajaya IV
|
|
|
|
Talagajaya V
|
|
|
|
Talagajaya VI
|
|
|
|
Talagajaya VII
|
|
10
|
Cibuaya
|
Arca Wisnu I
|
|
|
|
Arca Wisnu II
|
|
|
|
Arca Wisnu III
|
|
|
|
Lmah Duwur Wadon
|
Candi I
|
|
|
Lmah Duwur Lanang
|
Candi II
|
|
|
Pipisan batu
|
|
III. KERAJAAN HOLING (KALINGGA)
1. Lokasi Kerajaan
Berita Cina
berasal dari Dinasti T'ang yang menyebutkan bahwa letak Kerajaan Holing
berbatasan dengan Laut Sebelah Selatan, Ta-Hen-La (Kamboja) di sebelah utara,
Po-Li (Bali) sebelah Timur dan To-Po-Teng di sebelah Barat. Nama lain dari
Holing adalah Cho-Po (Jawa), sehingga berdasarkan berita tersebut dapat
disimpulkan bahwa Kerajaan Holing terletak di Pulau Jawa, khususnya Jawa
Tengah.
J.L. Moens dalam menentukan letak Kerajaan Holing meninjau dari segi
perekonomian, yaitu pelayaran dan perdagangan. Menurutnya, Kerajaan Holing
selayaknya terletak di tepi Selat Malaka, yaitu di Semenanjung Malaya.
Alasannya, Selat Malaka merupakan selat yang sangat ramai dalam aktifitas
pelayaran perdagangan saat itu. Pendapat J.L. Moens itu diperkuat dengan
ditemukannya sebuah daerah di Semenajung Malaya yang bernama daerah Keling.
Lokasi
Kerajaan Holing
2. Sumber Sejarah
I-Tsing menyebutkan bahwa seorang temannya bernama Hui-Ning dengan pembantunya
bernama Yunki pergi ke Holing tahun 664/665 M untuk mempelajari ajaran agama
Budha. Ia juga menterjemahkan kitab suci agama Budha dari bahasa Sansekerta ke
bahasa Cina. Dalam menerjemahkan kitab itu, ia dibantu oleh pendeta agama Budha
dari Holing yang bernama Jnanabhadra. Menurut keterangan dari Dinasti Sung,
kitab yang diterjemahkan oleh Hui-Ning adalah bagian terakhir kitab Parinirvana
yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Budha.
3. Kehidupan Politik
Berdasarkan berita Cina disebutkan bahwa Kerajaan Holing diperintah oleh
seorang raja putri yang bernama Ratu Sima.
Pemerintahan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Rakyat tunduk
dan taat terhadap segala perintah Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat
atau pejabat kerajaan yang berani melanggar segala perintahnya.
4. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Holing sudah teratur rapi. Hal ini
disebabkan karena sistem pemerintahan yang keras dari Ratu Sima. Di samping ini
juga sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah. Rakyat sangat
menghormati dan mentaati segala keputusan Ratu Sima.
5. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan perekonomian masyarakat Kerajaan Holing berkembang pesat. Masyarakat
Kerajaan Holing telah mengenal hubungan perdagangan. Mereka menjalin hubungan
perdagangan pada suatu tempat yang disebut dengan pasar. Pada pasar itu, mereka
mengadakan hubungan perdagangan dengan teratur.
IV. KERAJAAN MELAYU
Kerajaan Melayu
merupakan salah satu kerajaan terkemuka di Sumatera bagian selatan waktu itu.
Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di daerah Jambi, yaitu di tepi kanan-kiri
Sungai Batanghari. Pada Sungai Batanghari ini ditemukan peninggalan-peninggalan
purba berupa candi-candi, arca, dan peninggalan lainnya.
Seorang musafir Cina yang bernama I-Tsing (671-695 M) menyebutkan di dalam
bukunya, bahwa pada abad ke-7 M secara politik Kerajaan Melayu telah dimasukkan
ke dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.
1. Lokasi
Kerajaan Malayu
Dr. Rouffaer
berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu dengan pelabuhan
Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi.
Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun
istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin
bahwa Palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.
Prof. Slamet Muljana berpendapat lain.
Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa
Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk
pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu
terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya,
pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di
pedalaman yang tanahnya agak tinggi.
Prasasti Tanyore
menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan
terletak di atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa istana Malayu terletak
di Minanga Tamwa sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit.
Menurutnya, Minanga Tamwa adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten
Tebo di Provinsi Jambi).
2. Sumber Sejarah (Sumber
Berita Cina)
Berita tentang
Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina
berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan
bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini
hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I Tsing
dalam perjalanannya pada tahun 671–685
menuju India
juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih
berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah
menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut catatan I
Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana,
kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh
Kerajaan Malayu.
3. Keruntuhan Kerajaan Melayu
Prasasti Kedukan
Bukit tahun 683
mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000 orang
prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita penuh kemenangan.
Prof. Moh.
Yamin berpendapat bahwa prasasti ini merupakan piagam proklamasi
berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta
Hyang.
Pendapat Moh.
Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I Tsing
bahwa pada tahun 671
Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari
raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan
menuju India.
Prof. Slamet Muljana yang telah
mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa,
prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Malayu oleh Sriwijaya.
Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit,
Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwa, dan meninggalkan kota itu dalam
suka cita.
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683.
Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju
India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika
kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu
merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka
saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan Malayu pun
jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan Sriwijaya
tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan
peran Kerajaan Malayu.
V. KERAJAAN SRIWIJAYA
1. Lokasi Kerajaan
Berdasarkan
penemuan-penemuan prasasti disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya terletak di
Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota
Palembang sekarang.
Lokasi
Kerajaan Sriwijaya.
2. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya
berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
a. Berita Asing
Dari Berita Arab, dapat diketahui bahwa telah banyak pedagang Arab yang
melakukan kegiatan perdagangannya di Kerajaan Sriwijaya. Bahkan di pusat
Kerajaan Sriwijaya ditemukan perkampungan-perkampungan orang-orang Arab sebagai
tempat tingga sementara. Di samping itu, keberadaan Sriwijaya diketahui dari
sebutan orang-orang Arab terhadap Kerajaan Sriwijaya seperti Zabaq, Sabay, atau
Sribusa.
Dari Berita India, dapat diketahui bahwa raja dari
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang
ada di India seperti dengan Kerajaan Nalanda, dan Kerajaan Chola. Dengan
Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti
yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Namun hubungan dengan Kerajaan Chola
(Cholamandala) menjadi retak setelah raja Chola, yaitu Raja Rajendra Chola,
ingin menguasai Selat Malaka.
Dari Berita Cina, dapat diketahui bahwa
pedagang-pedagang Kerajaan Sriwijaya telah menjalin hubungan perdagangan dengan
pedagang-pedagang Cina. Para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya
untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya ke India maupun Romawi.
b. Berita dalam Negeri
Berita-berita dalam negeri berasal dari
prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti
itu antara lain sebagai berikut.
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama
Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan
Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah
yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak
di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.
Prasasti Talang Tuwo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman
Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti itu menyebutkan tentang kutukan raja terhadap siapa saja yang tidak
taat terhadap Raja Sriwijaya dan juga melakukan tindakan kejahatan.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti berangka tahun 686 M itu menyebutkan bahwa Kerajaan Sriwijaya berusaha
untuk menaklukan Bumi Jawa yang tidak setia kepada Kerajaan Sriwijaya. Prasasti
tersebut ditemukan di Pulau Bangka.
Prasasti Karang Berahi
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang
menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor dengan
tujuan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan
Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada
Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu,
prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5
buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di
Nalanda.
Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya itu sebagian
besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
3. Kehidupan Politik
a. Raja-raja kerajaan Sriwijaya
Raja-raja yang
berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya diantaranya sebagai
berikut.
Raja Dapunta Hyang
Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada
masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah berhasil memeperluas wilayak
kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi, yaitu dengan menduduki daerah
Minangatamwan.
Daerah ini memiliki arti yang sangat strategis dalam
bidang perekonomian, karena daerah ini dekat dengan jalur perhubungan pelayaran
perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang
telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Maritim.
Raja Balaputra Dewa
Pada awalnya, Raja Balaputra Dewa adalah raja dari
kerajaan Syailendra (di Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan
Syailendra antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu
oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan.
Akibat kekalahan itu, Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya
berkuasa Raja Dharma Setru (kakek dari Raja Balaputra Dewa) yang tidak memiliki
keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan Sriwijaya
disambut baik. Kemudian, ia diangkat menjadi raja.
Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan
Sriwijaya berkembang semakin pesat. Raja Balaputra Dewa meningkatkan kegiatan
pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya. Di samping itu, Raja Balaputra Dewa
menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang berada di luar wilayah
Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti
Kerajaan Benggala (Nalanda) maupun Kerajaan Chola. Bahkan pada masa
pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran
agama Budha di Asia Tenggara.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mendapat
ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah pemerintahan Raja Rajendra Chola,
Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Raja
Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Namun
pada masa pemerintahan Raja Kulotungga I di Kerajaan Cho, Raja Sanggrama
Wijayattunggawarman dibebaskan kembali.
b. Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
Setelah berhasil menguasai Palembang, ibu kota
Kerajaan Sriwijaya dipindahakan dari Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang,
Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitarnya
seperti Bangka, Jambi Hulu dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara). Maka
dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci
jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka,
dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya
ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting
Kra. Pendudukan terhadap daerah Semenanjung Malaya bertujuan untuk menguasai
daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan terhadap daerah Tanah
Genting Kra bertujuan untuk menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina dan
India. Tanah Genting Kra sering dipergunakan oleh para pedagang untuk
menyeberang dari perairan Lautan Hindia ke Laut Cina Selatan, untuk menghindari
persinggahan di pusat Kerajaan Sriwijaya.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Sriwijaya telah
berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara, baik yang
melalui Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra.
Dengan kekuasaan wilayah itu, Kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan laut terbesar di seluruh Asia Tenggara.
c. Sriwijaya sebagai
Negara Maritim
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit
Siguntang (dekat Palembang), menyebutkan bahwa seorang raja yang bijaksana
berlayar ke luar negeri untuk mencari kekuatan gaib. Usahanya berhasil dengan
baik. Usaha besar yang dimaksudkan itu adalah perjalanan ekspedisi Raja
Sriwijaya yang berhasil dengan gemilang dalam menaklukan Bangka dan Melayu (di
Jambi).
Menurut Prasasti Kota Kapur (686 M) yang ditemukan di
Pulau Bangka, penduduk pulau Bangka tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya. Di
samping itu, juga diberitakan bahwa Kerajaan Sriwijaya telah melakukan
ekspedisi ke Pulau Jawa. Perluasan yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya bertujuan
untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda.
Semakin ramainya aktifitas pelayaran perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya mengakibatkan Kerajaan Sriwijaya menjadi tempat pertemuan
para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara. Bahkan para pedagang
dari Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah
Indonesia, seperti ke Cina di sebelah utara, atau Laut Merah dan Teluk Persia
di sebelah barat. Itulah sebabnya, Kerajaan Sriwijaya lebih dikenal sebagai
kerajaan maritim.
d. Hubungan dengan Luar Negeri
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan
kerajaan-kerajaan di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan
yang berada di India, seperti Kerajaan Pala/Nalanda di Benggala dan Kerajaan
Cholamandala di Pantai Timur India Selatan.
4. Kehidupan Ekonomi
Dilihat dari letak
geografis, daerah Kerajaan Sriwijaya mempunyai letak yang sangat strategis,
yaitu di tengah-tengah jalur pelayaran perdagangan antara India dan Cina. Di
samping itu, letak Kerajaan Sriwijaya dekat dengan Selat Malak yang merupakan
urat nadi perhubungan bagi daerah-daerah di Asia Tenggara.
Hasil bumi
Kerajaan Sriwijaya merupakan modal utama bagi masyarakatnya untuk terjun dalam
aktifitas pelayaran dan perdagangan.
5. Kehidupan Budaya
Menurut berita
dari Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya
(1011-1023 M) dalam rangka belajar agama Budha dari seorang guru besar yang
bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar
India. Tetapi walaupun Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat agama Budha,
tidak banyak peninggalan purbakala seperti candi-candi atau arca-arca sebaga
tanda kebesaran Kerajaan Sriwijaya dalam bidang kebudayaan.
Pengaruh Budaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya
agama Hindu
dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama
Buddha diperkenalkan di Srivijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya
merupakan pusat terpenting agama Buddha
Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati
perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9.
Kerajaan Sriwijaya
juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan pulau Kalimantan bagian
Barat.
Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra
melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan
India. Pada tahun 1414
pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke
Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan
Melaka.
Agama Buddha
aliran Buddha Hinayana dan Buddha
Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang
menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah
diserbu raja Chola
dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan
hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri
Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah
kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan
Sriwijaya menurun. Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan
Sriwijaya melepaskan diri. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya
berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan
kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah.
Berita bahwa kerajaan Melayu Jambi takluk kepada Majapahit hingga sekarang
masih diragukan kebenarannya. Karena setelah kemundurannya wilayah sumatera
bagian selatan merupakan daerah tanpa kekuasaan dan pusat bajak laut Selat
Malaka.
6. Kehidupan Agama
Kerajaan Sriwijaya
merupakan pusat pertemuan antara para jemaah agama Budha dari Cina ke India dan
dari India ke Cina. Melalui pertemuan itu, di Kerajaan Sriwijaya berkembang
ajaran Budha Mahayana. Bahkan perkembangan ajaran agama Budha di Kerajaan
Sriwijaya tidak terlepas dari pujangga yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya
diantaranya Dharmapala dan Sakyakirti. Dharmapala adalah seorang guru besar agama
Budha dari Kerajaan Sriwijaya. Ia pernah mengajar agama Budha di Perguruan
Tinggi Nalanda (Benggala).
8. Mundurnya Kerajaan
Sriwijaya
Pada akhir abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Hal ini
disebabkan oleh faktor politik dan ekonomi.
Faktor Politis
Kedudukan Kerajaan Sriwijaya semakin terdesak, karena munculnya
kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan,
seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas wilayah
kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung
Malaya termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam
kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan kegiatan pelayaran perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang.
Dari arah timur,
Kerajaan Sriwijaya terdesak oleh perkembangan Kerajaan Singasari, yang pada
waktu itu diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang
bercita-cita menguasai seluruh wilayah nusantara mulai mengirim ekspedisi ke
arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi ini,
Kerajaan Singasari mengadakan pendudukan terhadap Kerajaan Melayu, Pahang, dan
Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan Kerajaan Sriwijaya semakin
terdesak.
Faktor Ekonomi
Para pedagang
yang melakukan aktifitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang,
karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya
telah jatuh ke dalam kekuasaan dari raja-raja sekitarnya. Akibatnya, para
pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah Genting Kra atau yang melakukan
kegiatan sampai ke daerah Melayu (sudah dikuasai Kerajaan Singasari) tidak lagi
melewati wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keadaan seperti ini tentu mengurangi
sumber pendapatan kerajaan.
Dengan faktor
politis dan ekonomi itu, maka sejak akhir abad ke-13 M kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan
Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit
tahun 1377 M.
VI. KERAJAAN MATARAM KUNO
1.
Dinasti Sanjaya
Kerajaan Mataram
terletak di Jawa Tengah dengan daerah intinya disebut Bhumi Mataram. Daerah
tersebut dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-gunung, seperti Pegunungan
Serayu, Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung
Merbabu, Gunung Merapi, Pegunungan Kendang, Gunung Lawu, Gunung Sewu, Gunung
Kidul. Daerah itu juga dialiri banyak sungai, diantaranya Sungai Bogowonto,
Sungai Progo, Sungai Elo, dan yang terbesar dalah Sungai Bengawan Solo.
Letak Kerajaan Mataram Kuno
Mata pencaharian
utama dari rakyat Mataram Kuno adalah pertanian, sementara masalah perdagangan
kurang mendapat perhatian.
1. Sumber Sejarah
Bukti-bukti
berdirinya Dinasti Sanjaya diketahui melalui Prasasti Canggal (daerah Kedu),
Prasasti Belitung, Kitab Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal (732 M)
Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya yang
berhubungan dengan pendirian sebuah Lingga. Lingga tersebut adalah Lambang dari
Dewa Siwa. Sehingga agama yang dianutnya adalah agama Hindu beraliran Siwa.
Prasasti Balitung (907 M)
Prasasti ini adalah prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh Raja Diah
Balitung. Dalam prasasti itu disebutkan nama raja yang pernah memerintah pada
Kerajaan Dinasti Sanjaya.
Kitab Carita Parahyangan
Dalam hal ini diceritakan tentang hal ikhwal raja-raja Sanjaya.
2. Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja keturunan dari Dinasti Sanjaya.
Raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Mataram diantaranya:
Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya
Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram
dari Dinasti Sanjaya. Raja Sanjaya memerintah dengan sangat adil dan bijaksana
sehingga kehidupan rakyatnya terjamin aman dan tentram.
Raja Sanjaya meninggal kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh
Rakai Panangkaran. Berturut-turut penggantian Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak
dan Rakai Garung.
Sri Maharaja Rakai Pikatan
Setelah Rakai
Garung meninggal, Rakai Pikatan naik tahta. Untuk melaksanakan cita-citanya
menguasai seluruh wilayah Jawa Tengah, Rakai Pikatan harus berhadapan dengan
Kerajaan Syailendra yang pada masa itu diperintah oleh Raja Balaputra Dewa.
Karena kekuatan Kerajaan Syailendra melebihi kekuatan Kerajaan Mataram, maka
jalan yang ditempuh Rakai Pikatan adalah meminang Putri dari Kerajaan
Syailendra yang bernama Pramodhawardani. Seharusnya Pramodhawardani berkuasa
atas Kerajaan Syailendra, tetapi ia menyerahkan tahtanya kepada Balaputra Dewa.
Rakai Pikatan
mendesak Pramodhawardani agar mau menarik tahtanya kembali dari Balaputra Dewa,
sehingga meletuslah perang saudara. Dalam perang itu, Raja Balaputra Dewa dapat
dikalahkan dan lari ke Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian, cita-cita Rakai
Pikatan untuk menguasai wilayah Jawa Tengah tercapai.
Dinasti Syailendra
Pada pertengahan
abad ke-8 M di Jawa Tengah bagian selatan, yaitu di daerah Bagelan dan Yogyakarta,
memerintah seorang raja dari Dinasti Syailendra. Pada masa pemerintahan Raja
Balaputra Dewa, diketahui bahwa pusat kedudukan Kerajaan Syailendra terletak di daerah pegunungan di sebelah
selatan berdasarkan bukti ditemukannya peninggalan istana Ratu Boko.
1. Sumber Sejarah
Prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan diantaranya sebagai berikut:
Prasasti Kalasan (778 M)
Prasasti ini
menyebutkan tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra yang berhasil menunjuk
Rakai Panangkaran untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan
sebuah Bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran akhirnya menghadiahkan desa
Kalasan kepada Sanggha Budha.
Prasasti Kelurak (782 M)
di daerah Prambanan
Prasasti ini
menyebutkan tentang pembuatan arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang
Budha, Wisnu, dan Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa.
Prasasti itu juga menyebutkan nama raja yang memerintah saat itu yang bernama
Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M)
Prasasti ini
menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan
kakaknya Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
Prasasti Nalanda (860 M)
Prasasti ini
menyebutkan tentang asal-usul Raja Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra
Dewa adalah putra dari Raja Samarottungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan
Syailendra di Jawa Tengah).
Di samping
prasasti-prasasti tersebut di atas, juga terdapat peninggalan-peninggalan
berupa candi-candi Budha seperti Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Kalasan, Sari,
Sewu, dan candi-candi lainnya yang lebih kecil.
2. Kehidupan Politik
Pada akhir abad ke-8 M Dinasti Sanjaya terdesak oleh dinasti lain, yaitu
Dinasti Syailendra. Peristiwa ini terjadi ketika Dinasti Sanjaya diperintah oleh
Rakai Panangkaran. Hal itu dibuktikan melalui Prasasti Kalasan yang meneybutkan
bahwa Rakai Panangkaran mendapat perintah dari Raja Wisnu untuk mendirikan
Candi Kalasan (Candi Budha).
Walaupun kedudukan raja-raja dari Dinasti Sanjaya telah terdesak oleh Dinasti
Syailendra, raja-raja dari Dinasti sanjaya tetap diakui kedudukannya sebagai
raja yang terhormat. Hanya harus tunduk terhadap raja-raja Syailendra sebagai
penguasa tertinggi atas seluruh Mataram.
Berdasarkan
prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang pernah memerintah
Dinasti Syailendra, di antaranya:
Raja Indra
Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja
Indra. Perluasan wilayah ini dtujukan untuk menguasai daerah-daerah di sekitar
Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh kekuasaan Syailendra
terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra menjalankan perkawinan politik.
Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samarottungga dengan putri Raja
Sriwijaya.
Raja Samarottungga
Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Pada zaman kekuasaannya dibangun
Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja
Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa
yang merupakan anak dari selir.
3. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Syailendra, ditafsirkan sudah teratur. Hal ini
dilihat melalui cara pembuatan candi yang menggunakan tenaga rakyat secara
bergotong-royong. Di samping itu, pembuatan candi ini menunjukkan betapa rakyat
taat dan mengkultuskan rajanya.
4. Kehidupan Budaya
Kerajaan Syailendra banyak meninggalkan bangunan-bangunan candi yang sangat
megah dan besar nilainya, baik dari segi kebudayaan, kehidupan masyarakat dan
perkembangan kerajaan. Candi-candi yang terkenal seperti telah disebutkan di
atas adalah Candi Mendut, Pawon, Borobudur, Kalasan, Sari, dan Sewu.
Nama Borobudur diperkirakan berasal dari nama Bhumi Sambharabudhara. Bhumi
Sambhara berarti bukit atau gunung dan Budhara berarti raja. Jadi arti dari
nama tersebut adalah Raja Gunung, yang sama artinya dengan Syailendra. Candi
Borobudur memiliki suatu sistem yang terbagi dalam tiga bagian yaitu Kamadhatu,
Rupadhatu, dan Arupadhatu.
VII.
KERAJAAN MEDANG KAMULAN
Lokasi
Kerajaan
Berdasarkan
penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang Kamulan
terletak di Jawa Timur, yaitu di muara sungai Brantas.ibu kotanya bernama Watan
Mas. Kerajaan ini didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Namun, wilayah kekuasaan
Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup daerah
Nganjuk disebelah barat, daerah Pasuruan di sebelah timur, daerah Surabaya di
sebelah utara, dan daerah Malang di sebelah selatan. Dalam perkembangan
selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh
wilayah Jawa Timur.
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung
menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun
ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya
sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut
dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang
memerintah pulau Jawa
sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi
kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu
Sannaha saudara perempuan Sanna.
Nama Sanna tidak
terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang
bukan raja Kerajaan Medang. Kemungkinan besar riwayat Sanjaya mirip dengan Raden Wijaya
(pendiri Kerajaan Majapahit akhir abad ke-13) yang
mengaku sebagai penerus takhta Kertanagara
raja Singhasari,
namun memerintah sebuah kerajaan baru dan berbeda.
Lokasi
Kerajaan Medang Kamulan.
Pusat Kerajaan
Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur
sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan
prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
- Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
- Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
- Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Dinasti
yang berkuasa
Candi
Borobudur, salah satu peninggalan Wangsa Syailendra.
Pada umumnya para
sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang,
yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa
Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isana
pada periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa
Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya.
Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas
Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha aliran Mahayana.
Mulai saat itu
Wangsa Sailendra berkuasa di pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan
berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra.
Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke
Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa
Sanjaya.
Menurut teori Bosch,
nama raja-raja Medang dalam prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota
Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet
Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja
yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang
diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra
Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti
Kalasan tahun 778
memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra”
(Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van
Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori
Slamet Muljana, raja-raja Medang versi prasasti Mantyasih mulai dari Rakai
Panangkaran sampai dengan Rakai Garung
adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru
dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada
zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit,
yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan
“Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu
Dyah Pancapana.
Slamet Muljana
kemudian mengidentifikasi Rakai
Panunggalan sampai Rakai Garung
dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra
ataupun Samaratungga.
yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi
prasasti Mantyasih.
Sementara itu,
dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana
yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok
yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam
prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah
kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
1. Sumber Sejarah
Berita India
mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan dengan
Kerajaan Chola. Hubungan ini bertujuan untuk membendung dan menghalangi
kemajuan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman Dinasti Sung.
Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara kerajaan yang berada
di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan dan pertikaian,
sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Negeri Cina (tahun 990 M), terpaksa
harus tinggal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992 M,
pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan pada saat itu Kerajaan
Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan.
2. Kehidupan Politik
Sejak berdiri dan berkembangnya Kerajaan Medang Kamulan, terdapat beberapa raja
yang diketahui memerintah kerajaan ini. Raja-raja tersebut adalah sebagai
berikut :
Raja Mpu Sindok
Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kamulan dengan gelar Mpu Sindok
Isyanatunggadewa. Dari gelar Mpu Sindok itulah diambil nama Dinasti Isyana.
Raja Mpu Sindok masih termasuk keturunan dari raja Dinasti Sabjaya (Mataram) di
Jawa Tengah. Karena kondisi di Jawa Tengah tidak memungkinkan bertahtanya
Dinasti Sanjaya akibat desakan Kerajaan Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan
pusat pemerintahannya ke Jawa Timur. Bahkan dalam prasasti terakhir Mpu Sindok
(947 M) menyatakan bahwa Raja Mpu sindok adalah peletak dasar dari Kerajaan
Medang Kamulan di Jawa Timur.
Dharmawangsa
Raja Dharmawangsa dikenal sebagai salah seorang raja yang memiliki pandangan
politik yang tajam. Semua politiknya ditujukan untuk mengangkat derajat
kerajaan. Kebesaran Raja Dharmawangsa tampak jelas pada politik luar negerinya.
Airlangga
Dalam Prasasti Calcuta disebutkan bahwa Raja Airlangga (Erlangga) masih
termasuk keturunan dari Raja Mpu Sindok dari pihak ibunya. Ibunya bernama
Mahendradata (Gunapria Dharmapatni) yang kawin dengan Raja Udayana dari Bali.
Daftar
Raja-raja Medang
Apabila teori Slamet
Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di
Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai
berikut,
1.
Sanjaya,
pendiri Kerajaan Medang
2.
Rakai
Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra
3.
Rakai
Panunggalan alias Dharanindra
4.
Rakai Warak
alias Samaragrawira
5.
Rakai Garung
alias Samaratungga
6.
Rakai Pikatan
suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa
Sanjaya
7.
Rakai
Kayuwangi alias Dyah Lokapala
10.
Mpu Daksa
Pada daftar di
atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya
semua memakai gelar Sri Maharaja.
Raja merupakan
pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya
sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum
perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin".
Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.
Ketika Rakai
Panangkaran dari Wangsa
Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar
Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula
bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah
menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri
Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan
meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat
dilihat dalam daftar raja-raja versi prasasti Mantyasih, di mana hanya Sanjaya yang
bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi
sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan
Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki
peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok
merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan
Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit.
Patih zaman Majapahit setara dengan perdana
menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah
Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri
i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya
sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana
berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri
Bawang.
Jabatan tertinggi
di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja.
Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan
Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit
memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman
sekarang.
Keruntuhan Kerajaan Medang
Kamulan (peristiwa Mahapralaya)
Mahapralaya adalah
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam
prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca
dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut
Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir
Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina
dari Dinasti Sung mencatat telah beberapa kali
Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya
sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra
semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006
(atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan
putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang
diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut,
Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun
kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari
Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang.
Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok.
Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
3. Kehidupan Ekonomi
Raja Mpu Sindok mendirikan ibu kota kerajaannya di tepi Sungai Brantas, dengan
tujuan menjadi pusat pelayaran dan perdagangan di daerah Jawa Timur. Bahkan
pada masa pemerintahan Dharmawangsa, aktifitas perdagangan bukan saja di Jawa
Timur, tetapi berkembang ke luar wilayah jawa Timur.
Di bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa, Kerajaan Medang Kamulan menjadi pusat
aktifitas pelayaran perdagangan di indonesia Timur. Namun akibat serangan dari
Kerajaan Wurawari, segala perekonomian Kerajaan Medang Kamulan mengalami
kehancuran.
VIII. KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Pada akhir
kekuasaan pemerintahan Raja Airlangga, wilayah kerajaannya dibagi dua, untuk
menghindari terjadinya perang saudara. Maka muncullah Kerajaan Kediri dengan
ibu kota Daha, diperintah Jayawarsa dan Kerajaan Jenggala dengan ibu kotanya
Kahuripan diperintah oleh Jayanegara.
Sesungguhnya kota
Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari
Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan
yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon
Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga,
pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan,
melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir
November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua
putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya
mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu
Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala
yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama,
sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga
sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan
Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan
adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga
dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama
Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal
ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja
Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina
berjudul Ling wai tai ta (1178).
Masa-masa awal
Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II
(1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang
saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan
Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas
nama Sri Jayawarsa.
Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri
Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja
sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan
jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu
di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan
Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang
(1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa
pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu
mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di
Nusantara,
bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Cina
berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu
negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra.
Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani
Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra
dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs
Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan
Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi
tentang kerajaan tersebut.
1. Lokasi Kerajaan
Lokasi Kerajaan
Kediri
Berdiri
|
|
Didahului
oleh
|
|
Digantikan
oleh
|
|
Daha, Dahanapura
|
|
Pemerintahan
-Raja pertama -Raja terakhir |
|
Sejarah
-Dibagi dari Kahuripan -Bergabung kembali dengan Janggala -Kakawin Bhāratayuddha selesai ditulis -Runtuh oleh pemberontakan Ken Arok |
2. Kehidupan Politik
Raja Jayawarsa
Masa pemerintahan Jayawarsa (1104 M) hanya dapat diketahui melalui Prasasti
Sirah Keting. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar
perhatiannya kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup
rakyatnya.
Raja Bameswara
Pada masa pemerintahannya, Raja Bameswara (1117-1130 M) banyak meninggalkan
prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Tulungagung dan Kertosono.
Raja Jayabaya
Raja Jayabaya (1135-1157 M) merupakan raja terkemuka dari Kerjaan Kediri,
karena di bawah pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya.
Kemenangan Kerajaan Kediri dalam perluasan wilayahnya mengilhami pujangga Empu
Sedah dan Empu Panuluh untuk menulis Kitab Bharatayuda.
Raja Gandra
Masa pemerintahan Raja Gandra (1181 M) berhasil diketahui dari Prasasti Jaring,
yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti nama Gajah, Kebo
atau Tikus.
Raja Kameswara
Pada masa pemerintahan Raja Kameswara (1182-1185 M), seni sastra mengalami
perkembangannya yang sangat pesat. Diantaranya Empu Dharmaja mengarang Kitab
Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikenal cerita-cerita panji
seperti Panji Semirang.
Raja Kertajaya
Raja Kertajaya
(1190-1222 M) merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri. Raja Kertajaya juga
lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis.
Selama
pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan
menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak
kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di
Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum Brahmana
banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken
Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan
minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukkannya untuk menyerang Tumapel.
Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serang ke
Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter (1222 M). Dalam
pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil
meloloskan diri.
Dengan demikian,
berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri. Akhirnya kerajaan Kediri menjadi daerah
bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken
Arok sebagai raja pertama.
Berikut Raja-raja kerajaan kediri :
Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
Airlangga,
merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan.
Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha
kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu. Menurut Nagarakretagama,
kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
- Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
- Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
- Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
- Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
- Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
- Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
- Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
- Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
- Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari.
Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui
raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
- Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
- Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
- Tohjaya kakak Guningbhaya
- Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya
yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan
runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang
kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya
pendiri Majapahit.
Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit
yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat
simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Para pemimpin
Daha zaman Majapahit
antara lain:
- Jayanagara, tahun 1295-1309, didampingi Patih Lembu Sora.
- Rajadewi, tahun 1309-1370-an, didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
Setelah itu, nama-nama pejabat Bhre Daha tidak diketahui dengan
pasti.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires,
pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit
yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah
Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana
raja Demak
tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.
3. Karya Sastra Zaman Kadiri
Seni sastra mendapat
banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh.
Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa
atas Korawa,
sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh
juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat
pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara
bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya
terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad
X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Kerajaan
Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya,
dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya
sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok
akuwu Tumapel.
Kebetulan Ken Arok
juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel
terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok
berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri,
yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel
atau Singhasari.
IX. KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan
Singasari
Sejarah Kerajaan Singasari berawal
dari daerah Tumapel, yang dikuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di
daerah pegunungan yang subur di wilayah Malang, dengan pelabuhannya bernama
Pasuruan. Berdasarkan prasasti Kudadu, nama
resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama,
ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.
Pada tahun 1254, Raja Wisnuwardhana
mengangkat putranya yang bernama Kertanagara
sebagai yuwaraja
dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan
nama ibu kota
kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel
pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina
dari Dinasti Yuan
dengan ejaan Tu-ma-pan.
1. Awal Berdirinya
Menurut Pararaton,
Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan
Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu
adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh secara licik
oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok,
yang kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok
bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan
antara Kertajaya
raja Kadiri
melawan kaum brahmana.
Para brahmana
lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel
bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus
di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama
juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak
menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama
Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya
raja Kadiri. Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara
tahun 1255,
menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama
ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama
arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton
juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok
lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.
2. Lokasi Kerajaan
Lokasi pusat Kerajaan Singasari
Masa
Berdirinya
|
|
Didahului
oleh
|
|
Digantikan
oleh
|
|
Kutaraja,
Singhasari
|
|
Pemerintahan
-Raja pertama -Raja terakhir |
3. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Singasari berasal dari:
- Kitab Pararaton, menceritakan tentang raja-raja Singasari.
- Kitab Negara Kertagama, berisi silsilah raja-raja Majapahit yang memiliki hubungan erat dengan raja-raja Singasari.
- Prasasti-prasasti sesudah tahun 1248 M.
- Berita-berita asing (berita Cina), menyatakan bahwa Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukkannya untuk menyerang Kerajaan Singasari.
- Peninggalan-peninggalan purbakala berupa banguna-bangunan Candi yang menjadi makam dari raja-raja Singasari seperti Candi Kidal, Candi Jago, Candi Singasari dan lain-lain.
4. Kehidupan Politik
Kerajaan Singasari yang pernah mengalami kejayaan dalam perkembangan sejarah
Hindu di Indonesia dan bahkan menjadi cikal bakal Kerajaan Majapahit, pernah
diperintah oleh raja-raja sebagai berikut:
Ken Arok
Ken Arok sebagai raja Singasari pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi dan dinastinya bernama Dinasti Girindrawangsa (Dinasti Keturunan
Siwa). Raja Ken Arok memerintah antara tahun 1222-1227 M. Masa pemerintahan Ken
Arok diakhiri secara tragis pada tahun 1227. Ia mati terbunuh oleh kaki tangan
Anusapati, yang merupakan anak tirinya (anak Ken Dedes dari suami pertamanya
Tunggul Ametung).
Raja Kertanegara
Raja Kertanegara (1268-1292 M) merupakan raja terkemuka dan raja terakhir dari
Kerajaan Singasasri. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Singasari mencapai masa
kejayaannya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan
politik dalam negeri dan luar negeri.
Berikut raja-raja Singasari :
Terdapat perbedaan
antara Pararaton
dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan
raja-raja Singhasari.
Raja-raja Tumapel versi Pararaton adalah:
4.
Ranggawuni
alias Wisnuwardhana
(1250 - 1272)
5.
Kertanagara
(1272 - 1292)
Raja-raja Tumapel versi Nagarakretagama adalah:
3.
Wisnuwardhana
(1248 - 1254)
4.
Kertanagara
(1254 - 1292)
Kisah suksesi
raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai pertumpahan darah yang dilatari balas
dendam. Ken Arok
mati dibunuh Anusapati
(anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya
(anak Ken Arok
dari selir). Tohjaya
mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati).
Hanya Ranggawuni
yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.
Sementara itu
versi Nagarakretagama tidak menyebutkan adanya
pembunuhan antara raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena Nagarakretagama adalah kitab pujian untuk Hayam Wuruk
raja Majapahit.
Peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk
tersebut dianggap sebagai aib.
Di antara para
raja di atas hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara
saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Dalam Prasasti Mula Malurung (yang dikeluarkan Kertanagara
atas perintah Wisnuwardhana) ternyata menyebut Tohjaya
sebagai raja Kadiri,
bukan raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama.
Prasasti tersebut
dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan
di Kadiri.
Jadi, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254 perlu dibetulkan.
Yang benar adalah, Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu.
Baru pada tahun 1268,
ia bertakhta di Singhasari.
a. Politik Dalam Negeri
Dalam rangka mewujudkan stabilisasi politik dalam negeri, Raja Kertanegara
menempuh jalan sebagai berikut:
- Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya.
- Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya.
- Memperkuat angkatan perang.
b. Politik Luar Negeri
Untuk mencapai
cita-cita politiknya itu, Raja Kertanegara menempuh cara-cara sebagai berikut.
- Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu (1275 dan 1286 M) untuk menguasai Kerajaan Melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
- Menguasai Bali (1284 M).
- Menguasai Jawa Barat (1289 M).
- Menguasai Pahang (Malaya) dan Tanjung Pura (Kalimantan).
- Kertanegara membendung ekspansi Khu Bilai Khan dengan cara :
1) Menjalin kerja sama dengan
negeri Champa
2) Memberantas setiap usaha
pemberontakan
3) Mengganti pejabat yang
tidak mendukung gagasannya
4) Berusaha menyatukan
Nusantara di bawah Singosari.
Pemerintahan Bersama
Pararaton
dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan
bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti.
Dalam Pararaton
disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa
Campaka.
Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton
benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini
adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana
merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti
adalah cucu Ken Arok.
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja
terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja
pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan pulau Sumatra
sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsaMongol. Saat
itu penguasa pulau Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan
Malayu). Kerajaan ini akhirnya tunduk dengan ditemukannya bukti arca
Amoghapasa yang dikirim Kertanagara sebagai tanda persahabatan kedua
negara.
Pada tahun 1284,
Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan
mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun
permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara.
Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah
bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara
antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Mandala
Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13), perunggu, 22.5 x 14 cm. Koleksi
Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Kerajaan
Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami
keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang
bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan
dari Kertanagara
sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya
Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota
baru di Kadiri.
Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.
Pararaton,
Nagarakretagama,
dan prasasti Kudadu
mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti
yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja
(penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang
dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol dipimpin
Ike Mese
untuk menaklukkan Jawa.
Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang
di Kadiri.
Setelah Kadiri
runtuh, Raden Wijaya
dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar
dari tanah Jawa. Raden Wijaya
kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan
Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti
yang didirikan oleh Ken Arok.
X.
KERAJAAN BALI
1. Sumber Sejarah
Seumber tertua
mengenai adanya Kerajaan Bali adalah sebua prasasti yang berangka 804 Saka (882
M). Prasasti ini mengenai izin yang diberikan kepada para bhiksu untuk membuat
tempat pertapaan di Bukit Cintamani. Namun, raja pembuat prasasti ini tidak
disebutkan. Prasasti kedua yang ditemukan adalah prasasti yang berangka tahun
818 Saka (896 M). Isinya hamper sama dengan prasasti yang pertama. Satu hal
yang menarik dari kedua prasasti ini adalah walaupun nama rajanya tidak
disebut, tetapi nama istana raja disebut yaitu Singhamandaya. Kemudian ada lagi
prasasti yang ditemukan di desa Blajong dekat Pantai Sanur. Angka tahun dari
prasasti ini berupa candrasangkala yang berbunyi Khecara Wahmi-Murti yang
artinya tahun 836 Saka (914 M). Dalam prasasti ini disebutkan nama rajanya
yaitu Khesari Warmadewa yang istananya bernana Singhadwala. Tidak diketahui
kapan raja ini memerintah dan kapan berakhirnya. Prasasti-prasasti ini ditulis
dengan huruf Pranagari dan huruf Bali Kuno. Sedangkan bahasa yang digunakan
adalah Sansekerta.
Kerajaan Bali
terletak pada sebuah Pulau kecil yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur. Dalam
perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan erat dengan Pulau Jawa. Karena
letak pulau itu berdekatan, maka sejak zaman dulu mempunyai hubungan yang erat.
Bahkan ketika Kerajaan Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan
diri dan menetap di sana. Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari
masyarakat Bali dianggap pewaris tradisi Majapahit.
2. Kehidupan Politik
Dari
prasasti-prasasti yang ditemukan itu dapat dipastikan bahwa yang mendirikan
Kerajaan Bali itu adalah raja-raja dari dinasti Warmadewa. Sejak tahun 915 M
yang memerintah di Bali adalah Raja Ugrasena. Dari prasasti-prasastinya dapat
diketahui Raja Ugrasena memerintah hingga tahun 942. setelah itu yang
memerintah adalah Haji Tabanendra Warmadewa. Ia memerintah bersama-sama dengan
permaisurinya Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi yang memerintah dari
tahun 877-889 Saka (955-967 M). Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa
yang telah turut memerintah sejak tahun 960 M, sebagai raja muda. Pada masa
pemerintahannya, ia membangun dua tempat pemandian di desa Manukraya
(Manukkaya) dan sebuah lagi di Tirta Empul, Tirta Empul ini letaknya berdekatan
dengan istana Tampak Siring. Pada tahun 975 ia meninggal.
Penggantinya
adalah Raja Jayasadhu Warmadewa (975-983), Masa pemerintahannya tidak banyak
diketahui. Pada tahun 983 yang memerintah adalah seseorang wanita yang bernama
Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Mengenai asal raja wanita ini tidak diketahui
dengan jelas. Ada sarjana yang berpendapat bahwa ia adalah seorang putri dari
Sriwijaya, tetapi ada lagi yang berpendapat bahwa Sri Wijaya Mahadewi adalah
putrid dari Raja Mpu Sindok.
Setelah masa
pemerintahannya berakhir, ia digantikan oleh Dharmodhayana Warmadewa yang naik
takhta pada tahun 989. ia memerintah bersama permaisurinya yang bernama
Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatha, putrid dari Makutawangsa wardhana.
Mereka memerintah hingga tahun 1001. mahendradatha meninggal dan dicandikan di
Burwan (desa Burwan) yang terletak di sebelah tenggara Bedudu. Arca
perwujudannya berupa Durga yang ditemukan di Kutri (Gianyar). Dharmodhayana
Warmadewa masih tetap emmerintah sepeninggal istrinya hingga tahun 1011 M. Ia
meninggal pada tahun itu dan dicandikan di Banu Wka yang letaknya sampai saat
ini belum diketahui.
Dari perkawinan
antara Dharmodhayana dan Mahendradatha lahir tiga orang putra yang
masing-masing bernama Airlangga yang kemudian kawin dengan seorang putri
Dharmawangsa dan menjadi raja di Pulau Jawa, Marakata dan Anak Wungsu. Marakata
sebagai pengganti ayahnya bergelar Dharmodhayana Wangsawardhana Marakata
Panjakasthana Uttggadewa (1011 – 1022). Masa pemerintahannya sezaman dengan
Airlangga di Jawa Timur.
Perhatiannya yang
sangat besar untuk kesejahteraan rakyatnya, menyebabkan dirinya sangat
dihormati dan dicintai rakyatnya. Ia bahkan dianggap sebagai penjelmaan dari
kebenaran hokum. Sebagai bukti bahwa ia sangat memperhatikan kepentingan
rakyatnya yaitu dibangunnya sebuah tempat pertapaan (prasada) di Gunung Kawi
yang berdekatan dengan istana Tampak Siring. Tempat pertapaan ini memiliki
keunikan yakni dipahat di batu gunung, kira-kira enam meter tingginya berbentuk
candi-candi dan bagian bawah (dasarnya) dibuatkan gua-gua pertapaan yang
masing-masing terdiri dari ruangan-ruangan, sampai saat ini tempat pertapaan
itu tetap terpelihara dengan baik dan merupakan salah satu objek wisata yang
ramai dikunjungi para wisatawan.
Pengganti Marakata
adalah Anak Wungsu (1049-1077). Ia adalah raja yang paling banyak meninggalkan
prasasti. Sebanyak 28 buah prasasti dibuat selama 28 tahun masa
pemerintahannya. Anak wungsu tidak mempunyai keturunan, karena itu
permaisurinya dikenal dengan sebutan Batari Mandul. Pada tahun 1077, anak
wungsu meninggal dan didharmakan di Gunung Kawi. Penggantinya adalah Sri
Maharaja Walaprabhu. Setelah Walaprabhu yang memerintah adalah seorang ratu
dengan nama Sri Maharaja Sakalendukiranan Isanna Gunadharma Laksmidhara
Wijayottunggadewi. Tidak banyak yang diketahui tentang pemerintahan ratu ini,
ia kemudian digantikan oleh Sri Suradhipa (1115-1119). Pengganti raja ini
adalah Sri Jayasakti yang memerintah hingga tahun 1150. penggantinya adalah
Ragajaya. Setelah raja ini, Kerajaan Bali mengalami kekosongan pemerintahan
selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1170 yang memerintah adalah Raja
Jayapangus. Ia memerintah bersama dua orang istrinya, yaitu Indujaketana
sebagai permaisuri dan Sasangkajahcina sebagai mahadewi.
Setelah Jayapangus
meninggal, ia digantikan oleh Sri Maharaja Haji Ekajayalancana. Raja ini
memerintah bersama-sama dengan ibunya yang bernama Sri Maharaja Sri Arya
dengjaya (1200). Empat tahun setelah masa pemerintahan Ekajayalancana yang
memerintah adalah Bhatara Guru Sri Adikunti. Selain itu, di dalam prasastinya
disebutkan pula nama anaknya Bhatara Parameswara Sri Wirama Sri Dhanaadhiraja
dan seorang ratu bernama Bhatari Sri Dhanadewi. Setelah pemerintah Bhatara Sri
Adikunti tidak diperoleh sedikit pun berita mengenai Kerajaan Bali. Baru pada
tahun 1260, muncul seseorang raja bernama Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang
Ning Hyang Adidewa. Setelah pemerintahan raja ini rupanya terjadi lagi
kekosongan pemerintahan hingga tahun 1334.
Pada tahun 1334,
kertanegara dari Singasari berhasil menaklukan Kerajaan Bali yang saat itu
diperintah oleh Paduka Bharata Guru. Hal itu dapat diketahui dari prasastinya
yang juga mencantumkan nama anaknya Paduka Sri Tarunajaya. Pada tahun
berikutnya yang memerintah adalah Paduka Sri Maharaja Bhatara Mahaguru
Dharmottungga Warmadewa. Setelah meinggal ia digantikan oleh Paduka Bhatara Sri
Walajaya Kertaningrat yang memerintah bersama-sama ibunya. Raja Sri Walajaya
kemudian diganti lagi oleh Paduka Bhatara Sri Astasrua Ratna Bumi Banten. Tidak
diketahui dengan jelas kapan berakhirnya kekuasaan Sri Astasura, namun yang
jelas pada tahun 1430, Kerajaan Bali jatuh ke tangan Gajah Mada dari Majapahit.
Kerajaan Bali kemudian diperintah oleh raja-raja dari jawa.
3. Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Hubungan antara
raja-raja yang pernah memerintah di Bali dengan rakyatnya sangat baik. Raja
diharomati dan dipuja sesuai dengan pengaruh agama dan budaha Hindu. Raja
sebagai penguasa memperhatikan kepentingan rakyatnya dengan membangun berbagai
sarana di antaranya tempat-tempat peribadatan, dan irigasi. Untuk agama-agama
lain pun raja-raja Bali memerlihatkan sikap toleransinya yang tinggi. Sebagai
contohnya raja memberikan izin bagi para pendeta Buddha (bhiksu) untuk
mendirikan tempat pertapaan Sikap raja-raja Bali yang demikian memperlihatkan
adanya system social kemasyarakatan yang sudah berlangsung dan tertata baik.
Rakyat Bali
umumnya hidup makmur. Selain pertanian, mereka memperoleh penghasilan dari
berbagai bidang usaha, antara lain perdagangan, peternakan, dan pelayaran. Dari
berbagai sector usaha ini perekonomian rakyat Bali cukup mantap, sehingga
mereka dapat pula membangun bangunan-bangunan besar, seperti candi,
tempat-tempat pertapaan misalnya Gunung Kawi dan masih banyak lagi yang lainnya.
4. Kehidupan Budaya
Dalam bidang kebudayaan, masyarakat Bali banyak menyerap unsur-unsur
budaya Hindu sejak abad ke-18 M. sampai saat ini budaya masyarakat Bali
memiliki cirri khas, sebagai contohnya adalah tradisi pembakaran mayat (ngaben)
yang dahulu selalu diiringi dengan sute, yaitu kebiasaan para wanita Bali turut
terbakar bersama jenazah suami yang sangat dicintainya. Bidang seni lukis, seni
tari, seni pahat yang merupakan unsur-unsur dari kebudayaan mengalami
perkembangan yang pesat dan beraneka ragam. Bidang kesenian ini menjadi daya
tarik tersendiri bagi wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Bali
menjadi sangat terkenal di berbagai pelosok dunia bukan hanya keindahannya,
tetapi juga karena keunikan budayanya.
XI. KERAJAAN PAJAJARAN
1. Sumber Sejarah
Sejarah kerajaan
ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di daerah Jawa
Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh,
dan Kawali.
Hal ini karena pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari
kerajaan-kerajaan tersebut. Dari catatan-catatan sejarah yang ada, dapatlah
ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai
raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Selain
naskah-naskah babad,
Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu,
seperti:
·
Tugu Perjanjian Portugis (padraõ),
Kampung Tugu, Jakarta
·
Taman perburuan, yang sekarang
menjadi Kebun Raya Bogor.
·
Prasasti
Rakryan Juru Pangambat (923 M).
·
Prasasti
Horren (berasal dari Kerajaan Majapahit).
·
Prasasti
Citasih (1030 M).
·
Prasasti
Astanagede (di Kawali, Ciamis).
Kitab Carita
- Kitab Carita Kidung Sundayana. Kitab ini menceritakan kekalahan pasukan Pajajaran dalam pertempuran di Bubat (Majapahit) dan tewasnya Raja Sri Baduga beserta putrinya.
- Kitab Carita Parahyangan. Kitab ini menceritakan bahwa pengganti Raja Sri Baduga setelah Perang Bubat bernama Hyang Wuni Sora.
2. Kehidupan Politik
Berikut adalah raja-raja
Pajajaran :
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
- Surawisesa (1521 – 1535)
- Ratu Dewata (1535 – 1543)
- Ratu Sakti (1543 – 1551)
- Raga Mulya (1567 – 1579)
3. Keruntuhan Pajajaran
Kerajaan
Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan
Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran
ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari
Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu
berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf
adalah penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka
Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang,
berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat
itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton
lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan lama yang ketat,
dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
XI.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit
merupakan suatu kerajaan besar yang disegani oleh banyak negara asing dan
membawa keharuman nama Indonesia sampai jauh ke luar wilayah Indonesia,
Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat
di pulau Jawa
bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah
lain di Nusantara.
Majapahit dapat dikatakan sebagai kerajaan terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara
dan termasuk yang terakhir sebelum berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara.
1. Berdirinya Majapahit
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran
Kertarajasa.
Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.
Sesudah Singhasari
mengusir Sriwijaya
dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, kekuasaan Singhasari yang naik
menjadi perhatian Kubilai Khan di China dan dia mengirim
duta yang menuntut upeti.
Kertanagara
penguasa kerajaan Singhasari menolak untuk membayar upeti dan Khan
memberangkatkan ekspedisi menghukum yang tiba di pantai Jawa tahun 1293. Ketika itu, seorang
pemberontak dari Kediri bernama Jayakatwang
sudah membunuh Kertanagara. Kertarajasa atau Raden Wijaya, yaitu anak
menantu Kertanegara, kemudian bersekutu dengan orang Mongol untuk
melawan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali
pasukannya secara kalang-kabut.
Pada tahun 1293
itu pula Raden Wijaya membangun daerah kekuasaannya di tanah
perdikan daerah Tarik,
Sidoarjo, dengan pusatnya yang diberi nama Majapahit. Ia dinobatkan
dengan nama resmi Kertarajasa Jayawarddhana.
2. Lokasi Kerajaan
Lokasi Pusat Kerajaan Majapahit
Berdiri
|
|
Didahului
oleh
|
|
Digantikan
oleh
|
|
Pemerintahan
-Raja pertama -Raja terakhir |
|
Sejarah
-Didirikan -Zaman kejayaan -Perang saudara -Krisis suksesi |
3. Sumber Sejarah
Sumber informasi mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Majapahit berasal
dari berbagai sumber yakni:
- Prasasti Butak (1294 M). Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia berhasil naik tahta kerajaan. Prasasti ini memuat peristiwa keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan Kerajaan.
- Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama. Kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari Kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit.
- Kitab Pararaton, menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit.
- Kitab Negarakertagama, menceritakan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Jawa Timur.
4. Aspek Kehidupan Politik
Raja Kertarajasa
Jayawardhana
Raja Kertanegara wafat pada tahun 1291 M, ketika Keraton Singasari saat itu
diserbu secara mendadak oleh Jayakatwang (keturunan Raja Kediri). Dalam
serangan itu Raden Wijaya, menantu Kertanegara, berhasil meloloskan diri dan
lari ke Madura untuk meminta perlindungan dari Bupati Arya Wiraraja. Atas
bantuan dari Arya Wiraraja ini, Raden Wijaya diterima dan diampuni oleh Jayakatwang
dan diberikan sebidang tanah di Tarik. Daerah itu kemudian dibangun kembali
menjadi sebuah perkampungan dan digunakan oleh Raden Wijaya untuk mempersiapkan
diri dan menyusun kekuatan untuk sewaktu-waktu mengadakan serangan balasan
terhadap Kediri.
Kedatangan
serangan Cina-Mongol yang ingin menaklukan Kertanegara, tidak disia-siakan oleh
Raden Wijaya untuk menyerang Raja Jayakatwang (Raja Kediri). Raden Wijaya
berhasil menipu pasukan-pasukan Cina, sehingga tentara Cina rela bergabung
dengan pasukan Raden Wijaya dan menyerang Raja Jayakatwang. Raja Jayakatwang
dapat dikalahkan dan Kerajaan Kediri dapat dihancurkan. Kemenangan dari serangan
ini membuat tentara Cina-Mongol bergembira dan merayakan pesta kemenangannya.
Namun, bagi Raden Wijaya kemenangan ini harus berada di pihaknya. Raden Wijaya
kemudian memutuskan untuk menyerang balik tentara-tentara Cina-Mongol yang
sedang pesta pora. Serangan yang tiba-tiba dan tak diduga yang dilakukan oleh
pasukan Raden Wijaya ini membuat tentara Cina-Mongol menjadi kalang kabut.
Banyak yang terbunuh. Yang selamat melarikan diri dan kembali ke daratan Cina.
Akhirnya, di Jawa hanya tinggal satu kekuatan, yaitu kekuatan dari pasukan
Raden Wijaya.
Dengan lenyapnya
pasukan Cina-Mongol, pada tahun 1292 M Kerajaan Majapahit sudah dapat dianggap
berdiri, walaupun secara resmi sistem pemerintahan Kerajaan majapahit baru
berjalan setahun kemudian, yaitu ketika Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit
yang pertama dengan gelar Sri Kertajasa Jayawardhana. Raden Wijaya memerintah Kerajaan
Majapahit dari tahun 1293-1309 M. raden Wijaya sempat memperistri keempat putri
Kertanegara, yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri.
Pada awal pemerintahannya pernah terjadi pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh teman-teman seperjuangan Raden Wijaya seperti Sora, Ranggalawe,
dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan itu diakibatkan karena rasa tidak puas
atas jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja. Akan tetapi,
pemberontakan-pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan.
Raden Wijaya wafat
tahun 1309 M dan dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha)
di Antapura dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Candi Simping (dekat Blitar).
Raja Jayanegara
Raja Raden Wijaya wafat meninggalkan seorang putra yang bernama Kala Gemet.
Putra ini diangkat menjadi
Raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara pada tahun 1309 M.
Jayanegara memerintah Majapahit dari tahun 1309-1328 M. Masa pemerintahan
Jayanegara penuh dengan pemberontakan dan juga dikenal sebagai suatumasa yang
suram di dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Pemberontakan-pemberontakan itu
datang dari Juru Demung (1313 M), Gajah Biru (1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti
(1319 M).
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya dan hampir
meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke desa
Bedander yang diikuti oleh sejumlah pasukan bayangkara (pengawal pribadi raja)
di bawah pimpinan Gajah Mada. Setelah beberapa hari menetap di desa Bedander maka
Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk meninjau suasana.
Setelah diketahui keadaan rakyat dan para bangsawan istana tidak setuju dan
bahkan sangat benci kepada Kuti, Gajah Mada akhirnya merencanakan suatu siasat
untuk melakukan serangan terhadap Kuti. Berkat ketangkasan dan siasat yang jitu
dari Gajah Mada, Kuti dan kawan-kawannya dapat dilenyapkan.
Raja Jayanegara dapat kembali lagi ke Istana dan menduduki tahta Kerajaan
Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa Gajah Mada, maka ia langsung diangkat
menjadi patih di kahuripan (1319-1321), tidak lama kemudian diangkat menjadi
patih di Kediri (1322-1330).
Ratu Tribhuwanatunggadewi
Raja Jayanegara meninggal dengan tidak meninggalkan seorang putra mahkota.
Tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Gayatri, putri Raja Kertanegara yang
masih hidup. Namun, karena ia sudah menjadi seorang pertapa, tahta kerajaan
diserahkan kepada putrinya yang bernama Tribhuwanatunggadewi. ia menjadi ratu
atas nama atau mewakili ibunya, Gayatri. Tribhuwanatunggadewi
memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1328-1350 M. pada masa
pemerintahannya, meletus pemberontakan Sadeng (1331 M). pimpinan pemberontak
tidak diketahui. Nama Sadeng sendiri adalah nama sebuah daerah yang terletak di
Jawa Timur. Pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan oleh Gajah Mada dan
Adityawarman. Karena jasa dan kecakapannya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih
Mangkubhumi Majapahit menggantikan Arya Tadah. Sejak saat itu, Gajah Mada
menjadi pejabat pemerintahan tertinggi sesudah raja. Ia mempunyai wewenang
untuk menetapkan politik pemerintahan Majapahit.
Raja Hayam Wuruk
Raja Hayam Wuruk yang terlahir dari perkawinan Tribhuwanatunggadewi dengan
Cakradara (Kertawardhana) adalah seorang raja yang mempunyai pandangan luas.
Kebijakan politik Hayam Wuruk banyak mengalami kesamaan dengan politik Gajah
Mada, yaitu mencita-citakan persatuan Nusantara berada di bawah panji Kerajaan
Majapahit. Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1350-1389 M.
Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada tetap merupakan salah satu tiang utama
Kerajaan majapahit dalam mencapai kejayaannya. Bahkan Kerajaan Majapahit dapat
disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya.
Selama hidupnya,
patih Gajah Mada menjalankan Politik Persatuan Nusantara. Cita-citanya
dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan peristiwa pahit yang
dikenal dengan Peristiwa Sunda (Peristiwa Bubat). Peristiwa Sunda terjadi tahun
1351 M, berawal dari usaha Raja Hayam Wuruk untuk meminang putri dari Pajajaran,
Dyah Pitaloka. Lamaran itu diterima oleh Sri Baduga. Raja Sri Baduga beserta
putri dan pengikutnya pergi ke Majapahit, dan beristirahat di lapangan Bubat
dekat pintu gerbang Majapahit. Selanjutnya timbul perselisihan paham antara Gajah
Mada dan pimpinan Laskar Pajajaran, karena Gajah Mada ingin menggunakan
kesempatan ini agar Pajajaran mau mengakui kedaulatan Majapahit, yakni dengan
menjadikan putri Dyah Pitaloka sebagai selir Raja Hayam Wuruk dan bukan sebagai
permaisuri. Hal ini tidak dapat diterima oleh Pajajaran karena dianggap
merendahkan derajat. Akhirnya pecah pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya
Sri baduga dengan putrinya dan seluruh pengikutnya di Lapangan Bubat.
kibat peristiwa
itu, politik Gajah Mada mengalami kegagalan, karena dengan adanya peristiwa
Bubat belum berarti Pajajaran sudah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Bahkan
Kerajaan Pajajaran terus berkembang secara terpisah dari Kerajaan Majapahit. Ketika Gajah
Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dan orang yang
sangat diandalkan di dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat
dikatakan sebagai detik-detik awal dari keruntuhan Kerajaan Majapahit. Setelah
Gajah Mada wafat, Raja Hayam Wuruk mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk
memutuskan pengganti Patih Gajah Mada. Namun, tidak satu orang pun yang sanggup
menggantikan Patih Gajah Mada. Kemudian diangkatlah empat orang menteri di
bawah pimpinan Punala Tanding. Hal itu tidak berlangsung lama. Keempat orang
menteri tersebut digantikan oleh dua orang menteri, yaitu Gajah Enggon dan
Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon
sebagai patih mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Keadaan Kerajaan
Majapahit seakan-akan semakin bertambah suram, sehubungan dengan wafatnya
Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit
semakin kehilangan pembantu-pembantu yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit
semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa
kejayaan Majapahit.
Sumpah Palapa
Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi terjadi pemberontakan yang
dikenal dengan nama pemberontakan Sadeng. Pada waktu itu yang menjadi perdana
menteri adalah Arya Tadah. Karena terganggu kesehatannya, Arya Tadah
mengusulkan agar Gajah Mada diangkat menjadi Panglima Majapahit.
Usul Arya Tadah itu diterima oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi dan
selanjutnya Gajah Mada diangkat menjadi pemimpin pasukan Kerajaan Majapahit
untuk memadamkan pemberontakan Sadeng. Namun ketika Gajah Mada sedang
membicarakan siasat perang ia mendapat rintangan dari seorang menteri kerajaan
yang bernama Ra Kembar (pihak golongan Dharmaputra). Gajah Mada tidak
menghiraukan rintangan itu dan atas bantuan dari pasukan Melayu yang dipimpin
oleh Adityawarman, pemberontakan sadeng dapat dipadamkan. Sebagai penghargaan atas jasanya itu, pada tahun 1331 M Gajah Mada
diangkat menjadi Mangkubumi Majapahit. Ia menggantikan kedudukan Arya Tadah.
Saat upacara pelantikan, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya dengan nama Sumpah
Palapa (lengkapnya Tan Amukti Palapa) yang menyatakan Gajah Mada tidak akan
hidup mewah sebelum Nusantara berhasil dipersatukan di bawah panji Kerajaan
Majapahit. Untuk mencapai Persatuan Nusantara, berbagai macam cara dilakukan
Gajah Mada. Bahkan selama hidupnya, Gajah Mada selalu mencurahkan segala
kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuannya itu. Cita-cita yang
dijalankannya begitu tegas itu menimbulkan peristiwa yang sangat pahit, yaitu
Peristiwa Bubat atau Peristiwa Sunda. Gajah Mada wafat tahun 1364 M. Dengan wafatnya
Gajah Mada, Kerajaan Majapahit kehilangan seorang yang sangat diandalkan dan
sulit dicarikan gantinya.
Raja-raja Majapahit
Berikut adalah
daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara
pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit
menjadi dua kelompok.
1.
Raden Wijaya,
bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2.
Kalagamet, bergelar Sri
Jayanagara (1309
- 1328)
3.
Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4.
Hayam Wuruk,
bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5.
Wikramawardhana
(1389 - 1429)
7.
Kertawijaya,
bergelar Brawijaya I (1447
- 1451)
8.
Rajasawardhana,
bergelar Brawijaya II (1451
- 1453)
9.
Purwawisesa atau Girishawardhana,
bergelar Brawijaya III (1456
- 1466)
10.
Pandanalas, atau Suraprabhawa,
bergelar Brawijaya IV (1466
- 1468)
11.
Kertabumi, bergelar Brawijaya V
(1468 - 1478)
12.
Girindrawardhana,
bergelar Brawijaya VI (1478
- 1498)
13.
Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
5. Kejayaan
Majapahit
Penguasa Majapahit
paling utama ialah Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya,
keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke Trowulan
(sekarang masuk wilayah Mojokerto).
Gajah Mada,
seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan
kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah
kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang[4], menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.
Menurut Kakawin
Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir
seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra
di bagian barat dan di bagian timur Maluku
serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara[5].
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin
berupa monopoli oleh raja[4]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja,
Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam,
dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China
6. Kemunduran Kerajaan
Majapahit
Setelah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, keadaan Kerajaan Majapahit mengalami
masa kemunduran. Pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya yang bernama Wikrama
Wardhana (1389-1429 M) suami dari Kusumawardhani (putri yang terlahir dari
permaisuri). Namun, Hayam Wuruk juga mempunyai seorang anak laki-laki yang
dilahirkan dari selir, bernama Wirabhumi. Ia diberi daerah kekuasaan di ujung
timur Pulau Jawa yang bernama daerah Blambangan. Pada mulanya hubungan antara
Wikrama Wardhana dan Wirabhumi berjalan dengan baik. Wirabhumi tetap mengakui
kekuasaan pemerintahan pusat. Sekitar tahun 1400 M hubungan itu mulai retak
sehingga mengakibatkan Perang Paregreg (1401-1406 M).
Meletusnya Perang
Paregreg disebabkan Wirabhumi tidak puas dengan pengangkatan Suhita menjadi
raja menggantikan Wikrama Wardhana. Dalam perang Paregreg itu, Wirabhumi
berhasil dikalahkan (peristiwa ini menjadi dasar cerita
Damarwulan-Minakjinggo).
7. Kehidupan Ekonomi
Majapahit selalu
menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti
Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar
tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke
Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.
Hubungan
persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting artinya
bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian (pelayaran dan
perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan
daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan yang sangat laku di
pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada,
gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.
Dalam dunia
perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting, yaitu
sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara.
8. Kehidupan Budaya
Gapura Bajangratu, diduga kuat menjadi
gerbang masuk keraton Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di kompleks Trowulan.
Ibu kota Majapahit
di Trowulan
merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang
diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha,
Siwa, dan Waisnawa
(pemuja Wisnu)
dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha,
Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya ada
anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu.
Walaupun batu bata
telah digunakan dalam candi
pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[8]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris
dengan memanfaatkan getah pohon anggur dan gula merah sebagai perekat batu bata.
Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus
dan Candi Bajangratu di Trowulan, Mojokerto
Bukti-bukti
perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui
peninggalan-peninggalan berikut.
Candi
Antara lain Candi Panataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan Surawana (Pare,
Kediri), Candi Sawentar (Blitar), Candi Sumberjati (blitar), Candi Tikus
(Trowulan), dan bangunan-bangunan purba lainnya yang terdapat di daerah Trowulan.
Sastra
Hasil
sastra zaman Majapahit awal di antaranya:
- Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca (tahun 1365).
- Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular.
- Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular.
- Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.
- Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya.
Arca
Arca
pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem, Jerman
9. Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki
struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk,
dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama
perkembangan sejarahnya[12]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia
memegang otoritas politik tertinggi.
Raja dibantu oleh
sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra
dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya
diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
·
Rakryan Mahamantri Katrini,
biasanya dijabat putra-putra raja
·
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran,
dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
·
Dharmmadhyaksa, para pejabat
hukum keagamaan
·
Dharmma-upapatti, para pejabat
keagamaan
Dalam Rakryan
Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan
Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana
menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan
pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan
yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Di bawah raja
Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara.
Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam
mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di
wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447
M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan,
yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut
yaitu:
1.
Daha
2.
Jagaraga
3.
Kabalan
4.
Kahuripan
5.
Keling
6.
Kelinggapura
7.
Kembang Jenar
8.
Matahun
9.
Pajang
10.
Singhapura
11.
Tanjungpura
12.
Tumapel
13.
Wengker
14.
Wirabumi
No comments:
Post a Comment