SEJARAH NUSANTARA PADA ERA KERAJAAN ISLAM
Kerajaan
Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya
berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16.
Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas
perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab,
India,
Persia,
Tiongkok,
dll. Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat
pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku, dan Sulawesi.
Kerajaan Islam di Sumatera
Periode tahun tepatnya
kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan memerlukan rujukan
lebih lanjut.
Peureulak diarahkan ke halaman ini. Untuk kecamatan
di Kabupaten Aceh Timur, lihat Peureulak, Aceh Timur
Kesultanan Peureulak
adalah kerajaan
Islam
di Indonesia
yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun
840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus
untuk pembuatan kapal,
dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam
dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan
niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara
lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini
membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan
perempuan setempat
Naskah
Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera
dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun
506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang
pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan
yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608
H atau 1211 M.[1]
Chu-fan-chi,
yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi,
Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima
hari pelayaran dari Jawa.[2]
Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan
pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri
Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu
abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291,
dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam
Perkembangan dan pergolakan
Sultan pertama
Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed
Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan
keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak
pada 1 Muharram 225 H (840
M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian
dimakamkan di Paya Meuligo,
Peureulak, Aceh Timur
Pada masa
pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke
Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang
saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun
berikutnya tak ada sultan.
Kaum
Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin
Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir
pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali
ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari
golongan Sunni.
Pada
tahun 362 H (956
M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik
Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun
antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan
menjadi dua bagian:
Perlak Pedalaman
(Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Berdaulat (986 – 1023)
Sultan
Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh
Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim
Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun
1006.
Penggabungan dengan Samudera Pasai
Sultan
ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat
(memerintah 1230
– 1267)
menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan
penguasa negeri tetangga Peureulak:
· Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
· Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik
Al-Saleh.
Sultan
terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz
Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292).
Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah
pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al
Malik Al-Saleh.
Daftar Sultan Perlak
Sultan-sultan
Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti:
dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut
daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.
Kesultanan Malaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan
yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari perebutan Palembang
oleh Majapahit.
Ibu kota
kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada penyempitan Selat Malaka.
Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi
pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15
dan awal 16.
Malaka runtuh setelah ibu kotanya direbut Portugis
pada 1511.
Kegemilangan
yang dicapai oleh Kerajaan Melaka adalah daripada beberapa faktor yang penting.
Antaranya, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan
baik dengan negara Cina
ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi
Melaka pada tahun 1403. Malah, salah seorang daripada sultan Melaka telah
menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan
erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Melaka.
Melaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan sebuah kuasa besar di
dunia untuk mengelakkan serangan Siam.
Sejarah
Parameswara
pada awalnya mendirikan kerajaan di Singapura
pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya
hijrah lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah berdiam
di ibukota baru di Melaka
pada 1403,
tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti
yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada
kerajaan baru tersebut. [1]
Parameswara
kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho
pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja
dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim. [2]. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[1][2]
Megat
Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah.
Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya
tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelar Sri Parameswara
Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia
mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian
menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Di bawah
pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung
Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing
kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu
menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.
Di bawah
pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur
Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang
sama Johor,
Jambi
dan Siak
juga takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang
mengapit Selat Malaka.
Mansur
Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya
Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan
digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah. [3]
Mahmud
Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut
diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai
pada 10 Agustus
1511 dan berhasil direbut
pada 24 Agustus
1511. Sultan Mahmud Syah
melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana.
Pada tahun 1526
Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat
dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak,
sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru
yaitu Johor.
[sunting] Daftar raja-raja Malaka
1.
Parameswara
(1402-1414)
2.
Megat Iskandar Syah (1414-1424)
3.
Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4.
Seri Parameswara Dewa Syah(1444-1445)
5.
Sultan Mudzaffar Syah (1445-1459)
6.
Sultan Mansur Syah (1459-1477)
7.
Sultan Alauddin Riayat Syah
(1477-1488)
8.
Sultan Mahmud Syah (1488-1528)
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit
hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara
pulau Sumatera
dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H
atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya
yang panjang itu (1496
- 1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan
militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem
pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.[1]
Sejarah
Awal mula
Kesultanan Aceh
didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Diawal-awal masa
pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli,
Pedir, Pasai, dan Aru.
Pada tahun 1528,
Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga
tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun 1568.
Masa kejayaan
Kesultanan
Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa
kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari
selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada
tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu.
Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang
melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan
terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal
perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi
Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun
Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini
gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan
Pahang.
Dalam
lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa
ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi
Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin
al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniry dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj
al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran
Kemunduran
Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun
1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan
penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan
diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat
London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada
Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara
Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga
berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada
akhir Nopember 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak
itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun,
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke
dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno
kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu[rujukan?].
Perang Aceh
Perang Aceh
dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret
1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Snouck
Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran
kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van
Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut
sebagian besar Aceh.
Sultan M.
Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya,
anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh
akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Sultan Aceh
Sultan Aceh merupakan
penguasa / raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga
terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar Sultan yang
pernah berkuasa di Aceh dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari Sultan Aceh.
Tradisi kesultanan
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
· Teungku
· Tuanku
· Pocut
· Teuku
· Cut
· Meurah
Kerajaan Malayu
adalah nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau Sumatra.
Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7
yang berpusat di Minanga Tamwa, dan Kerajaan
Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.
Berdasarkan
letak ibu kotanya, Kerajaan Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut
dengan nama Kerajaan Malayu Jambi,
sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya.
Sumber Berita Cina
Berita
tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina
berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah
kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang
mengirim duta besar ke Cina
pada tahun 644
atau 645.
Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi
kabarnya.
Pendeta I Tsing
dalam perjalanannya pada tahun 671–685
menuju India
juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih
berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi
jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut
catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau Sumatra
pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas
agama apa yang dianut oleh Kerajaan Malayu.
Lokasi Malayu Tua
Dr.
Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu menjadi satu dengan
pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi.
Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun
istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin
bahwa Palembang adalah ibu kota Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.
Prof. Slamet Muljana berpendapat lain.
Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa
Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk
pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu
terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya,
pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di
pedalaman yang tanahnya agak tinggi.
Prasasti
Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh
benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa
istana Malayu terletak di Minanga Tamwa
sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga
Tamwa adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten
Tebo di Provinsi Jambi).
Dikalahkan Sriwijaya
Prasasti Kedukan
Bukit tahun 683
mengisahkan perjalanan Dapunta Hyang membawa
20.000 orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita
penuh kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini
merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta
Hyang.
Pendapat
Moh. Yamin ternyata tidak sesuai dengan berita dalam catatan I Tsing
bahwa pada tahun 671
Kerajaan Sriwijaya sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari
raja Shih-li-fo-shih sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan
menuju India.
Prof. Slamet Muljana yang telah
mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat
bahwa, prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Malayu oleh
Sriwijaya. Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000
prajurit, Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwa, dan meninggalkan kota
itu dalam suka cita.
Jadi,
penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 683. Pendapat ini sesuai
dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671,
Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685,
negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan
Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka
saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan Malayu pun
jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan Sriwijaya
tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka menggantikan
peran Kerajaan Malayu.
Tentang Raja Chan-pi
Setelah
beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akibat
serangan Rajendra Coladewa dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa
Sailendra di Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya pun berakhir. Sejak saat itu
Sriwijaya menjadi negeri jajahan Rajendra.
Dalam berita Cina
berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar
ke Cina
yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Pada
zaman Dinasti Sung, istilah
San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak diketahui dengan pasti apakah putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi adalah keturunan Rajendra, yang
saat itu telah menguasai Sumatra dan Semenanjung Malaya. Sementara itu, raja
Chan-pi kemungkinan besar adalah ejaan Cina untuk istilah Jambi.
Munculnya Wangsa Mauli
Kekalahan
Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra
Coladewa telah mengakhiri kekuasaan Wangsa
Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu
kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra,
yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti
tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah prasasti Grahi tahun 1183. Prasasti itu berisi
perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja
Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati
Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10
tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti
kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini
menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca
Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara
raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa.
Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.
Dharmasraya
dalam Pararaton
disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut
sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan
dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap
sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang
menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah
mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan Kamboja.
Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali
sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan
tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, karena raja Jambi pada tahun 1082
masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat
yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari
bahasa Tamil
yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan
Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah
pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum
dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang
lebih tua daripada prasasti Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Istilah San-fo-tsi
pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun
990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya
mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam
naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut Pulau Sumatra
secara umum.
Dalam
naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa
negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong,
Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan
(Kelantan),
Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta (Batak ?, Patani ?),
Tan-ma-ling, Kia-lo-hi (Kamboja), Pa-lin-fong (Palembang),
Sin-to (Sunda), Kien-pi, Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan ?).
Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka
(Si-lan), Kamboja
(Kia-lo-hi), sampai Sunda
(Sin-to).
Apabila
San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan
bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu
Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik
dengan Palembang.
Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi
bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya,
daftar tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip
Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi.
Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat
tersebut terletak berjauhan.
Dengan
demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat
itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi,
istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita
Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa
saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu
zaman Majapahit
dan Dinasti Ming.
Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah
saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul
Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak
pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya.
Itu
artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya,
melainkan sebutan umum untuk Pulau Sumatra
yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.
Dikalahkan Singhasari
Pada
tahun 1275
raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa yang bernama Kertanagara
memutuskan untuk menguasai lalu lintas perdagangan Selat Malaka.
Tujuan utamanya ialah untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai Khan
penguasa Dinasti Yuan atau bangsa Mongol.
Menurut Nagarakretagama,
rencana tersebut semula hendak dijalankan secara damai. Akan tetapi, raja
Malayu menolak hal itu, sehingga Kertanagara terpaksa mengirim pasukan untuk
menyerang Sumatra.
Serangan tersebut terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang
sebagai komandan.
Pasukan
Kebo Anabrang mendarat dan merebut pelabuhan Malayu di Jambi. Mereka kemudian
merebut daerah penghasil lada di Kuntu–Kampar. Dengan demikian, kehidupan
ekonomi Kerajaan Malayu berhasil dilumpuhkan. Yang terakhir, Kebo Anabrang
berhasil mengalahkan ibu kota Malayu, yaitu Dharmasraya.
Tidak
diketahui dengan pasti kapan istana Dharmasraya jatuh ke tangan pasukan
Singhasari. Prasasti Padangroco tahun 1286 hanya menyebutkan
tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai hadiah Singhasari untuk ditempatkan
di Dharmasraya. Dalam prasasti itu, Tribhuwanaraja bergelar maharaja, sedangkan
Kertanagara bergelar maharajadhiraja, sehingga terbukti kalau saat itu Sumatra
telah menjadi bawahan Jawa.
Sepasang Putri Malayu
Naskah Pararaton
dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan bahwa pasukan Kebo Anabrang
kembali ke Jawa tahun 1293
membawa dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga
dan Dara Petak.
Keduanya dipersembahkan kepada Raden Wijaya
menantu Kertanagara.
Kertanagara sendiri telah meninggal setahun sebelumnya.
Raden
Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia mengambil Dara Petak
sebagai istri yang kemudian melahirkan Jayanagara,
raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang
“dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Malayu
bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya
juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini
lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga
memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara.
Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah
peralihan kekuasaan di Singhasari.
Mantrolot
Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama
Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca
Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma
menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara.
Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan
“dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya
menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman
sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah
keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga (dan
juga Dara Petak) adalah putri dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain
menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno
Mandi.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365
menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra.
Dharmasraya memang telah ditaklukkan oleh Singhasari
dan menjalin persaudaraan melalui perkawinan antara Dara Petak
dan Raden Wijaya
pada akhir abad ke-13. Namun, tidak dapat dipastikan apakah kemudian
Dharmasraya tunduk begitu saja terhadap Majapahit sebagai kelanjutan dari
Singhasari.
Dalam
catatan Dinasti Ming,
negeri San-fo-tsi (atau Sumatra) terbagi manjadi tiga dan masing-masing
berusaha meminta bantuan Cina untuk lepas dari kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga
negeri tersebut masing-masing dipimpin oleh Seng-kia-lie-yulan,
Ma-ha-na-po-lin-pang, dan Ma-na-cha-wu-li.
Secara
berturut-turut pada tahun 1375, 1376,
dan 1377
ketiganya mengirimkan duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377
tentara She-po menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu ketiga
negeri di San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.
Seng-kia-lie-yulan
adalah Adityawarman
raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja
Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli raja
Dharmasraya.
Meskipun
Adityawarman adalah cucu Srimat Tribhuwanaraja, namun ia tidak memiliki hak
atas takhta Dharmasraya karena ia lahir dari Dara Jingga. Adityawarman kemudian
mendirikan Kerajaan Malayapura di Pagaruyung, sedangkan Dharmasraya dipegang
oleh Maharaja Mauli, yaitu keturunan Tribhuwanaraja lainnya.
Rupanya
setelah Gajah Mada
meninggal tahun 1364,
negeri-negeri jajahan di Sumatra berusaha untuk memerdekakan diri dengan
meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina. Akan tetapi, Maharaja
Hayam Wuruk
yang saat itu masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas pemberontakan
Pagaruyung, Palembang, dan Dharmasraya pada tahun 1377.
Catatan
Cina menyebut bahwa setelah pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan di
San-fo-tsi dijadikan satu dengan nama Chiu-chiang. Menurut naskah
Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama dengan Po-lin-pang. Itu berarti,
setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit di Sumatra dijadikan satu dengan
berpusat di Palembang.
Kesultanan Johor yang
terkadang disebut juga sebagai Johor-Riau
atau Johor-Riau-Lingga adalah
kerajaan yang didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah, putra sultan terakhir Malaka,
Mahmud Syah. Sebelumnya
daerah Johor-Riau merupakan bagian dari Kesultanan Malaka yang runtuh akibat
serangan Portugis
pada 1511.
Pada
puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Singapura,
Kepulauan
Riau, dan daerah-daerah di Sumatera
seperti Riau
Daratan dan Jambi.
Sebagai
balas jasa atas bantuan merebut tahta Johor Sultan Hussein Syah
mengizinkan Britania
pada 1819
untuk mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan ditandatanganinya Traktat
London tahun 1824
Kesultanan Johor-Riau dibagi dua menjadi Kesultanan Johor, dan Kesultanan
Riau-Lingga. Pada tahun yang sama Singapura sepenuhnya berada di bawah kendali
Britania. Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1911.
Pada
tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa untuk menerima kehadiran Residen Britania.
Dengan demikian Johor efektif menjadi koloni Mahkota Britania.
Raja-raja Johor
Raja-raja Kesultanan Johor-Riau (1528-1824)
1.
1528-1564: Sultan
Alauddin Riayat Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)
2.
1564-1570: Sultan
Muzaffar Syah II (Raja Muzafar/Radin Bahar)
3.
1570-1571: Sultan Abd.
Jalil Syah I (Raja Abdul Jalil)
4.
1570/71-1597: Sultan Ali
Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)
5.
1597-1615: Sultan
Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)
6.
1615-1623: Sultan
Abdullah Ma'ayat Syah (Raja Mansur)
7.
1623-1677: Sultan Abdul
Jalil Syah III (Raja Bujang)
8.
1677-1685: Sultan Ibrahim Syah (Raja
Ibrahim/Putera Raja Bajau)
9.
1685-1699: Sultan Mahmud Syah II
(Raja Mahmud)
10. 1699-1720:
Sultan Abdul Jalil IV
(Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)
11. 1718-1722: Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)
12. 1722-1760:
Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar
Johor-Riau)
13. 1760-1761:
Sultan Abdul
Jalil Muazzam Syah
14. 1761: Sultan Ahmad
Riayat Syah
15. 1761-1812:
Sultan Mahmud Syah III
(Raja Mahmud)
16. 1812-1819:
Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)
Raja-raja Kesultanan Johor (1824-sekarang)
1.
1819-1835: Sultan Hussain Shah
(Tengku Husin/Tengku Long)
2.
1835-1877: Sultan Ali (Tengku Ali;
tidak diakui oleh Inggris)
3.
1855-1862: Raja
Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor)
4.
1862-1895: Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim
(Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar)
5.
1895-1959: Sultan
Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar
6.
1959-1981: Sultan Ismail
ibni Sultan Ibrahim
7.
1981-kini: Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj
Kerajaan Islam di Jawa
- Kesultanan Demak (1500 - 1550)
Kesultanan Demak atau
Kesultanan Demak Bintara adalah
kesultanan
Islam
pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah
pada tahun 1478.
Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian
(kadipaten) vazal
dari kerajaan Majapahit,
dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa
dan Indonesia
pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami
kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada
tahun 1568,
kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan
Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.
Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan
oleh para Walisongo.
Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari
laut dan dinamakan Bintara,
saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Pada masa sultan ke-4 ibukota
dipindahkan ke Prawata
(dibaca "Prawoto").
Cikal-bakal Demak
Pada saat
kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi
kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris
tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati,[rujukan?] yaitu Raden Patah dan Ki Ageng
Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo,
Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti
Jenar.
Demak di bawah Pati Unus
Demak di
bawah Pati Unus
adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai
kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam
dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis
di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
Demak di bawah Sultan Trenggono
Sultan
Trenggono berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah
Sultan Trenggono, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti
merebut Sunda Kelapa
dari Pajajaran
serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun
(1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung
timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah,
pemuda asal Pasai (Sumatera),
yang juga menjadi menantu Sultan Trenggono. Sultan Trenggono meninggal pada
tahun 1546
dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan,
dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
Kemunduran Demak
Suksesi
ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan
Trenggono, yaitu Pangeran
Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada
tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya
Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang
kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh
Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya
Penangsang.
Arya
Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh pasukan Joko Tingkir,
menantu Sunan Prawoto. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di
sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.
Kesultanan Banten
berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke
daerah barat. Pada tahun 1524/1525,
Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut
pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan
Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten
merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede,
Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Sejarah
Anak dari
Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan
Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan
anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa
Jepara.
Terjadi
perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa
berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana
Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang
Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu
oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung
dikuasai oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada
zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret
1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC.
seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin,
Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung
Penghapusan kesultanan
Kesultanan
Banten dihapuskan tahun 1813
oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan
Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini
menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal
Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[1]
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
· Maulana Yusuf 1570 - 1580
· Maulana Muhammad 1585 - 1590
· Sultan Abdul
Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar
tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.[2])
· Sultan Abdul Kahar (Sultan
Haji) 1683
- 1687
· Abdul Fadhl / Sultan Yahya
(1687-1690)
· Abul Mahasin
Zainul Abidin (1690-1733)
· Muhammad
Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
· Muhammad Wasi Zainifin
(1733-1750)
· Syarifuddin
Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
· Muhammad Arif
Zainul Asyikin (1753-1773)
· Abul Mafakir
Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
· Muhyiddin
Zainush Sholihin (1799-1801)
· Muhammad
Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
· Wakil
Pangeran Natawijaya (1802-1803)
· Aliyuddin II (1803-1808)
· Wakil
Pangeran Suramanggala (1808-1809)
· Muhammad Syafiuddin
(1809-1813)
· Muhammad Rafiuddin
(1813-1820)
Kesultanan Pajang
adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah
sebagai kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keraton,
yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan
Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Asal-usul
Sesungguhnya
nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam Wuruk
(raja Majapahit
saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang,
atau disingkat Bhre Pajang. Nama
aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari Wikramawardhana,
raja Majapahit
selanjutnya.
Dalam
naskah-naskah babad, negeri Pengging
disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang sudah melegenda menyebut
Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh
bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng
berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit
dipimpin oleh Brawijaya
(raja terakhir versi naskah babad), nama Pengging muncul kembali.
Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak
Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul
seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan
membunuh penculiknya.
Atas
jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya
sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara
kemudian bergelar Andayaningrat.
Kesultanan Pajang
Menurut
naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung
saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama
Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng
Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kesultanan
Demak.
Beberapa
tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak
memeberontak terhadap Demak.
Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka Tingkir
yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Sultan
Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya.
Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali
dan Klaten),
Tingkir (daerah Salatiga),
Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal
Sultan
Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto
naik takhta, namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya
Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya
Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya
namun gagal.
Dengan
dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara putri Sultan
Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Kesultanan
Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.
Perkembangan
Pada awal
berdirinya tahun 1549, wilayah Kesultanan Pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah
saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Sultan Trenggana.
Pada
tahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas
negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur)
dinikahkan dengan putri Sultan Hadiwijaya.
Negeri
kuat lainnya, yaitu Madura
juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan
Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Sultan
Hadiwijaya.
Peran Wali Songo
Pada
zaman Kesultanan Demak, majelis ulama Wali Songo
memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini
bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan
politik Demak.
Sepeninggal
Sultan
Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus
bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto,
raja baru pengganti Sultan Trenggana.
Meskipun
tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan
dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak
sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai sultan. Ia juga menjadi mediator pertemuan Sultan
Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur
tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Sultan
Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya
Penangsang.
Wali lain
yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil
menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota,
dan menggantinya dengan Arya Pangiri.
Mungkin
yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah
Panembahan Kudus, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550.
Pemberontakan Mataram
Tanah Mataram
dan Pati
adalah dua hadiah Sultan Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu
menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan
resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki
Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya
tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Sultan
Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram
akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan
tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya
putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya
inilah yang sebenarnya membunuh Arya
Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram
semakin hari semakin maju dan berkembang.
Pada
tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram
karena Sutawijaya
membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang
oleh Sultan Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak
Mataram
meskipun pasukan Pajang jumlahnya lebih besar.
Keruntuhan
Sepulang
dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal
dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran
Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri
didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan
Arya Pangiri
hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran
Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada
tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya
menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya
memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang
antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri.
Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran
Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan
Pangeran
Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya
sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya
sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja
pertama bergelar Panembahan Senopati.
Daftar Raja Pajang
1.Jaka Tingkir
bergelar Sultan Hadiwijaya
2.Arya Pangiri
bergelar Sultan Ngawantipura
3.Pangeran
Benawa bergelar Sultan
Prabuwijaya
Kesultanan Mataram
adalah kerajaan Islam
di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah
sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya,
atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah
Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah
yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta
dan sistem persawahan di Karawang.
Masa awal
Sutawijaya
naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang
sepeninggal Hadiwijaya
dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya
hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan
Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok,
wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota
Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi
keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian
dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan
di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang
yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan
Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama
karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia
juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak
yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih
sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsang.
Sultan Agung
Sesudah
naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih
dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi
untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura
(kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur
sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta
(Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta").
Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram
dengan VOC
yang berpusat di Batavia,
Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan
Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri),
ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat
(Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I
memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari
"Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat
I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya,
terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya
dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika
mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II
(Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan
lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah
barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti
Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I
(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak
menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana
I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in
exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan
politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari
1755. Pembagian wilayah
ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
· 1558
- Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram
oleh Sultan Pajang
Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya
Penangsang.
· 1577
- Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
· 1584
- Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya,
putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar
"Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
· 1587
- Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram
porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi.
Sutawijaya dan pasukannya selamat.
· 1588
- Mataram
menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan,
bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima
Perang
dan Ulama
Pengatur Kehidupan Beragama.
· 1601
- Panembahan Senopati wafat dan digantikan
putranya, Mas Jolang
yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai
"Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa:
krapyak).
· 1613
- Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit,
kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas
Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan
Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah
Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan
Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar
bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
· 1645
- Sultan Agung
wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
· 1645
- 1677
- Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram,
yang dimanfaatkan oleh VOC.
· 1677
- Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat.
Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran
Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan
gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
· 1681
- Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
· 1703
- Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan
Amangkurat III.
· 1704
- Dengan bantuan VOC
Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I
(1704-1708). Susuhunan
Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
· 1719
- Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar
Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
· 1726
- Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar
Susuhunan Paku Buwono II.
· 1742
- Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
· 1743
- Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak
dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan
kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang)
bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan
VOC.
· 1745
- Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian
Bengawan Beton.
· 1746
- Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai
Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi,
meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10
tahun (1746-1757) dan mencabik
Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
· 1749
- 11 Desember
Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada
VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember
Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh
para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra
Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
· 1752
- Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran
(daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM
Said.
· 1754
- Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September,
Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November,
PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya
pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
· 1755
- 13 Februari
Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan
Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan
gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
· 1757
- Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas
sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari
Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
· 1788
- Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
· 1792
- Sultan Hamengku Buwono I wafat.
· 1795
- KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
· 1813
- Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa
atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari
Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku
Alam".
· 1830
- Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta
dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan
tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen
Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta,
dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure
dikuasai oleh Hindia Belanda.
- Kesultanan Cirebon (sekitar abad ke-16)
Kesultanan Cirebon
adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan
merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah
dan Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta
suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat
yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Cirebon
pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban
(Bahasa Sunda:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda
untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat
pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan,
maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air
bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah
berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian
menjadi Cirebon.
Dengan
dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di
pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal
bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng
Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang
dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura
1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah
para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau
kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah
Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki
Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi
diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran
Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran
Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng
Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan
nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara
Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai
anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam
(diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran
agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda)
Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak
laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika
kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang
dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji
kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon
pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama
Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada
tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang
dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif
Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur
Rasulullah.
Pertumbuhan
dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan
Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka,
Kuningan,
Kawali
(Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah
Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi
kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati
ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati.
Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan
pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang
selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon
secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta
kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada
tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung
Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal
Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua
Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah
Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran
Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal
pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan
Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan,
yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa
curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram
(Amangkurat I
adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya
Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan
Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram
(Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit Giriloyo, dekat dengan makam raja
raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Giriloyo,
tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di
Imogiri.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan
kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng
Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan
Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian
mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo,
yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan
Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat
dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai
penguasa Kesultanan Cirebon.
Perpecahan I (1677)
Pembagian
pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan
Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi
keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa
Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
· Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan
Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
· Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
· Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan
gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon
di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton,
di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua
dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika
terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat
sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi
para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah
seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak
Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral
Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon
Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya
tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan,
pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada
putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin
(1803-1811).
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah
kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton
Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada
tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon
secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon),
yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb.
1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali
diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa
kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah
Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang
secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia
yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan terakhir
Setelah
masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari
pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton
yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat
khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta
dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali
ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya,
Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting
karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton
Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian
adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal
bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara
Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk
pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan
menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.
Kerajaan Islam di Maluku
Kerajaan Gapi atau
yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan
Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam
di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran
penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17.
Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat
perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya
membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian
selatan kepulauan Filipina hingga sejauh kepulauan Marshall di pasifik.
Asal Usul
Pulau
Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal
merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung
yang masing - masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan
hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah –
rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab,
Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai
ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa
momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu
organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai
raja.
Tahun
1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272).
Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya
semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo”
atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama).
Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih
suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan
beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan
yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh
dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Organisasi kerajaan
Di masa –
masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan
jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total
oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama
menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah
Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah
adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai
representasi para momole di masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila
seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau,
Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya
lihat Struktur
organisasi kesultanan Ternate.
Moloku Kie Raha
Selain
Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 5 kerajaan lain yang memiliki
pengaruh. Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda. Kerajaan – kerajaan ini
merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan
rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk
memperkuat hegemoninya di Maluku Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini
menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku,
mereka memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang.
Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili
Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja –
raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan.
Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond.
Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah
penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini
dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan Islam
Tak ada
sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya
Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat
Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah
bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama
bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam
masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate
resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano
Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano
Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin
(1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah
meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai
agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan
sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini
kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan.
Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin
pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri
di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan
Cengkih).
Kedatangan Portugis dan perang saudara
Di masa
pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin
berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan
perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk
memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di
Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Tahun 1512 Portugis
untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan
Sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugis datang
bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan
rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka
harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris -
pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran
Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang
asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni
salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu)
dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran
Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugis memanfaatkan
kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu
permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung
Portugis. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan
dibunuh Portugis. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan
dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat
pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan
Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang
ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian
menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun
perjanjian itu ditolak mentah-mentah Sultan
Khairun (1534-1570).
Pengusiran Portugis
Perlakuan
Portugis terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan
bertekad mengusir Portugis dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu
ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan
Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari
tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain
Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya
membentuk Tripple Alliance untuk membendung sepak terjang Portugis di
Nusantara.
Tak ingin
menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugis.
Kedudukan Portugis kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan
kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu – sekutu suku
pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan
Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka, Portugis di Maluku
kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada sultan
Khairun. Secara licik Gubernur Portugis, Lopez de Mesquita mengundang Sultan
Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh Sultan yang
datang tanpa pengawalnya. Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat
Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung
kepemimpinan dan perjuangan Sultan
Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan
wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya
Portugis meninggalkan Maluku untuk selamanya tahun 1575. Kemenangan rakyat
Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-putera nusantara atas kekuatan
barat. Dibawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan,
wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga
kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara
hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Baabullah dijuluki
“penguasa 72 pulau” yang semuanya berpenghuni (sejarawan Belanda, Valentijn
menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut) hingga menjadikan
kesultanan Ternate sebagai kerajaan islam terbesar di Indonesia timur,
disamping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala
itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau
tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar
pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kedatangan Belanda
Sepeninggal
Sultan Baabullah Ternate mulai melemah, Spanyol yang telah bersatu dengan
Portugis tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate.
Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun
menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal bahkan
sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila. Kekalahan
demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda tahun
1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat
mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate, tanggal 26 Juni
1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai
imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Di tahun 1607 pula Belanda membangun
benteng Oranje di Ternate yang
merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak
awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya
adalah pangeran Hidayat (15?? - 1624), Raja muda Ambon yang juga merupakan
mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan
dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual
rempah – rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Perlawanan rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin
lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada sultan – sultan Ternate semakin
kuat, Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat
perintah sultan, sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung
manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya
ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
· Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah
yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar – besaran pohon
cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya
rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon
Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate – Hitu – Makassar
menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian
berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16
Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu
Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
· Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate
dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah
(1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti
kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga
diantara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalumata.
Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan
Ternate, pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara pangeran Kalumata
adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di
Maluku tengah sementara pangeran Kalumata bergabung dengan raja Gowa sultan
Hasanuddin di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan
Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655) namun berkat
bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun
pemberontakan Saidi cs berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam
hingga mati sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan
dan hidup dalam pengasingan.
· Sultan Muhammad Nurul Islam
atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak – tanduk Belanda
yang semena - mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman
penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal
karena daerah – daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan
terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para
pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683
Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan
Ternate sebagai kerajaan vazal Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate
sebagai negara berdaulat.
Meski
telah kehilangan kekuasaan mereka beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap
berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang
terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan
rakyatnya secara diam – diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927)
menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah – wilayah kekuasaannya, bermula di
wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal. Di Jailolo
rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil
menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas
termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas mereka diobrak – abrik. Akan
tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki
Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan
dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat
dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia
Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, sultan Haji Muhammad Usman Syah
dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, beliau dibuang ke
Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927. Pasca penurunan sultan Haji
Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan
pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul
keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan Ternate namun
niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu
pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan
Belanda di Batavia.
Dalam
usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya tinggal simbol belaka. Jabatan sultan sebagai pemimpin
Ternate ke-49 kini dipegang oleh sultan Drs. Hi. Mudhaffar Sjah, BcHk.
(Mudaffar II) yang dinobatkan tahun 1986.
Warisan Ternate
Imperium
nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan
abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang
masih terus terasa hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat
besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan
pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan
bahasa.
Sebagai
kerajaan pertama yang memeluk Islam Ternate memiliki peran yang besar dalam
upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur
nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta
penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh sultan Zainal
Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa
perubahan yang berarti. Keberhasilan rakyat Ternate dibawah sultan Baabullah
dalam mengusir Portugis tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi
nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya almarhum Buya Hamka
bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas
bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan
sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi
pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan
Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa
Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah
pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow
dalam tulisannya; “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa - bahasa Austronesia dan
Non Austronesia” mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar
terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46%
kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari bahasa Ternate. Bahasa Melayu –
Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara,
pesisir timur Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang
berbeda – beda. Dua naskah Melayu tertua di dunia adalah naskah surat sultan
Ternate Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521
yang saat ini masih tersimpan di museum Lisabon – Portugal.
- Kesultanan Tidore (1110 - 1947?)
Kesultanan Tidore
adalah kerajaan
Islam
yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara,
Indonesia
sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16
sampai abad ke-18),
kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera
selatan, Pulau Buru,
Ambon,
dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada
tahun 1521,
Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol
sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu
dengan Portugis.
Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari
pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah
kerajaan paling independen di wilayah Maluku.
Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin
(memerintah 1657-1689), Tidore berhasil
menolak pengusaan VOC
terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Kesultanan Bacan
adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan,
Kepulauan
Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja
Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di
Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku
di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah
lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.
Kerajaan Tanah Hitu
adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon,
Maluku.
Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama
yang bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini
didirikan oleh Empat Perdana
yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu
pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat
penting di Maluku,
disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya. Beberapa di
antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang
tidak tertulis didalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri
sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.
Sejarah
Hubungan dengan kerajaan lain
Kerajaan
ini memiliki hubungan erat dengan barbagai kerajaan Islam di Pulau Jawa
seperti Kesultanan Tuban, Kesultanan
Banten, Sunan Giri di Jawa Timur
dan Kesultanan Gowa di Makassar
seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu, begitu
pula hubungan antara sesama kerajaan Islam di Maluku (Al Jazirah Al Muluk;
semenanjung raja-raja) seperti Kerajaan Huamual (Seram
Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kesultanan Ternate, Kesultanan
Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kerajaan Makian.
Empat Perdana Hitu
Etimologi
Kata Perdana
adalah asal kata dari Bahasa Sansekerta artinya Pertama. Empat
Perdana adalah empat kelompok yang pertama datang di Tanah Hitu, pemimpin dari
Empat kelompok dalam bahasa Hitu disebut Hitu Upu Hata atau Empat
Perdana Tanah Hitu.
Awal mula kedatangan
Kedatangan
Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk
asli Pulau Ambon.
Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku.
Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di
tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi
seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan
Valentijn.
Orang Alifuru
Orang
Alifuru adalah sebutan untuk sub Ras Melanesia yang pertama mendiami Pulau
Seram dan Pulau-Pulau lain di Maluku, adapun Alifuru berasal dari kata Alif dan
kata Uru, Kata Alif adalah Abjad Arab yang pertama sedangkan kata Uru’ berasal
dari Bahasa Hitu Kuno yang artinya datang secara perlahan maka Alifuru artinya
Pertama datang.
Periode kedatangan Empat Perdana Hitu
Kedatangan
Empat Perdana itu ke Tanah Hitu secara periodik :
1.Pendatang
Pertama adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat) kemudian ke
Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tahun kedatangannya tidak tertulis.
Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
2.Pendatang
Kedua adalah Kiyai Daud dan Kiyai Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri
dengan saudara Perempuannya bernama Nyai Mas.
o
Menurut silsilah Turunan Raja
Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak dari :
Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah.
Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban.
Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a).
o
Disana mereka temukan Keramat
atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu karang. Tempat itu bernama Hatu Kursi
atau Batu Kadera (Kira-Kira 1 Km dari Negeri Hitu). Peristiwa kedatangan beliau
tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan cerita turun – temurun.
o
Perdana Tanah Hitu Tiba di
Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a) pada tahun 1440 pada malam hari,
dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete artinya hitam gelap gulita sesuai warna
alam pada malam hari.
o
Mereka tinggal disuatu tempat
yang diberi nama sama dengan asal Ibu mereka yaitu Tuban / Ama Tupan (Negeri
Tuban) yakni Dusun Ama Tupan/Aman Tupan sekarang kira-kira lima ratus meter di
belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya di Pesisir Pantai yang
bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti.
o
Perdana Pattikawa disebut juga
Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya orang yang pertama mendirikan
negerinya di Pesisir pantai, nama negeri tersebut menjadi nama soa atau Ruma
Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu.
3.Kemudian
datang lagi Jamilu dari Kerajaan Jailolo . Tiba di Tanah Hitu pada Tahun 1465 pada waktu magrib
dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau warna merah (warna bunga)
sesuai dengan corak warna langit waktu magrib. Mendirikan negerinya bernama
Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama marganya yaitu Lating. Jamilu
disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi, Nustapi artinya Pendamai,
karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah Hitu dengan
Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau, dia juga digelari
Kapitan Hitu I.
4.Sebagai
Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di
Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Sholat) sore hari dalam
bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit
pada waktu Ashar (waktu sholat).
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
Penggabungan Empat Perdana Hitu
Oleh
karena banyaknya pedagang-pegadang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu dan Tiongkok
berdagang mencari rempah-rempah di Tanah Hitu dan banyaknya pendatang –
pendatang dari Ternate, Jalilolo, Obi, Makian dan Seram ingin berdomisili di
Tanah Hitu, maka atas gagasan Perdana Tanah Hitu, ke Empat Perdana itu
bergabung untuk membentuk suatu organisasi politik yang kuat yaitu satu Kerajaan.
Kemudian
Empat Perdana itu mendirikan negeri yang letaknya kira-kira satu kilo meter
dari Negeri Hitu (sekarang menjadi dusun Ama Hitu/Aman Hitu) disitulah awal
berdirinya Negeri Hitu yang menjadi Pusat kegiatan kerajaan Tanah Hitu,
bekasnya sampai sekarang adalah Pondasi Mesjid. Mesjid tersebut adalah mesjid
pertama di Tanah Hitu, mesjid itu bernama Masjid Pangkat Tujuh karena struktur pondasinya tujuh lapis.
Setelah itu Empat Perdana mengadakan pertemuan yang di sebut TATALO GURU (red:
duduk guru)artinya kedudukan adat atas petunjuk UPUHATALA (ALLAH TA’ALA--
metafor bahasa dari dewa agama Kakehang yaitu agama pribumi bangsa seram),
mereka bermusyawara untuk mengangkat pemimpin mereka, maka dipililah salah
seorang anak muda yang cerdas dari keturunan Empat Perdana yaitu anak dari
Pattituri adik kandung Perdana Pattikawa atau Perdana Tanah Hitu yang bernama
Zainal Abidin dengan Pangkatnya Abubakar Na Sidiq sebagai Raja Kerajaan Tanah
Hitu yang pertama yang bergelar Upu Latu Sitania pada tahun 1470.
Latu
Sitania terdiri dari dua kata yaitu Latu dan Sitania,dalam bahasa Hitu Kuno
Latu artinya Raja dan Sitania adalah pembendaharaan dari kata Ile Isainyia
artinya dia sendiri, maka Latu Sitania artinya Dia sendiri seorang Raja di
Tanah Hitu, dalam bahasa Indonesia modern artinya Raja Penguasa Tunggal,
sedangkan pada versi dari Hikayat Tanah Hitu karya
Imam Ridzali: latu berarti raja dan Sitania ( tanya,ite panyia) berarti tempat
mencari faedah baik dan buruk berraja.
Tujuh Negeri di Tanah Hitu
Sesudah
terbentuk Negeri Hitu sebagai pusat Kerajaan Tanah Hitu kemudian datang lagi
tiga clan Alifuru untuk bergabung, diantarannya Tomu, Hunut dan Masapal. Negeri
Hitu yang mulanya hanya merupakan gabungan empat negeri, kini menjadi gabungan
dari tujuh negeri. Ketujuh negeri ini terhimpun dalam satu tatanan adat atau
satu Uli (Persekutuan) yang disebut Uli Halawan (Persekutuan Emas), dimana Uli
Halawan merupakan tingkatan Uli yang paling tinggi dari keenam Uli Hitu
(Persekutuan Hitu). Pemimpin Ketujuh negeri dalam Uli Halawan disebut Tujuh
Panggawa atau Upu Yitu. (sebutan kehormatan).
Gabungan
Tujuh Negeri menjadi Negeri Hitu diantaranya :
1.Negeri
Soupele
2.Negeri
Wapaliti
3.Negeri Laten
4.Negeri Olong
5.Negeri Tomu
6.Negeri Hunut
7.Negeri
Masapal
Sastra bertutur
Kapatah
Tanah Hitu dari Uli Halawan dalam bahasa Hitu : Upu Lihalawan-e Sopo Himi
- o Hitu Upu-a Hata Tomu-a Upu-a Telu Nusa Hu’ul Amana Lima Laina Malono Lima
Pattiluhu Mata Ena Artinya Tuan Emas Yang di Junjung (Raja Tanah Hitu) Hitu
Empat Perdana Tomu Tiga Tuan (Tiga Pemimpin Ken Tomu) Kampung Alifuru Lima
Negeri Lima Keluarga dari Hoamual (Waliulu, Wail, Ruhunussa, Nunlehu,
Totowalat)
Lane atau Kapatah (Sastra bertutur) dari klen Hunut dalam bahasa Hitu yang masih hidup sampai sekarang yang menyatakan dibawah perintah Latu Hitu (Raja Hitu):
“yami he’i lete, hei lete hunut – o
“yami he’i lete, hei lete hunut – o
aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o
aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o
yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o
yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o
waai-ya na silawa lete huni mua-o
waai-ya na silawa lete huni mua-o
suli na silai salane kutika-o
suli na silai salane kutika-o
awal le e jadi lete elia paunusa-o”
awal le e jadi lete elia paunusa-o”
Artinya :
Kami dari Hunut, Kami dari Hunut
Kami dari Hunut, Kami dari Hunut
Negeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong,
Negeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong,
Kami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah Hitu
Kami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah Hitu
Orang Waai sudah Lari Pergi Ke Hunimua
Orang Waai sudah Lari Pergi Ke Hunimua
Orang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabung
Orang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabung
Kejadian ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa
Kejadian ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa
Pada
pemerintahan Raja Mateuna’ Negeri Hitu sebagai pusat kegiatan Kerjaan Tanah
Hitu di Pindahkan ke Pesisir Pantai pada awal abad XV masehi kini Negeri Hitu
sekarang, Raja Mateuna’ adalah Raja Kerajaan Tanah Hitu yang ke lima dan juga
merupakan raja yang terakhir pada pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu yang
pertama sekarang menjadi dusun Ama Hitu letaknya kira-kira satu kilo meter dari
negeri Hitu sekarang, beliau meninggal dunia pada 29 Juni 1634. Pada masa Raja
Mateuna’ terjadi kontak pertama antara Portugis dengan Kerajaan Tanah Hitu,
perlawanan fisik pada Perang Hitu- I Pada tahun 1520-1605 di pimpin oleh
Tubanbessy-I, yaitu Kapitan Sepamole, dan akhirnya Portugis angkat kaki dari
Tanah Hitu dan kemudian mendirikan Benteng Kota Laha di Teluk Ambon (Jazirah
Lei timur) pada tahun 1575 dan mulai mengkristenkan Jazirah Lei Timur. Raja
Mateuna meninggalkan dua Putra yaitu Silimual dan Hunilamu, sedangkan istrinya
berasal dari Halong dan Ibunya berasal dari Negeri Soya Jazirah Leitimur (Hitu
Selatan), beliau digantikan oleh Putranya yang ke dua yaitu Hunilamu menjadi
Latu Sitania yang ke Enam (1637–1682). Sedangkan Putranya pertamanya Silimual
ke Kerajaan Houamual (Seram Barat) berdomisili disana dan menjadi Kapitan
Huamual, memimpin Perang melawan Belanda pada tahun 1625-1656 dikenal dengan
Perang Hoamual dan seluruh keturunannya berdomisili disana sampai sekarang
menjadi orang asli Negeri Luhu (Seram Barat) bermarga Silehu. Sesudah perginya
Portugis Belanda makin mengembangkan pengaruhnya dan mendirikan Benteng
pertahanan di Tanah Hitu bagian barat di pesisir pantai kaki gunung wawane,
maka Raja Hunilamu memerintahkan ketiga Perdananya mendirikan negeri baru untuk
berdampingan dengan Belanda (Benteng Amsterdam), agar bisa membendung pengaruh
Belanda di Tanah Hitu, Negeri itu dalam bahasa Hitu bernama Hitu Helo artinya
Hitu Baru, karena makin berkembangnya pangaruh dialek bahasa, akhirnya kata
Helo menjadi Hila yaitu Negeri Hila sekarang dan negeri asal mereka Negeri Hitu
berganti nama menjadi Negeri Hitu yang Lama. Belanda tiba di Tanah Hitu pada
tahun 1599 dan kemudian mendirikan kongsi dagang bernama V.O.C pada tahun 1602
sejak itulah terjadi perlawanan antara Belanda dengan Kerjaan Tanah Hitu,
karena mendirikan monopoli dagang tersebut, puncaknya terjadi Perang Hitu – II
atau Perang Wawane yang dipimpin oleh Kapitan Pattiwane anaknya Perdana Jamilu
dan Tubanbesi-2, yaitu Kapitan Tahalele tahun 1634 -1643 dan Kemudian
perlawanan Terakhir yaitu perang Kapahaha 1643 - 1646 yang dipimpin oleh
Kapitan Talukabesi (Muhammad Uwen) dan Imam Ridjali setelah Kapitan Tahalele
menghilang, berakhirnya Perang Kapahaha ini Belanda dapat menguasi Jazirah Lei
Hitu. Belanda melakukan perubahan besar-besaran dalam struktur pemerintahan
Kerajaan Tanah Hitu yaitu mengangkat Orang Kaya menjadi raja dari setiap Uli
sebagai raja tandingan dari Kerajaan Tanah Hitu. Hitu yang lama sebagai pusat
kegiatan pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu di bagi menjadi dua administrasi
yaitu Hitulama dengan Hitumessing dengan politik pecah belah inilah (devidet et
impera) Belanda benar-benar menghancurkan pemerintah Kerajaan Tanah Hitu sampai
akar-akarnya.
Negeri –
Negeri di Jazirah Lei Hitu yang tidak termasuk di dalam Uli Hitu berarti
negeri-negeri tersebut adalah negeri – negeri baru atau negeri-negeri yang
belum ada pada zaman kekuasaan Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682).Ketujuh Uli
diantaranya :
1. Uli Halawang terdiri dari dua negeri yaitu:
· Negeri Hitu
· Negeri Hila
Central
Ulinya di Negeri Hitu
2. Uli Solemata (Wakane) terdiri dari tiga negeri yaitu:
· Ngeri Tial
· Ngeri Suli
· Negeri Tulehu
Central
Ulinya di Negeri Tulehu
3.Uli
Sailesi terdiri dari empat negeri yaitu:
· Negeri Mamala
· Negeri Morela
· Negeri Liang
· Negeri Wai
Central
Ulinya di Negeri Mamala
4.Uli Hatu Nuku terdiri dari satu negeri yaitu :
· Negeri Kaitetu
Central
Ulinya di Kaitetu
5.Uli Lisawane terdiri dari satu negeri yaitu :
· Negeri Wakal
Central
Ulinya di Wakal
6.Uli Yala terdiri dari tiga negeri yaitu :
·
Negeri Seith
·
Negeri Ureng
·
Negeri Allang
Central
Ulinya di Seith
7.Uli Lau Hena Helu terdiri dari satu negeri yaitu :
· Negeri Lima
Central
Ulinya di Negeri Lima
Silsilah Upu Latu Sitania Kerjaan Tanah Hitu
1.ZAINAL
ABIDIN (ABUBAKAR NASIDIQ)
2.MAULANA
IMAM ALI MAHDUM IBRAHIM
3.PATTILAIN
4.POPO
EHU’
5.MATEUNA
6.HUNILAMU
(1637 – 1682)
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Tanah_Hitu"
Kerajaan Islam di Sulawesi
- Kesultanan Gowa (awal abad ke-16 - 1667?)
Kesultanan Gowa atau
kadang ditulis Goa, adalah salah
satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi
Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar
yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.
Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten
Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI
dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja
yang paling terkenal bergelar Sultan
Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda
yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis
dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati
perang antar suku Makassar - suku Bugis, karena di pihak Gowa ada sekutu
bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik
Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini. Perang Makassar ini
adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad itu.
Sejarah
Sejarah awal
Pada
awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate
Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan
Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya
bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai
oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain
menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama
adalah Batara Guru dan saudaranya
Abad ke-16
Tumapa'risi' Kallonna
Memerintah
pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9,
bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis
berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil".
Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna
mengubah daerah Makassar
dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar
menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo
kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang
mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman
Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan
sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai
kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa,
masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan
penangkapan ikan banyak.[1]
Dalam
sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara
tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang
kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16
dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna
diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang
menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.[1]
Tunipalangga
Tunipalangga
dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik
(Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:
1.
Menaklukkan dan menjadikan
bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil
di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan
negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
2.
Orang pertama kali yang membawa
orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
3.
Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
4.
Menciptakan jabatan Tumailalang
untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa
mengurus perdagangan dengan pihak luar.
5.
Menetapkan sistem resmi ukuran
berat dan pengukuran
6.
Pertama kali memasang meriam
yang diletakkan di benteng-benteng besar.
7.
Pemerintah pertama ketika orang
Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat
batu bata.
8.
Pertama kali membuat dinding
batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
9.
Penguasa pertama yang didatangi
oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal
di Makassar.
10. Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang
tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.
11. Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
12. Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang
narasumber, kaya dan sangat berani.
Raja-raja Kesultanan Gowa
1.
Tumanurunga (+ 1300)
2.
Tumassalangga Baraya
3.
Puang Loe Lembang
4.
I Tuniatabanri
5.
Karampang ri Gowa
6.
Tunatangka Lopi (+ 1400)
7.
Batara Gowa Tuminanga ri
Paralakkenna
8.
Pakere Tau Tunijallo ri
Passukki
9.
Daeng Matanre Karaeng
Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
- I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid
Tuminanga ri Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653 - I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 - I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri
Allu'
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
1.
I Mallawakkang Daeng Mattinri
Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
- Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681 - I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
- La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
- I Manrabbia Sultan Najamuddin
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
- I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
- I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
- Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
- I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
- I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
- I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
- I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
- La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
- I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
- I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
- I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain
Tuminang ri Bundu'na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[2] - I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
- Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
- Kesultanan Buton (1332 - 1911)
Kesultanan
Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di
bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan
sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan
yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit,
Patih Gajah Mada
dalam Sumpah Palapa,
menyebut nama Pulau Buton.
Sejarah awal
Mpu Prapanca
juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama. Sejarah
yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone
di Sulawesi
lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang
berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid
Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun
815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan
baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil
mengislamkan Raja
Buton
yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat
lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian
pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam
artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang
sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu),
salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate.
Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat
dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan
Buton
ialah bahasa
Wolio,
namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu,
terutama bahasa
Melayu
yang dipakai di Malaka,
Johor
dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal
di Pulau Buton,
sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang
Buton
sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan
menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang,
hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Raja Buton masuk Islam
Kerajaan
Buton
secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang
Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang
diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa
riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama
isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau
sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk
dalam pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali
dari Maluku
menuju Pasai
(Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton,
menghadap Raja Buton.
Syeikh Abdul Wahid setuju
dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung
ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada
tahun 948 H/1538 M.
Walau
bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada
sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid
merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai
Sultan
Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu
Sultan
Qaimuddin. Maksud
perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam
riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja
didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan
Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika
diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000
di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek
tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil
wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
1.Syeikh Abdul
Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
2.Syeikh Abdul
Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
3.Kedatangan
Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru
beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman
beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik
Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat
lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai
Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama
memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra
dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam
Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah
tahun 1538 Miladiyah.
Jika kita
bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh
La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M),
bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi
Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah
meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua
kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe
adalah lebih meyakinkan.
Yang
menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa
``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541
M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus
melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan
Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa
pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum,
sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung
Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan
Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk
dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah
terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum
diketahui oleh para penyelidik.
Namun
walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada
hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang
Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita
bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu
pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam
Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini
dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran
tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat
tidak diabaikan.
Semua
perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan
Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan
Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga
digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain.
Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia
1945.
KEPERCAYAAN REINKARNASI
Satu hal
yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah
kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di
pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan
dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat. Secara umum, ada
empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan
sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela
dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri
rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara
(Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara
somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Mengenai
kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian
upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak,
orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang
kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada
kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan
ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang
lain.
A. Asal-Usul Kepercayaan pada Reinkarnasi
Reinkarnasi
berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi
merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah
yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan
seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain.
Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah
kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai
satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk,
reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
Bila
mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang
mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang
dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin
pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh
Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan
kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan
reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
Wilken
(1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa
kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di
Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus
daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep
asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang
kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa
disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64
dan 68).
Mengenai
anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan.
Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan
ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan
pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut
cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar
sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum
(Zahari 1977, I:46).
Bukti
kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat,
Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan.
Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton
disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah
pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa
dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah
pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar
masuk Islam.
Bukti
lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan
tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz
(1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali
para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang
reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke
dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
Biasanya,
seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan
tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini
bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan
dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi
dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan
orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang
yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh
kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat
yang serupa.
Bagi
orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis
padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia
akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak
menjadi masalah.
Soal
gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu
memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh
pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut..
setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang
berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang
reinkarnasi.
B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan
Reinkarnasi
b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat
reinkarnasi
Ada
kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati
dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut
motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan
hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan
memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang
meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
Salah
seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada
suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan
bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,”
seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah
mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl,
tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
Di Rongi
pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi
sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal
ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran
bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia
yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri
tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan
sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya
kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum”
(kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum
atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
Menurut
adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga
dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan
tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya
arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
Setiap
tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula
(surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu
tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup
dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir
dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
Dengan
cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin
arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun.
Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya
akan cacat.
Dalam
pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh
alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut
sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La
Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed
(bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas). Tiga alam pertama, alam
ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan
secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran
tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan
keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan
tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke
pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah
harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang
tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta
kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan
bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran,
gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari
setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi
tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung
selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak
menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun
waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan
panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam
manusia dicapai.
Kendati
arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk
kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka
panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam
insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau
ungkapan (pra-Islam).
Ada juga
pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara
untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan
keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam
perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian
mayat.
Setelah
tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu
arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh
hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir
keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir
secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum
juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah
menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah
kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi
masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu,
sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu
melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai
berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo
aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus
dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
Ilmu
tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum
lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin
terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan
pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia
berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus
sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke
masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti
kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
Ilmu
tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada.
Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan
asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
Seandainya
orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat.
Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena
bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang
sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli
tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba
banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah
“merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi,
sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan
oleh orang biasa.
Di lain
pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan
berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga
(papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau
dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah
sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali
ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang
perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan
sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak
laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
Konon, di
Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat
mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan
bahkan seekor babi.
b.2. Berubah menjadi binatang
Perjalanan
arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan
Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas
hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah
suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum
(k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga
menunjukan kesucian).
Cerita
ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan.
Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya.
Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada
ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba
di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh
putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu
yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan
dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat
menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada
Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat
apa saja yang disukainya.
b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak
Kadang
kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada
siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan
dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi
permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu
mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
Sultan
Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada
dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta
merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
C. Percaya pada Reinkarnasi dan
Gagasan-gagasan Keagamaan Lain
c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam
Informan
yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi,
memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan
setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok
dengan Islam.
Doa-doa
Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa
kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di
makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat
dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat
mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
Meskipun
demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak
bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi
biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah,
menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya
tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
Mereka memperoleh
pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang
mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan”
Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup
dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju
al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya
min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u
bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
Antara
ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada
hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa
pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa
(Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau
berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi.
Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu
kata Arab yang artinya “pergi”.
Dalam doa
kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya
Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik,
gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya
kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama
meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu.
Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke
tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
Pada
tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah
menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa
Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks
atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya
ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas).
Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan.
Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
Islam
secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi.
Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari
perselisihan pendapat
c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan
leluhur
Dalam
agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan
mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai
upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu,
memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang
dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau
sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang
pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton,
orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi
mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan
gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk
akal.
Memang dari
penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah
terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak
menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah
tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu
arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah
meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
Ada satu
jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl:
“Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha
Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak
yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala
sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia
Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh
/arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah
hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah
tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
Kesultanan Bone atau
sering pula dikenal dengan Kesultanan
Bugis, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi
bagian barat daya
atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi
Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Sejak
berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah
pengaruh Belanda
di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah
kontrol Belanda
sampai tahun 1814
ketika Inggris
berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda
pada 1816
setelah perjanjian di Eropa
akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda
ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda,
namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan
sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia
pada saat proklamasi. Di Bone, para
raja bergelar Arumpone.
Daftar Arumpone Bone
1.
Matasi LompoE [ManurungE Ri
Matajang] (1392-1424)
2.
La Umassa Petta Panre BessiE
[To' Mulaiye Panreng] (1424-1441)
3.
La Saliyu Karaeng Pelua'
[Pasadowakki] (1441-1470)
4.
We Ban-ri Gau Daeng Marawa
Arung Majang Makalappi Bisu-ri La Langpili Patta-ri La We Larang [MalajangE ri
Chiena] (1470-1490)
5.
La Tenri Sukki MappajungE
(1490-1517)
6.
La Wulio BotoE [MatinroE-ri
Itterung] (1517-1542)
7.
La Tenri Rawe Bongkange
[MatinroE-ri Guchina] (1542-1584)
8.
La Icca' [MatinroE-ri Adenenna]
(1584-1595)
9.
La Pattawe [MatinroE-ri
Bettung] (15xx - 1590)
16. La Ténritatta Matinroe ri Bontoala' (Arung
Palakka) petta malampeE Gemme'na Daeng Serang (1672-1696)
18. Batari Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana
Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri
Tipuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
19. La Padang Sajati To' Apawara Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni
al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Beula] (1715-1720)
20. Bata-ri Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana
Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri
Tipuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
21. La Parappa To' Aparapu Sappewali Daeng Bonto Madanrang Karaeng
Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris
Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sulta Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu],
Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
22. I-Mappaurangi Karaeng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni
al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sulta Gowa dengan gelar
Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
23. La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampua Karaeng Bisei Paduka Sri Sultan
'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Bisei]
(1724)
24. Batari Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana
Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna]
(1724-1738) (masa jabatan ketiga)
25. I-Danraja Siti Nafisah Karaeng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
26. Batari Toja Daeng Talaga Arung Timurung Datu-ri Chitta Sultana
Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri
Tipuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
27. La Temmassoge Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan
'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE
ri-Malimungang] (1749-1775)
28. La Tan-ri Tappu To' Appaliweng Arung Timurang Paduka Sri Sultan
Ahmad as-Saleh Shams ud-din [MatinroE-ri-Rompegading] (1775-1812)
29. La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail
Muhtajuddin [MatinroE-ri Laleng-bata] (1812-1823)
30. I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [MatinroE-ri
Kassi] (1823-1835)
31. La Mappaseling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [MatinroE-ri
Salassana] (1835-1845)
32. La Parenringi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [MatinroE-ri
Aja-benteng] (1845-1858)
33. La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)
34. La Singkara Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [MatinroE-ri
Lalambata] (1860-1871)
35. I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [MatinroE-ri Bola Mappare'na]
(1871-1895)
36. La Pawawoi Karaeng Sigeri [MatinroE-ri Bandung] (1895-1905)
37. Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaeng Silayar Sri Sultan Ibrahim
ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
38. Andi Pabenteng Daeng Palawa [MatinroE-ri Matuju] (1946-1950)
39. Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaeng Silayar Sri Sultan
Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain [MatinroE-ri Gowa] (1950-1960) (masa jabatan
kedua diangkat oleh belanda)
40. Arung Bocco Petta Daru
/ Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [MatinroE-ri Bengo] (1827-1904) (setelah wafat
tidak ada mangkau di bone selama 20 thn)
41. Ratu Bessi Kejora Saudara Kandung
Dari Arung Bocco Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng
[MatinroE-ri Kajuara]] ) (Adalah keturunan Langsung Dari Almarhum Jendral
M.Yusuf)"
Kerajaan Islam di Kalimantan
- Kesultanan Pasir (1516)
Kesultanan Pasir yang
sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas,
berdiri pada tahun 1516
dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung.
Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten
Pasir yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian
Provinsi Kalimantan Selatan.[1]
Sejarah
·
1523, perkawinan Putri Di
Dalam Petung dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama Islam dari
Kesultanan
Demak) yang dikaruniai empat orang anak, yaitu
1.
Aji Mas Pati Indra,
2.
Aji Putri Mitir,
3.
Aji Mas Anom Indra, dan
4.
Aji Putri Ratna Beranak.
· Hingga 1959
- Wilayah Pasir berstatus kewedanaan di dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Pemerintahan selanjutnya
·
1667-1680 - Aji Perdana bin Aji
Anom Singa Maulana, bergelar Penambahan Sulaiman
·
1680–1730 - Aji Duwo bin Aji
Mas Anom Singa Maulana, bergelar Penambahan Adam
·
1703-1738 - Aji Geger bin Aji
Anom Singa Maulana, bergelar Sultan Aji
Muhammad Alamsyah (Sultan Pasir I)
·
1738-1768 - Aji Negara bin Sultan
Aji Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan Sepuh Alamsyah
(Sultan Pasir II)
·
1768-1799 - Aji Dipati bin
Panembahan Adam, bergelar Sultan Dipati
Anom Alamsyah (Sultan Pasir III)
·
1799-1811 - Aji Panji bin Ratu
Agung, bergelar Sultan
Sulaiman Alamsyah (Sultan Pasir IV)
·
1811-1815 - Aji Sembilan bin
Aji Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan
Ibrahim Alamsyah
·
1815-1843 - Aji Karang bin
Sultan Sulaiman Alamsyah, bergelar Mahmud Han Alamsyah
·
1843-1853 - Aji Adil bin Sultan
Sulaiman Alamsyah, bergelar Sultan Adam Alamsyah
·
1853-1875 - Aji Tenggara bin
Aji Kimas bergelar Sultan Sepuh
II Alamsyah
·
1875-1890 - Aji Timur Balam
diberi gelar Sultan
Abdurahman Alamsyah
·
1897-1898 - Pangeran Nata bin
Pangeran Dipati Sulaiman, pada bulan Oktober-Desember diberi gelar Sultan
Sulaiman Alamsyah
·
1898-1900 - Pangeran Ratu bin
Sultan Adam Alamsyah bergelar Sultan Ratu
Raja Besar Alamsyah.
·
1900-1906 - Pengeran Mangku
Jaya Kesuma bergelar Sultan
Ibrahim Khaliluddin (Sultan Terakhir)
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe (Kalimantan Tenggara)
Kesultanan
Pasir merupakan salah satu daerah leenplichtige landschappen dalam
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178,
wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru,
terdiri dari daerah-daerah leenplichtige landschappen dan daerah landschap
yang langsung diperintah kepala bumiputeranya :
1.
Pasir
2.
Pegatan
3.
Koensan
4.
Tjingal
5.
Manoenggoel
6.
Bangkalaan
7.
Sampanahan
8.
Tjangtoeng
9.
Batoe Litjin
10. Sabamban
dan
11. Poelau Laoet dengan Poelau
Seboekoe
- Kesultanan Banjar (1526-1905)
Kesultanan Banjar (24
September 1526 s.d 11 Juni 1860) adalah kesultanan
yang terdapat di Kalimantan Selatan. Kesultanan ini semula
beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura
dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di
Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika
ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan
Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu
yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Sejarah
Di
Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan
(keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia
Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
1.
Keraton I disebut Kerajaan
Kuripan/Kerajaan Tanjung Puri
2.
Keraton II disebut Kerajaan Negara Dipa
3.
Keraton III disebut Kerajaan Negara Daha
4.
Keraton IV disebut Kesultanan Banjar
Maharaja
Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya
Raden Samudera (anak dari Puteri Galuh Intan Sari). Hal tersebut menyebabkan
Raden Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran (saudara raja) juga
berambisi sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi
menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan (anaknya?) Pangeran
Tumenggung. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam
keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan,
ia berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih
(Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya
melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan
sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha akhirnya menyerahkan
regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasih.
Setelah mengalami masa peperangan dimana Banjar mendapat bantuan Kesultanan
Demak. Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan beralih kepada Pangeran Samudera yang
menjadi menjadi Sultan Banjar yang pertama, sementara Pangeran Tumenggung
mundur ke daerah Alay di pedalaman dengan seribu
penduduk.
Kesultanan
Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada
sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau
Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan
Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan
Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke
Jawa.
Supremasi
Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan
Banjarmasin dengan bantuan Madura dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat
perlawanan yang sengit.
Sultan
Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan
Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali
merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat
daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung
menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring
dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek
militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Panembahan
(Sultan) Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang,
Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut,
Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin,
hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak
tahun 1631
Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena
kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak
ada lagi. Sesudah tahun 1637
terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban
agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh
yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi
pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping
menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga
harus menghadapi kekuatan Belanda.
Sebelum
dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur
berbatasan dengan Kesultanan Pasir. Pada daerah-daerah pecahan
tersebut, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak
memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada
Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan
Belanda.
Wilayah
Teritorial
Kerajaan Banjar dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan
dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1.
Negara Agung
2.
Mancanegara
3.
Pasisir
Wilayah
kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura
dan berakhir pada titik luar dari negeri Mempawah sampai ke negeri Berau.
Daerah
Martapura merupakan wilayah pertama dan pusat pemeritahan Sultan
Banjar.
Dalam
perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat
dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan
yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh
berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
Wilayah
teritorial yang kedua terdiri dari :
1.
Tanah Laut atau tanah rendah, sebelah
Barat Meratus, sebelah Selatan Banjarmasin.
2.
Daerah Banjar Lama
dengan Pelabuhan Banjarmasin.
3.
Banua Ampat, yaitu daerah Banua Padang,
Banua Halat,
Banua Parigi dan Bnaua Gadung di daerah Rantau.
4.
Margasari
5.
Alay
6.
Amandit
7.
Banua Lima
yang terdiri dari daerah Negara, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai
dan Kalua
8.
Muarabahan
Teritorial
ketiga (daerah pengirim upeti) terdiri dari :
·
Tanah Bumbu, Pulau Laut,
Karasikan (Kersik Putih?),
Pasir,
Kutai,
Berau
dan pantai sebelah Timur
·
Kotawaringin, Sukadana (Lawai), Landak, Sanggau, Sintang,
Mempawah, Sambas
dan pantai sebelah Barat.
Sistem Pemerintahan
1.
Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2.
Putra Mahkota :
bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3.
Perdana
Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah
Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang
Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4.
Lalawangan : kepala
distrik, kedudukannya sama seperti di masa Hindia
Belanda.
5.
Sarawasa, Sarabumi dan
Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6.
Mandung dan Raksayuda :
Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7.
Mamagarsari : Pengapit
raja duduk di Situluhur
8.
Parimala : Kepala urusan
dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
9.
Sarageni dan Saradipa :
Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang,
badil, meriam dll.
10. Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan,
ternak, dan berburu
11. Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan
pedalaman dan pedusunan
12. Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai
Pembantu
13. Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan
lumbung padi, kesejahteraan
14. Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17. Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang
dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
18. Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19. Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan
di masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
1.
Mangkubumi
2.
Mantri Pangiwa dan Mantri
Panganan
3.
Mantri Jaksa
4.
Tuan Panghulu
5.
Tuan Khalifah
6.
Khatib
7.
Para Dipati
8.
Para Pryai
·
Masalah-masalah agama Islam
dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan,
dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan
Penghulu.
·
Masalah-masalah hukum sekuler
dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari
Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
·
Masalah tata urusan kerajaan
merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
·
Dalam hierarki struktur negara,
dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang
negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja
berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa.
Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah
keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
·
Para Dipati, terdiri dari para
saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah
Mangkubumi.
Sistem
pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq
Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
1.
Mufti : hakim tertinggi,
pengawas Pengadilan umum
2.
Qadi : kepala urusan hukum
agama Islam
3.
Penghulu : hakim rendah
4.
Lurah : langsung sebagai
pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang
Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5.
Pambakal : Kepala Kampung
yang menguasai beberapa anak kampung.
6.
Mantri : pangkat
kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang
menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7.
Tatuha Kampung : orang
yang terkemuka di kampung.
8.
Panakawan : orang yang
menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
·
Sebutan Kehormatan
o
Sultan,
disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
o
Gubernur Jenderal VOC :
Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
o
Permaisuri
disebut Ratu.
Sultan Banjar
No.
|
Masa
|
Sultan
|
K e t e r a n g a n
|
1
|
Sultan Suriansyah
|
*Raja
pertama Kesultanan Banjar yang mendirikan kerajaannya di Kampung Banjarmasih
(Kuin),
memeluk Islam
24
September 1526,
gelar anumerta Sunan Batu Habang,
beliau cucu Maharaja
Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah.
Dalam agama lama, beliau dianggap hidup membegawan di alam gaib
(sangiang ?) digelari Perbata Batu Habang.
|
|
2
|
Sultan Rahmatullah
bin Sultan Suriansyah
|
Gelar
anumerta : Panembahan Batu Putih. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah
|
|
3
|
Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah
|
Gelar
anumerta : Panembahan Batu Irang. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah
;
|
|
4
|
Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah
|
Gelar
lain : Pangeran Kacil/Panembahan Marhum/Mustakim Billah/Musta
Ayinubillah/Mustain Allah/Mustain Ziullah/Raja Maruhum. Gelar anuemrta Marhum
Panembahan /Tahun 1612
memindahkan ibukota ke Martapura
|
|
5
|
Sultan Inayatullah
bin Mustainbillah
|
Gelar
lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton,
Martapura.
Adiknya, Pangeran Dipati Antakusuma mewarisi wilayah sebelah barat kerajaan
menjadi sebuah kepangeranan yang
dikenal sebagai Kerajaan Kotawaringin
|
|
6
|
Saidullah bin Sultan Inayatullah
|
Gelar
lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah.
|
|
7
|
Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Inayatullah
|
Gelar
lain :Pangeran Tapasana/Pangeran Mangkubumi/Rakyat
Allah/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Adipati Halid/Pangeran Dipati Tuha
memegang jabatan sebagai Wali Sultan dengan gelar Pangeran
Ratu kemudian memakai gelar Sultan Rakyatullah. Pada tahun 1660 menyerahkan tahta
kepada kemenakannya Amirullah Bagus Kesuma yang merupakan Putra Mahkota anak
dari Sultan Saidullah.
|
|
8
|
Sultan Amirullah
Bagus Kusuma bin Sultan Saidullah
|
* Nama
lain : Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning
|
|
9
|
Pangeran Surya Nata
II bin Sultan Inayatullah (Sultan Agung)
|
* Mengkudeta
kemenakannya Amirullah Bagus Kasuma dengan bantuan suku Biaju, memindahkan
pemerintahan ke Sungai
Pangeran (Banjarmasin).
Berbagi kekuasaan dengan Sultan Rakyatullah yang kembali memegang
pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain :
Pangeran Dipati Anom.
|
|
10
|
Sultan Amirullah
Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah
|
* Naik
tahta kedua kalinya setelah merebut kembali dari Sultan Agung
|
|
11
|
Sultan Hamidullah bin
Tahmidullah I
|
Gelar
lain : Sultan Kuning
|
|
12
|
Sultan Tamjidullah
I bin Tahmidullah I
|
Bertindak
sebagai wali Putra Mahkota Muhammad Aliuddin Aminullah yang belum dewasa.
Tamjidullah I berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis
keturunannya
|
|
13
|
Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah
|
*
Mengkudeta pamannya Sultan Tamjidullah I. Gelar lain : Sultan
Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika
mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah
kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata sebagai
wali Putra Mahkota.
|
|
14
|
Sultan Tahmidullah II bin
Sultan Tamjidullah I
|
* Semula
sebagai wali Putra Mahkota, tetapi mengangkat dirinya
sebagai Panembahan
Kaharuddin
Halilullah. Gelar lain : Susuhunan Nata Alam (1772)/Pangeran
Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin
Abdullah(1762)/Sulaiman Saidullah(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anum.
Mengadakan kontrak dengan Hindia
Belanda tahun 1787 untuk menghadapi Pangeran Amir bin Sultan Muhammad
Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan suku Bugis-Paser yang
gagal, kemudian dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni
Belanda 14 Mei
1787,
kemudian diasingkan ke Srilangka
|
|
15
|
Sultan Sulaiman Saidullah bin Tahmidullah II
|
* Mendapat
gelar Sultan Muda
sejak tahun 1767
ketika berusia 6 tahun dari ayahnya Susuhunan Nata Alam
|
|
16
|
Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan
Sulaiman al Mutamidullah
|
* Baginda
mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Ketika mangkatnya
terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu
Anom, Pangeran Tamjdillah II dan Pangeran Hidayatullah II, Belanda sebelumnya
sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan Muda
sejak 8 Agustus
1852
dan kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari kemudian Pangeran
Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan pamannya Pangeran Prabu Anom
ke Jawa. Padahal sebelumnya almarhum Sultan Adam telah membuat surat wasiat
yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar
penggantinya
|
|
17
|
Sultan Tamjidullah
Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdur Rahman
|
*Pada 3 November
1857
diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar. Pada 25 Juni
1859,
Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian
mengirimnya ke Bogor.
|
|
18
|
Sultan Hidayatullah
II bin Sultan Muda Abdur Rahman
|
||
19
|
Pangeran Antasari
bin Pangeran Mas'ud bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
|
* Pada 14 Maret
1862,
yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur
diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi
dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito,
Murung Raya,
Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober
1862
di kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu,
karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November
1958
di Komplek Makam Pangeran Antasari,
Banjarmasin.
|
|
20
|
Sultan Muhammad
Seman bin Pangeran Antasari
|
*
Pemerintahan Pagustian, bersama Gusti Muhammad Said
meneruskan perjuangan Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda, gugur 24 Januari
1905
ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar. Negeri
Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur
Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman
Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur
Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan.
|
Kerajaan Kotawaringin
adalah sebuah kerajaan Islam yang didirikan pada tahun 1679, di wilayah yang menjadi
Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan
Tengah. Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar
yang dibagi waris menjadi dua wilayah. Wilayah sebelah barat Kesultanan Banjar
dimekarkan menjadi Kerajaan Kotawaringin. Diduga Raja pertama Kotawaringin
yaitu Pangeran Dipati Antakusuma adalah adik Sultan Banjar, Inayatullah
bin Mustain
Billah yang memerintah tahun 1620-1637. Raja Kotawaringin
(Antakusuma), Raja Sukadana (Marta Sahary) dan Raja Mempawah menjadi anggota
Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah. Dewan
Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini
dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan
terhadap orang-orang VOC dan Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian
tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan
Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan
merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir
dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661,
berkat pengaruh mangkubumi, Pangeran Maes de Patty (mungkin pangeran ini kelak
menjadi Raja Kotawaringin II). Diduga Pangeran Dipati Antakusuma telah menjadi
penguasa (raja) Kotawaringin bersamaan pemerintahan Sultan Inayatullah (1620-1637, walaupun keraton
belum dibangun.
Sebelumnya
sekitar tahun 1362,
Kota Waringin merupakan salah satu negeri di pulau Tanjungnegara yang telah
ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Mahapatih Gajah Mada
berdasarkan Kakawin Nagarakretagama.
Sebelum
Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu
wilayah Kesultanan Kotawaringin.[1]
Ibukota
Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu
Sungai Lamandau). Pada 1814
ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun,
pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan
didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.[1]
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI
dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten
Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom
dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No
27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.[1]
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten
yaitu :
1.
Kabupaten Kotawaringin Barat
2.
Kabupaten Lamandau
3.
Kabupaten Sukamara
Sultan Kotawaringin
Raja-raja/sultan
yang pernah memerintah sejak 1679 hingga masuknya penjajah Belanda
dengan urutan sebagai berikut:[1]
- Kerajaan Pagatan (1750)
Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah sebuah
kerajaan kecil yang pernah berdiri di sebagian wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Kerajaan ini didirikan oleh
imigran suku Bugis
atas seijin Sultan Banjar ke-8, Panembahan Batu yang menjadi
koloni suku Bugis di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini semula
merupakan kerajan bawahan dari Kesultanan
Banjar selanjutnya menjadi bawahan Hindia Belanda, karena diserahkan
kepada pemerintah Hindia Belanda dalam Traktat Karang Intan.
Penguasa kerajaan ini bergelar Pangeran Muda. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah kerajaan ini
merupakan "leenplichtige landschappen" dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe.
Wilayah
Pusat pemerintahan
di kota Pagatan ibukota Kecamatan Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Cakupan Wilayah
Walaupun
wilayahnya cukup kecil hanya merupakan sebuah kecamatan atau dapat disamakan
dengan sebuah lalawangan (distrik) yang
ada di wilayah Hulu Sungai pada kurun waktu yang sama, tetapi
merupakan sebuah kerajaan. Pada kurun yang sama wilayah Hulu Sungai terdiri
atas 9 distrik yaitu Distrik Tabalong, Distrik Kelua,
Distrik
Balangan, Distrik Amuntai, Distrik
Alabio, Distrik Batang Alai, Distrik
Negara, Distrik Amandit, Distrik
Margasari dan Distrik Benua Empat.
Setiap
Lalawangan dipimpin seorang yang bergelar Kiai Tumenggung yaitu
Kepala Bubuhan
yang tertinggi kedudukannya secara hirarkis di daerah lalawangan masing-masing
dan diakui Sultan sebagai pemimpin di daerah tersebut. Demikian juga pada
daerah-daerah suku Dayak di Kaimantan Tengah. Raja Pagatan merupakan kepala
bubuhan suku Bugis yang ada di daerah tersebut. Kerajaan Pagatan tidak dapat
disamakan kedudukannya dengan Kesultanan
Banjar (Kerajaan Negara Dipa) yang sudah ada sejak abad ke-14
yang kekuasaannya meliputi sebagian besar wilayah Kalimantan.
Asal Mula Pagatan
Dalam
Hikayat Banjar ketika Pangeran Samudera berperang dengan pamannya Maharaja Tumenggung dari Kerajaan Negara Daha sekitar tahun 1526, nama Pagatan tidak
ada disebutkan sebagai daerah pesisir Kalimantan Selatan yang diminta untuk
mengirim bantuan pasukan. Daerah yang sudah ada pada masa itu diantaranya
Tabanio, Takisung, Asam-asam, Swarangan, Kintap, Satui, Laut Pulau (Pulau Laut)
dan Pamukan.
Pagatan
baru ada sekitar tahun 1750 dibangun oleh Puanna Dekke', hartawan asal Tanah
Bugis tepatnya dari Wajo, Sulawesi Selatan. Puanna Dekke' berlayar
menuju Pasir, hatinya tidak berkenan sehingga
menyusuri Tanah Bumbu
dan belum menemukan daerah yang dapat dijadikan pemukiman sampai dia menemukan
sungai yang masuk dalam wilayah Kesultanan Banjar. Selanjutnya bertolaklah
Puanna Dekke' menuju Banjarmasin untuk meminta ijin kepada Sultan
Banjar ke-7 (1734) yaitu Panembahan Batu untuk mendirikan pemukiman di wilayah
tersebut.
Perjanjian Karang Intan
Wilayah
kerajaan Pagatan merupakan salah satu daerah kekuasaan Kesultanan
Banjar yang diserahkan Sultan Sulaiman kepada kolonial
Hindia-Belanda melalui Perjanjian Karang Intan.
Kapitan Laut Pulo
Atas
jasa-jasa La Pangewa dan pasukannya mengempur pasukan Pangeran Amir bin Sultan
Kuning yang menjadi rivalnya Sultan Banjar ke-8 Sultan Tahmidullah II dalam
perebutan mahkota kesultanan Banjar, dia anugerahi gelar Kapitan Laut Pulo
mungkin semacam panglima laut yang menjaga perairan wilayah Kesultanan Banjar,
selanjutnya menjadi raja di daerah Pagatan. Pada masa tertentu wilayahnya
Kerajaan Pagatan dan Kerajaan Kusan disatukan menjadi semacam federasi dengan
sebutan Kerajaan Pagatan dan Kusan.
Kerajaan
Pagatan merupakan salah satu daerah leenplichtige landschappen dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe.
Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah
Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri dari daerah-daerah leenplichtige
landschappen dan daerah landschap yang langsung diperintah kepala
bumiputeranya :
1.
Pasir
2.
Pegatan
3.
Koensan
4.
Tjingal
5.
Manoenggoel
6.
Bangkalaan
7.
Sampanahan
8.
Tjangtoeng
9.
Batoe Litjin
10. Sabamban
dan
11. Poelau Laoeut (Pulau Laut)dengan
pulau Seboekoe (Pulau Sebuku)
Raja Pagatan dan Kusan
No.
|
Masa
|
Nama Raja
|
K e t e r a n g a n
|
1
|
Raja
Pagatan I yang diberi gelar Kapitan Laut Pulo oleh Panembahan Batu
|
||
2
|
Raja
Pagatan II
|
||
3
|
La Paliweng (Arung
Abdulrahim)
|
Raja
Pagatan III
|
|
4
|
La Matunra (Arung Abdul
Karim)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
|
5
|
|
||
6
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
||
7
|
Ratu Senggeng (Daeng
Mangkau)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
|
8
|
H Andi Tangkung (Petta
Ratu)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
|
9
|
Andi Sallo (Arung
Abdurahman)
|
Raja
Pagatan dan Kusan
|
Penggabungan Pagatan dan Kusan (1850)
Pangeran
Djaja Soemitra anak dari pangeran M. Nafis dan menjadi Raja Kusan IV tahun
1840-1850, kemudian ia pindah ke Kampung Malino dan menjadi Raja Pulau Laut I
pada tahun 1850-1861. Sejak itu pemerintahan kerajaan Kusan digabung dengan
kerajaan Pagatan.
- Kesultanan Sambas (1675)
Kesultanan Sambas
adalah kerajaan yang terletak di Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di
Kota Sambas.
Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada
paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara
Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran
"Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh,
pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang
terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian
dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah
Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan
di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang
serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang
diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari
Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak
dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat
itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun
didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan
orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak
ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan
Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan
Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang
sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari
10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai
Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini
mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama
"Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar
"Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui
namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu
Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh
Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk
pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini
dengan VOC
yaitu pada tahun 1609 M.
Pada masa
Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan
Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah
Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah
Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman
kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu
sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman
inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama
mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi
Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun
1675 M.
Sejarah Ringkas Kesultanan Sambas
Sebelum
berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1675 M, di wilayah Sungai Sambas ini
sebelumnya telah berdiri Kerajaan-Kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas
dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan Kerajaan yang pernah
berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya
Negara Republik Indonesia adalah :
1.Kerajaan Nek
Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
2.Kerajaan Tan
Unggal sekitar abad 15 M.
3.Panembahan
Sambas pada abad 16 M.
4.Kesultanan
Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara
otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang
tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365
M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh.
Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun
demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa
hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan
bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini
telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah
Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia sehingga
diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini
telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa
berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya
Kerajaan Tanjungpura.
Sedangkan
sejarah berdirinya Kesultanan Sambas berumula di Kesultanan Brunei yaitu ketika
Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1598 M, maka
kemudian putra Baginda yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul
Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun
kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul
Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan
kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk
memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak
kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629 M, Pangeran Muda
Tengah menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar
Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal
dengan nama Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelaran Baginda
sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.
Setelah
sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil
(Kota Kuching sekarang ini), Baginda Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan
ke Kesultanan Johor. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi Sultan adalah
Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang)dimana Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah
Mak Muda dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi
kesalahpahaman antara Baginda Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga
kemudian membuat Baginda Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan
tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik
untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat
dari Selat Malaka, kapal rombongan Baginda Sultan Tengah ini dihantam badai
yang sangat dahsyat. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu malam,
setalah badai mereda, kapal Baginda Sultan Tengah tenyata telah terdampar di
pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang
menjadi Sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri
Mustika) yang baru saja kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir
Makkah) yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad
Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung
pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada
tahun yang sama.
Baginda
Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Baginda
Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika. Setelah tinggal beberapa lama di
Kesultanan Sukadana ini, setelah melihat perawakan dan kepribadian Baginda
Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba
menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita yang bernama Putri Surya
Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Sultan Tengah pun kemudian menerima
perjodohan ini sehingga kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri
Surya Kesuma dengan adat kebesaran Kerajaan Kesultanan Sukadana. Setelah
menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang
aman di sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari
Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah
itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah
kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah
sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar Selat
Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil Johor (Raja Bujang)
itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari
Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas
karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana
bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik
dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka
kemudian pada tahun 1638 M berangkatlah rombongan Baginda Sultan Tengah beserta
keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan
alat senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai
Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Baginda Sultan Tengah ini
kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu
Sapudak. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu
Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan
Panembahan Sambas.
Tidak
lama setelah Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal
di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai
penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama
Raden Kencono (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencono ini adalah juga menantu
dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas
Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian
bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah
sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan Sambas dan
anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman
dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak
yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman
kemudian dianugerahkan gelaran Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama
menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Keraton
Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu
Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak
laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian
diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan
Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Aryo
Mangkurat.
Tidak
lama setelah kelahiran cucu Baginda Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah
melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah
melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri
bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan
Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke Negerinya yang telah
begitu lama di tinggalkannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian
berangkatlah Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma
dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin,
Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada
sekitar tahun 1652 M.
Ditengah
perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu disuatu tempat yang
bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Baginda Sultan Tengah ditikam dari
belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh
Baginda Sultan Tengah hingga pengawal itu tewas. Namun demikian luka yang di
tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian Baginda Sultan Tengah bin
Sultan Muhammad Hasan pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah
di sholatkan kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri
Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri
Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian
memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu tempat dimana ia berasal
bersama dengan keempat anaknya.
Di
Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahandanya yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden
Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga
adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden Aryo Mangkurat. Tentangan
dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini karena iri dan dengki
dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat mendapat simpati dari para pembesar
Panembahan Sambas saat karena baik prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam
memagang jabatan Menteri Besar disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat
giat menyebarkan Syiar Islam di lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang
mayoritas masih menganut hindu itu sehingga dari hari ke hari semakin banyak
petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk Islam sehingga Raden
Sulaiman ini semakin dibenci oleh Raden Aryo Mangkurat.
Tekanan
terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Aryo Mangkurat ini kemudian semakin kuat
hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya
sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat dengan ulah
adiknya itu. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat
Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada
sekitar tahun 1655 M, berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya
serta orang-orangnya yaitu sebagian orang-orang Brunei yang ditinggalkan
Ayahandanya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi
dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk Islam.
Dari
pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden
Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama
Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang
kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota Bandir
ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman
dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan
penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai
Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau
karena ia (Ratu Anom Kesumayuda)telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi
ulah adiknya yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom
Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas
ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai
Sambas ini.
Sekitar 5
tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda
maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang
diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan
baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1671 M Raden Sulaiman mendirikan
Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama Kesultanan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin yaitu mengambil gelar dari nama
gelaran Abang dari Ibundanya (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Muhammad
Shafiuddin (Digiri Mustika, Sultan Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang
bernama Lubuk Madung.
Setelah
memerintah selama sekitar 15 tahun yang di isi dengan melakukan penataaan
sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada
tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari
Tahta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai
penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar
setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin
(Raden Bima), atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) kemudian
memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu
tempat tepat di depan percabangan 3 buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai
Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muare
Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya
yaitu dari tahun 1685 M itu hingga berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas
pada tahun 1956 M atau sekitar 250 tahun.
Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan Brunei Darussalam
Sejarah
tentang asal usul Kesultanan Sambas tidak bisa terlepas dari Kesultanan Brunei
Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan
yang sangat erat. Pada abad ke-13, di Negeri Brunei Darussalam,
bertahta seorang Raja yang bergelar Sri Paduka
Sultan Muhammad Shah / Awang Alak Betatar. Sultan Muhammad Shah ini
merupakan Raja Brunei pertama yang memeluk Islam, Sultan Brunei ke-1. Setelah
Baginda wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada Adindanya yaitu Pateh Berbai
yang kemudian bergelar Sultan Achmad.
Istri (Permaisuri) dari Sultan Achmad ini adalah anak Kaisar China. Dari hasil
pernikahan ini Sultan Achmad hanya dikaruniai satu-satunya anak perempuan yang
bernama Putri Ratna Kesuma. Pada akhir abad ke-14 M (sekitar tahun 1398 M)
datang di Kesultanan Brunei pada masa Sultan Achmad ini seorang pemuda Arab
dari negeri Thaif (dekat Kota
Suci Makkah) yang bernama Syarif Ali.
Syarif
Ali ini adalah mantan Amir Makkah
(semacam Sultan Makkah)yang melarikan diri dari Makkah melalui Thaif menyusul
terjadinya perebutan kekuasaan Tahta Amir Makkah dengan saudara sepupunya yang
kemudian membuat posisi Amir Syarif Ali ini terpojok dan terancam jiwanya
sehingga kemudian ia melarikan diri ke Aden (wilayah Yaman sekarang). Dari Aden
Syarif Ali terus pergi ke India Barat, dari India Barat terus ke Johor dan dari
Johor lalu ke Kesultanan Brunei yaitu dimasa Sultan Achmad (Pateh Berbai) yang
memerintah Kesultanan Brunei. Syarif Ali ini adalah keturunan langsung dari
Amir Makkah yang terkenal di Jazirah Arabia yaitu Syarif Abu Nu'may Al Awwal, dimana Syarif Abu Nu'may Al Awwal ini
adalah keturunan dari Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam yaitu Amirul Mukminin Hasan Ra. Hal ini
sesuai dengan silsilah yang terekam pada Batu Tarsilah Brunei yang masih di
temui hingga kini yang menyebutkan " Syarif Ali, Sultan Brunei ketiga,
adalah pancir (keturunan) dari Cucu
Rasulullah, Amirul Mukminin Hasan Ra." Karena saat itu masyarakat
negeri Brunei masih baru dalam memeluk Dienul Islam maka Syarif Ali yang
mempunyai pengetahuan Islam yang lebih dalam kemudian mengajarkan Dienul Islam
kepada masyarakat Brunei sehingga ia kemudian diangkat menjadi Mufti Kesultanan
Brunei di masa Sultan Achmad itu. Sejak saat itu pengaruh Syarif Ali di
Kesultanan Brunei semakin kuat seiring dengan kuatnya antusiasme masyarakat
Brunei saat itu dalam mempelajari Islam. Posisi Syarif Ali di Kesultanan Brunei
ini kemudian menjadi semakin kuat lagi yaitu setelah Sultan Achmad menjodohkan
Putri satu-satunya yaitu Ratna Kesuma dengan Syarif Ali.
Pada saat
Sultan Achmad sudah semakin tua dan mulai memikirkan penggantinya dan saat itu
pengaruh Syarif Ali sebagai Ulama besar sekaligus menantu Sultan Achmad
Tajuddin sudah begitu kuatnya di kalangan istana dan masyarakat Brunei, maka
kemudian timbul ide untuk menjadikan Syarif Ali sebagai Sultan Brunei
berikutnya apabila kelak Sultan Achmad wafat. Usul ini kemudian di setujui oleh
Sultan Achmad dan didukung pula dengan kuat oleh masyarakat Kesultanan Brunei
saat itu sehingga kemudian diangkatlah Syarif Ali sebagai Sultan Brunei ke-3
menggantikan Sultan Achmad (Sultan Brunei ke-2) dengan gelar Sultan Syarif Ali.
Setelah
memerintah sekitar 7 tahun sebagai Sultan Brunei, pada tahun 1432 M Sultan
Syarif Ali wafat dan kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang bergelar Sultan Sulaiman, Sultan Brunei ke-4.
Sultan Sulaiman memerintah sangat panjang yaitu sekitar 63 tahun dan berusia
lebih dari 100 tahun. Setelah wafat pada tahun 1485 M, Sultan Sulaiman kemudian
digantikan oleh putranya yang kemudian bergelar Sultan Bolkiah yang memerintah dari tahun 1485 M hingga 1524 M.
Pada masa Sultan Bolkiah ini Kesultanan Brunei mengalami kemajuan yang sangat
pesat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas yaitu meliputi hampir
seluruh Pulau Borneo / Kalimantan hingga ke Banjarmasin. Sultan Bolkiah
kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung yang bergelar Sultan Abdul Kahar
sebagai Sultan Brunei ke-6. Sultan
Abdul Kahar kemudian digantikan oleh keponakannya (anak laki-laki dari
Adindanya yang laki-laki) yang kemudian bergelar Sultan Syaiful Rijal (Sultan
Brunei ke-7). Pada masa Sultan Syaiful
Rijal inilah terjadinya pertempuran hebat antara Kesultanan Brunei
dengan armada pasukan Spanyol yang menyerang Kesultanan Brunei, namun berhasil
dihalau oleh pasuka Kesultanan Brunei saat itu. Sepeninggal Sultan Syaiful
Rijal, ia kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung bergelar Sultan Shah Brunei (Sultan Brunei
ke-8). Sultan Shah Brunei ini tidak lama memerintah yaitu hanya setahun, wafat
yang kemudian digantikan oleh Adindanya yaitu anak laki-laki Sultan Syaiful
Rijal yang kedua dan bergelar Sultan
Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) yang memerintah dari tahun 1598 sampai 1659.
Sultan
Muhammad Hasan wafat pada tahun 1659 M dan kemudian digantikan oleh putranya
yang sulung bergelar Sultan Abdul
Jalilul Akbar(Sultan Brunei ke-10). Sultan Abdul Jalilul Akbar mempunyai
saudara kandung laki-laki yang bergelar Pangeran Muda Tengah. Pangeran Muda Tengah ini dikenal
sebagai pemuda yang cerdas, gagah berani dan tampan sehingga kemudian setelah
Sultan Abdul Jalilul Akbar memerintah selama puluhan tahun yaitu pada sekitar
tahun 1621 M, timbul isu yang berkembang di Kesultanan Brunei saat itu bahwa
Pangeran Muda Tengah lebih pantas untuk menjadi Sultan Brunei dibandingkan
dengan Kakandanya yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang sedang memerintah saat
itu. Maka kemudian untuk menghindari terjadinya perebutan Tahta Kesultanan
Brunei, Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar kemudian membuat kebijaksanaan untuk
memberikan sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei masa itu yaitu Tanah
Sarawak untuk diberikan kepada Adindanya yaitu Pangeran Muda Tangah agar
Adindanya itu dapat menjadi Sultan di Sarawak. Usul Baginda Sultan Abdul
Jalilul Akbar ini kemudian diterima oleh Pangeran Muda Tengah.
Maka
kemudian berhijrahlah Pangeran Muda Tengah dari Negeri Brunei beserta
orang-orangnya yang terdiri dari sebagian pemuka-pemuka Kesultanan Brunei saat
itu dengan membawa 1000 orang Sakai sebagai pasukan dan hulu balang. Selepas
itu setelah menyiapkan segala sesuatunya maka kemudian pada tahun 1625 M
berdirilah Kesultanan Sarawak dengan Pangeran Muda Tengah sebagai Sultan
Sarawak yang pertama bergelar Sultan
Ibrahim Ali Omar Shah dengan pusat pemerintahan di sekitar Kota Kuching sekarang ini. Sultan
Ibrahim Ali Omar Shah ini kemudian lebih populer dengan sebutan Sultan Tengah atau Raja Tengah yaitu
mengambil dari gelar asalnya yaitu Pangeran Muda Tengah. Raja tengah inilah
yang telah datang ke Kesultanan Sukadana pada tahun 1629 M.
Karena
prilaku dan kemampuannya Baginda Sultan Tengah ini sangat baik dan unggul
sehingga Sultan Sukadana saat itu yaitu Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) sangat bersimpati
dengan Baginda Sultan Tengah sehingga kemudian Baginda Sultan Muhammad
Shafiuddin menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita bernama Putri Surya
Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Maka kemudian menikahlah Baginda Sultan
Tengah dengan Putri Surya Kesuma.
Dari perkawinan ini terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sulaiman.Karena sebab tertentu yang
menyangkut keamanan di wilayah sekitar Selat Malaka saat itu maka sejak menikah
dengan Putri Surya Kesuma, Baginda Sultan Tengah beserta orang-orangnya
memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana selama beberapa
waktu. Sultan Tengah menetap di Kesultanan Sukadana hingga kemudian dari
pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma diperoleh 5 orang anak yaitu Sulaiman,
Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Wati.
Tidak
berapa lama setelah kelahiran anaknya yang ke-5 (Ratna Wati), Baginda Sultan
Tengah kemudian memutuskan untuk hijrah dari Kesultanan Sukadana menuju tempat
kediaman baru di wilayah Sungai Sambas, sambil masih menunggu keadaan aman di
wilayah Selat Malaka untuk kembali pulang ke Kesultanan Sarawak. Di wilayah
Sungai Sambas saat itu diperintah oleh seorang Raja yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu Sapudak. Kerajaan
Panembahan Ratu Sapudak saat itu mayoritas masih hindu walaupun Ulama Islam
telah pernah berkunjung ke Panembahan Ratu Sapudak, dengan pusat pemerintahan
di tempat yang sekarang disebut dengan name Kota Lama, Kecamatan Teluk Keramat sekitar 36 km dari
Kota Sambas.
Baginda Sultan Tengah beserta rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh
Ratu Sapudak di Kota Lama dan dipersilahkan untuk tinggal di wilayah Panembahan Sambas ini.
Di Sambas
inilah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya menetap yaitu ditempat
yang sekarang bernama Kembayat hingga kemudian anaknya yang sulung yaitu
Sulaiman beranjak dewasa. Setelah dewasa, Sulaiman kemudian dinikahkan dengan
anak perempuan bungsu dari Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga
Sulaiman dianugerahi gelaran "Raden" menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman kemudian setelah keruntuhan
Panembahan Sambas, mendirikan kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas dengan Raden
Sulaiman sebagai Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I
yaitu pada tahun 1675 M. Melalui
Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin I) inilah yang kemudian menurunkan Sultan-Sultan Sambas berikutnya
secara turun temurun hingga sekarang ini.
Panembahan Ratu Sapudak
Panembahan
Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di
tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini
dapat disebut juga dengan nama "Panembahan
Sambas". Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja
Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban,
sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan
Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja
laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.
Asal usul
Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu
yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas
oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini
diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau
Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu
oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan
Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu
ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di
Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara,
rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada saat
rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih
dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir
telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang
Dayak pesisir. Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan
pemerintahan setelah sebelumnya terbunuhnya Raja Tan Unggal oleh kudeta rakyat
dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada
masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas
ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa
yang tiba ini.
Setelah
lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini
melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga
kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan
Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang
masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak
diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu
Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya
yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada masa
pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri
dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan
menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda
Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan
Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang
kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama
setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini,
Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan
Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu
Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini
kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat
Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang
bernama Mas Ayu Anom.
Beberapa
lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika
Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun,
anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga
kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu
dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas
Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi
gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman.
Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar
dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan
pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden
Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Tidak
berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar
Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung
yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang
Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak.
Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma
dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin,
Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan
Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang
menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam perjalanan
pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu
tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga
ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian
ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang
dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada
kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda
Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong
(dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal
suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana
(tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari
Raden Sulaiman).
Sepeninggal
Ayahandanya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di
Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda
bernama Raden Aryo Mangkurat
yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden
Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang
sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang
kemudian dilampiaskannya setelah Ayahanda Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan
Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada
Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang
handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas
ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak.
Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas
mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda
semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang
sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk
menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik
fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo
Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman
kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan
Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk
mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat
Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin
terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya.
Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan
orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka
kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa
orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahandanya (Baginda Sultan Tengah)
sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari
orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam.
Kesultanan Sambas
Setelah
sempat singgah di Kota Bangun
selama sekitar 1 tahun, rombongan Raden Sulaiman yang hijrah dari Panembahan
Sambas (Kota Lama) ini kemudian memutuskan untuk menetap dan membuat
perkampungan yaitu di suatu tempat di hulu Sungai Subah yang disebut dengan
nama Kota Bandir.
Selama
Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap di Kota Bandir, dari hari kehari semakin
banyak orang-orang dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri
ke tempat Raden Sulaiman di Kota Bandir. Larinya penduduk Kota Lama ini karena
tidak tahan dengan tingkah laku adik Ratu Anom Kesumayuda yaitu Raden Aryo
Mangkurat yang selalu membuat keonaran dan kekacauan di dalam negeri Panembahan
Sambas. Hal ini menyebabkan semakin hari penduduk Kota Lama semakin sedikit
sebaliknya penduduk Kota Bandir semakin banyak.
Setelah
lebih dari 3 tahun menetap di Kota Bandir, Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara
tiba-tiba menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa
ia dan rombongan besar pengikutnya sedang dalam perjalanan hijrah dari pusat
Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk kemudian mencari tempat menetap baru di
Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu Anom Kesumayuda tidak sanggup
mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo Mangkurat yang banyak membuat
kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu Anom Kesumayuda. Untuk itu
Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan kekuasaannya atas wilayah Sungai
Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan mandat) kepada Raden Sulaiman untuk
menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai Sambas. Raden Sulaiman kemudian
meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda atas penyerahan kekuasaan atas
wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti oleh Ratu Anom Kesumayuda
dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti berupa 3 buah meriam
lela.
Sekitar 3
tahun setelah menerima mandat ini dan setelah berembuk dengan orang-orangnya
serta mempersiapkan segala sesuatunya, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk
mendirikan kerajaan baru yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya
namun bukan berpusat di Kota Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru
muara Sungai Teberrau yang disebut dengan nama Lubuk Madung. Maka kemudian pada tahun 1675 M berdirilah kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas berpusat di Lubuk
Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Sambas
dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin.
Gelar ini mengikuti gelar dari pak mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya
Kesuma) yaitu Sultan Sukadana (Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).
Dalam
perkembangan awalnya lingkungan di pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang
baru berdiri ini sebagian besar adalah orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas
yang telah masuk Islam ini sehingga kemudian adat istiadat di lingkungan
Keraton Kesultanan Sambas saat itu didominasi oleh adat istiadat dan budaya
Jawa seperti penamaan gelar-gelar Kebangsawanan dan nama-nama keluarga
Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa. Namun dalam perkembangan selanjutnya
Kesultanan Sambas juga kemudian berhasil merangkul dan membaurkan masyarakat
Melayu-Dayak yaitu masyarakat Melayu yang berasimilasi dengan masyarakat Dayak
pesisir yang mana kedua suku bangsa ini telah lebih dahulu mendiami daerah
pesisir laut di sekitar wilayah Sungai Sambas ini, dengan masyarkat Jawa
peninggalan Panembahan Sambas yang kemudian membentuk masyarakat Melayu Sambas
hingga saat ini.
Selama
menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad
Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan negeri-negeri leluhurnya yaitu
Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Kesultanan Sukadana adalah leluhur
dari pihak Ibundanya yaitu Putri Surya Kesuma (Adik dari Sultan Sukadana yaitu
Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika) sedangkan Kesultanan Brunei adalah
leluruh dari pihak Ayahandanya yaitu Sultan Tengah (anak dari Sultan Brunei
ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan), sehingga kemudian pada masa pemerintahan
Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I ini terjalin hubungan yang sangat
akrab dan baik antara Kesultanan Sambas dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan
Sukadana disamping juga mengembangkan hubungan persahabatan dan
perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Kerajaan Landak dan Kesultanan
Trengganu di Semenanjung Melayu.
Setelah
hampir 10 tahun memerintah Kesultanan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan
Muhammad Shafiuddin I kemudian mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu Raden
Bima yang sudah dewasa untuk menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas
berikutnya. Maka Raden Bima kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke
Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Di Kesultanan Sukadana Raden Bima
kemudian menikah dengan adik dari Sultan Sukadana saat itu yaitu Sultan
Muhammad Zainuddin yang bernama Putri Ratna Kesuma. Dari pernikahan ini Raden
Bima memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Mulia atau
Meliau. Dari Kesultanan Sukadana Raden Bima pulang ke Kesultanan Sambas dan
kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Brunei.
Di
Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang sangat mesra dari Sultan Brunei saat
itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan para kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat
Baginda Sultan Tengah yang ada di Brunei. Berbagai hadiah berupa berbagai alat
kebesaran kerajaan diberikan Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut
anugrah gelaran "Sultan Muhammad
Tajuddin" yang diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden
Bima apabila nantinya Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya menggantikan
Ayahandanya yaitu Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I. Penganugrahan
gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima ini dilakukan
mengikut adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang bertempat di Istana Kesultanan Brunei pada masa
itu.
Sekembalinya
Raden Bima dari Brunei yaitu ketika Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin
I telah memerintah Kesultanan Sambas selama sekitar 10 tahun, maka kemudian
pada tahun 1685 M, Raden
Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I mengundurkan diri dari Tahta dan
mengangkat putranya yaitu Raden Bima sebagai Sultan Sambas ke-2 dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin. Gelaran
sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh Sultan Brunei yaitu Baginda Sultan
Muhyiddin.
Sekitar
satu tahun setelah menjadi Sultan Sambas ke-2, Raden Bima / Sultan Muhammad
Tajuddin kemudian atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) memindahkan
pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat
dipercabangan 3 sungai yang kemudian dikenal dengan nama "Muare Ulakkan" yaitu pada
sekitar tahun 1687 M. Muare
Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai
Teberrau dan Sungai Subah.
Dari
sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi lokasi pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas secara terus menerus selama sekitar 250 tahun hingga berakhirnya
Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.
Pangeran Anom
Pangeran
Anom adalah salah seorang anak dari Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar
Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden Pasu. Ketika Ayahnya (Sultan Umar
Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2 pemerintahannya, maka Abang Pangeran
Anom yang bernama Raden Mantri menggantikan Ayahnya dengan gelar Sultan
Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Sultan Abubakar Tajuddin I ini dengan
Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin
Ii tetapi berlainan ibu, Sultan Abubakar Tajuddin I adalah anak dari istri
pertama (permaisuri) sedangkan Pangeran Anom adalah anak istri Sultan Umar
Aqamaddin II yang ke-2.
Pangeran
Anom kemudian menjadi Panglima Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga
memimpin satu armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal
layar bertiang 3 lengkap dengan meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh
perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun
1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas
saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I.
Armada
Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah
perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari
mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah
selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya
serangan para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan
pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak
untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan
melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana
kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang
dipelabuhan-pelabuhan Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah
Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas.
Kongsi-Kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok
beradasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan
oleh Sultan Sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan pertambangan emas
yang tersebar di wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara,
Lumar dan kemudian juga Pemangkat.
Walaupun
telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris
masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah
Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti
melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di
nusantara ini sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah
dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan
induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan
diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya,
seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik
armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.
Tetapi
orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan
kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan
Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara
kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan
laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat
ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini,
dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat
dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Hal ini
kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang
antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas dimana bila di mana-mana
perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan
Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam
sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut
Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah
kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal 11 Juli
1831, Sultan Usman
Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III.
Tanggal 5 Desember
1845 Sultan Umar Akamuddin
III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu
Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau
yang bernama Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar
Pangeran Adipati Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan
ke Jawa
oleh pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).
Pangeran Adipati
Pangeran
Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang
dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas
yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini
adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas karena
pada masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan kudeta
terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar
Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas
ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II
terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas (tahun 1855 M)telah ada kesepakatan
antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah
Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya
adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin
karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat
anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan
Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari
Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh
pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II)
Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang
masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar
manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di
Kesultanan Sambas pada tahun 1819 M, namun saat itu Sultan Sambas masih
mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai
berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas
ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta Kesultanan
Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat kudeta
terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas ke-11
(sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq). Setelah
menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun 1861, Pangeran Adipati
Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal
16 Agustus
1866 beliau diangkat
menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia
mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat)
dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai
Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik
Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad Aryadiningrat.
Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati
Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin II). Sebagai
penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim. Setelah
Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa
sudah lanjut usia, maka kemudian diangkatlah anaknya yaitu Raden Muhammad
Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan
gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.
Kedatangan Jepang
Setelah
memerintah kira-kira 4 tahun, Baginda Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat.
Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden
Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad
Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia
Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim
Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia
Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan
Jepang ini yaitu bersama dengan sebagian besar Raja-Raja lainnya yang ada di
wilayah Borneo {Kalimantan) barat ini di bunuh pasukan Jepang di daerah Mandor.
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah Sultan Sambas yang terakhir.
Setelah Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin terbunuh oleh Jepang,
pemerintahan Kesultanan Sambas dilanjutkan oleh sebuah Majelis Kesultanan
Sambas hingga kemudian dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia, pada
tahun 1956 M, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung
dalam Negara Republik Indonesia itu.
Peninggalan Kesultanan Sambas
Peninggalan
dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami'
Kesultanan Sambas, Istana Sultan Sambas, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan
Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14 serta sebagian alat-alat kebesaran
Kerajaan seperti tempat tidur Sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat
untuk makan sirih, pakaian kebesaran Sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah,
3 buah meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan
keramik dari negeri Tiongkok dan 2 buah kaca kristal dari Kerajaan Perancis dan
Belanda.
Sebagian besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang
atau terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas
masih terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari
Sultan-Sultan Sambas ini bertebaran di wilayah Borneo (Kalimantan) Barat ini
baik di Kota Sambas, Singkawang dan Pontianak yang sebagiannya masih
menggunakan gelaran Raden.
Sultan-Sultan Sambas
Sultan-Sultan
Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan
yaitu :
15. Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad
bin Sultan Muhammad Shafiuddin II
(1931 - 1944) ( Sultan Sambas Terakhir )
16. Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin
(1944 - 1984) ( Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas )
17. Pangeran Ratu Winata Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas )
18. Pangeran Ratu Muhammad Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kesuma (2008 hingga sekarang)
sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas.
Gelar, Sebutan Penghormatan dan Jabatan di Kesultanan Sambas
·
Seluruh Sultan Sambas disamping
mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad
Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II dan
lainnya.
·
Sultan dengan sebutan
penghormatan: Sri Paduka al-Sultan
Tuanku (gelar Sultan) ibni
al-Marhum (nama dan gelar bapak), Sultan dan Yang di-Pertuan Sambas, dengan panggilan Yang Mulia.
·
Sultan yang mengundurkan diri
dari Tahta mempunyai sebutan kehormatan "Yang
Dipertuan Sultan" dan menggunakan nama gelarannya sewaktu menjadi
Sultan misalnya : Yang Dipertuan Sultan Muhammad Shafiuddin II.
·
Permaisuri: Sri Paduka Ratu (gelar).
·
Putra Mahkota (Pewaris Resmi
Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan "Sultan
Muda" atau "Pangeran
Ratu" atau "Pangeran
Adipati" namun tidak mempunyai gelar, jadi langsung kepada nama batang
tubuhnya / panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya dipilih dari anak laki-laki
sulung dari Permaisuri yang disebut dengan nama "Anak Gahara".
·
Anak Sulung Sultan dari istri
bukan Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan "Pangeran Muda".
·
Dibawah Sultan Sambas terdapat 4 Jabatan Wazir dengan sebutan
kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran yaitu : Wazir I
bergelar Pangeran Bendahara Sri
Maharaja, Wazir II bergelar Pangeran
Paku Negara, Wazir III bergelar Pangeran
Tumenggung Jaya Kesuma
dan Wazir IV bergelar Pangeran Laksmana.
Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri Maharaja)dan
keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan mempunyai nasab
yang sama.
·
Dibawah Wazir terdapat
Menteri-Menteri Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" yang diantaranya bergelar Pangeran Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja
dan lainnya.
·
Dibawah Pangeran terdapat
Chateria Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" namun tidak mempunyai nama gelaran jadi
langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya.
·
Anak-anak dari Pangeran,
Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda semuanya mempunyai
sebutan kehormatan "Raden".
·
Anak-anak dari Raden mempunyai
sebutan kehormatan "Urai".
"Urai" dapat kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu
pengangkatan secara resmi oleh Sultan.
Kesultanan Kutai atau
lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan
bercorak Islam
yang kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi pada
tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai
Keraton.
Dihidupkannya
kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya
sang pewaris tahta yakni putera mahkota H. Aji
Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada
tanggal 22 September
2001.
Sejarah
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada
awal abad ke-13
di daerah yang bernama Tepian Batu
atau Kutai Lama (kini menjadi
sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni
Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini
disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Negara Kretagama, yaitu
salah satu daerah taklukan di Pulau Tanjungnegara oleh Patih Gajah Mada
dari Majapahit.
Pada abad ke-16,
Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa
berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di
Muara Kaman.
Raja
Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara
Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17,
agama Islam
yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan
diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah
beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan
Adji Mohamad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai pertama yang menggunakan
nama Islami. Dan sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura.
Tahun
1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.
Sultan
Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng
berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC
bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara
dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada
tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris,
terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji
Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian
meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar
Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah
dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang
setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan
Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu
dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan
berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap
Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan
melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado
meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada
tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara
resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di
istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di
Pulau Jembayan.
Aji Imbut
gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai
Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini
dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji
Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan
kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan
Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga
kini.
Pada
tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad
Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Pada
tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris
memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan
meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan
kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray
untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan
tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray
melepaskan tembakan meriam kearah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai.
Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan
melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari
pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk diantara yang tewas tersebut.
Insiden
pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris
hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak
Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan
Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri.
Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa
persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang
istana Sultan Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima
perang kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya
dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan
kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang
kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan
takluk pada Belanda.
Pada
tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian
dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda
dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang
Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun
1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai
timur Kalimantan.
Pada
tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai
kartanegara Ing Martadipura.
Pada
tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten
Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam
genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).
Pada
tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara
menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun
1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh
insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi
ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak
semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat
terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai
diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Tahun
1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada
tahun 1907, misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah
hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990
Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan
Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada
tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum
dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh
Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada
tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit.
Sejak
awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil
pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital
yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap
tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden
- jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun
1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang
terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai
dibangun.
Ketika
Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada
Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan
nama kerajaan Kooti.
Era Kemerdekaan
Indonesia
merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara
dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur
bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung
Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember
1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah
Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah
otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada
tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan
Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai
dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni: 1. Daerah Tingkat II Kutai dengan
ibukota Tenggarong 2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan 3.
Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada
tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto
yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk
ketiga daerah swatantra tersebut, yakni: 1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala
Daerah Tingkat II Kutai 2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari
kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan
Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari
acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa
Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R.
Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi
rakyat biasa.
Pada
tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR, MM berniat untuk
menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan
feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan
budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu,
dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung
sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan
nusantara maupun mancanegara.
Pada
tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai
H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI
Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas.
Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai
Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran
Praboe.
Pada
tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji
Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P.
Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22
September 2001.
Wilayah
Pada masa
kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi
beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:
1.
Kabupaten Kutai Kartanegara
2.
Kabupaten Kutai Barat
3.
Kabupaten Kutai Timur
4.
Kota Balikpapan
5.
Kota Bontang
6.
Kota Samarinda
Dengan
demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959
adalah seluas 94.700 km2.
Pada
tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai
dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai,
Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah
pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan
Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton Kesultanan
Dokumentasi
bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M.
Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa
melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang
penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun
1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana
Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup
sederhana.
Setelah
Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian
dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami
keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton
Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin
(kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M.
Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam
menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada
tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan
digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu,
Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati keraton lama peninggalan
Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM (
Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie.
Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik
bangunan keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada
tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta
keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan
disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah
berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kemudian
dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diganti
dengan sebuah bangunan baru yakni gedung Serapo LPKK.
Setelah
pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan
luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga
tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai
Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola
menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini
disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara,
diantaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur,
seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam
lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai
Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan
terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang
diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini diantaranya adalah Sultan
Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya
Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau
dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.
Pada
tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya
Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan
H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini
adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai
kerajaan tertua di Indonesia agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi
Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping
Masjid Jami' Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk
keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
[sunting] Gelar Kebangsawanan
Dalam
Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang
digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama
anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal
penggunaan gelar sebagai berikut:
·
Aji Sultan: digunakan untuk
penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan
·
Aji Ratu: gelar yang diberikan
bagi permaisuri Sultan
·
Aji Pangeran: gelar bagi putera
Sultan.
·
Aji Puteri: gelar bagi puteri
Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
·
Aji Raden: gelar yang setingkat
diatas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan
Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
·
Aji Bambang: gelar yang
setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan
kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
·
Aji: gelar bagi keturunan
bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai.
Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji
kepada anak-anaknya.
Jika pria
Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari
kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang
gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan
bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali
jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika
wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya
memperoleh gelar sebagai berikut:
·
Aji Sayid: gelar ini diturunkan
kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
·
Aji Syarifah: gelar ini
diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan
Arab.
Gelar Aji
Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar
ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.
- Kesultanan Berau (1400)
Kesultanan Berau
adalah sebuah kerajaan
yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten
Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14
dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit
Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya
bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat
pemerintahannya berada di Sungai Lati,
Kecamatan Gunung Tabur.[1]
Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua
yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
Raja pertama
Aji Raden Suryanata Kesuma, dikenal
sebagai seorang raja yang bijak dalam menjalankan pemerintahannya selama 32
tahun sekitar tahun 1400
hingga 1432[1]
ada pula yang menyatakan dari 1377 sampai 1426[2]
Dibawah pemerintahannya, Baddit Dipattung berhasil membawa rakyatnya sejahtera
serta menyatukan beberapa wilayah pemukiman yang dikenal oleh masyarakat Berau
dengan sebutan "Banua", di antaranya Banua Merancang, Banua
Pantai, Banua Kuran, Banua Rantau Buyut dan Banua Rantau
Sewakung. Dalam catatan sejarah, Aji Suryanata Kesuma dikenal sangat
berpengaruh dan berwibawa, sehingga dia adalah figur raja yang disegani kawan
dan ditakuti lawan. Nama Raja Berau yang pertama ini, kemudian diabadikan
menjadi nama Korem 091/Aji Surya Natakesuma
(ASN).
- Kesultanan Sambaliung (1810)
Kesultanan Sambaliung
adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan
Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan
Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.[1]
Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang
lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam
adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan
Aji Suryanata Kesuma raja Berau
pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas
mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan
satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian,
kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan
Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang
bahkan terkadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan
Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata
Kesuma.
Raja Alam
adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota
kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan
Sambaliung).
- Kesultanan Gunung Tabur (1820)
Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan
Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur
pada sekitar tahun 1810-an.[1]
Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten
Berau, provinsi Kalimantan
Timur.
Sultan Gunung Tabur
Sultan-sultan
Gunung Tabur diantaranya adalah sebagai berikut:[2]
·
1820 - 1834 - Zainul Abidin II
bin Badruddin
·
1834 - 1850 - Ayi Kuning II bin
Zainul Abidin
·
1850 - 1876 - Amiruddin
Maharaja Dendah I
·
1876 - 1882 - Hasanuddin II
Maharaja Dendah II bin Amiruddin
·
1882 - ... - Si Atas
·
... - 1921 - Maulana Ahmad
(bupati)
·
1921 - ... Muhammad
Khalifatullah Jalaluddin
- Kesultanan Pontianak (1771)
Kesultanan Pontianak
didirikan pada tahun 1771
oleh penjelajah dari Arab Hadramaut
yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman
al-Kadrie, keturunan Rasulullah
dari Imam Ali
ar-Ridha. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan,
pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri dari
Sultan Banjar. Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak,
kemudian mendirikan Istana Kadariah dan
mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda
pada tahun 1779.
Daftar Sultan Pontianak
Sultan-Sultan
Pontianak
|
||
No
|
Sultan
|
Masa
pemerintahan
|
1
|
||
2
|
Syarif Kasim Alkadrie
|
|
3
|
Syarif Osman Alkadrie
|
|
4
|
Syarif Hamid Alkadrie
|
|
5
|
Syarif Yusuf Alkadrie
|
|
6
|
Syarif Muhammad Alkadrie
|
|
7
|
Syarif Thaha Alkadrie
|
|
8
|
||
9
|
Syarif Abubakar Alkadrie
|
-
|
Kerajaan Tidung atau
dikenal pula dengan nama Kerajaan
Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung
di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau Tarakan
dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini,
selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di
Tanjung Palas.
Dynasty Tengara
dahulu
kala kaum suku Tidung yang bermukim dipulau Tarakan, popularjuga dengan sebutan
kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara.
Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa dipesisir timur pulau Tarakan
yakni, dikawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The
Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah
kepesisir barat pulau Tarakan yakni, dikawasan Tanjung Batu, kira-kira pada
tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap dipesisir barat yakni,
kekawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah
lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, kekawasan Pimping bagian
barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
Kerajaan
Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai pada tahun
1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
Raja-raja dari Dynasty Tengara
·
Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja
Laoet (1557-1571)
·
Amiril Pengiran Dipati I
(1571-1613)
·
Amiril Pengiran Singa Laoet
(1613-1650)
·
Amiril Pengiran Maharajalila I
(1650-1695)
·
Amiril Pengiran Maharajalila II
(1695-1731)
·
Amiril Pengiran Dipati II
(1731-1765)
·
Amiril Pengiran Maharajadinda
(1765-1782)
·
Amiril Pengiran Maharajalila
III (1782-1817)
·
Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
·
Amiril Pengiran Djamaloel Kiram
(1844-1867)
·
Datoe Maoelana/Ratoe Intan
Doera (1867-1896)
·
Datoe Adil (1896-1916)
Hubungan dengan Kesultanan Bulungan
Di antara
kedua kerajaan tersebut terdapat hubungan yang erat, sebagaimana layaknya
seperti orang bersaudara karena saling diikat oleh tali Perkawinan. Meskipun
demikian proses saling mempengaruhi tetap berjalan secara halus dan tersamar,
karena salah satu diantaranya ingin lebih dominan dari yang lainnya. Dengan
Demikian tidak dapat dielakkan bahwa persaingan terselubung antara keduanya
merupakan masalah laten yang adakalanya mencuat kepermukaan. Dalam hal ini
pihak penjajah Hindia Belanda cukup jeli memanfaatkan masalah
itu, maka semakin serulah hubungan keduanya, bahkan menjadi konflik politik
yang tajam, sehingga akhirnya tergusurlah Kerajaan dari Suku kaum Tidung tersebut.
Demografi kawasan
Kawasan
Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk aslinya terdiri dari tiga
jenis suku bangsa yakni : Tidung,
Bulungan dan Dayak yang mewakili tiga kebudayaan yaitu
Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan Kesultanan dan Kebudayaan Pedalaman.
Kaum suku
Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau, ada
juga sedikit ditepian sungi-sungai dipedalaman umumnya dalam radius muaranya.
Kaum suku Bulungan kebanyakan berada di kawasan antara pedalaman dan pantai,
terutama dikawasan Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Sedangkan
kaum suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan Pedalaman. Kalangan suku Dayak yang
terdengar dan Popular adalah bernama suku Dayak Kenyah. Suku
Dayak memiliki banyak sub-suku bangsa mereka tersebar dikawasan pedalaman dan
dan memiliki berbagai macam nama.
Suku Tidung
Adapun
mengenai suku kaum Tidung, mata pencaharian andalannya adalah sebagai Nelayan,
disamping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil hutan. Berdasarkan dokumen
dan informasi tertulis maupun lisan yang ada bahwa, tempo dulu dikawasan
Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni :
Kerajaan dari kaum suku Tidung dan Kesultanan dari kaum suku Bulungan. Kerajaan
dari kaum suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu,
Sedangkan Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.
- Kesultanan Bulungan(1731)
Kesultanan Bulungan
atau Bulongan adalah kesultanan
yang terletak di wilayah Kabupaten Bulungan, Kabupaten
Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan
sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama
bernama Wira Amir gelar Amiril
Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan
Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan
Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).[1]
Sultan Bulungan
Berikut
adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum sempurna, karena ada
tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.[2]
·
Aji Muhammad bin Muhammad
Zainul Abidin (...-...)
·
Muhammad Alimuddin Amirul
Muminin Kahharuddin I bin Muhammad Zainul Abidin (jabatan ke-1) (...-1848)
·
Muhammad Alimuddin Amirul
Muminin Kahharuddin I bin Muhammad Zainul Abidin (jabatan ke-2) (1866-1873)
·
Muhammad Kahharuddin II bin
Maharaja Lela (1874-...)
·
Maulana Ahmad Sulaimanuddin
(...-1930)
·
Maulana Muhammad Jalaluddin (1930-...)
No comments:
Post a Comment