KEBUDAYAAN DAERAH DI
JAWA BARAT:
SUATU TINJAUAN HISTORIS PROSPEKTIF*
Oleh
Reiza
D. Dienaputra
Pengantar
Kebudayaan
secara sederhana dapat dipahami sebagai
hasil karya, karsa, dan cipta manusia. Dengan demikian, kebudayaan akan selalu
berhubungan dengan manusia, baik sebagai arsitek pembuat dan penciptanya.
Kebudayaan ada selama ada pendukungnya, yakni manusia itu sendiri. Dalam
konteks keindonesiaan, kebudayaan pada dasarnya bisa dibagi atas kebudayaan
nasional dan kebudayaan daerah. Berkaitan dengan kebudayaan ini, Pasal 32 Ayat
1 UUD 1945, menyebutkan, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Selanjutnya Pasal 32 ayat 2 UUD 1945
menyatakan, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional”.
Pada bagian penjelasan, secara
eksplisit dinyatakan bahwa “kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul
sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya”. Sementara itu,
“kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di
daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak
menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia”.
Dari uraian tersebut, secara
implisit dinyatakan bahwa kebudayaan nasional pada dasarnya berakar dari
kebudayaan daerah. Adapun kebudayaan daerah dapat dipahami sebagai
kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki, didukung, dan dikembangkan oleh setiap
suku bangsa di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kaitannya dengan kebudayaan daerah
di Jawa Barat maka hal itu dapat dipahami sebagai kebudayaan suku bangsa yang
ada di Jawa Barat. Secara lebih spesifik lagi, Jawa Barat disini tidak
ditempatkan sebagai sebuah wilayah geografis Jawa dibagian Barat tetapi
dipahami sebagai sebuah wilayah administratif yang bernama Propinsi Jawa Barat.
Dengan demikian, kebudayaan daerah di Jawa Barat dipahami sebagai kebudayaan
daerah yang ada di propinsi Jawa Barat.
Eksistensi Propinsi Jawa Barat
Jawa Barat sebagai nama sebuah wilayah administratif tidak pelak
lagi baru dikenal pada abad ke-20. Hal ini terjadi ketika Pemerintah Kolonial
Belanda melalui Bestuurshervormingswet atau Undang Undang Perubahan
Pemerintahan yang dikeluarkan pada tahun 1922 (Staatsblad 1922/216)
melakukan penataan administrasi pemerintahan di awal abad ke-20, dengan
membentuk gewest (wilayah administratif) gaya baru yang disebut provincie.
Secara hirarkis, wilayah administrasi setingkat provincie ini menempati
posisi paling tinggi sesudah pemerintah pusat. Provincie terbagi lagi
atas wilayah karesidenan (kemudian afdeling)
serta daerah-daerah otonom regentschap (kabupaten) serta stadsgemeente
(kotapraja).
Keberadaan Jawa Barat sebagai sebuah propinsi secara resmi dibentuk
pada tanggal 1 Januari 1926 dan tertuang dalam Staatsblad tahun 1925
Nomor 378 tanggal 14 Agustus. Sebagai ibukota propinsi ditetapkan Batavia. Saat
dibentuk tahun 1926, Jawa Barat terbagi atas 5 karesidenan, 18 kabupaten, dan 6
kotapraja.
Usia propinsi Jawa Barat produk pemerintah kolonial Belanda ini
dapat dikatakan berakhir pada tahun 1942 setelah Jepang menghapus wilayah
administrasi pemerintahan setingkat propinsi. Sebagaimana diatur dalam Undang
Undang No. 27 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 8 Agustus 1942, pemerintah
pendudukan Jepang hanya mengadopsi Syu (karesidenan) sebagai pemerintah
daerah tertinggi di Jawa, termasuk di dalamnya Jawa Barat. Namun demikian,
pimpinan Syu (syucokan) di era Jepang ini kedudukannya jauh lebih
luas dibanding pimpinan karesidenan (residen) di era pemerintah kolonial
Belanda. Sebagai pimpinan daerah tertinggi yang
bersifat otonom, syucokan tidak hanya memegang kekuasaan
eksekutif tetapi juga legislatif. Di era Jepang ini, wilayah Jawa Barat terbagi
atas lima syu, yaitu Banten Syu, Jakarta Syu, Bogor Syu,
Priangan Syu, dan Cirebon Syu.[1]
Kelahiran
kembali Jawa Barat sebagai sebuah propinsi terjadi pada tanggal 19 Agustus 1945
dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di samping Jawa
Barat, terdapat 7 propinsi lain yang dibentuk dalam waktu bersamaan, yakni, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Dalam perkembangannya semasa
kemerdekaan, secara administratif kewilayahan, Propinsi Jawa Barat mengalami
perubahan-perubahan yang sangat dinamis. Perubahan tidak hanya ditandai oleh
adanya penambahan kabupaten dan kota baru tetapi juga oleh berkurangnya luas
wilayah administratif propinsi Jawa Barat. Pengurangan wilayah administratif
propinsi Jawa Barat terjadi pada tahun 2000 atau tepatnya sejak 4 Oktober 2000,
yang ditandai oleh berpisahnya Banten sebagai bagian propinsi Jawa Barat
sebagaimana diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR[2]
dan tampil menjadi propinsi tersendiri berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun
2000 tertanggal 17 Oktober 2000. Lahirnya propinsi Banten secara otomatis
membuat propinsi Jawa Barat harus rela melepas beberapa wilayah administratif
di bawahnya, yakni, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Tanggerang, Kota Tanggerang, dan Kota Cilegon. Setelah terjadi
berbagai perubahan selama kurang lebih 60 tahun kemerdekaan, propinsi Jawa
Barat kini memiliki 16 kabupaten dan 9 kota, yakni Kabupaten Bogor, Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten
Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang,
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota
Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota
Tasikmalaya, dan Kota Banjar.
Memetakan Sejarah Kebudayaan Daerah
Berpijak pada perkembangan wilayah sebagaimana terurai di atas maka
kebudayaan daerah yang perlu dipetakan adalah kebudayaan daerah yang ada di
Propinsi Jawa Barat sebagaimana perkembangannya yang paling kontemporer. Untuk
memetakan itu semua tentu bukanlah merupakan hal yang mudah. Permasalahan
pertama yang akan muncul apakah pemahaman tentang kebudayaan daerah yang ada di
Propinsi Jawa Barat tersebut identik dengan kebudayaan Sunda? Mengingat
mayoritas etnis yang mendiami wilayah tersebut adalah etnis Sunda. Lantas,
kalau kebudayaan daerah yang ada di Propinsi Jawa Barat tersebut tidak bisa
direpresentasikan sebagai hanya menunjuk kepada kebudayaan Sunda, menunjuk
kemanakah kebudayaan daerah dimaksud? Agar tidak terjebak dalam polemik
berkepanjangan, untuk mudahnya kebudayaan daerah tersebut di samping merujuk
pada Kebudayaan Sunda juga merujuk pada kebudayaan lain yang ada di Propinsi
Jawa Barat, yakni “kebudayaan Cirebon”.
Permasalahan
selanjutnya yang tidak kalah rumit adalah, bagaimanakah sebenarnya peta
kebudayaan daerah (Sunda dan Cirebon) yang ada di Jawa Barat? Bila pertanyaan
sudah sampai kepada hal ini, maka jawabannya amat sangat tidak sederhana, untuk
tidak mengatakan, belum ada jawaban tegas yang bisa disampaikan. Sebaliknya,
jawaban akan menjadi lain manakala kebudayaan hanya dimaknai dalam perspektif
yang sangat sempit, yakni sebagai kesenian atau hanya dalam bentuk wujud fisik.
Padahal, dilihat dari wujudnya, kebudayaan mencakup tiga wujud, yakni, wujud
fisik (sistem materi), wujud tingkah laku (sistem sosial), dan wujud ide
(sistem budaya). Sementara dilihat dari unsurnya, setidaknya ada tujuh unsur
kebudayaan yang bersifat universal, yakni sistem dan organisasi kemasyarakatan;
sistem mata pencaharian; sistem pengetahuan; sistem kepercayaan dan
upacara-upacara keagamaan; sistem teknologi, perlatan, dan perlengkapan hidup;
sistem bahasa; dan sistem kesenian.
Secara umum dapat dikatakan sejarah kebudayaan daerah di Jawa Barat atau sejarah kebudayaan
Sunda (dan Cirebon) atau sejarah kebudayaannya urang Sunda[3]
dan Cirebon mencakup kurun waktu yang sangat panjang, yakni dari masa
prasejarah hingga masa sejarah. Masa prasejarah dalam sejarah Kebudayaan Sunda
(dan Cirebon) berakhir manakala ditemukan bukti-bukti tertulis berupa prasasti
dari kerajaan Tarumanegara. Bukti-bukti peninggalan kebudayaan Sunda (dan
Cirebon) di era prasejarah, antara lain ditemukan di Cianjur (Gunung Padang, Pasir Pogor, Bukit
Tongtu, Bukit Kasur, Gunung Putri, Lembah Duhur, Pasir Manggu, dan Pasir Gada),
Sukabumi (Pangguyangan, Tugu Gede, Ciarca, Salak Datar, dan Batu Jolang),
Bandung, Garut (Cimareme), Kuningan (Cipari, Cigadung, Cangkuang, Cibuntu,
Hululingga, Darmaloka, Batu Tilu, Panyusupan, Cibubur, Balongkagungan, dan
Nagog), dan Ciamis (Karangkamulyan).[4]
Era sejarah
dalam sejarah Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) yang dimulai sejak abad ke-5 atau
sejak ditemukannya prasasti kerajaan Tarumanegara telah berlangsung hingga
lebih dari 15 abad. Mengingat rentang waktu yang panjang tersebut tentu
bukanlah merupakan hal yang mudah untuk bisa mengenal dengan baik sejarah
kebudayaan Sunda (dan Cirebon). Terlebih lagi realitas memperlihatkan bahwa
pada beberapa babakan, perjalanan sejarah kebudayaan Sunda (dan Cirebon) hanya
menyisakan sumber-sumber sejarah yang amat sangat terbatas atau bahkan tidak
menyisakan sumber sama sekali. Namun demikian,
untuk memudahkan pengenalan, secara umum sejarah kebudayaan Sunda (dan
Cirebon) dapat didekati dengan membaginya dalam dua periodisasi besar, yakni
masa sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan.
Masa sebelum
kemerdekaan dalam sejarah kebudayaan Sunda (dan Cirebon) meliputi masa
Hindu-Budha, masa Islam, masa penetrasi Barat, dan masa penetrasi Jepang. Masa
Hindu Budha antara lain ditandai oleh munculnya dua kerajaan besar, yakni
kerajaan Tarumanegara (Abad V – VII)[5]
dan kerajaan Sunda (VII – XVI).[6]
Masa Islam antara lain ditandai oleh munculnya kesultanan Cirebon. Masa
penetrasi Barat di Jawa Barat ditandai oleh munculnya rezim penguasa Barat,
mulai dari VOC, Inggris, hingga pemerintah kolonial Belanda. Masa penetrasi
Jepang ditandai oleh berkuasanya pemerintah pendudukan Jepang di Jawa Barat.
Mencermati Postur Kebudayaan Daerah
Dari deskripsi
singkat perjalanan sejarah kebudayaan Sunda (dan Cirebon) ada beberapa
peristiwa yang bisa diangkat sebagai
tonggak penting dalam perkembangan perjalanan sejarah kebudayaan Sunda (dan
Cirebon). Beberapa di antara peristiwa penting tersebut adalah kelahiran
Kerajaan Tarumanegara. Kelahiran kerajaan pertama di Jawa ini memiliki makna
penting karena menjadi pertanda tentang tingginya peradaban urang Sunda
(dan Cirebon). Keunggulan peradaban urang Sunda (dan Cirebon) ini
dibuktikan dengan adanya realitas yang tak terbantahkan bahwa urang Sunda
(dan Cirebon) merupakan kelompok etnis pertama di Nusantara yang bersentuhan
dengan tulisan. Tujuh prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara membuktikan
semua itu. Dengan demikian dari realitas sejarah tersebut secara eksplisit
terlihat bahwa etnis Sunda (dan Cirebon) merupakan etnis generasi pertama
yang melek huruf. Betapa bermaknanya kapasitas urang Sunda (dan
Cirebon) dalam bersentuhan dengan tulisan telah membawa bangsa ini ke dalam
sebuah babakan peradaban baru yang disebut babakan sejarah. Tegasnya, bukti
persentuhan urang Sunda (dan
Cirebon) dengan tulisan ini kemudian dijadikan titik tolak era sejarah dalam
sejarah kebudayaan Indonesia.
Bila Tarumanegara mampu memberi eksplanasi
tentang tingginya peradaban urang Sunda (dan Cirebon) dalam budaya tulis
maka kerajaan Sunda dengan segala keterbatasan sumber yang dimilikinya
memperlihatkan fenomena tentang eksistensi sebuah kerajaan Hindu-Budha yang
paling panjang usianya di Indonesia, yakni selama 909 tahun atau sejak 670 M
hingga 1579 M. Selama lebih dari sembilan abad eksistensinya, kerajaan
Sunda mampu mewariskan ideologi Sunda, yakni berupa nilai luhur kerohanian dan
tipe ideal budaya yang dianut oleh urang Sunda. Ideologi Sunda produk
kerajaan Sunda tersebut antara lain berwujud aksara, bahasa, etika, adat
istiadat (hukum), lembaga kemasyarakatan dan sistem kepercayaan.[7]
Pedoman hidup yang digunakan urang Sunda semasa kerajaan Sunda tampak
bukan sekedar wacana tetapi benar-benar dijadikan sebagai sebuah pegangan untuk
berpikir dan bertindak. Hal ini setidaknya terlihat dalam proses peralihan
kekuasaan di kerajaan Sunda. Dari 39 kali suksesi kepemimpinan di kerajaan
Sunda, tiga suksesi di antaranya terjadi sebagai akibat adanya pelanggaran raja
yang berkuasa terhadap kaidah moral yang berlaku.[8]
Satu di antaranya karena menikahi estri larangan, yakni wanita yang
telah bertunangan atau telah menerima lamaran untuk diperistri.[9]
Setelah
keruntuhan kerajaan Sunda, perjalanan sejarah kebudayaan Sunda (dan Cirebon)
selanjutya secara eksplisit memberikan
gambaran tentang terjadinya mondialisasi atau globalisasi di Jawa Barat. Ada
dua kekuatan besar yang telah mengakibatkan urang Sunda (dan Cirebon)
mau tidak mau larut dalam mondialisasi, yakni Islam dan Barat. Di tengah mondialisasi tersebut, urang
Sunda (dan Cirebon) pun dihadapkan oleh datangnya pengaruh dari Jawa (Mataram).
Kehadiran
Islam di Jawa Barat, yang benih-benihnya sudah muncul sejak sebelum abad ke-15
dan memperlihatkan bentuknya yang tegas pada abad ke-16 secara perlahan tapi pasti
membawa pengaruh pada ideologi Sunda. Satu di antaranya yang paling fenomenal
adalah tertanggalkannya sistem kepercayaan lama[10]
dan tampilnya Islam sebagai agama urang Sunda (dan Cirebon). Uniknya,
berbeda dengan Hindu-Budha, Islam di Jawa Barat melebarkan sayapnya dari
kalangan bawah terlebih dahulu baru kelompok elit. Semasa Islam menyebrangi
tembok-tembok kerajaan, Islam pun tidak dipandang sebagai ancaman.[11]
Kondisi ini bisa jadi memperlihatkan sebuah realitas bahwa urang Sunda
(dan Cirebon) merupakan komunitas yang cukup rasional dalam menyikapi kehadiran
ajaran baru atau juga bisa dimaknai bahwa Hindu-Budha yang saat itu menjadi
“kepercayaan” kerajaan hanya mengakar di lapis penguasa saja dan belum
menyentuh lapis bawah atau rakyat kebanyakan sehingga manakala Islam disebarkan
secara intensif oleh para tokohnya, urang Sunda (dan Cirebon) sangat
terbuka menerimanya. Terlebih Islam mengembangkan prinsip-prinsip ajaran yang
bersifat egaliter dan tidak membeda-bedakan manusia ke dalam kelas-kelas
tertentu.
Di tengah derasnya pengaruh Islam di Jawa Barat dalam waktu yang
relatif bersamaan, datang pula pengaruh dari budaya Jawa. Budaya Jawa masuk ke
Jawa Barat melalui dua cara. Pertama, melalui kegiatan perdagangan, pertanian,
dan migrasi di daerah pesisir utara. Kedua, melalui prajurit dan priyayi
Mataram semasa terjadinya ekspansi Mataram di Jawa Barat. Kebudayaan Jawa yang
dibawa prajurit dan priyayi Mataram merupakan kebudayaan Jawa pedalaman yang
sarat dengan nilai-nilai feodal. Dampak dari infiltrasi budaya Jawa di Jawa
Barat adalah kentalnya pengaruh budaya feodal Jawa di Jawa Barat, seperti misal
sistem unggah-ungguh basa dalam bahasa Jawa keraton muncul dalam bahasa
Sunda berupa undak-unduk basa yang mulanya berkembang di pendopo-pendopo
kabupaten.
Bahkan, lebih dari itu,
penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan sempat tergeser sekian lama oleh
bahasa Jawa dan baru bisa bangkit kembali sebagai bahasa tulisan menjelang
akhir abad ke-19. Itupun berkat prakarsa K.F. Holle (1829-1896), orang Belanda
yang memiliki perhatian besar terhadap perkembangan kebudayaan Sunda. Nasib
lebih tragis dialami aksara Sunda. Setelah sempat teralienasikan ke daerah
pegunungan yang terpencil (Kabuyutan Gunung Larang Srimanganti di Lereng Gunung
Cikuray, Garut Selatan), aksara Sunda harus mengakhiri hidupnya pada abad
ke-18. Selanjutnya, peranannya digantikan oleh aksara Cacarakan yang dipinjam
dari aksara Jawa (aksara Carakan), aksara Pegon yang dipinjam dari aksara Arab,
dan aksara latin yang dipinjam dari budaya Eropa.[12]
Di luar sistem bahasa, pengaruh budaya Jawa antara lain tampak pula dalam
sistem kemasyarakatan (tata krama) dan sistem mata pencaharian (dari berladang atau berhuma menjadi
bersawah).[13]
Ketidakberdayaan
urang Sunda (dan Cirebon) dalam menghadapi infiltrasi budaya Jawa bisa jadi diakibatkan oleh dua kondisi.
Pertama, tidak membuminya ideologi Sunda produk kerajaan Sunda di kalangan urang
Sunda kebanyakan atau dengan kata lain ideologi Sunda tersebut besar
kemungkinan hanya tersebar secara apik di kalangan elit kerajaan
sehingga belum menjadi identitas kebanyakan urang Sunda. Kedua, kuatnya
hegemoni Mataram dalam berbagai bidang di Jawa Barat. Terlepas dari apapun
faktor ketidakberdayaan tersebut, yang jelas sejak masuknya pengaruh Jawa,
sejarah kebudayaan Sunda (dan Cirebon)
memberikan eksplanasi tentang semakin beragamnya budaya asing yang
mempengaruhi kehidupan urang Sunda (dan Cirebon). Lebih dari itu, sejak
masuknya budaya Jawa dapat dikatakan sejak itu pula budaya kehidupan yang sarat
dengan nilai-nilai feodal berkembang dengan subur di Jawa Barat.
Mondialisasi
di era penetrasi Barat telah mebawa perubahan besar bagi kehidupan urang
Sunda (dan Cirebon). Salah satu implikasi dari mondialisasi adalah perubahan
pada sistem pemerintahan. Secara bertahap diperkenalkan wilayah-wilayah
administratif pemerintahan baru, seperti residency, district,
afdeling, gemeente, stadsgemeente, gemeenteraad, regentschapsraad,
dan kemudian provincie. Seiring dengan itu diperkenalkan pula
jabatan-jabatan baru, seperti residen, asisten residen, hoofddistrict,
dan burgermeester. Perubahan besar lainnya adalah masuknya Jawa Barat
dalam pasar global dengan berdirinya perkebunan-perkebunan besar milik swasta,
seperti perkebunan kopi, teh, karet, dan
kina.
Mengiringi kemunculan perkebunan-perkebunan besar swasta, terjadi
pula perubahan revolusioner dalam sistem transportasi, dengan diperkenalkannya
transportasi kereta api. Pembangunan
jalan kereta api di Jawa Barat dilakukan secara bertahap atau dimulai setelah
jalur Batavia-Buitenzorg mulai operasional pada tanggal 31 Januari 1873. Tahap
pertama pembangunan jalan kereta api memasuki pedalaman Jawa Barat dimulai dari
Buitenzorg menuju Cicurug. Lintasan Buitenzorg-Cicurug sepanjang 27 kilometer
ini berhasil diselesaikan pada tanggal 5 Oktober 1881. Lintasan kereta api
selanjutnya yang dibangun adalah lintasan Cicurug-Sukabumi. Lintasan sepanjang
30 kilometer ini berhasil diselesaikan pada tanggal 21 Maret 1882. Pembangunan jalan kereta api tahap ketiga
dilakukan untuk menghubungkan Sukabumi dengan Cianjur. Pembangunan jalur jalan
kereta api Sukabumi-Cianjur sepanjang 39
kilometer berhasil diselesaikan tanggal 10 Mei 1883. Tahap pembangunan jalan
kereta api selanjutnya dilakukan untuk menghubungkan wilayah Cianjur dengan
ibukota Karesidenan Priangan, Bandung. Jalur jalan kereta api Cianjur-Bandung
sepanjang 59 kilometer, secara resmi mulai dioperasikan sejak tanggal 17 Mei
1884.[14]
Dengan selesainya seluruh jalur
lintasan kereta api yang menghubungkan Buitenzorg-Cianjur serta Cianjur-Bandung,
secara otomatis sejak tahun 1884 perjalanan dari satu daerah ke daerah lain di
Jawa Barat waktunya bisa lebih dipersingkat. Sebagai contoh, untuk perjalanan
Cianjur-Buitenzorg, yang semula memerlukan waktu tempuh 8 jam dengan
menggunakan kereta kuda, sejak dibangunnya jalan kereta api, hanya memerlukan
waktu selama 2,5 jam. Untuk perjalanan Cianjur-Bandung, yang semula memerlukan
waktu 5,5 jam dengan menggunakan kereta kuda, dengan adanya sarana kereta api
bisa dipersingkat menjadi sekitar 2 jam.[15]
Pengaruh keberadaan kereta api dalam
kehidupan urang Sunda (dan Cirebon) terus berlangsung hingga abad ke-20.
Terlebih manakala pemerintah kolonial tetap melakukan berbagai pembangunan
prasarana dan sarana transportasi kereta api. Sebagai misal, perjalanan kereta
api dari Bandung menuju Batavia dan sebaliknya dibuat jalur baru melalui
Purwakarta dan Cikampek. Jalur ini mulai dioperasionalkan sejak 1 November
1934. Melalui jalur baru ini, perjalanan Bandung-Batavia waktu tempuhnya dapat
dipersingkat menjadi hanya 2 ¾ jam.[16]
Untuk menampung besarnya minat penumpang yang menggunakan transportasi kereta
api jalur Batavia-Bandung ini, perusahaan kereta api negara (Staats Spoorwegen), yang memiliki motto
4S (Staats Spoor Steeds Sneller),[17]
mengoperasikan sekaligus empat rangkaian kereta api dalam sehari. Pelayanan
kereta api Batavia-Bandung ini kemudian dikenal dengan nama vlugge vier (empat cepat).
Tantangan Ke Depan
Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, Kebudayaan Sunda (dan
Cirebon) kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi
kebudayaan Sunda (dan Cirebon) pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah
kebudayaan Sunda (dan Cirebon) masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya?
Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) yang tampaknya
provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan
yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena
kebudayaan Sunda (dan Cirebon) dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan
rohnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa kemana
Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) tersebut?
Budayawan W.S. Rendra sewaktu
berlangsungnya Kongres Kebudayaan IV di Jakarta, 29 Oktober – 3 November 1991,
mengemukakan bahwa setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh
sebuah kebudayaan. Pertama, kemampuan bernafas. Kedua, kemampuan mencerna.
Ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan
beradaptasi. Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan
berkembang. Ketujuh, kemampuan regenerasi. Kemampuan bernafas dalam kebudayaan
dimaknai sebagai kemampuan untuk mengolah hawa menjadi prana, menjaga
kebersihan udara, mengharmonikan kegiatan kehidupan dengan irama nafas, serta menghilangkan hal-hal
yang menimbulkan ketegangan pada pikiran yang berarti menimbulkan kesesakan
pada nafas kehidupan. Kemampuan mencerna dimaknai sebagai kemampuan untuk
mencernakan berbagai pengalaman dalam kehidupan. Kemampuan berkoordinasi dan
berorganisasi dimaknai sebagai kemampuan berinteraksi secara sosial. Kemampuan
beradaptasi dimaknai sebagai kemampuan kesadaran untuk secara kreatif mengatasi
tantangan keadaan, tantangan zaman, dan tantangan berbagai ragam pergaulan.
Kemampuan mobilitas dimaknai sebagai kemampuan untuk dengan kreatif menciptakan
mobilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik yang bersifat horizontal maupun
vertikal. Kemampuan tumbuh dan
berkembang diartikan sebagai kemampuan kesadaran untuk selalu maju, selalu
bertambah luas dan dalam wawasannya selalu menawarkan paradigma-paradigma yang
segar dan baru. Kemampuan regenerasi dimaknai sebagai kemampuan untuk mendorong
munculnya generasi baru yang kreatif dan produktif.[18]
Di
samping daya hidup, unsur lain lagi yang juga penting dalam suatu kebudayaan
adalah mutu hidup. Mutu hidup bukanlah merupakan kesempurnaan tetapi lebih
dimaknai sebagai kewajaran. Adapun kewajaran dalam hidup manusia merupakan
harmoni tiga mustika, yakni, tanggung jawab kepada kewajiban, idealisme, dan
spontanitas. Tanggung jawab kepada kewajiban dimaknai sebagai sebuah kesadaran
untuk selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban secara penuh sesuai dengan
tanggung jawab sosialnya. Idealisme dimaknai sebagai rumusan sikap hidup
seseorang di dalam menempuh padang dan hutan belantara kehidupan. Idealisme
sekaligus merupakan sumber kepuasan batin seseorang. Spontanitas dimaknai
sebagai ungkapan naluri dan intuisi manusia. Tanpa spontanitas akan menyebabkan
hidup menjadi kering dan hambar.
Kalaulah kemudian tujuh daya hidup kreasi
Rendra digunakan untuk mengelaborasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) kontemporer
maka setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan
Sunda (dan Cirebon), yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas,
kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan
beradaptasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon), terutama dalam merespon berbagai
tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan
memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan.
Dari fakta sejarah terlihat bahwa persentuhan urang Sunda
(dan Cirebon) dengan berbagai budaya asing memperlihatkan dengan jelas tentang
terjadinya mondialisasi di Jawa Barat. Dengan demikian, mondialisasi atau yang
sekarang lebih dikenal dengan istilah globalisasi bukanlah merupakan pengalaman
baru. Banyak hal positif yang diperoleh urang Sunda (dan Cirebon) selama
era mondialisasi. Namun dibalik dampak positif, mondialisasi di Jawa Barat
menggambarkan pula tentang rentannya kebudayaan Sunda (dan Cirebon) dalam
menghadapi realitas yang terjadi.
Rentannya daya hidup kebudayaan Sunda (dan Cirebon) dalam menghadapi
tantangan perkembangan zaman, diakui
atau tidak, juga terjadi saat urang Sunda (dan Cirebon) memasuki era
globalisasi dewasa ini. Di era globalisasi dewasa ini, kebudayaan Sunda (dan
Cirebon) tampak mengalami tantangan yang serius. Namun, untuk menjawab
tantangan tersebut, kebudayaan Sunda (dan Cirebon) seperti kehilangan energi
dan daya hidupnya. Realitas tersebut, sebagaimana realitas yang terjadi semasa
mondialisasi di era penetrasi Barat bisa jadi diakibatkan karena tidak jelasnya
postur dan profil tentang kebudayaan Sunda (dan Cirebon) serta secara otomatis
belum membuminya kebudayaan Sunda (dan Cirebon) di kalangan urang Sunda
kebanyakan. Jadinya, urang Sunda (dan Cirebon) seperti teralienasikan
dari kebudayaannya sendiri. Keteralienasian ini bahkan sering pula diikuti oleh
keengganan urang Sunda (dan Cirebon) untuk mengakui dirinya sebagai
bagian dari kebudayaan Sunda (dan Cirebon) atau merepresentasikan diri sebagai urang
Sunda (dan Cirebon).
Apabila kemampuan beradaptasi Kebudayaan
Sunda (dan Cirebon) memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan
maka hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan Kebudayaan
Sunda (dan Cirebon) untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horisontal,
dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda
(dan Cirebon), di dalam komunitas Sunda (dan Cirebon) sendiri, kebudayaan Sunda
(dan Cirebon) seringkali menjadi tampak asing. Meskipun ada unsur Kebudayaan
Sunda (dan Cirebon) yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik
secara horisontal maupun vertikal, tetapi secara umum kemampuan Kebudayaan
Sunda (dan Cirebon) untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga
kebudayaan Sunda (dan Cirebon) tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga
berjalan mundur.
Berkaitan erat dengan dua kemampuan
terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) juga
dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan.
Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, itikad untuk melestarikan apa
yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Sebagai contoh, menjadi
sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda (dan Cirebon) yang sebenarnya kaya
dengan folklor,[19]
seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar
tetap “membumi” dengan masyarakat Sunda (dan Cirebon). Kalaulah upaya untuk
“membumikan” harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk
membuat folklor tersebut agar sanggup
berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan
mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi
kenangan masa lalu urang Sunda (dan
Cirebon) dan biarkanlah folklor tersebut
ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda (dan Cirebon) yang tidak
berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi,
Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) pun tampaknya kurang membuka ruang bagi
terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya
“kumaha akang”, “mangga tipayun”, yang demikian kental melingkupi kehidupan
sehari-hari urang Sunda menjadi salah
satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya,
jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi. Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang
terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya dikarenakan kentalnya senioritas
serta “terlalu majunya” pemikiran para generasi baru, yang seringkali
bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya.
Bila pengamatan terhadap daya hidup
Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) melahirkan temuan-temuan yang cukup
memprihatinkan, maka hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu
hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda (dan Cirebon),
baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun
mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja
diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan
kewajiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya
kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban. Hedonisme yang kini melanda
kebudayaan Sunda (dan Cirebon) telah mampu menggeser parameter dalam
melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi
didasarkan atas tanggungjawab yang dimilikinya tetapi lebih didasarkan atas
seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban
dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang
bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang
disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang
dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam
kebudayaan Sunda (dan Cirebon). Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas
Sunda (dan Cirebon) menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme
dalam memajukan kebudayaan Sunda (dan Cirebon).
Berpijak pada kondisi lemahnya daya
hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda (dan Cirebon), timbul pertanyaan besar,
apakah permasalahan yang sebenarnya tengah dihadapi kebudayaan Sunda (dan
Cirebon)? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi beberapa di
antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh
paling besar adalah karena ketiadaan strategi dalam mengembangkan kebudayaan
Sunda (dan Cirebon); lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat)
di kalangan komunitas Sunda (dan Cirebon); serta belum adanya formulasi yang
jelas tentang kebudayaan Sunda (dan Cirebon).
Ketiadaan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam
mengembangkan kebudayaan Sunda (dan Cirebon) tampak dari tidak adanya “pegangan
bersama” yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip
keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas
Kebudayaan Sunda (dan Cirebon). Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) tampaknya
dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk
memandunya agar selalu berada di “jalan yang lurus”, khususnya manakala harus
berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisir dengan
rapi serta memiliki kemasan menarik.
Berbagai unsur Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) yang sebenarnya sangat
potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional
dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambilah
contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda (dan Cirebon), mulai dari lotek, karedok, tahu gejrot,
bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang,
opak, hingga yang lagi naik daun, ubi Cilembu, apakah ada strategi besar dari
pemerintah daerah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa
diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam
menjadi demikian mendunia, mengapa urang
Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan
kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda
yang juga mendunia. Oleh karenanya, bila strategi kebudayaan benar-nenar
telah dimiliki oleh Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) bisa jadi urang Sunda akan dengan bangga menemukan
tempat-tempat makanan “enggal sayagi”, seperti Lotek Cilentah, Karedok
Singaparna, Wajit Cililin, Borondong Majalaya, Bandrek Pangalengan, Bajigur
Bogor, atau Opak Majalengka.
Lemahnya
budaya baca, tulis, dan lisan ditenggarai juga menjadi penyebab lemahnya daya
hidup dan mutu hidup Kebudayaan Sunda (dan Cirebon). Lemahnya budaya baca telah
menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda
(dan Cirebon) secara tidak langsung
merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia.
Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang
Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda dan Cirebon. Dalam kaitan
ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis
perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda (dan Cirebon). Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan
tradisi tulis pada urang Sunda (dan
Cirebon) masih tetap terbilang rendah.
Budaya
lisan dalam Kebudayaan Sunda (dan Cirebon) sebenarnya merupakan budaya yang telah
lama akrab dengan komunitas Sunda (dan Cirebon), bahkan usianya jauh lebih tua
dibandingkan dengan budaya baca dan
tulisan. Namun budaya lisan dalam pengertian kapasitas untuk mengemukakan
pendapat serta berjiwa besar dalam menghadapi pendapat yang berbeda masih
merupakan barang yang masih amat sangat langka dalam Kebudayaan Sunda (dan
Cirebon). Tradisi lisan Sunda (dan Cirebon) tampaknya baru mampu menghargai
komunikasi model monolog dan bukannya dialog. Akibatnya kemampuan untuk
menyampaikan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda dalam Kebudayaan Sunda
(dan Cirebon) merupakan barang yang teramat mewah. Padahal, kapasitas untuk
mengemukakan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda ini menjadi salah satu
dasar bagi munculnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan yang berkualitas.
Kapasitas mengemukakan pendapat pada dasarnya merupakan representasi dari
kemampuan bernafas dan mencerna, sementara kapasitas menerima dengan jiwa besar
pendapat yang berbeda lebih merupakan representasi dari kemampuan berkoordinasi
dan berorganisasi, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh
dan berkembang, serta kemampuan regenerasi.
Ketidakjelasan formulasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) menyebabkan
kaburnya profil dan postur kebudayaan Sunda (dan Cirebon). Untuk itu, jelas
diperlukan upaya yang serius untuk memformulasikan tentang kebudayaan Sunda
(dan Cirebon). Formulasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) dimaksud tentu tidak
hanya sekedar mencakup bahasa dan kesenian, tetapi juga meliputi sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem mata pencaharian hidup, sistem pengetahuan, sistem
religi, serta sistem teknologi, peralatan, dan perlengkapan hidup. Selanjutnya,
formulasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) harus diikuti pula dengan
langkah-langkah strategis untuk membumikannya di kalangan urang Sunda
(dan Cirebon). Janganlah sampai formulasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) yang
dihasilkan nanti hanya sebatas menjadi wacana di atas kertas atau hanya menjadi
milik eksklusif golongan atau kelompok tertentu.
Formulasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) akan semakin terasa
urgensinya bila mengingat bahwa tantangan yang dihadapi oleh urang Sunda
(dan Cirebon) kini menjadi bertambah berat dengan semakin terbukanya Jawa Barat
oleh prasarana transportasi, baik darat (tol Cipularang) maupun udara
(penerbangan langsung dari Bandung ke berbagai kota di luar negeri). Melalui
formulasi dan pembumian kebudayaan Sunda (dan Cirebon) diharapkan urang Sunda
(dan Cirebon) akan kembali tersadarkan tentang kebudayaan yang dimilikinya sehingga
memiliki filter yang kuat dalam menyikapi derasnya pengaruh yang
dihadapinya. Bahkan, lebih dari itu akan melahirkan sense of belonging
dan sense of pride terhadap kebudayaan Sunda (dan Cirebon) serta tentang jati dirinya sebagai urang
Sunda (dan Cirebon)
Bagi ranah politik, khususnya pemerintah propinsi, formulasi
kebudayaan Sunda (dan Cirebon) diharapkan pula akan mampu menampung kebutuhan
akan jawaban (response) bagi sebuah tantangan (challenge) di
depan berupa kecenderungan kembalinya pembagian wilayah administrasi
pemerintahan warisan abad ke-19, sehubungan dengan kuatnya hembusan angin
otonomi daerah. Pembagian wilayah Jawa bagian Barat atas empat wilayah
karesidenan sebagaimana diumumkan Raffles tanggal 10 Agustus 1915, yakni
Banten, Buitenzorg (Bogor), Cirebon, dan Priangan,[20]
sadar atau tidak sadar, sepertinya akan berulang kembali (setelah dimulai oleh
Banten dan kini riak-riaknya sudah muncul di Cirebon dan Bogor), meskipun
kemasannya bukan lagi karesidenan tetapi propinsi. Manakala realitas tersebut
benar-benar muncul ke permukaan, tanpa antisipiasi yang matang, bisa jadi
banyak kemungkinan yang akan muncul tentang perkembangan kebudayaan Sunda (dan
Cirebon). Akan semakin menguat atau justru akan semakin memudar. Dengan adanya
formulasi kebudayaan Sunda (dan Cirebon) diharapkan perkembangan yang tidak
menggembirakan dapat dihindari.
DAFTAR SUMBER
Alfian, T.
Ibrahim. 1985. Sejarah dan Permasalahan Masa
Kini, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 12 Agustus 1985.
Atja dan Saleh
Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda Ng
Karesian: (Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 M). Bandung: Proyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat.
Danasasmita,
Saleh, et.al. 1983/1984. Rintisan Penelusuran
Masa Silam Sejarah Jawa Barat. 4 Vols. Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah
Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Dienaputra,
Reiza D. 1993. Kerajaan Sunda Pajajaran: Studi
tentang Suksesi Kepemimpinan di Kerajaan Sunda Pajajaran. Bandung: Lembaga
Penelitian Universitas Padjadjaran.
---------------.
2004. Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg
(Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942). Bandung:
Prolitera.
Ekadjati, Edi S.
1995a. Kebudayaan Sunda (Suatu Pndekatan Sejarah).
Jakarta: Pustaka Jaya.
---------------.
1995b. Sunda, Nusantara, dan Indonesia: Suatu
Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember 1995.
---------------.
2004. Kebangkitan
Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918. Bandung: Kiblat
Buku Utama.
J. Hageman Cz.
1867. “Geschiedenis der Soendalanden”, TBG, XVI. Batavia.
Kern, R.A. 1898.
Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort
Overzigt. Bandung: De Vries & Fabricius.
Kunto, Haryoto.
1984. Wajah
Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia.
Lubis, Nina H.,
dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid I dan II. Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran.
L. Pronk. 1929. De bestuursreorganisatie-Mullemeister op Java en
Madoera en haar beteekenis voor het heden. Leiden: M. Dubbeldeman.
Otto van Rees,
Otto van. 1880. Overzigt van de Geschiedenis
der Preanger-Regentschappen. Batavia.
Reitsma, S. A.
1912. De Wegen in de Preanger. Bandung: G.
Kolff & Co.
---------------.
1928. Korte Geschiedenis der
Nederlandsch-Indische Spoor en Tramwegen. Weltevreden: G. Kolff & Co.
Roelcke,
Gottfried dan Gary Crabb. 1994. All Around
Bandung: Exploring the West Java Highlands. Bandung: Bandung Society for Heritage
Conservation.
Rosidi, Ajip.
1988. Hurip Waras: Dua Panineungan.
Bandung: Pustaka Karsa Sunda.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het
Jaar 1864, No. 54.
Staatsblad van
Nederlandsch-Indie over het Jaar 1916, No. 65.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1920, No. 150.
Tourist Guide to Buitenzorg, the Preanger and Central
Java. 1913. Weltevreden:
Official Tourist Bureau.
Verslag der Staatsspoor-en Tramwegen in
Nederlandsch-Indie Jrg. 1925.
Warnaen,
Suwarsih et.al. 1987. Pandangan Hidup Orang
Sunda. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda
(Sundanologi) Depdikbud.
* Makalah
disampaikan sebagai materi presentasi dalam kegiatan Pembinaan dan Orientasi
Budaya Untuk Media Massa Jawa Barat, yang diadakan DinasKebudayaan dan
Pariwisata Propinsi Jawa Barat, bertempat di Hotel Baltika, Bandung, 28 – 29
Juni 2006.
[1] Edi S. Ekadjati,
et.al., Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah
Jawa Barat, (Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah, 1980/1981), hal. 15.
[2] Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), hal. 234.
[3] Urang Sunda secara sederhana dapat
diartikan sebagai orang yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai
orang Sunda. Dalam pengertian tersebut setidaknya tercakup dua kriteria besar
yang dapat dijadikan pegangan untuk menyebut seseorang sebagai urang Sunda atau bukan urang Sunda. Kriteria pertama didasarkan
atas keturunan atau hubungan darah. Dengan demikian, seseorang dikatakan urang Sunda apabila orang tuanya, baik
dari pihak ayah maupun ibu, atau keduanya adalah orang Sunda, terlepas dimana
ia berada atau dibesarkan. Kriteria kedua didasarkan atas sosial budaya.
Seseorang dikatakan urang Sunda
apabila ia dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya
menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai budaya Sunda. Dalam kriteria kedua ini, yang diangggap
penting adalah tempat tinggal, kehidupan sosial budaya, dan sikap orangnya. Edi
S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pndekatan
Sejarah). (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995),
hal.7-8; Suwarsih Warnaen, et.al.,
Pandangan Hidup Orang Sunda.
(Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda
(Sundanologi) Depdikbud, 1987), hal. 1.
[4] Nina H. Lubis, dkk.
Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. (Bandung:
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2003), hal. 30-31.
[5] Setidaknya
ada tujuh prasasti yang berhasil diketemukan
berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Tarumanegara. Pertama, Prasasti Tugu. Ditemukan di desa Tugu
dekat Cilincing, Jaktim, kini tersimpan di Museum Nasional. Kedua, Prasasti Ciaruteun. Ditemukan
dipinggir sungai Ciaruteun, Kampung Muara, Kabupaten Bogor, kini berada di
lokasi yang tidak jauh dari tempat penemuan. Ketiga, Prasasti Kebon Kopi. Ditemukan tidak jauh dari tempat
ditemukannya Prasasti Ciaruteun. Keempat, Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak). Ditemukan di sebuah bukit
yang bernama Koleangkak di daerah perkebunan Jambu, Desa Parakanmuncang,
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Kelima, Prasasti Pasir Awi. Ditemukan di Kabupaten Bogor, tidak jauh
dari lokasi penemuan prasasti lainnya. Keenam, Prasasti Pasirmuara. Ditemukan di Kabupaten Bogor, tidak jauh
dari lokasi penemuan prasasti lainnya. Ketujuh, Prasasti Cidanghiang. Ditemukan di Kampung Lebak, di Pinggir
Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten.
[6] Sebagaimana
halnya kerajaanTarumanegara, keberadaan kerajaan Sunda di Tatar Sunda
dibuktikan oleh temuan beberapa prasasti, seperti, pertama, Prasasti Canggal. Ditemukan di
halaman percandian Gunung Wukir, Magelang, berangka tahun 654 Saka/732 M, mencantumkan nama raja Sanjaya dan
Silsilahnya). Kedua, Prasasti Rakryan
Juru Pangambat. Ditemukan di Bogor, berangka tahun
854 Saka/932 M, mencantumkan raja Sunda. Ketiga, Prasasti Cibadak/Sang Hyang Tapak. Ditemukan di Cibadak,
Sukabumi, menyebut Sri Jayabhupati sebagai Raja Sunda serta larangan menangkap
ikan di daerah tertentu yang disebut Sunda Sembawa serta kutukan bagi yang
melanggarnya. Keempat, Prasasti-prasasti
Kawali.Ditemukan di Situs Astana Gede, Kawali, Ciamis, berasal dari
abad ke-14 M, salah satu prasastinya menyebut nama gelar Prabu Wastu. Kelima, Prasasti Batu Tulis. Ditemukan di
Batutulis Bogor, berangka tahun 1455 Saka/1533 M, di dalamnya mencantumkan tiga
orang raja Sunda, yakni Prabu Guru Dewataprana alias Sri Baduga Maharaja atau
Sri Ratu Dewata, Rahiyang Dewa Niskala,
dan Rahiyang Niskala Wastukancana. Ketiganya memiliki tali ikatan anak,
ayah, dan kakek. Keenam, Prasasti-prasasti
Kabantenan.Berasal dari abad ke-16, kelima buah prasastinya berisi
penetapan wilayah-wilayah tertentu sebagai daerah yang dibebaskan dari pajak
atas dasar kesucian atau kepentingan keagamaan.Di luar prasasti-prasasti di
atas, berbeda dengan kerajaan Tarumanegara, keberadaan kerajaan Sunda juga
dibutikanoleh beberapa sumber tertulis lainnya, seperti, Naskah
Carita Parahyangan (berasal dari Abad ke-16), Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (berangka tahun 1440
Saka/1518 M, berisi ajaran kesusilaan, yang di dalamnya memuat norma-norma
kehidupan yang mengatur pola tingkah laku manusia pada masa kerajaan Sunda,
khususnya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja), Catatan Tomi Pires, dan Catatan
Joao de Barros.
[7] Edi S. Ekadjati, Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban
Pasundan 1913-1918, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2004), hal. 22.
[8] Berkaitan dengan
suksesi kepemimpinan tersebut setidaknya ada lima model suksesi kepemimpinan
yang terjadi. Pertama, dari raja kepada anak kandung laki-laki (25 kali).
Kedua, dari raja kepada menantu (8 kali). Ketiga, dari raja kepada adik kandung
(2 kali). Keempat, dari raja kepada saudara ipar (3 kali). Kelima, dari raja
kepada keponakan (1 kali). Sementara itu dari 38 kali rotasi kekusaan yang
diketahui faktor penyebabnya, di luar tiga kali suksesi yang diakibatkan oleh
pelanggaran terhadap kaidah moral, sebagian besar atau sebanyak 26 kali
diakibatkan oleh faktor usia. Di luar itu, masih terdapat tiga faktor penyebab
terjadinya rotasi kekuasaan, yaitu, rotasi kekuasaan yang diakibatkan oleh
adanya kudeta (5 kali), rotasi kekuasaan yang diakibatkan oleh pindahnya raja
ke kerajaan lain (1 kali), serta rotasi kekuasaan yang diakibatkan oleh terbunuhnya raja yang tengah memerintah (3
kali). Untuk uraian yang lebih lengkap, lihat, Reiza D. Dienaputra, Kerajaan Sunda Pajajaran: Studi tentang Suksesi
Kepemimpinan di Kerajaan Sunda Pajajaran, (Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran, 1993), hal. 19-38.
[9] Setelah terjadinya
perang Bubat, wanita yang berasal dari lingkungan Kerajaan Majapahit juga
dimasukkan dalam wanita larangan, sehingga tabu untuk dinikahi. Atja dan Saleh
Danasasmita, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian:
(Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 M). (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman
Jawa Barat, 1981), hal. 54-55.
[10] Sebelum dan selama
era Hindu-Budha, sistem kepercayaan yag
juga berkembang di tatar Sunda adalah animisme. Masuknya Islam, secara perlahan
tapi pasti menggeser sistem kepercayaan yang dianut urang Sunda
sebelumnya. Namun demikian, bagi urang Sunda yang tidak mau menerima Islam, menjelang masa-masa
akhir keruntuhan Kerajaan Sunda memisahkan diri dari komunitas Sunda kebanyakan
dan mengalienasikan diri ke wilayah pedalaman. Kini, komunitas tersebut dapat
ditemukan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Adapun agama dan kepercayaan yang dianut
mereka adalah Sunda Wiwitan (Wiwitan= mula pertama, asal, pokok, jati) atau
agama Sunda Asli. Dalam Carita Parahyangan dikenal dengan nama agama Jatisunda.
Edi S. Ekadati, op. cit., hal. 54-55,
72-73.
[11] Berdasarkan folklor
dan sejarah Sunda dikenal adanya beberapa orang tokoh penyebar Islam di tatar
Sunda dari generasi paling awal. Hingga kini keberadaan para tokoh tersebut
masih dihormati oleh urang Sunda. Mereka adalah Syekh Quro di Karawang,
Syekh Datuk Kahpi, Syekh Nurjati, dan Sunan Gunung Jati di Cirebon, serta
Hasanudin di Banten. Di luar itu dikenal pula istilah Haji Purwa, yang memiliki
makna sebagai orang yang menunaikan ibadah haji pertama kali. Ia adalah anggota
keluarga keraton Kawali yang masuk Islam ketika sedang berniaga ke India dan
kemudian menetap di Cirebon Girang. Edi S. Ekadjati, Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918,
(Bandung: Kiblat Buku Utama, 2004), hal. 23; J. Hageman Cz. “Geschiedenis der
Soendalanden”, TBG, XVI (Batavia, 1867);
Saleh Danasasmita, et.al., Rintisan Penelusuran
Masa Silam Sejarah Jawa Barat. 4
Vols. (Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat, 1983/1984).
[12] Edi S. Ekadjati,
2004, op. cit., hal. 26.
[13] Ibid.
[14] S.A. Reitsma, De Wegen in de Preanger, (Bandung: G. Kolff
& Co., 1912), hal. 16-17; S.A. Reitsma, Korte
Geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor en Tramwegen, (Weltevreden: G.
Kolff & Co., 1928), hal. 24 dan 37.
[15] Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1864,
No. 54; Tourist Guide to Buitenzorg, the
Preanger and Central Java, (Weltevreden: Official Tourist Bureau, 1913)
hal. 27, 34, dan 42.
[16] Haryoto Kunto, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, (Bandung:
Granesia, 1984), hal. 101.
[17] Gottfried Roelcke
dan Gary Crabb, All Around Bandung: Exploring
the West Java Highlands, (Bandung: Bandung Society for Heritage
Conservation, 1994), hal. 25.
[18] W.S. Rendra. 1991.
“Renungan Dasar tentang Kebudayaan”. Makalah disampaikan dalam Kongres
Kebudayaan IV, Jakarta, 29 Oktober – 3 November 1991, hal. 2-4.
[19] Folklor, yang
merupakan hasil pengindonesiaan dari kata Inggris Folklore, dapat diartikan
sebagai sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam
versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). James Danandjaja.
1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, hal. 2. Folklor dapat
dibedakan dalam tiga bentuk, folklor
lisan (bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan
puisi rakyat, ceritera prosa rakyat; mite, legenda, dan, dongeng, serta
nyanyian rakyat), folklor sebagian lisan ( kepercayaan rakyat dan permainan
rakyat), dan folklor bukan lisan (makanan rakyat).
[20] L. Pronk, De bestuursreorganisatie-Mullemeister op Java en
Madoera en haar beteekenis voor het heden, (Leiden: M. Dubbeldeman, 1929),
hal. 4-5.; Otto van Rees, Overzigt van de
Geschiedenis der Preanger-Regentschappen, (Batavia, 1880), hal. 129; R.A.
Kern, Geschiedenis der Preanger-Regentschappen;
Kort Overzigt (Bandung: De Vries & Fabricius, 1898), hal. 41-42.
No comments:
Post a Comment