- HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1.
Arti Pernikahan
Pernikahan berasal
dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata
kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah
berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah
yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap
manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan
teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk
perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul.
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw.
memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan
tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa
yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR.
Al-Bukhari dan muslim)
2.
Hukum Pernikahan
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian
besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh
ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa.
Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan
pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka
kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya
merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar
dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib
sebab tidak semua amar harus wajib,
kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah
hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak
untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib
menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan
bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan
wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda
Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak
mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah
itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu
yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu
memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi
seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang
dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah
olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta
bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu
Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi
makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan
atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah
tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram
bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits
Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan
puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di
dalam Al-Qur’an:
Maka nikahilah wanita yang
engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka
dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui. (QS.An-Nur/24:32)
“Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S An-Nur/24:32)
Berpijak dari
firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat dijelaskan
bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab yang
menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya.
Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka
dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab,
jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih
besar pada orang lain.
3.
Rukun Nikah
Rukun nikah adalah
unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun
nikah terdiri atas:
a. Calon
suami, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan mahram
(perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 19 tahun.
b. Calon
istri, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon
suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia
sekurang-kurangnya 16 tahun.
c. Sigat
akad, yang terdiri atas ijab dan
kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan dan mempelai
laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul diucapkan wali
mempelai laki-laki.
d. Wali
mempelai perempuan, syaratnya
laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang
ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang
menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah
tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang
menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang
tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan
kewaliannya kepada hakim. .
e. Dua orang
saksi, syaratnya laki-laki,
beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan),
adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa
saksi adalah tidak sah.
Sabda Nabi Muhammad
saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan
dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
4.
Pernikahan yang Terlarang
Pernikahan yang
terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun penikahan
yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah
pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu saja (hanya untuk
bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan. Masa
berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah dilarang oleh
rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika
dia bersama rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu
pernah aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah
apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan agar
seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki (pertama)
tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang dengan
sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan
syigar. (HR. Muslim)
c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil
adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan
yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka jalan
bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut
setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil
karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in untuk mengawini
bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini
setelah ba’in) dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini
kembali). (HR. Al-Kamsah kecuali
Nasai)
d. Kawin dengan pezina
Seorang laki-laki
yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan pezina. Wanita
pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau
perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang mukmin.
(QS. An-Nur/24:3)
“Laki-laki yang berzina
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik;
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau
perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang
dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah
saw.: Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian,
secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka dapat kawin
dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)
- HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah
ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan
pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan
dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting
bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan
bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi
dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang
disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung
dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman
hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari
noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah
pernikahan.
1.
Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan
ketentraman
Manusia sebagai
makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah pasti
memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu
dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria
yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan
merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan
lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang
keluarga.
Allah berfirman:
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia
meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
2.
Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh
adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang
shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya.
Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda:
“Apabila telah mati manusia cucu Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang
mendoakannya”. (HR. Muslim)
3.
Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara
Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik.
Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan
teratur. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang
shaleh. Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya
melaksanakan setengah dari urusan agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik ra., Rasulullah
saw., bersabda: “Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang shalehah, maka
sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia memelihara
separuh yang tersisa”. (HR.
At-Thabrani)
4.
Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat
Seorang Wanita
Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh
dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan
terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli
pasangannya secara baik dan terhormat pula.
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
Dan bergaulah dengan mereka menurut
cara yang patut. (QS.
An-Nisa/4:19)
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka
maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara
diri, bukan
pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS.
An-Nisa/4:25)
5.
Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik
pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini
memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah
melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap
mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan
terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.
Firman Allah dalam
Surah Al-isra ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah
sebagai berikut:
v Menciptakan struktur sosial yang jelas dan adil.
v Dengan nikah, akan terangkat status dan derajat
kaum wanita.
v Dengan nikah akan tercipta regenerasi secara sah
dan terhormat.
v Dengan nikah agama akan terpelihara.
v Dengan pernikahan terjadilah keturunan yang mampu
memakmuram bumi.
- KETENTUN PERKAWINAN DALAM KAPASITAS HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan yaiutu
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan memebentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menurut
UU No. 01 Tahun 1974 mempunyai beberapa asas, yaitu sebagai berikut:
a. Asas sukarela (suka sama suka)
Perkawinan
dilangsungkan atas dasar suka sama suka, yaitu dengan adanya persetujuan dari
kedua belah pihak calon mempelai. Dalam hal ini tidak ada unsur paksaan. Kalau
ada perkawinan dengan paksaan, suami atau istri dapat melakukan pembatalan
perkawinan (Pasal 71 huruf FKHI).
b. Asas partisipasi keluarga
Untuk melangsungkan
perkawinan seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua
orang tuanya .... (Pasal 6)
Apabila ada
seseorang yang belum berumur 21 tahun tidak mendapat izin orang tua, PPN
(Pegawai Pencatat Nikah) memberikan surat penolakkan untik mel;angsungkan
pernikahan.
c. Asas perceraian dipersulit
Sekalipun talak
adalah hak laki-laki, tetapi ia tidak boleh melakukan haknya itu semena-mena.
Pasal 37 UU No. 01
TAHUN 1974 menyebutkan sebagai berikut:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.
3) Tata cara perceraian di depan pengadilan diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan (PP No. 09 Tahun 1975 jo. UU No. 1 Tahun
1974). Alasan-alasan perceraian (diatur dalam UU No. 01 tahun 1974 jo. Pasal 19
PP No. 09 Tahun 1975) sebagai berikut:
v Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, penjudi, dan sebagainya yang sulit disembuhkan.
v Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua
tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemauannya.
v Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima
tahun atau lebih.
v Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahyakan pihak lain.
v Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit yang mengakibatkan menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
v Terdapat perselisihan yang trus-menerus antara
keduanya.
d. Asas poligami diperketat (Pasal 4 No. 01 Tahun
1974)
1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
satu, ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
2) Pengadilan yang dimaksud (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang,
apabila:
v Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
seorang istri
v Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
v Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
(Untuk lebih jelanya baca Pasal 41 PP
Tahun 9 1975).
e. Asas kematangan berkeluarga/ berumah tangga
(Diatur dalam Pasal 7 uu no. 01 tahun
1974) sebagai berikut:
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapa umur
19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun.
2) Apabila calon mempelai belum mencapai umur
tersebut diatas, dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang
ditunjuk kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
f. Asas mengangkat derajat kaum wanita
Berkat perjuangan
seorang pahlawan putri dari rembang R.A. Kartini, yang mempunyai keteladanan
untuk selalu menjunjung derajat wanita, terbuktilah sekarang bahwa derajat
wanita sama dengan pria.
2.
Kewajiban Pencatatan Perkawinan
Seseorang yang akan
melakukan pernikahan terhadap seorang wanita, terlebih dahulu melaporkan kepada
pemerintah yang ditunjuk untuk menanganinya dan membawa prosedur perkawinan,
yaitu:
a. Melapor kepada PPN dan yang bertuga mencatat
laporan tersebut dari calon mempelai;
b. Melengkapi surat-surat untuk nikah yang sudah
dipersiapkan;
c. PPN mengumumkan minimal 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan guna memberi kesempatan bagi yang akan melakukan pencegahan;
d. Apabila tidak ada yang melakukan pencegahan,
barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan kedua mempelai dapat dibuatkan
kutipan akta nikah.
3.
Sahnya Perkawinan
Perkawinan seorang
muslim dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 01 Tahun 1974 berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut agama (kepercayaan) masing-masing”.
4.
Tujuan Pernikahan
Menurut
Kompilasi Hukum islam Pasal 3: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahwah”. Dalam wujud perkawinan, kedua
mempelai yang dapat membuat hati menjadi tenteram. Baik suami yang menganggap
istri yang paling cantik diantara wanita-wanita lain, begitu juga seorang istri
yang menganggap suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing
merasa tentram hatinya dalam membina rumah tangga. Kemudian denganm adanya
rumah tangga yang berbahagia dan jiwa yang tentram, hati dan tubuh menjadi
bersatu, maka kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan
timbul, dan Allah menetapkan ketentuan-ketentuan hidup suami istri. Untuk
mencapai kebahagiaan hidup adalah dengan menjalankan perintah-perintah agama.
a.
Peran Pengadilan Agama dalam Hukum Perkawinan
Menurut UU No. 01 Tahun 1974 dan UU No. 7 Tahun 1989
Sesuai dengan
kedudukan sebagai pengadilan negeri, Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 mengatakan:
“Peradilan agma merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam undang-undang ini”.
Dalam pasal 3
disebutkan sebagai berikut:
(1) Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama
dilaksanakan oleh:
(a) Pengadilan Agama;
(b) Pengadilan Tinggi Agama.
(2) Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan agama
berpuncak pada Mahkamah agung, sebagai pengadilan negara tertinggi.
Kekuasaan
pengadilan agama lebih lanjut diperinci dalam Pasal 49 ayat (1) yang menegaskan
bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat pertama antar orang-orang yang beragama Islam
dibidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, waisat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan sedekah.
Sifat kewenangan
masing-masing lingkungan peradilan adalah absolut atau memaksa. Hal-hal yang
telah ditentukan menjadi kekuasaan atau kewenangan peradilan, yang menjadi
kewenangan mutlak bagi lingkungan peradilan, yaitu memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikannya. Sebaliknya setiap perkara yang tidak termasuk kedalam bidang
kewenangannya, secara absolut pula dia tidak berwenang untuk mengadilinya.
Selanjutnya dalam
undang-undang republik indonesia No 7 Tahun 1989 pasal 66 sampai dengan 88,
antara lain dikemuykakan bahwa perceraian yang dilakukan melalui sidang
pengadilan ada tiga macam. Ketiga perceraian itu adalah sebagai berikut:
1)
Cerai talak
Cerai talak adalah
perceraian yang ditetapkan oleh hakim pengadilan agama karena adanya permohonan
suami kepada pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar
talak. Ikrar talak diucapkan oleh suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus
dalam sidang pengadilan Agama yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
2)
Cerai gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang
ditetapkan oleh hakim pengadilan agama karena adanya gugatan istri atau
kuasanya kepada pengadilan agama agar pengadilan agama mengadakan sidang guna
memutuskan hubungan pernikahan antara penggugat (istri) dengan tergugat
(suami).
Gugatan perceraian didasarkan kepada
salahsatu alasan berikut:
v Salah satu pihak (suami atau isrti) terkena pidana
penjara.
v Tergugat (suami ) mendapat cacat atau penyakit
sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai suami
v Adanya persengketan antara suami istri
3)
Cerai dengan alasan zina
Cerai dengan
alasan zina adalah perceraian yang ditetapkan oleh hakim pengadilan agama
karena adanya gugatan dari suami atau istri kepada pengadilan agama agar
pengadilan agama mengadakan sidang guna memutuskan hubungan pernikahan,
berdasarkan alasan zina. Misalnya, penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti
bahwa tergugat betul-betul telah berzina dan yang tergugat pun menyanggah, maka
pengadilan agama menyuruh penggugat untuk berumpah.
b.
Batasan-Batasan dalam Berpoligami
Undang-Undang no.
01 tahun 1974 mengatur tentang pemberian ijin oleh pengadilan kepada seorang
suami yang bermaksud beristri lebih dari seorang jika dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk itu seorang suami harus mengajukan
permohonan kepada pen gadilan agama.
Berdasarkan
petunjuk Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975, pihak istri yang suaminya
hendak berpoligami agar didudukkan atau dijadikan sebagai termohon. Jika istri
tidak dijadikan sebagai termohon, upaya hukuim dan banding terhalang bagi istri
yang berkeberatan untuk dimadu. Dalam hal itu perkawinan kedua, ketiga, atau
keempat seorang suami yang bermaksud poligami baru dapat dilaksanakan apabila
penetapan pengadilan agama memeberi izin sehingga memiliki kekuatan hukum.
Dengan merujuk
penjelasan diatas, maka menurut hukum Islam mengenai batasan-batasan dalam
berpoligami didasarkan dengan firman Allah dalam Al-qur’an Surah An-nisa ayat
31:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan
kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisa/4:31)
No comments:
Post a Comment