DI BALIK GAGASAN-GAGASAN NURCHOLISH MADJID
M. Dawam Rahardjo
Nurcholish
Madjid mulai terkenal menjadi salah seorang pemimpin gerakan mahasiswa tingkat
nasional di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sekitar tahun 1966an.
Waktu itu adalah masa peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru. Ketika sudah aktib
dalam Himpuan Mahasiswa Islam (HMI), ia akrab dipanggil dengan sebutan merakyat,
“Cak Nur”. Sebutan tersebut dipopulerkan oleh Mar’ie Mohammad, yang
sama-sama orang Jawa Timur , -- Mar’ie “Arek Jember” sedangkan Cak Nur “Arek
Jombang”. Daerah kabupaten itu dikenal sebagai
lokasi pesantren pesantren besar, yaitu Tebuireng dimana bapaknya
belajar, Denanyar, Rejoso dan Bahrul Ulum. Panggilan akrab kepadanya itu serupa degan sebutan
Gubernur Jawa Timur yang terkenal kharismanya, “Cak Nur” atau Cak Rus,
seorang ideoloque dan juru bicara Pemerintah Demokrasi Terpimpin di bawah
Presiden Sukarno 1869-1965. Di lingkungan gerakan mahasiswa Islam, Cak Nur adalah seorang yang memiliki bakat dan
peranan yang unik di tengah-tengah rekannya dalam galaxy “aktivis mahasiswa” sebagai “prophetic minority”, meminjam
istilah Jack Newfield dalam bukunya “The
Prophetic Minority” (1966), sebagai genre kelompok sosial tersendiri di samping
kelas proletariat dan nkelas borjuasi, yang bisa dijadikan basis massa suatu
gerakan politi, sehingga partai-partai politik menjadikan organisasi mahasiswa
sebagai onderbouw-nya, termasuk di
Indonesia sejak masa Demokrasi liberal. Tapi HMI menamakan dirinya organisasi
mahasiswa yang independen, walaupun dikaitkan dengan partai Masyumi, karena
haluan moderisnya.
Berbeda
dengan Sulastomo atau penggantinya, sebagai Ketua Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam (PB. HMI), Akbar Tanjung yang dikenal sebagai organisator dan
sering berkunjung ke daerah-daerah, Jusuf Sjakir, Solichin dan Nazar E.Nasution
yang ahli administrasi, Mari’e Mohammad, seorang politikus yang sering
mengeluarkan pernyataan publik dan vokalis-politik di kalangan mahasiswa yang
sangat beresiko di masa itu, karena HMI dan organisasi-organisasi mahasiswa
lainnya terlibat dalam gerakan politik yang berjuang di antara tiga “karang”
politik, Sukarno selaku Pemimpin Besar Revolusi yang kharismatik-otoriter,
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Bersenjata republik Indonesia
(ABRI). Nurcholish Madjid juga bukan tokoh demonstran yang memimpin aksi-aksi
jalanan melawan pngaruh PKI yang
melakukan aksi-aksi massa dalam advokasi politiknya memberantas apa yang mereka sebut “setan-setan desa” yang menyimbolkan kekuatan sisa-sisa feodal
dan “setan-setan kota’ yang menyimbolkan kelas borjuasi dan birokrat, yang
diperankan oleh Firdaus Wajdy, Abdul Gafur, Eky Sjahruddin dan Fahmi Idris. Cak
Nur dikenal sebagai pemikir dan ideoloque muda, walaupun ketika itu belum
pernah menulis di media masa, seperti halnya Mohammad Natsir pada dasawarsa
’30-an, sebelum tampil sebagai pemimpin politik. Dengan perkataan lain ia
barulah seorang muda potensial, sebagimana dilihat oleh Sulastomo, ketika Cak
Nur masih menjadi Ketua HMI Cabang Ciputat. Suylastomo sendiri ketika itu
secara fenomenal tampil sebagai politisi
mahasiswa yang berinteraksi dengan tokoh-tokoh politik nasional, seperti
Sukarno, Idham Cholid, pemimpin
Nahdhatul Ulama, atau Jenderal Ahmad Yani yang ketika itu melindungi HMI dari
“ganyangan” politik PKI.
Berbeda
dengan tokoh-tokoh mahasiswa di lingkungan HMI itu, Nurcholish Madjid juga
dikenal sebagai seorang “kyai” karena pengetahuan agamanya yang luas dan
mendalam. Dengan simbol keulamaan itu, Cak Nur berhasil meraih kepemimpinan
sebagai Ketua HMI Cabang Ciputat, dimana Institut Agama Islam Negeri (IAIN)-
kampus tempat ia belajar di fakultas
Ushuluddin, berada. Ketika ditunjuk menjadi anggota pengurus PB. HMI di bawah kepemimpinan
Sulastomo, ia menjabat Ketua IV di bidang sosial budaya. Dalam kenangannya,
Sulastomo menceritakan, bahwa Cak Nur, dikenalnya sebagai seorang mahasiswa
yang cerdas, menguasai bahasa Arab dan
Inggris dan memiliki bakat menulis. Ketika itu misalnya, ia menulis karangan
panjang yang berjudul “Islamisme” yang
ingin menjelaskan ideologi Islam yang disebut
oleh Sukarno pada tahun 1926
dalam artikelnya yang
terkenal, berjudul “Nasionalisne,
Islamisme dan Marxisme”. Dalam tulisan itu Sukarno menyebut “Islamisme” sebagai
suatu kekuatan politik global
melawan imperialisme. Dalam persepsi
Sukarno ketika itu, “Islamisme” adalah gerakan nasionalisme Pan-Islamisme’ yang
dicetuskan oleh Jamaluddin al Afghani. Cak Nur berusaha menjelaskan “Islamisme” sebagai ideologi yang memuat doktrin religio-politik.
Dalam
pengakuannya, Sulastomo mengatakan bahwa ia dengan sadar merekrut dan membina
Cak Nur sebagai seorang calon pemimpin yang bisa menggantikanya sebagai Ketua
PB.HMI. Tokoh mahasiswa Islam yang dekat
dengan Presiden Sukarno itu menyadari kelemahannya
di bidang agama, walaupun ia berasal dari keluarga aktivis Muhammadiyah.Tapi
kalangan PERSIS Bangil yang dipimpin oleh A. Hassan, guru Mohammad Natsir itu,
menyindirnya sebagai seorang pemimpin mahasiswa Islam, tetapi tidak fasih
mengucapkan “(Assalamu’alaikum) warohmatullahi waba rokatuh”. Karena itu
Sulastomo sengaja mamasang Cak Nur untuk mewarnai HMI dengan keislaman.
Setelah
dibubarkarnya Masyumi pada tahun 1960 bersama-sama degan Partai Sosialis
Indonesia (PSI), karena keterlibatan kedua partai anti-komunis itu dalam
“pemberontakan setengah hati” “Pemerintah Republik Indonesia Revolusioner”
(PRRI) Sumatera Barat dan “Perjuangan Rakyat Semesta” (PERMESTA), Sulawesi
Utara tahun 1958-an. Dalam melawan
komunisme dan mengeluarkan Presiden Sukarno dari jeratan politik PKI, Sulastomo
Sebagai pemimpin mahasiswa Islam, menjalankan dua pendekatan, pertama politik konstitusional, yaitu mengacu kepada
UUD 1945 yang ditetapkan kembali sebagai UUD
di masa Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Preside 5 Juli, 1959, setelah
Sidang Konstituante gagal menyepakati dasar negara, dalam pilihan antara dasar
Islam dan dasar Pancasila. Kedua
pedekatan kultural dalam menggalang persatuan di antara umat Islam,
sehingga HMI menyatakan diri sebagai “pemersatu umat” yang tercantum dalam dokumen
“Kepribadian HMI”yang ditulis oleh Sularso dan Sudjoko Prasodjo itu.
Pendekatan politik konstitusional Sulastomo
dibantu oleh Cak Mar’ie, dalam bimbingan tokoh senior, A.
Dahlan Ranuwihardjo, sedangkan dalam
pendekatan kultural ia dibantu oleh Cak Nur.
Bantuan Cak Nur sangat penting bagi Sulastomo
dan HMI. Karena dengan pendekatan politik konstitusional itu Sulastomo dan HMI
telah dituduh “berkhianat kepada umat Islam”, terutama Masyumi yang ingin kembali kepada Piagam Jakarta 22 Juni,
1945, bahkan dituduh telah “meninggalkan aqidah Islam” oleh kelompok “pembela
aqidah”. Dalam pendekatan kultural,
dilakukan rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok Islam, terutama dengan Nadhdtul Ulama (NU), karena HMI
dianggap sebagai kelompok modernis yang lebih dekat dengan Muhammadiyah itu.
Dengan modal kedekatan dengan NU itu
maka Sulastomo mengirim tim mahasiswa yang dipimpin oleh Solichin, arek Nganjuk itu, untuk menengahi konflik dan
pembunuhan massal terhadap orag-orang yang dituduh PKI di Jawa Timur. Dan untuk
menolak tuduhan “meninggalkan aqidah”, maka simbol Cak Nur sebagai seorang
kyai mewarnai HMI degan doktrin
keislaman modern. Dengan rekam jejak
peranannya sebagai seorang ulama muda itu Cak Nur dielu-elukan sebagai “Natsir
Muda”. Dengan simbol itu pula maka Cak bukanlah seorang sekuler. Hal itu sangat
nampak dari tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya yang selalu disertai dengan
kutipan ayat-ayat al Qur’an yang sangat ia kuasai. Salah satu keunggulan Cak
Nur adalah ketajamannya dalam melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat al
Qur’an dalam konteks alam pikiran modern, karena sangat menguasai bahasa al
Qur’an dan bahasa Arab literer.
Pada Kongres HMI di Solo tahun 1966, ia diajukan
oleh Sulastomo sebagai kandidat Ketua
PB-HMI periode 1966-1968 yag didukung oleh tokoh-tokoh senior, seperti Sudjoko
Prasodjo dan Sularso. Saingan kuatnya adalah Eky Sjahruddin, seorang tokoh
yang dicitrakan sebagai aspiran Masyumi. Tapi karena citra ulama yang kuat
pada Cak Nur, ia bisa terpilih secara aklamasi. Dalam strategi pencalonan Cak
Nur, ia ditempatkan sebagai pimpinan HMI yang menyampaikan pidato pertanggung-jawaban tahap teakhir.
Dalam rekoleksinya, Sulastomo mengatakan bahwa ia sangat terperangah dan kagum
dengan presentasi Cak Nur, karena ia bisa menjelaskan dengan baik,
dual-approach, pendekatan politik konstitusional dan kultural HMI sehingga
laporan pertanggung-jawaban kepengurusannya dapat diterima secara aklamasi.
Pada waktu itu HMI dipojokkan oleh PKI
sebagai kekuatan kontra-revolusi yang melawan kepemipinan Presiden
Sukarno. Tapi oleh Cak Nur dijelaskan bahwa HMI pada waktu itu menjalankan
suatu oposisi yang demokratis-konstitusional yang tidak bersifat personal
mengarah kepada Presiden Sukarno. Dengan penjelasan itu pula maka Cak Nur juga menjelaskan bahwa HMI pada waktu itu
bukan merupakan bagian dari kekuatan
NASAKOM, karena HMI sesungguhnya melakukan oposisi konstitusional,
bahkan HMI juga melakukan demonstrasi-demonstrasi menginbangi aksi-aksi massa
PKI. Dari pidatonya yang mengagumkan dan memukau pada waktu dinihari, ketika
peserta kongres sudah pada lelah dan mengantuk itu, Cak Nur mengukuhkan diri sebagai “Natsir
Muda”. Karena itulah maka Cak Nur didukung oleh HMI Cabang Bandung, yang
dikenal sebagai kelompok garis keras itu,
dengan tokoh-tokohya, seperti Immaduddin Abrurrahiim, Endang Saifuddin
Ansari dan Ahmad Nukman yag dikenal sebagai kelompok Madsjid Salman, aspiran
kuat Masyumi itu.
Tahun
1966-1968, adalah periode “Natsir Muda” dalam ketokohan Cak ur. Tapi periode
itu adalah masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, masa peralihan dari
orientasi revolusi (revolution oriented)
ke orientasi pembangunan (development oriented) meminjam Benjamin
Higgins. Orientasi pembangunan di masa
Orde Baru sejak 1967, mengusung misi
modernisasi politik dan ekonomi. Tetapi
pada waktu itu, karena Masyumi ditolak untuk memperoleh rehabilitasi, sedangkan
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) yang memilih Mohammad Roem, tokoh Masyumi,
tidak memperoleh clearance dari Pemeritah Orde Baru, sehingga tidak
diikut-sertakan dalam pemerintahan, maka timbul resistensi di kalangan Muslim
modernis terhadap program modernisasi.
Ketika itu timbul wacana anti modernisasi dengan menstigmatisasikan modernisasi
sebagai Westernisasi.
Pada waktu itu, HMI, di bawah
kepemimpinan Cak Nur mencoba melakukan politik rekonsiliasi. Tokoh senior,
anggota Majelis Kongres HMI, semacam lembaga MPR dalam organisasi HMI,
Sularso, mengusulkan wacana bahwa Suharto
dan Roem adalah dwi-tunggal dalam perjuangan mencapai pengakuan kedaulatan RI.
Letnan Kolonel Suharto memimpin gerakan
bersenjata dengan serangan fajar “Enam jam di Jogya”, sedangkan Roem adalah
pejuang di lapangan diplomasi yang menghasilkan Persetunjuan Roem-Royen, yang
mengawali keberhasilan Konperensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan Pengakuan
Kedaulatan dunia internasioinal terhadap RI pada 29 Desember, 1949. Cak Nur sendiri, walaupun berasal dari
keluarga NU dan pernah mondok di Pesantren “Darul Ulum”, Jombang di bawah
kepemimpinan K.H. Musta’in Romli. Kiai ini seorang pemimpin tarikat
Qodiriah-Naqsabandiyah, tarikat muktabaroh
NU, tetapi kemudian bergabung dalam Golongan Karya (Golkar) yag
menimbulkan kontroversi internal itu. Selain itu Cak Nur juga alumni pondok
modern Gontor yang berorientasi kepada Masyumi, sehingga ia adalah seorang
santri-modernis dan karena itu mendukung program modernisasi yang didasarkan pada “the idea of
progress” seperti demokrasi, keadilan
sosial, hak-hak azasi manusia dan persaudaraan melalui perubahan sosial (social change). Perubahan sosial berdasarkan dan yang didorong oleh
perkembangan ilmu pengetahuan yang telah dicetuskan pada masa Abad Pencerahan
abad 17 dan 18 Eropa daratan, Scotlandia, Rusia dan Amerika masa koloni Inggris
dan setelah kemerdekaan 1776. Masa Pencerahan yag disebut juga sebagai Abad
Nalar (The Age of Reason) itu
sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Jerman Emmanuel Kant. Ketika itulah Cak Nur sebagai seorag Islamist, ia menulis
di tabloid mahasiswa Bandung yang dipimpin oleh Sugeng Saryadi, Adi
Sasono dan Fahmi Idris “Mimbar Demokrasi” sebuah artikel yang terkenal
“Modernisasi ialah Rasionalisasi dan
bukan Westernisasi” (1968), sebuah gagasan pencerahan epistemologis yang
menegaskan bahwa ia bukan seorang sekuler. Dalam tulisan-tulisan selanjutnya,
ia membandingkan modernisasi Turki yang sekuler dan mengadop nilai-nilai Barat
dengan modernisasi Jepang yang
tetap berpegang pada nilai-nilai budaya
Jepang yang dikembangkan pada masa Tkogawa. Dalam wacananya itu ia menegaskan
bahwa dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai budaya tradisional, Jepang
ternyata bisa lebih cepat maju tetapi secara berkepribadian. Gagasanya itu
sebenarnya meneruskan pedekatan kultural, yang mengawali proses modernisasi di
Indonesia. Gagasannya mengenai modernisasi itu merupakan embrio dari Trilogi pembaharuanya, Keislaman,
Kemodernan dan keindonesiaan., dalam
rangka pencerahan epistemologis. Dari artikelnya itu pula, ia sudah berfikir,
tidak lagi berdasarkan epistemologi modernisme-klasik, melainkan Neo-moderisme
melanjutkan pendekatan kultural yang
digariskan oleh Sulastomo. Namun pendekatan Neo-modernis itu sudah lebih dulu
dimulai oleh A. Mukti Ali, ketika ia menulis artikel yang merekonsialisasikan pendekatan
Muhamadiyah yang modernis dan pendekatan NU yang tradisinonal. Dalam tulisan
itu, Mukti Ali melihat unsur-unsur ilmiah pada
tradisi keilmuan agama di pesantren. Ia bahkan mengatakan bahwa
pesantren memiliki potensi yang lebih
besar dalam pemikiran Islam daripada
Muhammadiyah yang menekankan ilmu pengatahuan umum Barat. Karena itu maka
Neo-Modernisme yang diisbatkan kepada Fazlulrahman itu, sebenarnya telah
dikembangkan sendiri di Indonesia, oleh A. Mukti Ali, mentor Djohan Effendi dan
Ahmad Wahib dalam “Limited Group”, Yogya dan Nurcholish Madjid dalam asuhan HMI.
Periode “Natsir Muda” dijalankannya dengan baik pada masa
kepemimpinannya di HMI 1966-1968. Ini
terbukti dari dukungan kelompok Masjid Salman ITB dalam lingkaran Imaduddin
Abdurrahim dan Endang Saifuddin Anshari yang mendorong Cak Nur untuk menjadi
Ketua PB-HMI periode kedua. Penokohan kembali Cak Nur itu ditentang oleh
kelompok Yogya di sekitar Djohan Effendi dan Ahmad Wahib atas dasar dua alasan.
Pertama pencalonan lebih dari satu periode menyalahi tradisi demokrasi HMI.
Kedua, kelompok Yogya yang pluralis itu memiliki perbedaan selera intelektual
dan politik dari kelompok Salman yang dinilai “fundamentalis”. Karena itu,
ketika Cak Nur terpilih menjadi Ketua HMI untuk kedua kalinya dalam Kongres Malang tahun 1968, kedua tokoh pembaharu dari
Yogya itu menolak dan memutuskan keluar dari HMI. Selain didukung oleh kelompok
Bandung, Cak Nur juga didukung oleh kelompok Jakarta di sekitar Mar’ie
Muhammad, Fahmi Idris dan Nazar R. Nasution, yang berada dalam pengaruh
nasionalis A. Dahlan Ranuwihardjo yang dekat dengan Presiden Sukarno.
Namun dalam pembentukan kepengurusan
PB-HMI, ternyata Cak Nur tidak merekrut Endang Saifuddin Anshori yang berhrP
MWNJ di salah seorang ketua. Kekecewaannya ditulis sebagai pengakuan jujurnya
dalam sebuah buku kecil sebagai alasan mengapa ia menentang kepemimpinan Cak
Nur periode keduanya itu. Dalam pengaruh “Bang Imad” dan “ Mang Endang” yang mengikuti haluan “Masyumi-Natsir”,
kelompok Bandung melihat Cak Nur terlalu dipengaruhi oleh Dahlan Ranuwihardjo
yang Sukarnois dan Mar’ie Muhammad yang melanjutkan kebijaksaaan Sulastomo.
Dengan demikian maka dalam masa
1968-1970 periode kepengurusan kedua Nurcholish Madjid, dikenal tiga
kelompok atau faksi intelektual dan politik di lingkungan HMI yaitu “kubu politik” kebangsaan Jakarta yang memerintah, “kubu
Islamis-fundamentalis” Bandung dan “kubu
budaya pluralis” Jogya. Tapi dalam periode keduaya itu Cak Nur mendapatkan
oposisi dari dari dua kubu yang
sebenarnya bertentangan secara mendasar, yaitu kubu Bandung dan kubu Jogya.
Inilah yang melatar-belakangi respon
terhadap ceramah Menteng 58 yang terkenal, di mana Nurcholish Madjid
melontarkan gagasan pembaharuan melalui pidato tertulisnya yang berjudul “
Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat ”, dalam acara Halal bi
Halal tiga organisasi kaum muda Islam, GPI (Gerakan Pemuda Islam), HMI
(Himpuan Mahasiswa Islam) dan PII (Pelajar Islam Indonesia), 2 Januari, 1970. Pidato
tausiah yang semula akan dilakukan oleh Dr. Alfian yang digantikan oleh Cak Nur
secara mendadak itu, sebenarnya memang tidak direncanakan. Tapi pidato itu
ternyata menimbulkan kontroversi internal maupun eksternal HMI. Kontroversi itu
dilatar-belakangi oleh tiga gejala. Pertama karena isinya yang menimbulkan
sikap pro-kontra yang berbasis
sosial-politik, terutama gagasannya tentang sekularisasi dan liberalisasi
pemikiran. Kedua, penilaian bahwa
Muhammadiyah telah berhenti sebagai organisasi pembaharuan sedangkan NU
memiliki potensi yang lebih besar dalam pembaharuan pemikiran Islam. Dan
ketiga, pernyataan “Islam Yes, Partai
Islam No” yang menimbulkan reaksi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kedua, karena pidato itu dianggap
sebagai ekspose dari sebuah konspirasi politik Orde Baru di bawah arahan Tim
Ahli Politik penasehat Presiden di bawah
Ali-Mutopo-Sudjono Humardhani dari kalangan ABRI, lewat pengaruh Mari’e Muhammad. Dan ketiga, oposisi kubu
Bandung yang kecewa terhadap susunan kepengurusan yang bias terhadap kubu
Jakarta dan Jogya yang bersaing secara intelektual dan politik dengan kubu
Bandung itu. Ketika itu oposisi kubu Jogya diwakili oleh Djohan Effendi
dan Ahmad Wahib. Tapi Tawangalun,
walaupun kalah dalam pemilihan Ketua Umum dalam Kongres Malang, tidak melakukan
oposisi, karena Tawangalun sudah berinteraksi dengan kubu Jakarta dalam
persaingannya dengan generasi muda eks-PSI yang mendukung pemerintahan lewat
kelompok teknokrat di lingkungan Widjojo Nitisastro-Emil Salim dalam Kabinet
Pembangunan. Kubu Yogya pada waktu itu memasukkan Gambar Anom sebagai Wakil
Sekjen PB-HMI lewat Dawam Rahardjo yang mendukung Nurcholish Madjid, walaupun
ia adalah penggagas Limited Group yang
dikelola oleh Ahmad Wahib sebagai sekretaris. Faksi Djohan-Wahib sendiri adalah
pendukung dan advokator modernisasi walaupun menentang unsur otoritarianisme
Orde Baru, karena Wahib adalah penganjur demokrasi yang sangat vokal di
lingkungan mahasiswa Jogya, dan berkawan akrab dengan kelompok “PSI-Muda” dari
lingkungan Fauz Rizali-Imam Yudotomo.
Sebenarnya
sangat penting utuk dicatat, bahwa sebelum pidatonya yang kontroversial karena
sifatnya yang provoking dan sengaja
direncanakan sebagai shock-therapy yang disebut sediri dalam istilah
“psycological striking force” itu Cak Nur pernah menulis di Harian “Kompas”
sebuah artikel yang berjudul “Sekularisme atau Ketuhanan Yang Maha Esa ?” sebagai bantahan terhadap tulisan wartawan
senior Rosihan Anwar yang menganjurkan Sekularisme. Dari tulisan itu nampak bahwa Nurcholish Madjid menolak
Sekularisme. Ia bagaikan mereproduksi bantahan Mohammad Natsir terhadap tulisan
Sukarno yang menganjurkan Sekularisme dalam dasawarsa pencerahan Indonesia
1930-an. Waktu itu Sukarno sebenarnya
sudah mundur dari model Sekularisme Turki, kepada Sekularisme Mesir yang masih memberi peluang di anah
publik terhadap diskursus keagamaan, khususnya Islam. Sebenarnya,
Nurcholish Madjid, sebagaimana Sukarno sudah memasuki tahap pemikiran
“Pasca-sekularisme” (post-secularism) yang dicanangkan oleh pemikir pencerahan
kontemporer Jurgen Habermas.
Nurcholish Madjid sebenarnya tidak
menganjurkan Sekularisme sebagai ideologi, melainkan sekularisasi sebagai suatu proses sosial, sebagimana
ditulis oleh Harvey Cox dalam bukunya
“The Secular City” (1966) yang menjadi rujukan pemikiran Nurcholish
Madjid. Tapi oleh Prof. Mohammad Rasjidi
dikatakan bahwa proses`sekularisasi itu pada akhirnya akan membentuk
sekularisme, juga dank arena itu ditolaknya juga. Sementara itu sekularisasi
bagi Cak Nur adalah proses pembedaan antara yang sacred dan yang profan. Dalam
yang pertama terjadi pembenaran mutlak, sedangkan pada yang kedua yang berlaku
adalah kebenaran relatif atau kebenaran sementara. Politik dan negara
adalah wilayah profan. Legitimasi keagamaan terhadap masalah Negara akan
melahirkan otorianisme sebagaimana telah
terjadi pada Abad Pertengahan Eropa
maupun Islam. Masalah Islam dan Negara
itu dibahas kembali dalam pidato kebudayaannya di Pusat Kebudayaan “Taman
Ismail Marzuki” (TIM) tahun 1972 dengan judul “Menyegarkan Kembali Paham
Keagamaan dalam Islam”. Di situ Cak Nur
menjelaskan bahwa dalam pemikiran Islam, terdapat pula penjelasan tetang
keterpisahan antara otoritas negara dan otoritas keagamaan, dan bukan hanya
tentang kesatuan agama dan negara yang merupakan konsep teokrasi Abad
Pertengahan yang dihidupkan kembali pada abad ke 20. Dengan demikian penerimaan
umat Islam terhadap konsep Negara Pancasila yaitu bukan Negara Sekuler,
tetapi Negara yang didasarkan pada
Monotheisme konstitusioal itu dapat dijelaskan atau Negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ditetapkan pada pasal 29 ayat 1 UUD
1945, mendapatkan penjelasannya secara
rasional. Ini memperkuat pandangan yang pernah ditulisnya di Harian Kompas,
ketika membantah pandangan Rosihan Awar.
Ia sebenarnya masih berada pada posisi yang sama dengan Mohammad Natsir ketika
membantah pandangan sekuler Sukarno tentang masalah hubungan agama dan negara
dari sudut teologi. Penjelasan lebih jauh dalam epistemologi fiqih siyasah
dilakukan kemudian oleh Munawir Sadzali dalam bukunya “Islam dan
Masalah-masalah Ketata-negaraan” (1990).
Dimasa Orde Baru, kelompok
politik yang mewarisi aspirasi Masyumi
dianggap sebagai oposan Orde Baru berdasarkan konsep kesatuan agama dan Negara
(Neo-teokrasi) dan karena itu dipinggirkan dari arena politik. Namun sebagian
cendekiawan alumni HMI di sekitar Bintoro Tjokroamidjojo masuk ke dalam
kelompok teknokrasi Orde Baru yang diikuti oleh generasi yang lebih baru yang
memasuki birokrasi pemerintahan sebagai profesional. Namun mereka itu terpaksa
menyembunyikan identitas mereka dan tidak mau dikaitkan dengan gerakan-gerakan
Islam radikal di luar birokrasi dan pemerintahan. Tapi dari pihak Islam garis keras mereka dituduh telah keluar
dari aqidah politik Islam.
Pandangan
“Islam Yes Partai Islam No”, memang menimbulkan proses sekularisasi politik dan
diaspora pada generasi baru alumni HMI yang menimbulkan sikap bahwa mereka
tidak dilarang oleh agama untuk memasuki partai-partai politik sekuler yang
pada waktu itu adalah Golkar yang memeritah. Walaupun pandangannya mengenai
sekularisasi ditolak kalangan ortodoksi Islam, namun ia menegaskan kembali
pandangannya itu di di suatu ceramahnya di Balai Kartini dalam rangka
peringatan Dies Natalis HMI. Itulah yang mendasari masuknya para alumni HMI,
tak kurang dari mantan Ketua HMI sendiri, Akbar Tanjung untuk bergabung dengan Golkar dan akhirnya
berhasil menduduki posisi Ketua Golkar yang merupakan tiket bagi jabatannya
sebagai Ketua DPR ketika Gus Dur menjadi Presiden dan M. Amin Rais menjadi
Ketua MPR. Ketika itu para tokoh Islam menduduki kedudukan puncak dalam lembaga
legislatif maupun eksekutip bukan di suatu Negara Islam.
Pandangan “Islam Yes, Partai Islam No”
memang melemahkan posisi Islam politik di Indonesia. Tapi dengan pandangan
“Islam Yes”, maka Cak Nur adalah seorang “pembela Islam” dalam mekanisme
demokrasi. Namun Cak Nur di lain pihak bukanlah pembela kemapanan (establishment). Dalam Pemilu 1971,
dengan berani Cak Nur mendukug PPP. Kemudian pada dasawarsa ’90-an, Cak Nur
mengawali proses reformasi dengan wacananya yag terkenal mengenai perlunya
lembaga oposisi loyal dalam sistem demokrasi. Pemikiran Cak Nur
yang mengandung romantisisme Demokrasi Liberal dasawarsa ’60-an dan
sebagai mantan pemimpin kelompok “prophetic minority” kelompok mahasiswa sebagai bagian dari
kelompok cendekiawan peduli masyarakat (socially concerned intellectual), tetapi
mengambil posisi non-partisan, Cak Nur adalah penggerak counter culture Theodore Rozak di bidang politik. Hal ini
nampak kemudian dalam gerakan mahasiswa
melawan otoritarianisme Orde Baru pada
belahan kedua dasawarsa ’90-an.
Sebagai penggerak counter-culture, dampak pemikiran Cak Nur mengenai anjuran terbentuknya kelompok muda berfikiran
liberal nampak dengan kelahiran gerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang
dicetuskan oleh Dr.Luthfi Assaukani dan menjadi terkenal karena gebrakan
pemikiran, koordinatornya Ulil Absor-Abdala pada awal dasawarsa abad 21. JIL
adalah sebuah gerakan melawan arus sebagai “gebrakan bunga” (flower movement) tapi menyerupai alam
pemikiran Pencerahan dengan gagasan tentang pluralisme yang dipelopori oleh
Djohan Effendi-Ahmad Wahib di lingkungan mahasiswa Yogya akhir dasawarsa ’60-an yang juga muncul
dalam wacana Nurcholish Madjid dalam dasawarsa ’90-an dengan gebrakan
ceramahnya di Masjid TIM yang berjudul “Beberapa
Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia“. Ceramah inipun mendapatkan
reaksi keras dari kalangan garis keras di lingkungan Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII), dengan corongya : Media Dakwah”. Pandangan Cak Nur yang sebenarnya menegaskan pandangan tauhid
murninya itu justru diplesetkan dengan semboyan “Spiritualisme Yes, Islam No”.
Pandangan tauhid murni Cak Nur itu
dipahami oleh Bang Imad yang mengenalnya ketika bergaul bersama di Chicago
ketika keduanya manjadi mahasiswa panca-sarjana. Bang Imad sangat dikenal degan buku “Kuliah
Tawhid” nya (1993) yang menjadi dasar dari pendidikan sumberdaya insani yang
sudah dilakukannya ketika ia menjadi kyai-intelektual di Masjid Salman ITB.
Karena itu, maka ketika Bang Imad kembali dari AS, tidak memusuhi Cak Nur, bahkan mereka nampak
berinteraksi dengan akrab di lingkungan ICMI. Cak Nur, walaupun bukan seorang inisiator ICMI, tetapi ia mendukung organisasi
cendikiawan Muslim yang dipimpin oleh B. J. Habibie itu. Atas permintaan tokoh
ICMI dan alumni HMI, Ahmad Tirtosudiro dan dukungan Fuad Amsari yang dikenal
juga sebagai pengikut Pak Natsir dari Universitas Airlangga, Surabaya, Cak Nur
menulis konsep nilai-nilai dasar perjuangan ICMI sebagaimana ia juga menulis
konsep “Nilai-Nilai dasar Perjuagan HMI”
yang disyahkan dalam Kongres HMI Malang 1968. Dengan demikian,
sesungguhnya, Cak Nur adalah seorang ideoloque gerakan cendekiawan Muslim
Indonesia.
Posisi dan sikap A. Muflih Saefuddin (dengan panggilan
akrabnya Pak AM itu) yang dikenal sebagai “Bang Imad-nya IPB” terhadap Cak Nur
berbeda. Kedua tokoh itu sama-sama
pengikut “Pak Natsir”. Keduanya juga ilmuwan teknologi, Bang Imad di bidang elektronik
dan sumberdaya insani, sedangkan “Pak AM” adalah pakar agribisnis. Tapi
pendekatan Bang Imad adalah teologi, sedangkan pendekatan Pak AM adalah hukum
syariat. Karena itu maka Pak AM adalah penganjur dan perintis Bank Syariah
Indonesia bersama-sama dengan M. Amin Azis, seorang Sosiolog IPB. Baik Bang Imad maupun Pak AM sama-sama
menolak Sekularisme maupun sekularisasi. Tapi Bang Imad tidak pernah menyerang
Cak Nur. Sebaliknya, Pak AM mengarang buku “Desekularisasi” (19) yang menolak
sekularisasi secara terbuka.
Cak Nur sendiri tidak ada perhatian
terhadap gagasan “Ekonomi Syariah”. Dalam suatu diskusi di Paramadina, Bachtiar
Effendi pernah mengatakan bahwa Cak Nur itu menganut aliran pemikiran
“Kapitalisme Etis”. Tapi Cak Nur tidak pernah menulis secara serius tentang
masalah Kapitalisme, baik berupa dukungan maupun kritik. Tetapi ia banyak
menulis mengenai Keadilan Sosial dan Sosialisme Religious Indonesia. Dalam
pidato kebudayaannya di TIM ia pernah menganjurkan untuk mengembangkan pemikiran
mengenai Keadilan Sosial sebagai alternatif terhadap wacana politik Negara Islam.
Dalam kaitan itu Cak Nur ikut memberikan sumbangan terhadap gagasan
Sosialisme Religius dengan interpretasinya mengenai Pancasila. Pemikirannya itu
nampak sejalan dengan paham Mu’tazilah dan Syi’ah mengenai konsep “al Tauhid wa
al ‘adalah” atau Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan. Dalam penafsirannya
tentang Pancasila, ia mengatakan, bahwa dasar moral Negara Indonesia adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana juga dipahami oleh Mohammad Hatta.
Sedangkan tujuannya adalah “Keadilan sosial” Itulah inti gagasannya mengenai
Sosialisme Religius Indonesia.
Tapi ia tidak melihat gagasan itu
diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru. Ia berpendapat bahwa dalam Orde baru,
Pancasila diinterpretasikan dan diterapkan sebagai “ideologi tertutup”,
sebagaimana ia berpandangan mengenai sekularisme. Karena itu ia mengeluarkan
pandangan yang juga menjadi terkenal bahwa Pancasila harus ditafsirkan sebagai
sebuah ideologi yang terbuka sehingga tidak terjebak dalam sindrom ‘the end of
ideology”nya Daniel Bell.
Cak Nur sebenarnya, ketika aktif sebagai
Rektor Universitas “Paramadina”, banyak menulis dan berceramah mengenai
peradaban Islam, yang dihimpun dalam buku “Islam: Doktrin dan Peradaban”
(1992). Dari jejak pemikiran itu, maka Cak Nur sebenarnya masih tetap berperan
sebagai Natsir Muda. Ketika muda, dalam dasawarsa ’30-an, Natsir banyak menulis
mengenai peradaban Islam, walaupun tidak didasarkan pada pengetahuan yang
mendalam. Sementara itu, wacana mengenai paradaban Islam itu diteruskan oleh
Cak Nur, dengan pengetahuan akademis yang luas dan mendalam. Ia tidak hanya
berbicara Peradaban Islam sebagai gejala sejarah Abad Pertengahan, tetapi juga
menggali doktrin-doktrin Islamnya. Tulisannya mengenai doktrin peradaban Islam
itu didahului dengan sebuah buku epistemologi yang berjudul “Khasdanah
Intelektual Islam“ (1982), yang sebagaimana ditulis oleh Mohammad Abied al
Jabiri mengemukakan beberapa aliran
epistemologi Islam, seperti bayani,
burhani dan irfani. Bahkan Cak
Nur dalam bukunya itu juga mengemukakan epistemologi empiris yang diterapkan
oleh Ibn. Taymiyah dalam pembahasan fiqihya. Dengan demikian, maka epistemologi
Ibn Taymiyah tidak saja bayani tetapi juga “bashori” dengan mengupas kasus-kasus kongkret dalam
masyarakat. Namun demikian epistemologi
sosial-historis Ibn Khaldun, sebagaimana
ditulis dalam “Mukaddimah” (1377) luput dari perhatian Nurcholish Madjid,
tetapi ditulis oleh Ahmad Sjafii Ma’arif yag memang ahli sejarah itu.
Dengan demikian, Nurcholish Madjid mengalami
empat periode jejak langkah intelektualnya. Pertama periode wacana Islam dan modernisasi. Kedua, periode
wacana Islam dan politik. Ketiga,
periode wacana peradaban. Keempat, periode wacana pluralisme. Dan
kelima, periode wacana demokrasi dan
reformasi politik Indonesia pada awal abad 21.
Kelima periode wacana itu, masing-masing
menghasilkan suatu dampak. Pertama, pemikiran bahwa suatu bangsa itu bisa maju tanpa
meninggalkan, bahkan berpegang pada tradisi budaya masyarakatnya. Dengan
perkataan lain, modernisasi itu bukan bebas nilai (value-free), melainkan sarat nilai (value-ladden). Wacana itu menghilangkan resistensi umat Islam
terhadap program modernisasi Orde Baru, bahkan menimbulkan patrtisipasi
medlalui pendekatan cultural.
Wacana
kedua menimbulkan dampak sekularisasi politik, sehingga gerakan politik Islam
dapat keluar dari stigma Neo-teokrasi
Negara Islam berdasarkan konsep kesatuan agama dan politik yang bedrpotensi
otoriter atau dijalankan dengan aksi-aksi kekerasan yang menyebabkan gerakan
politik Islam dikeluarkan dari ruang
publik politik Orde Baru. Namun, wacana periode kedua itu menimbulkan dampak
diaspora cendekiawan Muslim ke wilayah politik sekuler, namun di lain pihak
membuka kesempatan bagi kaum professional Muslim untuk berpartisipasi dalam
program modernisasi dan pembangunan Orde
Baru.
Periode wacana ketiga, mendorong gerakan
Islam memasuki wilayah civil society,
dengan program-program the idea of progress di tingkat masyarakat. Walaupun
gerakan civil society tidak
seluruhnya dapat diatribusikan kepada gagasan Nurcholish Madjid, tapi dalam
dasawarsa ’60-an gerakan civil society,
yang dimotori oleh kaum profesional muda Muslim, walaupun tidak selalu mengatas-namakan Islam sebagai ideologi,
memang berkembang pesat.
Periode wacana keempat menimbulkan gerakan counter-culture yang diprakarsai oleh minoritas profetik kaum muda
Muslim yang memenuhi harapan liberalisasi pemikiran yang dicanangkan sejak awal
pemikiran pembaharuan pemikiran Islam Nurcholish Madjid, 1970, tapi baru menghasilkan dampak kemudian,
setelah kaum muda Muslim mengalami pencerahan, terutama dari pemikiran
Nurcholish Madjid. Tapi dampak itu menimbulkan reaksi dari kalangan ortodoksi
dengan munculnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan trilogi
pembaharuan: liberalisasi, pluralisasi dan sekularisasi. Tapi reaksi MUI itu
justru lebih meneguhkan keyakinan murid-murid Cak Nur, khususnya Budi Munawar
Rahman yang telah membukukan interpretasinya mengenai trilogi pembaharuan itu
dalam bukuya “Reorientasi Pembaharuan Pemikiran Islam, Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme: Paradigma Baru Islam
Indonesia “ (2010).
Wacana periode kelima menimbulkan dampak
lahirnya gerakan reformasi yang intinya adalah demokratisasi, walaupun sekali
lagi dampak itu tidak sepenuhnya dapat dinisbatkan pada pemikiran Caknur yang
memandang seorang pengajur demokrasi itu. Namun proses reformasi dan demokratisasi
itu dewasa ini menimbulkan banyak persoalan baru dank arena itu perlu di cek
dengan jejak pemikiran Nurcholis Madjid.
No comments:
Post a Comment