Friday, April 15, 2016

MAKALAH TERBENTUK KOROSI, KOROSI LOGAM, PENGAMATAN KOROSI NOISE ELEKTROKIMIA



BAB I  PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang

Stainless Steel (SS) atau baja stainless merupakan campuran baja yang mengandung minimal 10,5% Cr. Hanya ada sedikit baja stainless yang mengandung lebih dari 30% Cr. Karakteristik khusus baja stainless adalah pembentukan lapisan film kromium oksida (Cr2O3). Lapisan ini berkarakter kuat, tidak mudah pecah dan tidak terlihat secara kasat mata. Lapisan kromium oksida dapat membentuk kembali jika lapisan rusak dengan kehadiran oksigen.
Zat lain yang ditambahkan sebagai komponen pembentukan baja stainless antara lain:
a.    Molibdenum (Mo), berfungsi untuk memperbaiki ketahanan korosi pitting dan korosi celah
b.    Kromium (Cr), berfungsi meningkatkan ketahanan korosi dengan membentuk lapisan oksida (Cr2O3) dan ketahanan terhadap oksidasi temperatur tinggi.
c.    Nikel (Ni), berfungsi meningkatkan ketahanan korosi dalam media korosi netral atau lemah. Selain itu, nikel juga meningkatkan ketahanan korosi tegangan.
d.   Aluminium (Al), berfungsi meningkatkan pembentukan lapisan oksida pada temperetur tinggi.
e.    Unsur karbon rendah dan unsur penstabil karbida (titanium atau niobium) berfungsi menekan korosi batas butir pada material yang mengalami proses sensitasi.
Berdasarkan komposisi pembentuknya, baja stainless dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
a.    Austenitic Stainless Steel
Austenitik SS mengandung kromium antara 10,5 – 30 %, 7 - 22 % nikel, nitrogen, molibdenum, titanium dan tembaga. Logam ini memiliki bentuk kubus berpusat muka. Umumnya jenis baja ini dapat tetap menjaga sifat austenitik pada temperature ruang, lebih bersifat ulet dan memiliki ketahanan korosi lebih baik dibandingkan baja stainless ferritik dan martensit
b.    Ferritic Stainless Steel
Ferritic SS mempunyai struktur kubus berpusat badan.. Unsur kromium ditambahkan ke paduan sebagai penstabil ferrit. Kandungan kromium umumnya kisaran 10,5 – 30%. Beberapa tipe baja mengandung unsur molybdenum, silicon, aluminium, titanium dan niobium. Paduan ini merupakan ferromagnetic dan mempunyai sifat ulet dan mampu bentuk baik namun kekuatan di lingkungan suhu tinggi lebih rendah dibandingkan baja stainless austenitic.
c.    Martensitic Stainless Steel
Martensitic SS merupakan paduan kromium dan karbon yang memiliki struktur martensit kubus berpusat badan terdistorsi saat kondisi bahan dikeraskan. Baja ini merupakan ferromagnetic, bersifat dapat dikeraskan dan umumnya tahan korosi di lingkungan kurang korosif. Kandungan kromium umumnya berkisar antara 10,5 – 18%, dan karbon melebihi 1,2
d.   Duplex Stainless Steel
Duplex SS merupakan paduan campuran struktur ferrite yang memiliki struktur kubus berpusat badan. Paduan utama material adalah kromium dan nikel, tapi nitrogen, molybdenum,tembaga,silicon dan tungsten ditambah untuk menstabilkan struktur dan memperbaiki sifat tahan korosi.. Kelebihan baja stainless dupleks yaitu nilai tegangan tarik dan luluh tinggi dan ketahanan korosi retak tegang lebih baik dari pada baja stainless austenitik.
e.    Precipitation Hardening Steel
Precipitation Hardening Steel merupakan paduan unsur utama kromium-nikel yang mengandung unsur precipitation-hardening antara lain tembaga, aluminium, atau titanium. Kondisi baja berfasa austenitic dalam keadaan anil dapat diubah menjadi fasa martensit melalui perlakuan panas. Kekuatan material melalui pengerasan endapan pada struktur martensit.
Baja stainless sudah dibuat sedemikian rupa agar meminimalisir proses karat. Tetapi, jika ada baja stainless berada pada lingkungan agresif yang mengandung ion klorida tetap terjadi proses korosi.
Proses korosi dapat diamati dengan 2 cara, yaitu:
a.    Noise elektrokimia, digunakan untuk mengamati perubahan fluktuasi pada arus atau potensial yang disebabkan oleh reaksi elektrokimia.
b.    Mengamati yang terjadi pada permukaan logam dengan menggunakan kamera mikroskop digital yang mampu memfoto hingga ukuran yang sangat kecil.
1.2.   Rumusan Masalah
a.    Bagaimana proses korosi dapat terbentuk?
b.    Bagaimana cara mengamati proses korosi pada suatu logam?
c.    Bagaiman hasil pengamatan korosi dengan menggunakan noise elektrokimia dan mikroskop digital images?
1.3.   Tujuan Penelitian
a         Menjelaskan proses korosi yang terjadi
b        Mengamati laju korosi dari data pengukuran proses korosi
c         Membandingkan data pengamatan antara noise elektrokimia dan mikroskop digital images.

BAB II LANDASAN TEORI

Korosi merupakan proses degradasi sifat material disebabkan reaksi dengan lingkungannya. Dua jenis mekanisma utama dari korosi adalah berdasarkan reaksi kimia secara langsung, dan reaksi elektrokimia. Korosi menyebabkan logam kehilangan elektron disekelilingnya untuk berikatan dengan air dan oksigen. Semakin lemahnya besi akibat oksidasi atomnya dikenal dengan korosi elektrokimia. Proses ini lebih dikenak dengan nama karat. Hasil dari suatu korosi adalah senyawa oksida dan garam dari logam tersebut.
Korosi dapat terjadi pada di dalam medium kering dan medium basah. Contoh korosi yang terjadi pada medium kering adalah penyerangan logam besi pleh gas oksigen atau oleh gas belerang. Di dalam medium basah, korosi dapat terjadi secara seragam maupun secara terdelokalisasi. Contoh korosi seragam didalam medium basah adalah apabila besi terendam di dalam larutan asam klorida (HCl). Korosi didalam medium basah yang terjadi secara terlokalisasi ada yang memberikan rupa makroskopis, misalnya peristiwa korosi galvani sistem besi - seng, korosi erosi, korosi retakan, korosi lubang, korosi pengelupasan, serta korosi pelumeran, sedangkan rupa yang mikroskopis dihasilkan misalnya oleh korosi tegangan, korosi patahan, dan korosi antar butir.
Faktor penting dalam korosi pada lingkungan adalah hujan, kabut atau pengembunan akibat kelembaban relatif yang tinggi. Dalam suatu struktur harus diperhatikan rancangan struktur agar mengalir dengan bebas air dan cukup ventilasi untuk mengeringkan seluruh permukaan. Kabut dan pengembunan bisa mengakibatkan korosi membasahi seluruh permukaan. Selapis tipis air yang tidak kelihatan sudah cukup membuat suatu sel korosi yang baik. Adanya tiga faktor sel korosi yaitu anoda, katoda dan elektrolit. Lapisan tipis embun yang terbentuk dari embun dari kabut atau dari kelembaban tinggi mudah jenuh dengan oksigen dari udara sehingga terjadi daerah katodik. Laju atau tingkat keparahan suatu logam pada korosi lingkungan umumnya ditentukan konduktivitas elektrolit yang terlarut. Salah satunya yaitu lingkungan yang mengandung ion-ion klorida atau lingkungan laut.
Pencegahan korosi pada korosi lingkungan dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan pemilihan logam tahan korosi dan lapis lindung. Salah satu proses korosi yang di bahas dalam penelitian ini adalah pemilihan logam tahan korosi. Logam tahan korosi antara lain stainsless steel 316. Logam–logam tersebut sangat tahan terhadap korosi lingkungan khususnya lingkungan yang mengandung ion-ion klorida hingga 3,5 %.
Untuk mengamati proses korosi pada 316 SS, dilakukan dengan mengamati gambar yang dihasilkan dari mikroskop digital. Pengambilan gambar dapat dilakukan dengan frekuensi tinggi dan frekuensi rendah. Jika digunakan frekuensi rendah, semakin banyak data tentang korosi yang dapat diamati.
Selain menggunakan gambar dari mikroskop digital, proses korosi dapat juga diamati dengan noise elektrokimia. Dengan mengamati perubahan arus dan potensial saat terjadi korosi secara elektrokimia, akan dihasilkan sebuah grafik yang berisi data proses yang terjadi selama reaksi elektrokimia (korosi) berlangsung.

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

3.1.   Metoda Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara data yang diperoleh dengan mikroskop digital images dan noise elektrokimia dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
Penenlitian kualitatif dilakuakan karena proses korosi berlangsung sesuai dengan proses elektrokimia. Tidak ditentukan  jumlah 316 SS yang mengalami korosi. Metode penelitian kualitataif dilakukan dengan membandingkan kebenaran hasil dari mikroskop digital images dan noise elektrokimia.
3.2.   Teknis Analisis
Teknik analisis yang dilakukan dengan membandingkan laju korosi, pola gambar, frekuensi terhadap waktu dan statistik karakteristik dari stainless steel 316.
Sebelum mengukur 316 SS, dilakukan pengukuran terlebih dahulu campuran denganNi-40Cr dan Fe-40-Cr. Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan tingkat korosi dilakukan pada 1200o C selama 150 jam.  316 SS ditempatkan pada sel di lingkungan terbuka. Percobaan ini dilakukan pada air yang mengandung 5 % NaCl pada 30o C selama 3 hari. Sesudah sampel disiapkan, sampel difoto dengan SEM dan pada hari ketiga dilakukan pengambilan gambar lagi untuk dibandingkan hasil diawal dan sesudah korosi.
Pengukuran dilakukan pada 1 Hz selama 3 jam (10800 sampel). Potensial diatur pada selang -155 mV hingga -255 mV dan arus diatur pada -0,005 mA hingga 0,007 mA.
Pada teknik pengukuran dengan noise elektrokimia, didapatkan dua jenis sinyal. Sinyal yang didapat bedasarkan potensial dan arus. Data pada pengukuran noise elektrokimia dapat diubah menjadi laju korosi dengan menghitungn noise resistance (Rn) dan memasukan nilai tersebut kepersamaan Stern-Geary. Rn dapat dihitung dengan persamaan :
dimana      σV menyatakan standar deviasi dari potensial noise, dan
σI  menyatakan standar deviasi dari air noise
3.3.   Instrumen
Alat yang digunakan adalah mikroskop digital untuk mengambil gambar pada percobaan. Alat ini menangkap gambar dengan menggunakan complementary metal oxide semiconductor (CMOS). Sensor pada alat ini berada didasar alat yang terhubung dengan komputer untuk mengumpulkan data dan memproses gambar digital. Dengan software yang digunakan, gambar dapat diperbaiki dan diperhalus agar memudahkan analisis.
Struktur alat yang digunakan.
Pada pengukuran noise elektokimia, digunakan instrument electrochemical noise. Dengan menggunkan software yang ada, proses fisik dan proses kimia yang terjadi dapat diamati pada frekuensi rendah. Berbagai proses yang dapat diamati ,yaitu pitting, retak akibat korosi, korosi keseluruhan, aktivitas inhibitor dan retak. Fluktuasi potensial atau arus dari proses diatas dikenal sebagai noise lektrokimia.
Sinyal pada noise didapatkan melalui berbagai cara. Misalnya menggunakan dua elektroda yang identik pada kondisi sirkuit terbuka dengan Zero Resistance Ammeter/ Electrometer membuat pengukuran terjadi tanpa ada gangguan dari luar. Hasil pengukuran ini mendakati keadaan pada lingkungan nyata. Kedua arus dan potensial diukur secara bersamaan.
Struktur dari Zero Resistance Amperometer.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendekatan korosi secara umum melibatkan sifat material antara lain sifat fisik, mekanik dan kimia. Pendekatan lainnya juga mempertimbangkan struktur logam, sifat lingkungan sekitar dan reaksi antara permukaan logam dan lingkungan. Faktor – faktor pendekatan korosi yaitu :
a.       Logam. Komposisi, struktur atom, keheterogenan struktur secara microskopik dan makroskopik.
b.    Lingkungan, Sifat kimia, konsentrasi bahan reaktif dan pengotor, tekanan, suhu dan kecepatan
c.    Antar muka logam dan lingkungan. Kinetika oksidasi dan pelarutan logam, kinetika  proses reduksi bahan di dalam larutan, lokasi produk korosi dan pertumbuhan film.
Berdasarkan pertimbangan di atas mengindikasikan mekanisme korosi logam sangat komplek dengan melibatkan berbagai cabang bidang antara lain sifat fisik, metalurgi fisik, kimia, bakteri dan lain-lain.
Mekanisme korosi tidak terlepas dari reaksi elektrokimia. Reaksi elektrokimia melibatkan perpindahan elektron-elektron. Perpindahan elektron merupakan hasil reaksi redoks (reduksi-oksidasi). Mekanisme korosi melalui reaksi elektrokimia melibatkan reaksi anodik di daerah anodik. Reaksi anodik (oksidasi) diindikasikan melalui peningktan valensi atau produk electron-elektron. Reaksi anodik yang terjadi pada proses korosi logam yaitu :
a.    M → Mn+ + ne
Proses korosi dari logam M adalah proses oksidasi logam menjadi satu ion (n+) dalam pelepasan n elektron. Harga dari n bergantung dari sifat logam sebagai contoh digunakan besi :
b.    Fe → Fe2+ + 2e
Reaksi katodik juga berlangsung di proses korosi. Reaksi katodik diindikasikan melalui penurunan nilai valensi atau konsumsi electron-elektron yang dihasilkan dari reaksi anodic. Reaksi katodik terletak di daerah katoda. Beberapa jenis reaksi katodik yang terjadi selama proses korosi logam yaitu :
c.    Pelapasan gas hydrogen : 2H- + 2e → H2
d.   Reduksi oksigen : O2 + 4 H- + 4e →H2O
e.    O2 + H2O4 4 OH-
f.     Reduksi ion logam : Fe3+ + e → Fe2+
g.    Pengendapan logam : 3 Na+ + 3 e → 3 Na
h.    Reduksi ion hydrogen : O2 + 4 H+ + 4 e →  2H2O
i.      O2 + 2H2O + 4e OH-
j.      Reaksi katodik dimana oksigen dari udara akan larut dalam larutan terbuka. Reaksi korosi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
2 Fe + O2  → Fe2O3
k.    Pada analisis gambar digital Ni-40Cr dan Fe-40Cr bertujuan untuk mendapatkan tingkat korosi dari dua campuran logam tersebut. Gambar 1 menunjukkan bentuk dari campuran Ni-40Cr bersama dua garis scan transversal yang merupakan bentuk dari sinyal digital. Pada gambar 2, hal yang sama dilakukan pada Fe-40Cr.
    
l.      Mengamati gambar hasil dari mikroskop cukup sulit untuk membedakan lebih lanjut dari segi korosi. Aplikasi dari FFT menunjukkan bahwa untuk mengetahui geometri dari lubang yang jauh digunakan frekuensi rendah dan frekuensi tinggi digunakan pada lubang dekat. Pada frekuensi rendah, gambar mikroskop menunjukkan banyak informasi, terutama informasi korosi yang tidak terdapat pada frekuensi tinggi.
m.  Gambar 3 menunjukkan histogram dan gambar yang telah disaring untuk Ni-40Cr dan Fe-40Cr. Gambar untuk campuran Ni-40Cr (kiri atas) jauh lebih penting dalam menunjukkan evolusi korosi dibandingkan dengan campuran Fe-40Cr (kanan atas). Untuk histogram campuran Ni-40Cr (kiri bawah) lebih relevan untuk mengetahui tingkat korosi dibandingkan histogram campuran Fe-40Cr (kanan bawah).
n.    Gambar 4 merupakan gambar dari Ni-40Cr. Gambar dan data yang diperoleh dari percobaan memberikan nilai dari detorasi 23,83 %, dengan laju korosi sebesar 893,62 μ/jam yang sebanding dengan 0,158 %/jam.  Untuk Fe-40Cr diperoleh detorasi area sebesar 6,52 %, laju korosi sebesar 244,5 μ/jam atau sebanding dengan 0,043 %/jam
o.    Noise elektrokimia adalah bentuk umum untuk menjelaskan perubahan arus atau potensial pada proses elektrokimia. Pengukuran dengan metode ini tidak terpengaruh oleh gangguan dari luar. Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan pada struktur asli. Instrumen yang dibutuhkan untuk pengukuran, yaitu prosesor sinyal digital dan kemahiran mengolah data. Daerah korosi kadang – kadang sulit diukur, dengan metode penguatan sinyal korosi yang didapat bisa diperkuat.
p.    Pada teknik pengukuran noise elektrokimia, didapat dua jenis sinyal, yaitu potensial-waktu (mV) dan arus-waktu (mA). Pada gambar 7, menunjukkan pengukuran pada 112 sinyal sampel terhadap sinyal potensial. Dengan memperbesar resolusi, perilaku korosi dapat ditentukan dari kemiringan sinyal. Jumlah kemiringan pada sinyal menunjukkan jumlah logam yang terdapat pada campuran.

BAB V KESIMPULAN


Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pola dari perilaku korosi dari 316 SS pada kondisi yang telah ditentukan. Frekuensi dan waktu daerah potensial dan arus dari noise elektrokimia membuat kita bisa membandingkan beberapa statistik karakteristik pada analisis noise elektrokimia. Selain itu, bisa didapat hubungan dengan pengamatan pada gambar mikroskop, dimana jenis sinyal memberikan perbedaan geometri berdasarkan kekuatan frekuensi. Gambar 10 menunjukkan bebrapa pola yang didapat. Kekuatan spektrum dan kemiringannya berhubungan dengan laju korosi.
Pada percobaan ini dapat ditemukan pola kelakuan korosi dan hubungan antara sinyal elektokimia, laju korosi, kekutan spektrum, kemiringan, statistik karakteristik pada gambar digital dan analisis multi resolution.
Dengan keberhasilan mengetahui pola ini, kita bisa mengetahui perilaku korosi pada 316 SS selama perendaman pada larutan NaCl, dan memprediksi laju korosi pada campuran logam lainnya.


DAFTAR PUSTAKA


1.      David Harvey. 2000. Modern Analytical Chemistry. the United States of America : McGraw-Hill Companies, Inc.
2.      Underwood. A. L., 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi 5. Jakarta : Erlanggga.
3.      Van Delinger I.S., 1984. Corrosion basic An Introduction. National Associate of Corrosion Engeineers.

No comments:

Post a Comment