BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stainless Steel (SS) atau baja stainless merupakan
campuran baja yang mengandung minimal 10,5% Cr. Hanya ada sedikit baja
stainless yang mengandung lebih dari 30% Cr. Karakteristik khusus baja
stainless adalah pembentukan lapisan film kromium oksida (Cr2O3).
Lapisan ini berkarakter kuat, tidak mudah pecah dan tidak terlihat secara kasat
mata. Lapisan kromium oksida dapat membentuk kembali jika lapisan rusak dengan
kehadiran oksigen.
Zat lain yang ditambahkan sebagai komponen
pembentukan baja stainless antara lain:
a.
Molibdenum (Mo), berfungsi untuk
memperbaiki ketahanan korosi pitting dan korosi celah
b.
Kromium (Cr), berfungsi meningkatkan
ketahanan korosi dengan membentuk lapisan oksida (Cr2O3)
dan ketahanan terhadap oksidasi temperatur tinggi.
c.
Nikel (Ni), berfungsi meningkatkan
ketahanan korosi dalam media korosi netral atau lemah. Selain itu, nikel juga
meningkatkan ketahanan korosi tegangan.
d.
Aluminium (Al), berfungsi meningkatkan
pembentukan lapisan oksida pada temperetur tinggi.
e.
Unsur karbon rendah dan unsur penstabil
karbida (titanium atau niobium) berfungsi menekan korosi batas butir pada
material yang mengalami proses sensitasi.
Berdasarkan komposisi pembentuknya, baja stainless
dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
a.
Austenitic Stainless Steel
Austenitik SS mengandung kromium antara 10,5 – 30 %, 7 - 22 % nikel,
nitrogen, molibdenum, titanium dan tembaga. Logam ini memiliki bentuk kubus
berpusat muka. Umumnya
jenis baja ini dapat tetap menjaga sifat austenitik pada temperature ruang,
lebih bersifat ulet dan memiliki ketahanan korosi lebih baik dibandingkan baja
stainless ferritik dan martensit
b. Ferritic Stainless
Steel
Ferritic SS mempunyai
struktur kubus berpusat badan.. Unsur kromium ditambahkan ke paduan sebagai
penstabil ferrit. Kandungan kromium umumnya kisaran 10,5 – 30%. Beberapa tipe
baja mengandung unsur molybdenum, silicon, aluminium, titanium dan niobium. Paduan
ini merupakan ferromagnetic dan mempunyai sifat ulet dan mampu bentuk baik
namun kekuatan di lingkungan suhu tinggi lebih rendah dibandingkan baja stainless
austenitic.
c. Martensitic
Stainless Steel
Martensitic SS merupakan paduan kromium dan karbon
yang memiliki struktur martensit kubus berpusat badan terdistorsi saat kondisi
bahan dikeraskan. Baja ini merupakan ferromagnetic, bersifat dapat dikeraskan
dan umumnya tahan korosi di lingkungan kurang korosif. Kandungan kromium
umumnya berkisar antara 10,5 – 18%, dan karbon melebihi 1,2
d. Duplex Stainless
Steel
Duplex SS merupakan paduan campuran struktur
ferrite yang memiliki struktur kubus berpusat badan. Paduan utama material
adalah kromium dan nikel, tapi nitrogen, molybdenum,tembaga,silicon dan
tungsten ditambah untuk menstabilkan struktur dan memperbaiki sifat tahan
korosi.. Kelebihan baja stainless dupleks yaitu nilai tegangan tarik dan luluh
tinggi dan ketahanan korosi retak tegang lebih baik dari pada baja stainless
austenitik.
e. Precipitation
Hardening Steel
Precipitation Hardening Steel merupakan paduan
unsur utama kromium-nikel yang mengandung unsur precipitation-hardening antara
lain tembaga, aluminium, atau titanium. Kondisi baja berfasa austenitic dalam
keadaan anil dapat diubah menjadi fasa martensit melalui perlakuan panas.
Kekuatan material melalui pengerasan endapan pada struktur martensit.
Baja stainless sudah dibuat sedemikian rupa agar
meminimalisir proses karat. Tetapi, jika ada baja stainless berada pada
lingkungan agresif yang mengandung ion klorida tetap terjadi proses korosi.
Proses korosi dapat diamati
dengan 2 cara, yaitu:
a. Noise elektrokimia, digunakan untuk mengamati perubahan fluktuasi pada arus
atau potensial yang disebabkan oleh reaksi elektrokimia.
b. Mengamati yang terjadi pada permukaan logam dengan menggunakan kamera
mikroskop digital yang mampu memfoto hingga ukuran yang sangat kecil.
1.2.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana proses korosi dapat terbentuk?
b. Bagaimana cara mengamati proses korosi pada suatu logam?
c. Bagaiman hasil pengamatan korosi dengan menggunakan noise elektrokimia dan mikroskop
digital images?
1.3.
Tujuan
Penelitian
a
Menjelaskan proses korosi yang
terjadi
b
Mengamati laju korosi dari data
pengukuran proses korosi
c
Membandingkan
data pengamatan antara noise elektrokimia dan mikroskop digital images.
BAB II LANDASAN TEORI
Korosi
merupakan proses degradasi sifat material disebabkan reaksi dengan
lingkungannya. Dua jenis mekanisma utama dari korosi adalah berdasarkan reaksi
kimia secara langsung, dan reaksi elektrokimia. Korosi menyebabkan logam
kehilangan elektron disekelilingnya untuk berikatan dengan air dan oksigen.
Semakin lemahnya besi akibat oksidasi atomnya dikenal dengan korosi elektrokimia.
Proses ini lebih dikenak dengan nama karat. Hasil dari suatu korosi adalah
senyawa oksida dan garam dari logam tersebut.
Korosi dapat terjadi pada di dalam medium kering dan medium basah. Contoh
korosi yang terjadi pada medium kering adalah penyerangan logam besi pleh gas
oksigen atau oleh gas belerang. Di dalam medium basah, korosi dapat terjadi
secara seragam maupun secara terdelokalisasi. Contoh korosi seragam didalam
medium basah adalah apabila besi terendam di dalam larutan asam klorida (HCl).
Korosi didalam medium basah yang terjadi secara terlokalisasi ada yang
memberikan rupa makroskopis, misalnya peristiwa korosi galvani sistem besi -
seng, korosi erosi, korosi retakan, korosi lubang, korosi pengelupasan, serta
korosi pelumeran, sedangkan rupa yang mikroskopis dihasilkan misalnya oleh
korosi tegangan, korosi patahan, dan korosi antar butir.
Faktor penting dalam korosi pada lingkungan adalah hujan, kabut atau
pengembunan akibat kelembaban relatif yang tinggi. Dalam suatu struktur harus
diperhatikan rancangan struktur agar mengalir dengan bebas air dan cukup
ventilasi untuk mengeringkan seluruh permukaan. Kabut dan pengembunan bisa
mengakibatkan korosi membasahi seluruh permukaan. Selapis tipis air yang tidak
kelihatan sudah cukup membuat suatu sel korosi yang baik. Adanya tiga faktor
sel korosi yaitu anoda, katoda dan elektrolit. Lapisan tipis embun yang
terbentuk dari embun dari kabut atau dari kelembaban tinggi mudah jenuh dengan
oksigen dari udara sehingga terjadi daerah katodik. Laju atau tingkat keparahan
suatu logam pada korosi lingkungan umumnya ditentukan konduktivitas elektrolit
yang terlarut. Salah satunya yaitu lingkungan yang mengandung ion-ion klorida
atau lingkungan laut.
Pencegahan korosi pada korosi lingkungan dilakukan dengan berbagai cara
yaitu dengan pemilihan logam tahan korosi dan lapis lindung. Salah satu proses
korosi yang di bahas dalam penelitian ini adalah pemilihan logam tahan korosi.
Logam tahan korosi antara lain stainsless steel 316. Logam–logam tersebut
sangat tahan terhadap korosi lingkungan khususnya lingkungan yang mengandung
ion-ion klorida hingga 3,5 %.
Untuk mengamati proses korosi pada 316 SS, dilakukan dengan mengamati
gambar yang dihasilkan dari mikroskop digital. Pengambilan gambar dapat
dilakukan dengan frekuensi tinggi dan frekuensi rendah. Jika digunakan
frekuensi rendah, semakin banyak data tentang korosi yang dapat diamati.
Selain menggunakan gambar dari mikroskop digital, proses korosi dapat juga
diamati dengan noise elektrokimia. Dengan mengamati perubahan arus dan
potensial saat terjadi korosi secara elektrokimia, akan dihasilkan sebuah
grafik yang berisi data proses yang terjadi selama reaksi elektrokimia (korosi)
berlangsung.
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
3.1.
Metoda Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui hubungan
antara data yang diperoleh dengan mikroskop digital images dan noise
elektrokimia dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
Penenlitian kualitatif dilakuakan karena proses
korosi berlangsung sesuai dengan proses elektrokimia. Tidak ditentukan jumlah 316 SS yang mengalami korosi. Metode
penelitian kualitataif dilakukan dengan membandingkan kebenaran hasil dari
mikroskop digital images dan noise elektrokimia.
3.2.
Teknis
Analisis
Teknik analisis yang dilakukan dengan
membandingkan laju korosi, pola gambar, frekuensi terhadap waktu dan statistik
karakteristik dari stainless steel 316.
Sebelum mengukur 316 SS, dilakukan pengukuran
terlebih dahulu campuran denganNi-40Cr dan Fe-40-Cr. Pengukuran dilakukan untuk
mendapatkan tingkat korosi dilakukan pada 1200o C selama 150
jam. 316 SS ditempatkan pada sel di
lingkungan terbuka. Percobaan ini dilakukan pada air yang mengandung 5 % NaCl
pada 30o C selama 3 hari. Sesudah sampel disiapkan, sampel difoto
dengan SEM dan pada hari ketiga dilakukan pengambilan gambar lagi untuk
dibandingkan hasil diawal dan sesudah korosi.
Pengukuran dilakukan pada 1 Hz selama 3 jam (10800
sampel). Potensial diatur pada selang -155 mV hingga -255 mV dan arus diatur
pada -0,005 mA hingga 0,007 mA.
Pada teknik pengukuran dengan noise elektrokimia, didapatkan
dua jenis sinyal. Sinyal yang didapat bedasarkan potensial dan arus. Data pada
pengukuran noise elektrokimia dapat diubah menjadi laju korosi dengan
menghitungn noise resistance (Rn) dan memasukan nilai tersebut
kepersamaan Stern-Geary. Rn dapat dihitung dengan persamaan :
dimana σV
menyatakan standar deviasi dari potensial noise, dan
σI menyatakan standar deviasi dari air noise
3.3.
Instrumen
Alat yang digunakan adalah mikroskop digital untuk
mengambil gambar pada percobaan. Alat ini menangkap gambar dengan menggunakan complementary metal oxide semiconductor (CMOS).
Sensor pada alat ini berada didasar alat yang terhubung dengan komputer untuk
mengumpulkan data dan memproses gambar digital. Dengan software yang digunakan,
gambar dapat diperbaiki dan diperhalus agar memudahkan analisis.
Struktur alat yang digunakan.
Pada pengukuran
noise elektokimia, digunakan instrument electrochemical noise. Dengan menggunkan software yang ada,
proses fisik dan proses kimia yang terjadi dapat diamati pada frekuensi rendah.
Berbagai proses yang dapat diamati ,yaitu pitting, retak
akibat korosi, korosi keseluruhan, aktivitas inhibitor dan retak. Fluktuasi potensial
atau arus dari proses diatas dikenal sebagai noise lektrokimia.
Sinyal pada
noise didapatkan melalui berbagai cara. Misalnya menggunakan dua elektroda yang identik pada kondisi sirkuit
terbuka dengan Zero Resistance Ammeter/
Electrometer membuat pengukuran terjadi tanpa ada gangguan dari luar. Hasil
pengukuran ini mendakati keadaan pada lingkungan nyata. Kedua arus dan
potensial diukur secara bersamaan.
Struktur dari Zero Resistance
Amperometer.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan korosi secara umum melibatkan
sifat material antara lain sifat fisik, mekanik dan kimia. Pendekatan lainnya
juga mempertimbangkan struktur logam, sifat lingkungan sekitar dan reaksi
antara permukaan logam dan lingkungan. Faktor – faktor pendekatan korosi yaitu
:
a.
Logam. Komposisi, struktur atom, keheterogenan
struktur secara microskopik dan makroskopik.
b.
Lingkungan, Sifat kimia,
konsentrasi bahan reaktif dan pengotor, tekanan, suhu dan kecepatan
c.
Antar muka logam dan lingkungan.
Kinetika oksidasi dan pelarutan logam, kinetika
proses reduksi bahan di dalam larutan, lokasi produk korosi dan
pertumbuhan film.
Berdasarkan pertimbangan di atas
mengindikasikan mekanisme korosi logam sangat komplek dengan melibatkan
berbagai cabang bidang antara lain sifat fisik, metalurgi fisik, kimia, bakteri
dan lain-lain.
Mekanisme korosi tidak terlepas dari
reaksi elektrokimia. Reaksi elektrokimia melibatkan perpindahan elektron-elektron.
Perpindahan elektron merupakan hasil reaksi redoks (reduksi-oksidasi).
Mekanisme korosi melalui reaksi elektrokimia melibatkan reaksi anodik di daerah
anodik. Reaksi anodik (oksidasi) diindikasikan melalui peningktan valensi atau
produk electron-elektron. Reaksi anodik yang terjadi pada proses korosi logam
yaitu :
a.
M → Mn+ + ne
Proses korosi dari logam M adalah proses oksidasi logam menjadi satu ion (n+)
dalam pelepasan n elektron. Harga dari n bergantung dari sifat logam sebagai
contoh digunakan besi :
b.
Fe → Fe2+ + 2e
Reaksi katodik juga berlangsung di proses korosi. Reaksi katodik
diindikasikan melalui penurunan nilai valensi atau konsumsi electron-elektron
yang dihasilkan dari reaksi anodic. Reaksi katodik terletak di daerah katoda.
Beberapa jenis reaksi katodik yang terjadi selama proses korosi logam yaitu :
c.
Pelapasan gas hydrogen : 2H-
+ 2e → H2
d.
Reduksi oksigen : O2 + 4 H-
+ 4e →H2O
e.
O2 + H2O4 →
4 OH-
f.
Reduksi ion logam : Fe3+ + e →
Fe2+
g.
Pengendapan logam : 3 Na+ + 3
e → 3 Na
h.
Reduksi ion hydrogen : O2 + 4
H+ + 4 e → 2H2O
i.
O2 + 2H2O + 4e → OH-
j.
Reaksi katodik dimana oksigen dari udara
akan larut dalam larutan terbuka. Reaksi korosi tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut :
2 Fe + O2 → Fe2O3
k.
Pada analisis gambar digital Ni-40Cr dan
Fe-40Cr bertujuan untuk mendapatkan tingkat korosi dari dua campuran logam
tersebut. Gambar 1 menunjukkan bentuk dari campuran Ni-40Cr bersama dua garis
scan transversal yang merupakan bentuk dari sinyal digital. Pada gambar 2, hal
yang sama dilakukan pada Fe-40Cr.
l.
Mengamati gambar hasil dari mikroskop
cukup sulit untuk membedakan lebih lanjut dari segi korosi. Aplikasi dari FFT
menunjukkan bahwa untuk mengetahui geometri dari lubang yang jauh digunakan
frekuensi rendah dan frekuensi tinggi digunakan pada lubang dekat. Pada
frekuensi rendah, gambar mikroskop menunjukkan banyak informasi, terutama
informasi korosi yang tidak terdapat pada frekuensi tinggi.
m.
Gambar 3 menunjukkan histogram dan
gambar yang telah disaring untuk Ni-40Cr dan Fe-40Cr. Gambar untuk campuran
Ni-40Cr (kiri atas) jauh lebih penting dalam menunjukkan evolusi korosi
dibandingkan dengan campuran Fe-40Cr (kanan atas). Untuk histogram campuran Ni-40Cr
(kiri bawah) lebih relevan untuk mengetahui tingkat korosi dibandingkan
histogram campuran Fe-40Cr (kanan bawah).
n.
Gambar 4 merupakan gambar dari Ni-40Cr.
Gambar dan data yang diperoleh dari percobaan memberikan nilai dari detorasi
23,83 %, dengan laju korosi sebesar 893,62 μ/jam yang sebanding dengan 0,158
%/jam. Untuk Fe-40Cr diperoleh detorasi
area sebesar 6,52 %, laju korosi sebesar 244,5 μ/jam atau sebanding dengan
0,043 %/jam
o.
Noise elektrokimia adalah bentuk umum
untuk menjelaskan perubahan arus atau potensial pada proses elektrokimia.
Pengukuran dengan metode ini tidak terpengaruh oleh gangguan dari luar. Oleh
karena itu, metode ini dapat digunakan pada struktur asli. Instrumen yang
dibutuhkan untuk pengukuran, yaitu prosesor sinyal digital dan kemahiran
mengolah data. Daerah korosi kadang – kadang sulit diukur, dengan metode
penguatan sinyal korosi yang didapat bisa diperkuat.
p.
Pada teknik pengukuran noise
elektrokimia, didapat dua jenis sinyal, yaitu potensial-waktu (mV) dan
arus-waktu (mA). Pada gambar 7, menunjukkan pengukuran pada 112 sinyal sampel
terhadap sinyal potensial. Dengan memperbesar resolusi, perilaku korosi dapat
ditentukan dari kemiringan sinyal. Jumlah kemiringan pada sinyal menunjukkan
jumlah logam yang terdapat pada campuran.
BAB V KESIMPULAN
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pola dari perilaku korosi dari 316
SS pada kondisi yang telah ditentukan. Frekuensi dan waktu daerah potensial dan
arus dari noise elektrokimia membuat kita bisa membandingkan beberapa statistik
karakteristik pada analisis noise elektrokimia. Selain itu, bisa didapat
hubungan dengan pengamatan pada gambar mikroskop, dimana jenis sinyal
memberikan perbedaan geometri berdasarkan kekuatan frekuensi. Gambar 10
menunjukkan bebrapa pola yang didapat. Kekuatan spektrum dan kemiringannya
berhubungan dengan laju korosi.
Pada percobaan ini dapat ditemukan pola kelakuan korosi dan hubungan antara
sinyal elektokimia, laju korosi, kekutan spektrum, kemiringan, statistik
karakteristik pada gambar digital dan analisis multi resolution.
Dengan keberhasilan mengetahui pola ini, kita bisa mengetahui perilaku
korosi pada 316 SS selama perendaman pada larutan NaCl, dan memprediksi laju
korosi pada campuran logam lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
David Harvey. 2000. Modern
Analytical Chemistry. the United States of America : McGraw-Hill Companies,
Inc.
2.
Underwood. A. L., 1999. Analisis
Kimia Kuantitatif. Edisi 5. Jakarta : Erlanggga.
3.
Van Delinger I.S., 1984. Corrosion
basic An Introduction. National Associate of Corrosion Engeineers.
No comments:
Post a Comment