Monday, April 25, 2016

MAKALAH FILSAFAT KIMIA



I.           PENDAHULUAN

                            Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan yang di identikkan dengan filsafat di mulai sebelum abad ke -17,  bahkan filsafat merupakan bahasa lain dari Ilmu
pengetahuan pada saat itu. Misalnya perkembangan filsafat di Yunani, yang semuanya hampir meliputi pemikiran teoritis para pemikir, artinya para ahli pada saat itu menciptakan ide dan pendapat yang nantinya dijadikan rujukan dan pedoman oleh orang lain.  Pada awal abad ke -17, munculah pemikiran baru tentang filsafat, yaitu pemisahan filsafat dengan ilmu pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru. Bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi, seperti spesialisasi-spesialisasi.  Menurut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu lahir  sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan.  Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ilmu kimia lahir dari keinginan para ahli kimia untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan apa dan mengapa tentang sifat materi yang ada di alam, yang masing-masing akan menghasilkan fakta dan pengetahuan teoritis tentang materi yang kebenarannya dapat dijelaskan dengan logika matematika.

Jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana (estimologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, tidak mungkin bahasan estimologi terlepas sama sekali dari ontology dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistematik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.

Ilmu kimia merupakan ilmu mengenal bahan kimia. Bahan kimia bukanlah zat abstrak yang perlu ditakuti oleh manusia biasa. Bahan ini mencakup benda yang ada disekitar kita. Ilmu kimia adalah cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari struktur materi, sifat-sifat materi, perubahan suatu materi menjadi materi lain, serta energi yang menyertai perubahan materi. Mempelajari ilmu kimia tidak hanya bertujuan menemukan zat-zat kimia yang langsung bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia belaka, akan tetapi ilmu kimia dapat pula memenuhi keinginan seseorang untuk memahami berbagai peristiwa alam yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui hakikat materi serta perubahannya, menanamkan metode ilmiah, mengembangkan kemampuan dalam mengajukan gagasan-gagasan, dan memupuk ketekunan serta ketelitian bekerja.

Kimia adalah ilmu tentang materi dan perubahannya. Materi itu sendiri adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa. Semua materi berada dalam tiga wujud yaitu, padat, cair dan gas. Hakikat ilmu kimia adalah bahwa benda itu bisa mengalami perubahan bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain sehingga terjadi perubahan letak susunan yang mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dari wujud/bentuk semula. Ilmu kimia lahir dari keinginan para ahli kimia untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan apa dan mengapa tentang sifat materi yang ada di alam, yang masing-masing akan menghasilkan fakta dan pengetahuan teoritis tentang materi yang kebenarannya dapat dijelaskan dengan logika matematika.
Ilmu Kimia merupakan salah satu ilmu-ilmu eksak yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Pemanfaatan ilmu kimia itu itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Setiap harinya, di mana pun itu, kita dapat menemukan proses kimia berlangsung serta hasil dari proses kimia tersebut. Baik itu manfaat yang diberikannya baik ataupun tidak bagi kita sendiri ataupun lingkungan serta masyarakat.
Ilmu kimia itu sendiri terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah Kimia Organik, Kimia Anorganik, Biokimia, Kimia Fisika, Kimia Nuklir (inti), Kimia terapan yang mencakup banyak ilmu-ilmu terapan, misalnya Kimia Polimer, Kimia Bahan Alam, Kimia Medisinal, dan lain-lain.
Persepsi masyarakat tentang kimia kebanyakan lebih terdengar negatif. Hal ini juga tidak bisa dipungkiri dari adanya andil kimia dalam penyebab beberapa kerugian yang diderita oleh masyarakat. Misalnya saja limbah dari pabrik yang menimbulkan gangguan kesehatan, penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada makanan, sampai dengan penggunanaan ilmu kimia dalam membuat senjata pembunuh massal yaitu bom atom.
Jika kita lebih bijak, maka semua kerugian itu dapat saja kita tanggulangi. Pada dasarnya ilmu itu ada bukan untuk merugikan manusia tetapi sebaliknya. Oleh sebab itu, diangkatlah tema tentang ilmu kimia yang dikaji menurut ontology, epistimologi dan aksiologi agar kita benar-benar mengetahui apa sebenarnya ilmu kimia tersebut.
                            Tujuan Penulisan

Pada makalah ini di berikan urain ilmia tentang Filsafat ilmu bidang kimia dengan tujuan untuk menjadi acuan dasar berpikir kimia dengan konsep pemahaman filsafat ilmu guna mencari kebenaran dari apa yang kita rumuskan dan teliti terkait bidang ilmu kimia

                            Manfaat Penulisan

Penulisan ini bermanfaat untuk lebih memahami tentang filsafat, filsafat ilmu dan penerapan filsafat ilmu dalam bidang kimia dalam hal penelitian, pembuatan teori dan kebenaran mutlak










II.                PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun secara historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola fikir bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus dihormatidan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat, pola fikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola fikir yang tergantung pada rasio.

Perkembangan sejarah filsafat di dunia barat dapat dibagi dalam empat periodisasi yaitu :

2.1.1        ZamanYunani Kuno atau periode klasik,

Ciri pemikiran filsafat adalah kosmosentris yakni para filosof masa ini mempertanakan asal-usul alam semesta dan jagad raya.  Pada periode ini, orang Yunani berusaha memberikan deskripsi yang rasional dari masalah-masalah yang mereka hadapi, termasuk memikirkan tentang asal-mula amam semesta. Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting karena terjadi perubahan pola fikir manusia dari Mitnosentris ( Mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam) menuju Logosentris. Thales adalah orang pertama yang berupaya mencari jawaban atas pertanyaan tentang segala benda dalam alam ini sehingga dia dikenal sebagai bapak filsafat.

2.1.2  Zaman periode pertengahan

Pada abad ini, tradisi berpikir ( berfilsafat ) bersentuhan dengan tradisi agama (Teologi ). Ada 2 periode di jaman pertengahan yaitu periode skolastik Islam dan periode skolastik Kristen.

2.1.3  Zaman periode kontemporer

Pemikiran filsafat pada abad ini, mayoritas mengkritisi, memperbaiki, dan menyempurnakan pemikiran-pemikiran filsafat pada abad sebelumnya. Yang terpenting pada abad ini yaitu mengembangkan pendekatan interdisipliner. Filsafat sebagai “ibu” ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat kembali mengarahkan “anak cucunya” sebagai “mitra dialog” dalam menyelesaikan persoalan aktual masa kini dan masa mendatang yang semakin kompleks ruang lingkupnya.

2.2       Tinjauan Umum Filsafat

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.  Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.  Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas serta dikaitkan dengan permasalahan yang penulis akan jelajahi, maka penulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan penulis adalah ilmu pengetahuan alam (MIPA – Kimia).

2.3.      Pengertian Filsafat


Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).

Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.  Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).  Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

2.4.  Filsafat Ilmu


Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).  Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

2.5    Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Alam


Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam. Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam.

Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya.

Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat

Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).

Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.

Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.

Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).

Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy.

Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.

2.6  Filsafat sebagai induknya Ilmu pengetahuan

Beberapa ahli filsafat menjelaskan bahwa filsafat itu adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dahulu pada mulanya filsafat meliputi semua ilmu yang ada pada zamanya: politik, ekonomi, hukum, seni, dan sebagainya. Akan tetapi lama kelamaan dengan intensifnya usaha-usaha yang bersifat empiris dan eksperimental terciptalah satu persatu ilmu yang khusus memecahkan satu bidang masalah. Sehingga terwujudlah berbagai ilmu pengetahuan yang mendasarkan penyelidikannya secara empiris dan eksperimental dan terlepaslah dari filsafat sebagai induknya. Tetapi dengan munculnya ilmu-ilmu tidak berarti telah lenyaplah eksistensi filsafat dan fungsinya. Filsafat masih tetap eksis dan mempunyai fungsi sendiri yang tidak dapat digantikan oleh ilmu pengetahuan. Garapan filsafat berbeda dengan garapan ilmu pengtahuan dan masing-masing dibutuhkan. Dalam kenyataan, setiap ilmu membutuhkan filsafatnya. Ada ilmu hukum ada pula filsafat hukum, ada ilmu pendidikan ada pula filsafat pendidikan.

Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dari keduanya. Dalam berfilsafat kita didorong untuk mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Filsafat dalam pandangan tokoh-tokoh dunia diartikan sebagai berikut:
  1. Plato (427 – 348 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli
  2. Aristoteles (382 – 322 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung dalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika
  3. Al Kindi (801 – ……m), filsafat adalah pengetahuan tentang realisasi segala sesuatu sejauh jangkauan kemampuan manusia
  4. Al Farabi (870 – 950 m), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat sebenarnya.
  5. Prof. H. Muhammad Yamin, filsafat adalah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya. Di dalam kepribadiannya itu dialami sesungguhnya.

Dalam kamus Bahasa Indonesia, filsafat dapat diartikan sebagai berikut
  1. Teori atau analisis logis tentang prinsip-prinsip yang mendasari pengaturan, pemikiran pengetahuan, sifat alam semesta.
  2. Prinsip-prinsip umum tentang suatu bidang pengetahuan.
  3. Ilmu yang berintikan logika ,estetika, metafisika, dan epistemology
  4. Falsafah.

Tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin dan menerbitkan serta mengatur semua itu dalam bentuk sistematik. Dengan demikian filsafat memerlukan analisa secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan. Semua ilmu baik ilmu sosial maupun ilmu alam bertolak dari pengembangannya yaitu filsafat. Pada awalnya filsafat terdiri dari tiga segi, yaitu
1.      Apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika);
2.      Mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika);
3.      Apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika).
Kemudian ketiga cabang utama itu berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
1.      Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
2.      Etika (Filsafat Moral)
3.      Estetika (Filsafat Seni)
4.      Metafisika
5.      Politik (Filsafat Pemerintahan)
6.      Filsafat Agama
7.      Filsafat Ilmu
8.      Filsafat Pendidikan
9.      Filsafat Hukum
10.  Filsafat Sejarah
11.  Filsafat Matematika
Ilmu tersebut pada tahap selanjutnya menyatakan diri otonom, bebas dari konsep-konsep dan norma-norma filsafat. Namun demikian ketika ilmu tersebut mengalami pertentangan-pertentangan maka akan kembali kepada filsafat sebagai induk dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, mengapa filsafat sering disebut para ahli sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan di mana ilmu tersebut selalu berkaitan dengan filsafat sebagai sumber acuan.

2.7  Filsafat Kimia

2.7.1.  Ilmu Kimia dalam Tinjauan Ontologi
Nama ilmu kimia berasal dari bahasa Arab, yaitu al-kimiya yang artinya perubahan materi, oleh ilmuwan Arab Jabir ibn Hayyan (tahun 700-778). Ini berarti, ilmu kimia secara singkat dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari rekayasa materi, yaitu mengubah materi menjadi materi lain. Secara lengkapnya, ilmu kimia adalah ilmu mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, perubahan serta energi yang menyertai perubahan suatu zat atau materi. Zat atau materi itu sendiri adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa
Susunan materi mencakup komponen-komponen pembentuk materi dan perbandingan tiap komponen tersebut. Struktur materi mencakup struktur partikel-partikel penyusun suatu materi atau menggambarkan bagaimana atom-atom penyusun materi tersebut saling berikatan. Sifat materi mencakup sifat fisis (wujud dan penampilan) dan sifat kimia. Sifat suatu materi dipengaruhi oleh : susunan dan struktur dari materi tersebut.  Perubahan materi meliputi perubahan fisis/fisika (wujud) dan perubahan kimia (menghasilkan zat baru). Energi yang menyertai perubahan materi = menyangkut banyaknya energi yang menyertai sejumlah materi dan asal-usul energi itu.
Ini berarti bahwa aspek ontologi dari ilmu kimia adalah:
  1. Konsep kimia, yang berarti kimia adalah ilmu yang mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, perubahan serta energi yang menyertai perubahan suatu materi
  2. Objek studi dari ilmu kimia adalah zat atau materi.
Bagian yang terpenting dari ilmu kimia adalah mempelajari reaksi kimia, perubahan yang terjadi bila senyawa kimia berinteraksi membentuk suatu senyawa baru yang berbeda. Reaksi kimia merupakan suatu hal yang menakjubkan untuk diteliti dan merupakan bagian yang menyenangkan dari ilmu kimia untuk memperhatikan terjadinya reaksi kimia.
Hakekat ilmu kimia adalah benda itu bisa mengalami perubahan bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain sehingga terjadi deformasi, perubahan letak susunan, ini mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dengan wujud yang semula.
2.7.2.   Ilmu Kimia dalam Tinjauan Epistimologi
Epistimologi ilmu adalah berbicara tentang bagaimana ilmu itu diperoleh dan dikembangkan. Ilmu kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya ilmu kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan  teori (deduktif).
Ilmu kimia dikembangkan oleh ahli kimia untuk menjawab pertanyaan “apa” dan “mengapa”  tentang sifat materi yang ada di alam. Pengetahuan yang lahir dari upaya untuk menjawab pertanyaan “apa” merupakan suatu fakta bahwa sifat-sifat materi yang diamati sama oleh setiap orang akan menghasilkan pengetahuan deskriptif yang diperoleh dengan merancang percobaan dan melakukan eksperimen. Sedangkan pengetahuan yang lahir untuk menjawab pertanyaan “mengapa” suatu materi memiliki sifat tertentu akan menghasilkan pengetahuan yang teoritis. Pengetahuan ini diperoleh melalui langkah-langkah ilmiah sehingga muncul dan diciptakannya suatu teori. Teori yang telah ditemukan akan terus dibuktikan oleh peneliti lain demi memperkuat teori tersebut atau mungkin menyempurnakannya. Teori yang sudah mendekati sempurna akan diakui. Berikut adalah bagaimana ilmu kimia dikembangkan.





2.7.3. Ilmu Kimia dalam Tinjauan Aksiologi
Aksiologi ilmu membicarakan tentang nilai atau kebermanfaatan suatu ilmu. Ilmu kimia seperti halnya ilmu-ilmu yang lain mempunyai manfaat apabila dipelajari oleh siapapun. Manfaat dari mempelajari ilmu kimia meliputi :
  1. Pemahaman kita menjadi lebih baik terhadap alam sekitar dan berbagai proses yang berlangsung di dalamnya.
  2. Mempunyai kemampuan untuk mengolah bahan alam menjadi produk yang lebih berguna bagi manusia.
  3. Membantu kita dalam rangka pembentukan sikap.
Secara khusus, ilmu kimia mempunyai peranan sangat penting dalam bidang : kesehatan, pertanian, peternakan, hukum, biologi, arsitektur dan geologi. Pada  bidang kesehatan contohnya adalah ditemukannya obat-obatan dari proses kimia yang dapat membantu dalam proses pemulihan terhadap suatu penyakit.
Dibalik sumbangannya yang besar bagi kehidupan kita, secara jujur harus diakui bahwa perkembangan ilmu kimia juga memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Contohnya bahan pangan yang beredar di tengah masyarakat yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti : tahu, bakso yang mengandung bahan formalin, pengawet. Krupuk yang kita konsumsi pun tak luput dari bahan racun kimia “boraks”. Bahkan, minuman es di kantin-kantin maupun yang dijual dipinggir jalan diindikasikan bahwa bahan pewarnanya tak lain adalah bahan yang digunakan untuk pewarna kain. Produk kecantikanpun tak luput dari penggunaan racun-racun berbahaya, mercuri, yang berakibat paling fatal yakni kematian serta masih banyak lagi manfaat negatif dari ilmu kimia.
Dampak negatif dari ilmu kimia ada karena para pelaku tersebut paham konsep dan proses ilmu yang ditemukan tetapi tidak mempedulikan nilai dari ilmu tersebut, sehingga ilmu yang ditemukan hanya akan membawa kerugian bagi masyarakat. Jika setiap manusia menemukan ilmu dengan memandang wilayah aksiologi, maka ilmu tersebut akan memiliki nilai yang tinggi. Contohnya yaitu mengenai peluruhan atom yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk tujuan tertentu. Peluruhan atom telah diketahui oleh ilmuwan, bahwa dalam proses peluruhan atau fisi sebuah unsur akan disertai pelepasan energi beberapa elektron yang tentunya dapat dimanfaatkan, misalkan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.
Ilmu kimia merupakan ilmu mengenal bahan kimia. Bahan kimia bukanlah zat abstrak yang perlu ditakuti oleh manusia biasa. Bahan ini mencakup benda yang ada disekitar kita. Ilmu kimia adalah cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari struktur materi, sifat-sifat materi, perubahan suatu materi menjadi materi lain, serta energi yang menyertai perubahan materi. Mempelajari ilmu kimia tidak hanya bertujuan menemukan zat-zat kimia yang langsung bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia belaka, akan tetapi ilmu kimia dapat pula memenuhi keinginan seseorang untuk memahami berbagai peristiwa alam yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui hakikat materi serta perubahannya, menanamkan metode ilmiah, mengembangkan kemampuan dalam mengajukan gagasan-gagasan, dan memupuk ketekunan serta ketelitian bekerja.
Kimia adalah ilmu tentang materi dan perubahannya. Materi itu sendiri adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa. Semua materi berada dalam tiga wujud yaitu, padat, cair dan gas. Hakikat ilmu kimia adalah bahwa benda itu bisa mengalami perubahan bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain sehingga terjadi perubahan letak susunan yang mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dari wujud/bentuk semula.

Ilmu kimia lahir dari keinginan para ahli kimia untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan apa dan mengapa tentang sifat materi yang ada di alam, yang masing-masing akan menghasilkan fakta dan pengetahuan teoritis tentang materi yang kebenarannya dapat dijelaskan dengan logika matematika.      Jenis pengetahuan selalu mempunyai cirri-ciri spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana (estimologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, tidak mungkin bahasan estimologi terlepas sama sekali dari ontology dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistematik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.

Filsafat adalah pengetahuan tentang segala apa yang ada. Filsafat memberi jawaban atas pertanyaan “apakah hakikatnya segala yang ada di atas bumi dan dikolong langit?”.  Segala apa yang ada ini dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu benda hidup dan benda mati. Benda hidup berupa tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Benda mati berupa cangkir, piring, meja, batu dan sebagainya. Jadi segala apa yang ada hanya terdiri dari benda hidup dan benda hidup dan benda mati.
Benda mati tidak bergerak, dan tidak mengalami perubahan kecuali bila digerakkan dan dirubah oleh benda lain. Sedangkan benda hidup bergerak dan mengalami perubahan walaupun tidak digerakkan atau dirubah oleh benda lain. Dengan demikian maka gerak dan perubahan itu bersifat pribadi. Wujud satuan benda jadi adalah hewan, manusia, meja, kursi dan sebagainya. Wujud manusia sebagai benda disebut badan (raga). Raga manusia senantiasa dapat bergerak sendiri dan dapat mengalami perubahan sesuai keinginannya, baik dalam hal perubahan sifatnya, bentuk dan energi yang dihasilkan. Jika raga itu tidak dapat lagi bergerak sendiri dan melakukan perubahan, maka raga itu disebut mati.

Perubahan ada dua yaitu perubahan fisika dan perubahan kimia. Perubahan fisika adalah perubahan yang tidak menghasilkan zat baru, yang berubah hanyalah bentuk dan wujudnya tanpa mengubah jenis dan sifat zat tersebut. Sedangkan perubahan kimia adalah perubahan yang menghasilkan zat baru, berubah sifat dan susunannya.

Benda mati ini apabila mengalami perubahan tidak akan mengubah sifat dan jenisnya, hanya berubah bentuk dan wujudnya saja. Misalnya kayu yang telah di bentuk atau diolah oleh seseorang menjadi kursi atau meja, yang berubah hanyalah bentuk dari kayu itu yang semula berbentuk panjang bulat, setelah diolah berbentuk meja dan kursi yang memiliki kaki, sifat dari benda itu tetap yaitu kayu. Lain halnya dengan benda hidup seperti manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Disini manusia sama halnya dengan perubahan kimia yang mengalami perubahan menghasilkan zat baru, berubah sifat dan bentuknya. Misalnya bayi yang baru lahir dengan bentuk yang kecil dan hanya bisa menangis dan menggerakkan tangan dan kaki, tetapi setelah bayi itu tumbuh dewasa maka otomatis bentuk tubuh dan sifatnya berubah. Energy yang dikeluarkannya juga lebih banyak seiring dengan kegiatan/pekerjaan yang dia lakukan.

Energy adalah sesuatu yang memiliki kemampuan untuk melakukan usaha, tidak dapat diamati langsung keberadaannya, tetapi dapat diamati akibat yang ditimbulkan.





















III.             KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa filsafat ilmu sangatlah tepat dijadikan landasan pengembangan ilmu khususnya ilmu pengetahuan alam bidang kimia, karena kenyataanya, filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan alam.
  1. Hakikat dari ilmu kimia adalah benda itu bisa mengalami perubahan bentuk, baik itu susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain maupun  perubahan letak susunan yang mana hal ini mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dengan wujud yang semula.
  2. Ilmu Kimia ada karena untuk menjawab pertanyaan “apa” dan “mengapa” tentang materi yang diamati.
  3. Ilmu Kimia secara aksiologi adalah berkaitan dengan kebermanfaatan dari ilmu kimia tersebut yang dikaitkan dengan moral manusia yang menggunakannya. Ilmu kimia akan bermanfaat jika moral manusia yang menggunakannya baik, dan ilmu kimia akan mendatangkan kerugian jika moral manusia yang menggunakannya tidak baik.
2. Saran
Saran yang diberikan berkaitan dengan topic yang diambil adalah ilmu kimia merupakan ilmu yang bermanfaat bagi manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat. Benar dalam hal sesuai dengan fungsinya dan tepat dalam hal komposisinya.

























DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”, Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.

Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.

Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.

Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,

Relevansi Filsafat dalam Pengembangan Ilmu Kimia (Wilayah Aksiologi).

No comments:

Post a Comment