Monday, April 25, 2016

LUANG LINGKUP FARMASI



BAGIAN  I     RUANG LINGKUP FARMASI
I.              PENDAHULUAN
 
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai  [4].

Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau elok, yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah orang yang paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena pengetahuan keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi di atas.

Bagian I  tulisan ini membicarakan ruang lingkup farmasi, meliputi perkembangan orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi sebagai ilmu dan profesi, karir dan pekerjaan Farmasis, dan pendidikan farmasi. Perkembangan farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulum pendidikan tingginya, karena kurikulum pendidikan merupakan gambaran kebutuhan masyarakat akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu. Oleh karena itu sebagai perbandingan dibicarakan pula pendidikan Farmasis pada beberapa perguruan tinggi diluar negeri.

II.     PERUBAHAN ORIENTASI  FARMASI

Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan pada pengertian dan orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu dikatakan merupakan seni (arts) dan pengetahuan (science). Hal ini dapat dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan tinggi farmasi pada awal pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul “Scoville’s The Art of Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan “Recepteerkunde” (Ilmu Resep) karangan van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
.. obat yang dibuat dari bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral, dan  obat sintetis.
 

Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya obat.  Perkembangan farmasi setelah itu berorientasi pada teknologi seperti tergambar oleh buku teks yang populer pada saat itu, dan masih digunakan sampai sekarang : “ Pharmaceutical Technology” oleh Lachman. Dalam Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : …… obat ialah bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Definisi obat ini lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya
Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan orientasi di bidang kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang beranggotakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-an mencanangkan semboyan “Health for All by the year 2000”, yang merupakan tujuan sekaligus proses yang melibatkan seluruh negara untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang produktif secara sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi dirumuskan melalui suatu konsep bernama  “Primary Health Care” dalam konperensi internasional di Alma Atta 1978, sehingga konsep itu dikenal dengan nama Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini merupakan kunci dalam pencapaian tujuan pengembangan sosio-ekonomi masyarakat dengan semangat persamaan hal dan keadilan sosial.  Perkembangan terakhir pengembangan di bidang kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”. Paradigma sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana mempertahankan keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit yang sudah menjadi tugas rutin bidang kesehatan. Jadi jelas perkembangan farmasi yang menjadi bagian dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di bidang kesehatan.

The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1] mendefinisikan farmasi sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge system) yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi secara lengkap, yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan pemakaian obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta bulan Maret 1986 [9] oleh suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah dikemukakan definisi Farmasi sebagai berikut :

Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi dan sosial budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan tentang obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh obat pada manusia dan hewan.

Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti diuraikan di atas, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi, kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan.

Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara profesional bagi yang membutuhkannya.

Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.
 Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena penerapannya untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif maupun secara kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.

III.    SEJARAH PERKEMBANGAN FARMASI    [4]

Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya).

Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam yang digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian.

Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke-9.

Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia, Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang) mengatur pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan ”Magna Charta” dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. ”Magna Charta” kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker.  [4]

IV.    PENGETAHUAN,  ILMU  DAN  PROFESI  

Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”.  Ilmu atau ”Science” ialah pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin. [8]

  IV.1   Farmasi Sebagai Sains

Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains (Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science).

Dalam  tinjauan  pengelompokan  bidang  ilmu  atau  kategori  di   atas   digunakan   kriteria :
1.       Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah hubungan manusia dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek telaah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah disetujui bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.
2.       Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Contoh landasan Epistemologis Matematika ialah logika deduktif; landasan epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3.       Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut. Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda. Dalam hal ini nilai kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama karena kedua-duanya bertujuan untuk kesehatan manusia. [8]

Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam maupun sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang Sains.
  IV.2     Farmasi Sebagai Profesi
Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional sering digunakan sebagai lawan kata amatir.
Menurut Hughes, E.C. [4]  :

…..Profesion profess to know better than other the nature of certain matters, and to know better than their clients what ails them or  their affairs.
Definisi ini menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak semua pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi.
Menurut Schein, F.H. [4]  :
…The profession are a set of occupation that have developed a very special set or norms deriving from their special role in society .
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria berikut :
1.       Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2.       Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3.       Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau lisensi (lincense) oleh negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek profesional.

Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai   berikut :
1.       Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.
2.       Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus memperoleh pengalaman sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif dibanding mahasiswa pada bidang pekerjaan lain.
3.       Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan pemberian lisensi.
4.       Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5.       Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan dirumuskan oleh profesi itu sendiri.
6.       Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan tingkat prestise, sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon mahasiswanya.
7.       Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang awam.
8.       Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat dibanding kontrol legal.
9.       Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya dibanding dengan anggota okupasi lain.
10.   Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti tidak ada yang akan beralih ke profesi lain.  [7]

V.    VOKASI  DAN  KARIR DALAM  BIDANG  FARMASI

Perhatian utama para dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang menulis resep ialah pada efek obat pada penderita, nilai terapetika, dan toksiologinya. Para perawat bertugas untuk memberikan obat, tanggap terhadap bentuk sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya. Maka ahli Farmasi (Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan tanggung jawab legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala sesuatu mengenai obat itu adalah tanggung jawab profesinya. Tidak ada program studi lain selain Farmasi yang memberikan dasar-dasar pengetahuan lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui tentang obat. Jadi hanya seorang Farmasis yang mempunya kompetensi keahlian obat secara lengkap.
Farmasis Komunitas (Community Pharmacist)

Farmasis atau Apoteker memberikan kesan umum bahwa tempat kerja seorang farmasi hanyalah di Apotik, yaitu salah satu tempat pengabdian profesi seorang Apoteker. Seorang Farmasis di Apotik langsung berhadapan dengan masyarakat sehingga fungsi tersebut dikelompokkan dalam Farmasi Masyarakat (Community Pharmacy). Fungsi Farmasis Masyarakat di Apotik merupakan kombinasi seorang profesional dan wiraswastawan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25/80 tentang Apotik, bahwa Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker, maka makin besar harapan yang diberikan pemerintah kepada para Farmasis, baik dari segi jumlah tenaga farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.
Farmasi Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)
Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan yang dilakukan di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Fungsi kefarmasian ini yang sudah sangat berkembang di negara maju, juga sudah mulai dirintis di Indonesia dengan pembukaan program spesialisasi Farmasi Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan Farmasis di rumah sakit di masa depan akan semakin meningkat karena 3 hal :
1.       Faktor pertambahan penduduk.
2.       Meningkatnya kebutuhan untuk perawatan yang lebih baik di rumah sakit.
3.       Fungsi dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan lebih meningkat dalam berbagai aspek mengenai penggunaan dan pemantauan obat.

Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Mata rantai sebagai perantara industri farmasi dan masyarakat dalam hal penyaluran obat ialah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di luar negeri PBF ini mempunyai tenaga Farmasis terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh sifat khas produk yang ditanganinya itu sehubungan dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia hanya dipersyaratkan tenaga menengah farmasi (Asisten Apoteker = AA) sebagai penanggungjawab, mengingat belum cukup tersedianya tenaga ahli berpendidikan tinggi.

PBF sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai industri farmasi yang secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis Komunitas (Apoteker) untuk secara cepat pula melayani kebutuhan penderita akan obat. PBF juga mengurangi beban finansial Apoteker dalam hal menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan menjembatani kerumitan negosiasi dengan ratusan industri farmasi sebagai produsen obat.

Industri Farmasi

Farmasis di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran produk, riset dan pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi dan administrasi atau manajemen. Fungsi perwakilan pelayanan medis (medical service representative) atau ”detailman” yang bertugas dan langsung berhubungan dengan Dokter dan Apoteker untuk memperkenalkan produk yang dihasilkan industri farmasi mungkin juga dijabat seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar belakang pengetahuannya. Saat ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi, dan lebih dibutuhkan di tempat pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat mencapai tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan direktur pemasaran produk dalam organisasi industri farmasi.

Pada unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control) industri dipersyaratkan seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan (R & D = Research and Development) biasanya diperlukan lulusan pendidikan pascasarjana, meskipun bukan merupakan persyaratan.

Instansi Pemerintah

Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak menyerap tenaga Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Minuman (DitJen POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM) di daerah. Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (sekarang dihapus, hanya ada Dinas Kesehatan Propinsi) dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan Gudang Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan, bimbingan dan pengendalian. Sejak tahun 2001, telah terjadi perubahan struktur, Direktorat Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur Balai (besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah Badan POM, tidak berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi.

Departemen HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan alat kesehatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program PEKERTI/AA (Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach), yaitu program penataran dosen dalam aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.

Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek swasta perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat dilaksanakan pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan khusus dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri Kesehatan di daerah. Dengan dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang memperoleh latihan khusus dalam kewartawanan dan mempunyai bakat menulis dan mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh instansi pemerintah atau industri farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan yang berlatar belakang kefarmasian.

Manajemen Perusahaan

Khususnya instansi swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar belakang kefarmasian dengan berkembangnya organisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini diperlukan pendidikan tambahan, misalnya Magister Manajemen (MBA = Master of Business Administration).

VI.    PENDIDIKAN  KEFARMASIAN

Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya bidang Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program profesional di bidang  kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan (POLTEKKES).
  VI.1    Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di Indonesia. [6]
Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat dibagi dalam era pra Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan setelah periode tertentu seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan murid lulusan MULO Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh Indonesia hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker warga negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik. Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga diberi izin kepada dokter untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang belum ada Apotiknya.

Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi  Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian pindah dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA), Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.

Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada tahun 1953. Saat ini di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta [6].
VI.2    Sekolah Menengah Farmasi
Dari sejarah perkembangan kefarmasiaan di Indonesia tampak besarnya peranan   pendidikan menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker), khususnya pada saat langkanya tenaga kefarmasian berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai dikeluarkannya PP 25 tahun 1980, masih dimungkinkan adanya ”Apotik Darurat” yaitu Apotik yang dikelola oleh Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman kerja. Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan
berperanan, khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik maupun di Rumah Sakit. Dengan bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin kecil, sehingga perlu dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini setingkat akademi (lulusan SMA). Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai “phasing out”, ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.
VI.3   Program Diploma Farmasi
Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam bentuk Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis Farmasi. Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang semakin memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin memerlukan diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang pengendalian kualitas (quality control). Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis Farmasi ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat, obat tradisional, kosmetika, makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di industri farmasi, instalasi farmasi rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan makanan-minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.

Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang mempunyai fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III). Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat ditingkatkan menjadi Program Diploma seperti yang diuraikan di atas. [3]  Ramalan kami lebih dari 10 tahun yang lalu, sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang mengharuskan pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.
VI.4    Pendidikan Tinggi Farmasi   [6]
Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak berdirinya perguruan tinggi farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8 pendidikan tinggi Farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta. Menurut catatan tahun 1983 jumlah lulusan Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang, yang merupakan peningkatan sebesar 350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1 Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya untuk bidang pelayanan saja. (Rasio yang ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang lazim diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan ialah 1 : 15.000). Saat ini jumlah Apoteker diperkirakan sebanyak 10.000 orang.

Tantangan pembangunan di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang yang merupakan tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ialah menghasilkan produk pendidikan tinggi yang memenui Standar Profesi Apoteker (Standard Operating Procedure = SOP) sebagai berikut :   [5]

-          turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan penderitaan akibat penyakit.
-          memberikan sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal dan fungsi abnormal organisme.
-          mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi penyakit; memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
-          mengupayakan obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain (bukan obat) dalam upaya kesehatan.
-          menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada manusia.
-          menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat diperbaharui atau pun tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
-          menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya dalam organisme.
-          mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk meningkatkan secara menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan komoditi farmasi, maupun keamanan lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk kepentingan kehidupannya.
-          membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi farmasi yang efisien dan efektif selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan lingkungan Indonesia.
VI.5   Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun perubahan orientasi Farmasi sebagai ilmu dan profesi juga berkembang mengikuti zaman. Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi mulai berubah secara drastis pada awal tahun 80-an. Perubahan ini ditandai oleh penerapan Sistem Kredit Semester, penerapan Kurikulum Inti dalam rangka penyeragaman pendidikan tinggi Farmasi di seluruh Indonesia, dan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang dikembalikannya fungsi Apotik sebagai tempat pengabdian profesi Apoteker.

Perkembangan di era sembilan puluhan dimulai dengan terbitnya Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 30/Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi, Konsep Link and Match (1993) oleh DepDikBud; dan di sektor kesehatan diterbitkan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Perkembangan terakhir ialah diterbitkannya PP 60/ Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, yang merupakan penyempurnaan PP No.30/Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No.61/ Tahun 1999,  tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Peraturan Pemerintah yang terakhir ini pada dasarnya memberikan otonomi kepada perguruan tinggi untuk penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesional, yang disertai akuntabilitas (pertanggungjawaban), melalui akreditasi, yang dilakukan melalui evaluasi, untuk meningkatkan kualitas secara berkelanjutan. (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi ,KPPT-JP 1996-2005)

Kebijaksanaan pemerintah yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan itu semuanya mengacu pada Tujuan Pembangunan Nasional seperti yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mempengaruhi pula arah, tujuan dan orientasi pendidikan kefarmasian, dan kurikulum pendidikannya.
VI.6   Sistem Kredit Semester
Sistem Kredit Semester ialah sistem pengadministrasian pendidikan yang memberikan bobot SKS pada hasil upaya peserta didik maupun pendidik. Untuk Sarjana Farmasi ditetapkan jumlah bobot 114-160 SKS sebagai suatu kebulatan studi yang dapat diselesaikan dalam 9 Semester, dan 2 Semester untuk program profesi Apoteker.
VI.7    Kurikulum  Inti
Kurikulum Inti Bidang Farmasi merupakan hasil rumusan Konsorsium Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, DepDikBud pada tahun 1980 yang diberlakukan tahun 1983 dengan SK DirJenDikTi. Kurikulum Inti (1983) dapat dilihat pada Tabel berikut menurut pengelompokan mata kuliah dan sebaran SKS :

Kelompok
Kurikulum Inti (SKS)
Di luar Kurikulum Inti
(SKS)
Jumlah SKS
Mata kuliah Dasar Umum (MKDU)
  6
  8 - 10
14 - 16
Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK)
54
11 - 18
65 - 72
Mata Kuliah Keahlian Utama (MKKU)
54
11 - 18
65 - 72
      (Kimia Farmasi
12


       Farmasetik
12


       Farmakognosi
12


       Farmakologi
12


       Tugas Akhir
   6


Mata kuliah Pilihan(MKP)
(termasuk mata kuliah di luar Kurikulum Inti)
                                                           114                                                           114 - 160
Catatan :
1.       Antara MKDK dan MKDU dibuat berimbang dengan maksud agar supaya mahasiswa lebih fleksibel untuk mengembangkan diri baik terjun ke masyarakat, maupun melanjutkan ke program Pascasarjana.
2.       Masing-masing MKKU mendapat jumlah SKS yang sama dengan maksud memberi kesempatan yang seimbang kepada masing-masing bidang untuk berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing universitas/institut.
3.       MKP dapat diisi dengan mata kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang studi untuk memperluas wawasan, juga dimaksudkan untuk diisi dengan mata kuliah yang sesuai dengan Pola Ilmiah Pokok masing-masing universitas/institut.
VI.8   Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi Tahun 2000
Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (MenDikNas) No.232/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Evaluasi hasil Belajar, dan No.045/2002, tentang Kurikulum Pendidikan, telah terjadi perubahan mendasar pada penyusunan kurikulum, yang saat ini ditekankan pada kompetensi lulusan (Competency-Based Curriculum). Dengan demikian maka perlu diadakan tinjauan kembali mengenai kompetensi yang akan dirumuskan dalam Tujuan Program Studi Farmasi sesuai dengan elemen kompetensi seperti diberikan pengelompokannya. Kalau pada kurikulum mata kuliah dikelompokkan menurut MKDU, MKDK, MKK dan MKP, maka dalam kurikulum 2002 diadakan pengelompokan menurut :

·         Kelompok  MPK (mata kuliah pengembangan kepribadian)
·         Kelompok  MKK (mata kuliah keilmuan dan ketrampilan)
·         Kelompok  MKB (mata kuliah keahlian berkarya)
·         Kelompok  MPB  (mata kuliah perilaku berkarya)
·         Kelompok  MBB  (matakuliah berkehidupan bermasyarakat)
Pada dasarnya, masing-masing pendidikan tinggi dapat menyusun kurikulumnya sendiri berdasarkan  pedoman tersebut. Kurikulum yang baru ini sedang dalam proses penyusunannya. Selanjutnya oleh Asosiasi PTFI (lihat di bawah) telah diterbitkan kesepakatan mengenai Kisi-Kisi Matakuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi Tahun 2002, yang berisi silabus dan uraian singkat masing-masing matakuliah. Kisi-Kisi Mata Kuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi 2002 telah disusun untuk mata kuliah :
1)      Biologi Sel dan Molekul ( 2 SKS )
2)      Mikrobiologi Farmasi   (2+1)
3)      Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan (2+1)
4)      Anatomi Fisiologi Manusia (2+1)
5)      Kimia Analisis  (2+1)
6)      Kimia Fisika  (2)
7)      Kimia Organik (4+1)
8)      Biokimia (2+1)
9)      Farmasi Fisika (2+1)
10)  Farmasetika Dasar (2+1)
11)  Kimia Farmasi Analisis (2+1)
12)  Teknologi Sediaan Farmasi (4+2)
13)  Biofarmasi (2)
14)  Farmakokinetika (2)
15)  Kimia Medisinal (2)
16)  Farmakognosi (3+1)
17)  Fitokimia (2+1)
18)  Farmakologi-Toksikologi (4+1)
-------------------------------------------------------------------------------
Jumlah Mata Kuliah = 18
Jumlah SKS  =  (43 + 14)  

Jumlah Mata kuliah dan Bobot SKS masih perlu dilengkapi dengan muatan lokal sampai menjadi (144-160) SKS



VI.9  Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri
Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan pendidikan tinggi Farmasi Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang saran dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan penting antara lain :
1.      usaha penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.
2.      usaha penyeragaman lulusan Farmasis, khususnya Apoteker dengan menetapkan kurikulum minimal selain Kurikulum Inti.
3.      pelaksanaan ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah dihapus)
4.      pengembangan program studi baru, misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi, dan Spesialis.
FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidik Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun 2000 perkembangan perguruan tinggi swasta semakin pesat sehingga dibentuk Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, yang beranggotakan semua pendidikan tinggi farmasi, negeri dan swasta. Tercatat saat ini perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Sarjana Farmasi di Indonesia berjumlah 8 (negeri) dan 23 (swasta)
VI.10    Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan Apoteker
Sejak dikeluarkannya PP 25/80 diwajibkan kepada para Apoteker untuk mengikuti pelatihan tambahan sebagai Apoteker Pengelola Apotik (APA). Dengan dikeluarkannya PP tersebut maka kemampuan dan keterampilan Apoteker sebagai Pengelola Apotik perlu ditingkatkan, khususnya dalam bidang manajemen, komunikasi personal, farmakologi dan kewiraswastaan dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pengabdian profesi di Apotik. Pelatihan ini dilaksanakan untuk semua Apoteker yang sudah mempunyai izin kerja dengan pemberian sertifikat Apoteker Pengelola Apotik (APA). Setelah itu pada tahun 1984 materi kompetensi APA itu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Apoteker.
VI.11 Konsep Link and Match
Dalam rangka pembinaan Sistem Pendidikan Nasional, sejak Agustus 1993 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diumumkan kebijakan keterkaitan (link) dan keterpadanan (match) sebagai salah satu strategi di bidang pendidikan. Inti dari konsep ini ialah relevansi pendidikan yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam program-program pendidikan, sedangkan latar belakang permasalahan yang mendasari konsep ini ialah kenyataan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kesempatan kerja menurut proyeksi penyediaan tenaga kerja (DepTenaKer), dengan luaran pendidikan menurut tingkat pendidikannya.

Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan dapat diartikan bahwa hasil pendidikan harus memberikan dampak bagi pemenuhan dunia kerja, kehidupan di masyarakat, dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Upaya peningkatan relevansi ini perlu dioptimalkan agar lulusan dapat memperoleh keterampilan dan keahlian sesuai (keterpadanan) kebutuhan masyarakat pada umumnya dan kebutuhan lapangan kerja (keterkaitan) pada khususnya baik dilihat dari segi jumlah dan komposisinya menurut keahlian, mutu keahlian dan keterampilannya maupun sebaran serta efisiensinya.
Dikaitkan dengan konsep DepDikBud tersebut, pendidikan tinggi farmasi perlu membenahi diri untuk menghasilkan tenaga yang jumlahnya cukup (kuantitas) untuk mengisi kebutuhan lapangan kerja yang diproyeksikan, dan lebih meningkatkan kualitasnya lulusan agar mempunyai keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia baik negeri maupun swasta setiap tahun diperkirakan dapat memproduksi lulusan Apoteker sebanyak 500 orang. Jumlah Apoteker saat ini (1993) diperikirakan 4500 orang. Dengan perhitungan rasio 1 orang Apoteker untuk 20.000 orang, dan perkiraan penduduk Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 200 juta orang, berarti diperlukan tenaga Apoteker sebanyak 10.000 orang, yang belum dapat dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia (7 tahun @ 500 =  3500 orang). Dari segi kualitas Apoteker sebagai profesi ang mendapat pengakuan masyarakat, perlu ditingkatkan dan diadakan diversifikasi menurut keahlian yang sepadan denga kebutuhan masyarakat. Konsep “Link and Match” saat ini masih dilanjutkan dengan nama lain.
VII   PENDIDIKAN  TINGGI  FARMASI  DI  LUAR  NEGERI     [1,2]
Kurikulum pendidikan tinggi Farmasi dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan kefarmasian (state of the art) dalam suatu negara, karena perkembangan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian akan diejawantahkan dalam kurikulum pendidikan tingginya.

Sekedar melakukan perbandingan, pada tabel di bawah ini disajikan perbedaan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia dengan beberapa pendidikan tinggi di luar negeri :

Farmasis
Master
Doktor
Indonesia
4 ½ th.
+ 1 th. profesi
+ 2 th.
+ 3 th.
Australia
3 th.
+ 1 th. Profesi
(akan diseragamkan   4 th + 1)
Master of Pharmacy
+ 2 th.
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)
Amerika Serikat
2 th. (Pre-  professional)
4 th. (Professional)
Pharm. Doctor)
Master of Science
+ 2 th.
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)

Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat hanya ada 1 jalur untuk mencapai profesi Pharmacist, yaitu Pharmaceutical Doctor yang membutuhkan waktu 6 tahun (2 tahun pre-professional + 4 tahun professional). Di Australia juga akan diseragamkan lama waktu studi Pharmacist (Bachelor of Pharmacy = B.P.) menjadi (4 + 1) tahun. Di samping program pascasarjana di bidang penelitian (Master dan Doctor), sama halnya di Indonesia, di Australia juga disediakan program Graduate Diploma di bidang tertentu (Hospital Pharmacy; Industrial Pharmacy) bagi Farmasis yang ingin meningkatkan keahliannya, khususnya keterampilan.

VII.1   Pendidikan Tinggi Farmasi di Australia  [2]
Pendidikan tinggi Farmasi di Australia secara khusus mendidik calon Farmasis untuk dapat bekerja sebagai seorang profesional di masyarakat, berbeda dengan di Indonesia yang mendidik mahasiswa juga sebagai calon peneliti (ada jalur akademik dan jalur profesi). Yang dapat menjadi peneliti hanya terbatas pada lulusan yang mencapai Honours Degree (lulusan dengan pujian) agar dapat melanjutkan ke jenjang Master of Pharmacy atau Doctor of Philosophy. Hal ini tergambarkan pada Tujuan Pendidikan dan Materi sebagai berikut :
Tujuan Pendidikan
1.       memahami ilmu dasar dan terapan yang cukup, agar dengan bertambahnya pengalaman, mampu mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuannya pada lingkungan profesi praktis.
2.       memiliki keterampilan ”dispensing” dan keterampilan lain yang sesuai agar setelah menjalani magang (1 th.) dapat berpraktek sebagai Farmasis yang kompeten.
3.       memperoleh keterampilan berkomunikasi yang cukup untuk berpraktek sebagai Farmasis yang kompeten dengan bertambahnya pengetahuan.
4.       mengembangkan ciri, kualitas dan pandangan pribadi terhadap etika dan standar profesi yang diperlukan untuk berpraktek sebagai profesional di bidang kesehatan secara bertanggung jawab.
5.       mempunyai komitmen untuk mempertahankan dan mengembangkan pengetahuan dasarnya dengan cara melanjutkan proses pendidikan selama karirnya.
Pengetahuan mendalam (detailed knowledge)….
Materi yang diperlukan untuk pencapaian tujuan di atas yang perlu dikuasai secara mendalam  ialah mengenai :
(a)    ciri struktur dan sifat fisiokimia obat sebagai dasar untuk memahami mekanisme molekuler dari aksi obat; faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi; dan tentang desain bentuk sediaan.
(b)    fisiologi manusia dan farmakologi sebagai dasar untuk pengobatan penyakit; optimasi pengobatan, menghindari efek samping, kontraindikasi, efek bertentangan dan reaksi toksis.
(c)    formulasi dan pembuatan obat menjadi bentuk sediaan yang tepat untuk optimasi kemanfaatn terapetik.
(d)   penyerahan obat kepada penderita (individu) sesuai dengan persyaratan legalitas, terapetik dan profesional.
(e)    peraturan perundang-undangan tentang praktek profesional farmasi.
Pengetahuan secara umum (general knowledge) tentang……
(f)     keadaan penyakit manusia secara umum agar dapat memahami dasar-dasar terapi obat secara rasional.
(g)    pengenalan dan pengobatan penyakit biasa (minor ailments) dan kemampuan menentukan perlunya merujuk penderita kepada profesional kesehatan lain.
(h)    teknik membimbing penderita dan berkomunikasi dengan profesi kesehatan lain mengenai penggunaan obat yang sesuai dan tentang masalah lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
(i)      sumber informasi yang relevan dan kemampuan untuk mengevaluasi dan menggunakannya secara kritis.
Pengertian mengenai….
(j)      proses yang berkaitan dengan pengembangan obat baru dan persetujuan mengenai bahan obat baru untuk tujuan terapetik.
(k)    pereaksi dan uji diagnostik yang umum digunakan, yang sesuai dengan praktek kefarmasian.
(l)      kedudukan Farmasi dalam sistem pemeliharaan kesehatan.
(m)  bahaya yang berkaitan dengan bahan kimia tertentu yang umum digunakan.
(n)    penggunaan salah dan penyalahgunaan obat, bahan obat dan zat lain.
(o)    nutrisi, yang berpengaruh pada penyakit dan pengobatannya.
Garis Besar Matakuliah
Matakuliah kefarmasian di Australia itu sifatnya ”berorientasi-obat” dan berorientasi-pasien”, meliputi 4 bidang utama :
1.       Pharmaceutical Chemistry (segi kimia dari obat).
2.       Pharmacology (aksi obat).
3.       Pharmaceutics (bentuk dan pemberian obat)
4.       Pharmacy Practice (aplikasi ketiga di atas pada praktek kefarmasian)
VII.2  Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika Serikat
Pendidikan Tinggi Farmasi (Pharmacist) di Amerika Serikat, sejak tahun 1996 telah diseragamkan hanya melalui 1 jalur, yaitu Pharmaceutical Doctor  yang berlangsung selama 6 tahun. Perubahan kurikulum pendidikan ini disebabkan oleh tuntutan kemampuan profesional seorang Farmasis di masyarakat yang semakin meningkat dan memerlukan tambahan pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu dasar dan pengetahuan lain di luar kefarmasian, misalnya pengetahuan mengenai komputer.  Pada saat itu, profesi Pharmacist menempati ranking teratas paling mulia di mata masyarakat.  Hal ini disebabkan karena keahlian dan kemampuan profesi pharmacist seanntiasa dikaji dan dikembangkan agar lebih sesuai dengan kebutuhan (link and match).  Kajian tentang perubahan kurikulum pendidikan pharmacist ini dihasilkan oleh suatu Satuan Tugas Pendidikan Farmasi (Task Force on Pharmacy Education) yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Farmasi Amerika Serikat (American Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacists), yang telah bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama.
Standar Profesi Farmasis  [1]
Salah satu hasil kajian dari Satuan Tugas Pendidikan Farmasi ialah mengenai Standar Profesi Farmsis (Professional Standards of Practice = SOP) yang rumusan terakhirnya berbunyi sebagai berikut :
A.     Seorang Farmasis hendaknya mampu bertukar pikiran dengan dokter dan praktisi perawatan kesehatan lain, yang menyangkut perawatan dan perlakuan terhadap pasien, dan senantisa mempertebal kepercayaan pasien akan perawatannya. Farmasis hendaknya dapat menghargai esensi diagnosis klinis dan memahami pengelolaan medis untuk pasien. Farmasis hendaknya memiliki pengetahuan tentang obat yang akan digunakan terhadap pengobatan status sakit pasien; mekanisme aksinya, bentuk sediaan dan kombinasi obat dalam perdagangan; nasib dan disposisi obat; faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemanfaatan fisiologis dan aktivitas biologis obat dalam bentuk sediaannya; pengaruh umur, seks atau status sakit sekunder yang dapat mempengaruhi lancarnya pengobatan; dan kemungkinan interaksi dengan obat lain, makanan dan prosedur diagnostik yang dapat memodifikasi aktivitas obat.
B.     Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya menghasilkan terapi obat secara maksimum. Farmasis hendaknya memahami penggunaan yang sesuai dan regimen takaran dari terapi obat yang dilakukan, kontraindikasi dan kemungkinan reaksi tak diinginkan yang diakibatkan oleh terapi obat. Farmasis hendaknya mempunyai cukup informasi mengenai kemungkinan obat paten mana yang interaksinya berlawanan dengan terapi atau mungkin berguna sebagai tambahan dalam memperbaiki pemberian obat atau perawatan secara keseluruhan.
C.     Farmasis harus mengetahui aksi terapi obat paten sesuai penegasan (claim) yang dikemukakan, komposisinya dan keunikan maupun keterbatasan bentuk sediaan tersebut. Farmasis hendaknya mampu menilai secara obyektif kemampuan suatu produk sesuai iklannya. Jika diminta oleh pasien, Farmasis hendaknya mampu menegaskan kemungkinan kegunaan terapetik suatu obat paten sehubungan dengan keluhan pasien.
D.     Farmasis hendaknya mampu mereviuw publikasi ilmiah dan mampu mencari implikasi praktis suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan kegunaan klinis suatu obat. Farmasis harus mampu menganalisis suatu laporan pustaka percobaan klinis mengenai kesesuaian desain penelitian dan analisis statistik yang dibuat dari data. Farmasis hendaknya mampu menyiapkan suatu abstrak yang obyektif mengenai kebermaknaan data dan kesimpulan si penulis.
E.     Farmasis hendaknya merupakan seorang spesialis mengenai karakteristik kestabilan dan persyaratan penyimpanan obat dan bahan obat, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari bentuk sediaannya, bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di sekitar tempat itu pada tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk sediaan yang diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk mempengaruhi aksi awal (onset), intensitas, atau lamanya (duration) aksi terapetik.
F.      Farmasis hendaknya paham benar akan pengaturan legal tentang pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat. Farmasis hendaknya mengetahui tentang penggunaan obat yang diizinkan seperti yang terperinci oleh pejabat negara dan daerah, praktek medis yang benar, dan tanggung jawab legalnya terhadap pasien dalam penggunaan obat pada prosedur terapetik eksperimental.
G.    Farmasis hendaknya mampu, dengan terdapatnya bahan sumber yang sesuai, untuk merekomendasi produk obat atau bentuk sediaan mana yang mungkin secara potensial berguna untuk kebutuhan terapetik tertentu, dan Farmasis hendaknya secara obyektif mampu mendukung pilihan yang diambil. Farmasis hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi produk obat berdasarkan bentuk dan warna yang dirinci, dan mungkin penggunaannya yang dianjurkan dengan menggunakan bahan sumber yang sesuai.
H.     Farmasis akan tanggap, berdasarkan gejala yang akan diuraikan dalam wawancara dengan pasien, tentang informasi tambahan yang masih perlu diusahakan diperoleh dari pasien mengenai kondisi pasien itu. Berdasarkan informasi ini Farmasis hendaknya dapat merujuk pasien itu kepada praktisi medis yang sesuai, spesialis, atau badan yang paling berkompeten untuk membantu pasien dalam kasus spesifik. Farmasis hendaknya memperoleh dan menyimpan kartu data sakit (profil) pasien untuk digunakan dalam melakukan keputusan farmatesis yang menyangkut perawatan pasien. Melalui pemanfaatan profil demikian dan materi pembantu yang sesuai, Farmasis hendaknya melaksanakan program reviuw pemanfaatan obat dalam lingkungan daerah praktek. Farmasis hendaknya memantapkan dan melaksanakan program untuk memastikan tidak lalainya pasien menggunakan obat dengan tujuan terapetik.
I.        Farmasis hendaknya mempunyai pengetahuan tentang manifestasi toksis dari obat dan tindakan yang diperlukan yang merupakan cara terbaik untuk pengobatan gejala keracunan ini.
J.       Farmasis hendaknya mampu berkomunikasi secara efektif dengan pasien mengenai petunjuk mengenai penanganan yang sesuai dari resep dan obat paten. Farmasis hendaknya mengetahui tentang pembatasan yang perlu ditekankan pada konsumsi makanan, pengobatan lain dan aktivitas fisik.
K.    Farmaisis hendaknya mampu berkomunikasi dengan profesional kesehatan lain atau orang awam tentang topik obat yang baik, masalah kesehatan masayrakat, dan pendidikan kesehatan perorangan.
L.     Farmasis hendaknya mampu untuk meracik obat yang sesuai atau campuran obat dalam bentuk sediaan yang baik.
M.   Farmasis hendaknya mampu untuk menginterpretasi resep dari penulis resep yang sepatutnya berlisensi, secara teliti meracik bahan terapetik yang sesuai, memeriksa ketepatan resep yang sudah selesai sesuai isinya, dan menempelkan label petunjuk sesuai diperlukan agar membantu pemahaman pasien tentang maksud si penulis resep. Selanjutnya Farmasis hendaknya memberitahu pasien secara lisan atau tertulis, mengenai efek merugikan dari obat yang diracik menurut resep, apabila mengandung obat yang mungkin berbahaya bagi orang yang memakannya. Farmasis hendaknya memastikan bahwa pasien mengerti betul mengenai petunjuk obat yang ditulis.
N.     Farmasis hendaknya memahami prinsip dan teknik prosesur manajemen yang baik, dan akan memberikan pelayanan kefarmasian yang efisien untuk memastikan kesinambungan perawatan pasiennya. Farmasis hendaknya menyadari tentang pertimbangan finansial dari perawatan kesehatan, dan senantiasa berusaha memberikan perawatan pasien yang berkualitas.
O.     Farmasis akan mengambil langkah-langkah yang seuai dalam mempertahankan tingkat kompetensi dalam setiap bidang yang disebutkan di atas.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) pada Kongres Nasional ISFI XV di Semarang, pada tahun 1966 juga sudah merumuskan Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik. Hal ini merupakan sebagia materi pada mata kuliah Perundang-undangan dan Etik, Program Profesi Apoteker.

Kurikulum Pendidikan Farmasi di Amerika Serikat 2002

Sejak 1996 pendidikan profesi Farmasis di Amerika Serikat bergelar Doctor of Pharmacy
(Pharm.D.) berlangsung selama 6 tahun; terbagi atas 2 tahun prasyarat (Prepharmacy) dan 4 tahun magang (residence) untuk program profesional dan pengalaman kerja.  Di samping itu ditawarkan juga program Master of Science (M.S) dan Philosophical Doctor (Ph.D.) dalam bidang farmasi tertentu, misalnya M.S. in Pharmaceutical Policy and Evaluative Sciences, yang dapat dilanjutkan ke Program Ph.D. dalam bidang Pharmacoepidemiology, atau Ph.D. dalam bidang Pharmacoeconomics and Policy.  Contoh Kurikulum Pendidikan ialah sebagai berikut :

A. General College, School of Pharmacy, University of North Carolina at Chapel Hill   [11]     

PREPHARMACY REQUIREMENTS     ( min. 60 Semester Hours Credits)


Min. Sem. Hours
Notes
English Composition
6

Elementary Statistics
3

Analytical Geometry and Calculus
3

General Biology with Laboratory
4

Genearl Chemistry with Laboratory
8
All topics traditionally included in Org.Chem. Courses
General  College Physics
8
All topics incl. in introductory Physics Course.
Microbiology with Laboratory
8

General Education Courses
18
Six courses are to be selected : 2 Aesthetic perspective Courses, 2 Historical Perspective, 1 Philosophical, 1 Social Science perspective
Foreign Language
6-9

Physical Education Activities
2



Doctor of Pharmacy Curriculum (Pharm.Doctor)  (UNC at Chapel Hill)
Fall
Spring
First Professional Year

Community Hospital Externship

Physiology
Pharmacology I
Biochemistry I
Biochemistry II
Basic Pharmaceutics
Basic Pharmaceutics II
Health Care Systems
Pharmaceutical Care
Pharm.Care Lab.I
Pharm.Care Lab II
Second Professional Year

Community/Hospital Externship

Pharmacology II
Pharmacology III
Pharmacotherapy I
Pharmacotherapy II
Literature Analysis
Pharmacotherapy III
ANS Med. Chem.
Pharmacotherapy IV
Pharmacokinetics
Applied Pharmacokinetics
Professional Elective
Professional Elective
Pharm.Care Lab. III
Pharm.Care Lab. IV
Third Professional Year

Pharmacy Law  & Ethics
Pharmacy Operations
Pharmacotherapy V
Physival Assessment
Pharmacotherapy VI
Professional Elective
Immunology
Professional Elective
Nonprescription Drugs
Prob.in Pharmacotherapy
Professional Elective
Seminar
Seminar

Fourth Professional Year

Clerkships
Clerkships

B. University of Minnesota   [10]
Program Doktor Farmasi (Pharmaceutical Doctor Program) mempersiapkan mahasiswanya untuk mengidentifikasi, mengambil keputusan dan mencegah permasalahan yang berkaitan dengan obat. Mahasiswa belajar untuk menguasai  perawatan pasien dalam hal menghasilkan terapi obat yang positif, yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Program ini tidak lagi mempersyaratkan gelar “bachelor”, namun terdapat sejumlah mata kuliah yang harus dilulusi sebelum memasuki program ini yang dinamakan “pre-pharmacy requirements” . Program profesi Pharm.Doctor 4 tahun ini  merupakan pendidikan didaktik dan praktek, dan merupakan satu-satunya gelar yang resmi untuk memperoleh izin praktek kefarmasian di Amerika Serikat.

Lulusan program ini dipersiapkan untuk memasuki praktek kefarmasian, program pelatihan profesi lanjut, atau untuk pendidikan lanjut pasca sarjana (graduate education), dan penelitian. Program ini meliputi ilmu-ilmu kimia, biologi, fisika, sosial, dan klinis yang mendasari ilmu farmasi. Proses perawatan pasien secara umum digunakan untuk mengajarkan mahasiswa bagaimana caranya memenuhi kebutuhan akan obat pada tingkat spesifik-pasien. Mahasiswa mengembangkan keterampilan dalam pemecahan masalah, komunikasi, dan berpikir analitis. Program ini menekankan pada etika profesional, tanggungjawab sosial, kewarganegaraan profesional, dan komitmen pada pendidikan seumur hidup.

 Selama tiga tahun pertama kurikulum profesi diberikan komponen dasar pendidikan farmasi yang diperlukan untuk berpraktek pada berbagai lingkungan kerja. Mulai tahun kedua, mahasiswa sudah dapat memilih jurusan yang diinginkannya, dengan cara mengambil mata kuliah dalam salah satu dari 4 bidang konsentrasi (penekanan), yaitu (a) farmakoterapi umum, (b) perawatan komunitas dan rawat jalan, (c) manajemen, dan (d) penelitian. Kebanyakan mata kuliah bidang konsentrasi diambil pada tahun terakhir.

Bidang Konsentrasi :
1)      Farmakoterapi Umum, mempersiapkan farmasis untuk kegiatan perawatan pasien pada berbagai lingkungan kerja. Mata kuliah yang wajib meliputi farmakokinetika dan terapi obat bukan-resep. Mata kuliah pilihan meliputi komunikasi, proses pengembangan obat baru, manajemen, dan farmakoterapi bagi usia lanjut.
2)      Perawatan komunitas dan rawat-jalan, mempersiapkan mahasiswa untuk praktek pada farmasi komunitas (Apotik), dan lingkungan pasien yang tidak dirawat di rumah sakit. Mata kuliah wajib meliputi manajemen farmasi komunitas, terapi obat bukan-resep, dan praktek perawatan-jalan.
3)      Manajemen, mempersiapkan farmasis untuk pekerjaan dalam pengelolaan pelayanan farmasi dan keuntungan terapi obat. Mata kuliah wajib meliputi manajemen komunitas atau institusional, review dan manajemen penggunaan obat, dan ekonomi farmasi dan kebijakan publik. Mata kuliah pilihan meliputi hukum perdagangan, pemasaran, ekonomi kesehatan, manajemen personalia, dan perilaku organisasi.
4)      Penelitian, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan mempersiapkan mereka untuk pendidikan pasca sarjana.

Dengan melihat beberapa contoh program pendidikan dan kurikulum di luar negeri, mahasiswa dapat membandingkannya dengan kurikulum pendidikan di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan adanya mahasiswa yang akan melanjutkan studinya di luar negeri, sehingga pengetahuan dasar ini dapat membantu dalam menentukan pilihannya.


DAFTAR PUSTAKA

1.      American Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacicts, “The Final Report of the Task Force on Pharmacy education, Washington DC.
2.      College Handbook (Nov.1992), MONASH University, The Office of University Development for the Victorian College of Pharmacy, Melbourne, Victoria.
3.      Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan (1992).
4.      Gennaro, A.R. [Ed.]  (1990) “ Remington’s Pharmaceutical Sciences”, Mack Publishing Co, Easton, Pennsylvania.
5.      Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.
6.      Ketut Patra dkk. (1988) “ 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang Pembangunan di Bidang Obat”, Penerbit P.T.Priastu, Jakarta.
7.      Smith, A.K. (1980) “ Principles and Methods of Pharmacy Management”, Second Edition, Lea Febiger, Philadelphia.
8.      Suryasumantri, Y.S  (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar Populer”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
9.      Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh IDI/ISFI, Jakarta.
10.  University of Minnesota , (2001) “College of Pharmacy Catalog”, the Regents of the University of Minnesota, Catalog On Line.
11.  University of North Carolina at Chapel Hill,  (2002) “ School of Pharmacy”, Catalog on Line.


B A G I A N  II    P E N U L I S A N   I L M I A H

I.      PENDAHULUAN

Pada pendidikan formal terdapat kecenderungan untuk lebih menekankan pada karya tulis sebagai bagian dari persyaratan lulus suatu matakuliah, dan untuk tujuan pengukuran (assessment) keberhasilan mahasiswa.  Kecenderungan ini khususnya tampak pada perguruan tinggi yang semakin merasa tidak puas apabila hanya mengandalkan ujian akhir sebagai satu-satunya cara mengevaluasi kinerja (performance) mahasiswanya. Pengukuran kemampuan mahasiswa pada kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri dilakukan melalui uji berkala dan tugas laporan (assignment), bukan hanya berdasarkan ujian tengah semester dan akhir semester. Pengukuran kinerja mahasiswa melalui ujian  berkala yang berkesinambungan ini jelas lebih menguntungkan mahasiswa maupun staf pengajar. Apabila mahasiswa harus menyelesaikan suatu tugas laporan, skripsi, tesis atau disertasi, tentu perlu dilakukannya hal ini dalam tata cara penulisan dan bentuk serta format penulisan yang benar. Umumnya mahasiswa dihadapkan pada masalah penulisan ini tanpa persiapan yang baik; untuk itulah perlu diadakan pembimbingan cara penulisan, baik penulisan laporan ilmiah, karya tulis, maupun skripsi yang cukup rumit.   

Perguruan Tinggi di Indonesia sejak tahun 2000 menggunakan Kurikulum Berdasar-Kompetensi (Competency-Based Curriculum), sehingga konsekuensinya ialah bahwa pengukuran hasil belajar mahasiswa  juga perlu disesuaikan. Pengukuran tradisional menggunakan ujian dengan kertas dan pinsil (paper and pencil test), berupa pertanyaan ujian berbentuk tes esei  (essay test) atau pilihan ganda (multiple choice). Untuk pengukuran kompetensi mahasiswa, sekarang ini sudah dikembangkan pengukuran alternatif (Alternative Assessment) sebagai pengganti pengukuran tradisional itu. Pengukuran Alternatif meliputi antara lain, Pengukuran Berdasar Kinerja (Performance Assessment), Penelitian Singkat (Short Investigations), Pertanyaan Terbuka (Open-Response Questions), Evaluasi Sendiri (Self Evaluation), Asesmen Portfolio (Portfolio Assessment) dan penggunaan Rubrik Penskoran (Scoring Rubrics). Di sini tidak akan dibicarakan mengenai pengukuran alternatif, tetapi akan digunakan pada evaluasi hasil belajar mahasiswa, yaitu penggunaan rubrik penskoran.

Bagian 2 buku ini merupakan usaha untuk mengkaji persamaan dan perbedaan penulisan Tugas Laporan Ilmiah, Tugas Laporan Praktikum, Makalah Ilmiah (Scientific Paper), Skripsi, Tesis dan Disertasi. Perencanaan suatu tulisan ilmiah memiliki suatu teknik tersendiri yang perlu dilatih sejak awal. Demikian pula tata cara penulisan suatu karya ilmiah, yang meliputi teknik penulisan, bentuk serta formatnya merupakan modal utama seorang calon ilmuwan. Perlu ditekankan di sini bahwa bentuk serta format pelaporan tulisan ilmiah hendaknya tidak dijadikan sebagai suatu aturan yang kaku agar tidak mematikan kreativitas penulis, akan tetapi perlu dipahami betul-betul tentang lika-liku karya ilmiah. Dalam menghasilkan karya ilmiah itu, seorang ilmuwan menerapkan penalaran dan metode ilmiah dalam tulisannya.

II.    KARYA  ILMIAH
Karya ilmiah merupakan suatu produk yang dituangkan dalam bentuk nyata, misalnya dalam bentuk suatu desain di bidang Teknik Arsitektur, atau berbentuk suatu karya tulis. Produk karya ilmiah demikian itu merupakan hasil dari suatu penalaran. Datanya diperoleh melalui suatu survei, eksperimen atau studi pustaka, dengan menggunakan metode atau cara tertentu, yaitu metode ilmiah, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk tulisan atau laporan ilmiah.

Salah satu fungsi perguruan tinggi yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat), ialah menghasilkan produk ilimiah yang dilakukan melalui penelitian. Produk ilmiah ini bervariasi menurut bobotnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang berbobot tinggi, apakah dihasilkan oleh mahasiswa atau dosen sebagai peneliti; dan menurut forum di mana produk tersebut dikomunikasikan atau dipublikasikan. Penentuan tinggi rendahnya nilai bobot suatu karya ilmiah ditentukan pula oleh kriteria masing-masing jenjang pendidikan tinggi (S-1, S-2, dan S-3), oleh nilai kegunaannya di masyarakat, maupun oleh peranannya dalam pengembangan suatu disiplin ilmu tertentu. Umumnya suatu karya ilmiah dituntut merupakan produk yang baru dan orisinil (bukan jiplakan) yang diperoleh melalui penelitian.
II.1   Tugas Laporan (Assignment)
Menulis suatu karya ilmiah merupakan hal yang sangat penting bagi seorang ilmuwan. Mahasiswa sebagai calon ilmuwan perlu secara awal diberikan pengetahuan tentang teori penulisan ilmiah, sehingga dapat berlatih menulis sepanjang waktu selama mengikuti jenjang pendidikannya. Membuat tugas laporan biasanya ditugaskan kepada mahasiswa melalui suatu rangkaian perkuliahan dan asistensi, meskipun sering pula ditugaskan kepada mahasiswa untuk menyusun suatu tulisan ilmiah mengenai topik yang tidak secara langsung berkaitan dengan suatu mata kuliah. Tugas laporan ini dapat berbentuk Laporan Tugas Pustaka, dan dapat pula berbentuk Laporan Tugas Praktikum yang harus diserahkan kepada  dosen atau asisten setelah mahasiswa menyelesaikan suatu tugas praktikum.

Mahasiswa mungkin ditugasi suatu topik tertentu sebagai pokok tulisan, atau diberikan suatu daftar judul oleh dosen yang dapat dipilih oleh mahasiswa. Mahasiswa hanya diberikan instruksi mengenai panjangnya karangan dan batas waktu untuk menyelesaikannya. Bimbingan dapat diberikan oleh dosen dalam bentuk saran-saran mengenai pustaka atau daftar pustaka. Pada mata kuliah yang telah dirancang dengan baik, biasanya dosen memberikan penugasan dalam bentuk laporan tugas penelusuran pustaka pada awal perkuliahan, agar mahasiswa dapat merencanakan sendiri pelaksanaan tugas tersebut secara berhasilguna atau efektif. Judul yang disediakan untuk karya tulis dapat memberikan gambaran mengenai bidang materi yang penting dalam suatu mata kuliah. Dengan penugasan ini, mahasiswa dirangsang untuk membaca secara kritis mengenai bidang materi tersebut, mencari dan memilih materi sesuai yang dibutuhkannya, memusatkan perhatiannya pada satu judul tertentu, lalu membiasakan diri dan berlatih dalam mengkomunikasikan buah pikirannya melalui suatu pembuktian yang telah diambil sarinya dan dievaluasi menuju suatu kesimpulan tertentu.

Dalam bidang sains, umumnya matakuliah disertai dengan praktikum, yang dapat meliputi pengembangan, penerapan, atau pengujian suatu teori yang telah dipelajari. Kalau pada perkuliahan lebih ditekankan pada pengembangan kemampuan atau proses belajar mahasiswa dalam ranah kognitif (cognitive domain) dan afektif (affective domain), maka penekanan pada praktikum lebih pada kemampuan dalam ranah psikomotor (psychomotor domain) dan afektif. Setiap akhir praktikum mahasiswa perlu menyusun Laporan Tugas Praktikum, yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan format dan tata cara penyusunan laporan yang bersifat telusuran pustaka. Di samping untuk tujuan mempelajari  bidang materi suatu mata kuliah, proses belajar mandiri melalui tugas penyusunan laporan dan penelusuran pustaka maupun tugas praktikum, pada gilirannya mempunyai nilai besar bagi pendidikan mahasiswa, yaitu pemecahan masalah melalui penalaran ilmiah.

Jika pada ujian secara konvensional  mahasiswa mengalami situasi yang menegangkan menghadapi ujian, sebaliknya pada cara penyajian tugas laporan atau karya tulis ia diberikan kesempatan cukup untuk mengadakan perencanaan, dan mengatur sendiri waktu dan cara kerjanya. Di sini ia tidak diburu waktu untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan pada perkuliahan, atau yang tercantum dalam buku teks, tetapi diberikan kesempatan untuk membuat rencana secara cermat, banyak membaca, mengorganisasikan pikirannya, lalu merekamnya dalam tulisan menurut tatacara penulisan yang benar. Dengan demikian dituntut dari mahasiswa suatu karya pikir yang lebih tinggi kualitasnya, dan sekaligus melatih daya nalar mahasiswa.

Umumnya suatu karya tulis yang berbentuk tugas laporan tidaklah harus berbentuk penelitian orisinil. Di sini lebih ditekankan pada proses belajarnya dan fungsi melatih diri, bukan pada hasil akhir yang dicapai, karena hasil karya itu biasanya tidak dipublikasikan. Pemberi tugas akan menilai dan memberikan komentar sebagai balikan (feedback) terhadap tugas laporan itu untuk diperbaiki, agar mahasiswa dapat menggunakannya di kemudian hari.
II.2            Skripsi, Tesis dan Disertasi
Sebagai penutup suatu program pendidikan tinggi, khususnya pada jalur akademik, biasanya mahasiswa harus menyelesaikan suatu produk akhir berupa Tugas Akhir, Skripsi, Tesis atau Disertasi. Dalam PP No.60/Tahun 1999 telah diberikan batasan mengenai Tugas Akhir ini, yaitu penulisan Skripsi untuk jenjang program Sarjana, Tesis untuk jenjang program Magister, dan Disertasi untuk program Doktor. Untuk melihat perbedaan kompetensi berbagai jenjang akademik itu yang memberikan gambaran tentang bobot penelitian, maka dikutip kualifikasi lulusan jenjang Program sebagai berikut :

( KepMendiknas No.232/Tahun 2000 tentang Kurikulum )
1)      Program sarjana diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
a.       menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertnetu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya;
b.      mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;
c.       mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat;
d.      mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang merupakan keahliannya;
2)      Program magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       mempunyai kemampuan mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dengan cara menguasai dan memahami, pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai ketrampilan penerapannya;
b.      mempunyai kemampuan memecahkan masalah di bidang keahliannya melalui kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah;
c.       mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan dengan ketajaman analisis permasalahan, keserbacukupan tinjauan, kepaduan pemecahan masalah atau profesi yang serupa;
3)      Program doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
a.       mempunyai kemampuan mengembangkan kosep ilmu, teknologi, dan/atau kesenian baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian;
b.      mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program penelitian;
c.       mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya.

Sumber  permasalahan untuk diteliti

Tugas Akhir atau Skripsi mahasiswa lebih luas daripada tugas laporan yang biasa. Skripsi biasanya merupakan perpaduan dan puncak suatu karya mandiri dalam bentuk penelitian yang dikerjakan dalam waktu sekurang-kurangnya selama 1 semester. Sebagian penelitian dapat merupakan pengulangan penelitian terdahulu dengan tujuan pengujian kembali hasil karya yang telah dilaporkan, atau pengujian relevansi suatu hasil penelitian yang dilakukan pada latar lingkungan yang berbeda. Penelitian yang lain lagi dimulai dari akhir suatu penelitian terdahulu, untuk meneruskan hal atau masalah baru yang muncul, atau untuk mempertajam atau memantapkan suatu hasil penelitian. Permasalahan yang dapat diangkat menjadi judul penelitian dapat pula diperoleh melalui gejala yang diamati , apakah dari sekitar lingkungan, dari media cetak maupun elektronik, dan dari pustaka yang relevan. Semua jenis penelitian itu diharapkan dapat memberikan sumbangan yang orisinil bagi ilmu pengetahuan.

 Perbedaan dan Persamaan Skripsi, Tesis dan Disertasi

Meskipun kepada mahasiswa yang akan menulis Skripsi dapat saja diberikan judul atau diarahkan judulnya oleh dosen pembimbing ilmu atau spesialisasi tertentu, mahasiswa itu sendiri yang akan bertanggungjawab untuk memilih dan membatasi lingkup bidang penelitiannya. Berbeda dengan Tugas Laporan, penguji dari luar juga akan ikut menilai Skripsi. Setelah dikomunikasikan dan diterima  melalui suatu forum tertentu (seminar), maka Skripsi yang telah dijilid baik itu akan ditempatkan di perpustakaan dan akan menjadi milik umum. Namun demikian, sesuai dengan aturan bahwa Skripsi itu merupakan suatu mata kuliah, yang merupakan “latihan meneliti” bagi mahasiswa dengan bimbingan penuh seorang atau beberapa  dosen, maka “bobotnya” pun belum memadai sebagai ilmu yang baru. Biasanya Skripsi mahasiswa ditingkatkan bobotnya oleh dosen pembimbing dengan melakukan perubahan dan pemolesan seperlunya, kemudian dipublikasikan dalam majalah ilmiah. Meskipun demikian “hak cipta” dari Skripsi tersebut tetap berada pada penyusunnya, termasuk dosen pembimbingnya. Dengan demikian maka nama baik mahasiswa penyusun Skripsi, dosen Pembimbing dan lembaga pendidikannya akan dipertaruhkan. Oleh karena itu persyaratan Skripsi haruslah lebih tinggi daripada tugas pustaka biasa.

Tesis dan Disertasi pada hakekatnya tidak berbeda dengan Skripsi dalam hal bentuk dan formatnya, hanya persyaratan mutu yang hendaknya lebih tinggi menurut jenjang programnya. Ruang lingkup permasalahan biasanya lebih luas dan antar disiplin. Demikian pula sifat pembimbingannya berbeda, yaitu dalam hal peneliti yang semakin mandiri sesuai dengan jenjang program yang semakin tinggi. Di sini dituntut hasil penelitian yang benar-benar orisinil.
II.3    Makalah Ilmiah (Scientific Paper)
Hasil penelitian merupakan suatu karya ilmiah yang dipublikasikan, yang pengelolaannya dikoordinir oleh Lembaga Penelitian universitas. Semua staf pengajar di perguruan tinggi diwajibkan untuk menghasilkan karya ilmiah melalui penelitian dalam rangka pengembangan karirnya. Mutu suatu perguruan tinggi akan dinilai berdasarkan kuantitas dan kualitas karya ilmiah yang dihasilkan, sehingga ada yang membedakan kualifikasi perguruan tinggi menurut “teaching institution” dan “research institution”. UNHAS baru akan merintis untuk menjadi “research university”.

Suatu makalah ilmiah (scientific paper) adalah laporan tertulis yang dipublikasikan, yang menguraikan hasil penelitian orisinil. Bentuk, format serta proses perolehan laporan ilmiah ini sama dengan penyusunan Skripsi oleh mahasiswa. Bedanya terletak pada tempat atau wadah yang sahih (valid publication) dimana tulisan ini dipublikasikan. Suatu hasil penelitian yang berbentuk Ringkasan, Skripsi, Tesis atau Laporan Konperensi belum tentu memenuhi persyaratan publikasi yang sahih, karena publikasi itu sahih ialah apabila dimuat melalui media tertentu, misalnya jurnal primer. Sebaliknya pula, suatu laporan pemerintah, pustaka konperensi (seminar) belum memenuhi syarat sebagai pustaka primer apabila tidak memenuhi persyaratan penulisan ilmiah. Lihat pustaka primer dan sekunder pada bagian lain. Menurut Day, R.A. (1976), suatu makalah ilmiah ialah :  [4]
1)      publikasi pertama dari hasil penelitian orisinil,
2)      dalam bentuk yang dapat diualing eksperimennya, dapat diuji dan diambil kesimpulannya oleh orang lain,
3)      dalam suatu jurnal atau dokumen sekunder lain yang mudah diperoleh dalam lingkungan ilmiah

Isi artikel hendaknya baru, benar, penting dan mudah dimengerti, dan memenuhi persyaratan kualitas pemikiran yang sama seperti yang diperlukan pada pembentukan ilmu pengetahuan, yaitu logika, kejelasan dan ketelitian.  Komponen suatu makalah ilmiah terdiri atas :
a)      Pendahuluan (yang menguraikan apa permasalahannya)
b)      Materi dan Metode (bagaimana masalah itu dipecahkan)
c)      Hasil (apa temuannya)
d)     Pembahasan (apa makna penemuan itu)

Publikasi Makalah Ilmiah

Publikasi suatu makalah ilmiah yang sahih ialah apabila menggunakan media jurnal primer (majalah ilmiah). Jurnal demikian disebut juga sebagai sumber primer bagi peneliti, tetapi biasanya sulit diperoleh, karena meskipun tersebar laus, pemilikannya hanya terbatas pada kalangan ilmuwan bidang ilmu yang sejenis. Oleh karena itu Lembaga Penelitian atau Perpustakaan Pusat suatu negara mendirikan suatu lembaga khusus yang mendokumentasikan dan mengindeks semua hasil penelitian dan selanjutnya memberikan pelayanan informasi ini kepada lembaga lain atau peneliti dalam bentuk pelayanan indeks (Index Service) atau pelayanan abstrak (Abstract Service). Hasil penelitian di Indonesia didokumentasi oleh Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia (PDIN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Contoh lain ialah Lembaga Biologi Nasional  (LBN, LIPI). Pusat dokumentasi seperti itu pada hakekatnya merupakan lembaga pengolahan dan penyebarluasan informasi. Selain lembaga di tingkat pusat, setiap departemen yang mempunyai bagian riset dan pengembangan juga mempunyai lembaga pengolahan informasi demikian.

Di Amerika Serikat terdapat suatu lembaga pengindeks untuk setiap bidang ilmu, misalnya Chemical Indeks, Biological Index  dan sebagainya. Namun di bidang Farmasi belum ada lembaga yang secara khusus menangani layanan indeks ini.. Pada umumnya penelitian di bidang Farmasi dikelompokkan dalam Biological Sciences (Life Sciences) atau Medical Sciences. Dalam rangka pendokumentasian ini, maka judul suatu artikel penelitian haruslah menggunakan kata-kata kunci yang tepat, agar tepat pula pengkategoriannya yang dilakukan oleh lembaga pengindeks.

Secara berkala lembaga pengindeks ini menyebarluaskan artikel penelitian terakhir dalam bentuk daftar indeksnya saja, yaitu judul artikel, nama pengarang dan kata-kata kunci artikel tersebut. Kadang-kadang daftar tersebut berupa indeks beranotasi, yaitu diberikan keterangan tambahan atau komentar pada setiap indeks. Di samping melayani indeks, berdasarkan permintaan, lembaga demikian itu juga melayani permintaan abstrak (Abstract Service) tertentu.

Oleh karena itu, maka nilai ilmiah suatu artikel yang disajikan dalam bentuk makalah pada suatu pertemuan ilmiah tidaklah sebesar nilai ilmiah artikel yang disajikan dalam jurnal / majalah ilmiah, yang kemudian diindeks oleh lembaga pengindeks. Makalah yang disajikan dalam suatu pertemuan ilmiah belum tentu dipublikasikan dalam risalah atau “proceedings” pertemuan. Risalah dari suatu pertemuan ilmiah juga merupakan publikasi primer. (Lihat juga bagian lain mengenai Sumber Bacaan).

Dengan demikian maka tidak semua publikasi ilmiah merupakan karya ilmiah apabila tidak dipublikasikan sesuai dengan wadah atau media tertentu. Sebagai contoh, “Review Paper”, atau “Abstract”, tidak memenuhi syarat karya ilmiah, karena merupakan ikhtisar, analisis atau sintesis informasi yang telah dipubilkasikan. “Conference Report” juga jarang menyajikan data yang orisinil, dan tidak dipublikasikan dalam jurnal primer.
II.4     Persepakatan Penulisan dan Gaya Penulisan Ilmiah
Suatu karya tulis yang berbentuk laporan tugas pustaka (assignment) biasanya mempunyai ruang lingkup yang sangat terbatas, dan biasanya lebih pendek daripada Karya Ilmiah atau Skripsi., yang merupakan penelitian orisinil. Namun demikian dalam penyajiannya tidak banyak berbeda, baik mengenai format, tata cara maupun gaya penulisannya. Semua tulisan ilmiah menggunakan tatacara penulisan, gaya penulisan, bentuk dan format tertentu. Terdapat berbagai macam cara penulisan yang dianut. Di samping isi tulisan, cara penyajiannya dalam bentuk format baku juga penting. Penelitian yang baik akan dinilai buruk apabila cara penyajiannya tidak baik. Suatu penelitian akan berguna bagi ilmu pengetahuan apabila dapat dikomunikasikan dengan baik. Karena itu  maka tata cara penulisan ilmiah itu sangatlah penting.
Gaya penulisan, Bahasa dan Penggunaan Istilah
Pemilihan kata yang tepat akan memberikan pengertian yang tepat. Kata atau kalimat yang baik untuk mengungkapkan suatu pemikiran bukanlah berbentuk kalimat yang panjang. Istilah yang digunakan harus didefinisikan (ditakrifkan) dengan tepat dan seterusnya digunakan secara taat azas (konsisten). Bahasa tutur atau bahasa percakapan dan cara pengungkapan yang lain, misalnya bahasa bahasa prokem atau bahasa puisi tidaklah cocok untuk digunakan dalam penulisan ilmiah. Tulisan ilmiah bukan pula sesuatu yang bersifat pribadi atau berbentuk percakapan biasa, karena itu selalu dihindari penggunaan kataganti orang (saya, kami, mereka, dsb.nya) , kecuali dalam hal tertentu misalnya nukilan (quotations) Dalam tulisan ilmiah tidak boleh terdapat laporan pengalaman atau pendapat pribadi; yang dituliskan dalam laporan ialah analisis secara kritis tentang suatu masalah dan sajian pembuktian yang berkaitan dengan permasalahan itu, sehingga gaya bahasa yang digunakan haruslah yang bukan bersifat pribadi, melainkan bersifat ilmiah.

Seorang penulis harus menggunakan cara penulisan yang mudah ditangkap orang lain. Bentuk kalimat tidak boleh terlalu sulit atau kompleks. Seringkali ditemukan dalam tulisan mahasiswa, kalimat majemuk yang sangat kompleks sehingga sulit menentukan mana pokok kalimatnya !  Penulisan ilmiah bukanlah suatu permainan kata, bersifat ambigu (ambigous) atau mendua arti, merupakan penonjolan kepintaran seseorang, atau sesuatu yang melebih-lebihkan. Hendaknya dihindari pernyataan yang memelas atau minta dikasihani, atau pernyataan yang berlebihan. Pernyataan yang dibuat itu hendaknya benar-benar sesuai. Penalaran yang benar dan kejujuran intelektual adalah tujuan utama pada penulisan ilmiah. Kutipan atau nukilan dari buku atau pustaka lain harus dilakukan dengan teliti dan dikatakan secara jujur. Kontribusi atau hasil karya orang lain haruslah dihormati, sehingga jelas bagian mana yang merupakan kontribusi penulis sendiri dan mana yang merupakan kutipan.

Karena isi tulisan adalah sesuatu yang telah dikerjakan (berbentuk laporan ilmiah), maka biasanya digunakan waktu lampau (past tense) dalam penulisan atau kalimat pasif, kecuali dalam hal khusus, misalnya nukilan. Ejaan kata yang tepat sangat diperlukan. Perlu pula diperhatikan khususnya mengenai tatabahasa dan penggunaan tanda baca. Singatan seperti dg. tidak boleh digunakan, kecuali singkatan yang lazim digunakan secara internasional, misalnya satuan cm (sentimeter), g (gram) dan Gr (grain).  Jadi misalnya, corpis (corong pisah) tidak lazim digunakan pada tulisan ilmiah. Selain itu perlu diperhatikan ketaatazasan penggunaan kata dan istilah. Dengan demikian maka sesuai dengan tujuannya, baik pelaksanaan penelitian maupun pelaporannya haruslah dilaksanakan secara teliti, taatazas, dengan menggunakan gaya bahasa dan tatacara penulisan yang baku dan mudah dimengerti. 
II.5     Perencanaan Laporan Tugas Pustaka (Assignment)    [2]
Penulisan tugas atau laporan ilmiah di perguruan tinggi biasanya berbentuk judul yang sudah disiapkan oleh dosen, yang dapat dipilih mahasiswa atau ditetapkan oleh dosen. Judul tugas menggambarkan suatu masalah yang akan ditelaah oleh mahasiswa dalam bentuk penelusuran pustaka. Permasalahan ialah suatu perbedaan keadaan yang ada (what is) dengan keadaan yang seharusnya (what should). Materi permasalahan yang ditelaah harus berupa materi dalam ruang lingkup bidang ilmu atau keahlian yang sedang dipelajari. Langkah pertama yang dilakukan ialah mencoba mendefinisikan (mentakrifkan) dan mengadakan pembatasan masalah yang diutarakan.
Mendefinisikan masalah
 Mendefinisikan masalah meliputi penentuan masalah, tugas atau karangan yang akan dikerjakan. Dari judul karangan yang dipilih itu harus tergambarkan kegiatan yang akan dilakukan mengenai masalah itu. Sebelumnya perlu dipelajari kata-kata kunci yang tepat untuk menghindari salah pengertian. Kata kunci yang perlu dipahami terlebih dahulu dari masalah itu  ialah :
1.      menganalisis, yaitu mempertimbangkan berbagai komponen dari suatu   keseluruhan, dan mencoba memperinci antar hubungan komponen itu.
2.      membandingkan, yaitu mengadakan pemerian (description) karakteristik obyek dengan maksud untuk menunjukkan kesamaan atau perbedaannya.
3.      mengkontraskan, yaitu mengadakan pemerian untuk tujuan membedakannya
4.      mendefinisikan (mentakrifkan), yaitu memberikan definisi atau menetapkan syarat sesuai dengan rujukan (reference).
5.      menguraikan , yaitu memberikan penjelasan.
6.      menghubungkan, yaitu melihat keterkaitan antara antara 2 aspek atau   objek.
7.      mendiskusikan, yaitu mempertimbangkan berbagai aspek masalah itu.
8.      menyebutkan, yaitu memberikan contoh dalam suatu daftar
9.       mengevaluasi, yaitu memeriksa berbagai sudut suatu masalah dan   mencoba mencapai suatu keputusan (judgment).
10.  memeriksa secara kritis, yaitu berfungsi sebagai hakim.
11.  mengilustrasikan, yaitu memberikan contoh, menjelaskan, menggambarkan.
12.  mengikhtisarkan, yaitu menuliskan butir-butir utama secara ringkas.

Untuk memperoleh penjelasan suatu kata atau istilah, perlu dilihat dalam kamus atau ensiklopedi. Dengan demikian tidak ada keragu-raguan tentang apa yang akan ditulis, dan tidak akan menimbulkan interpretasi berlainan bagi pembacanya.
Penulisan Judul
Judul tulisan ilmiah menggambarkan permasalahan yang akan diangkat dalam isi tulisan. Dari definisi masalah di atas terlihat bahwa selalu terdapat lebih dari satu aspek atau objek yang akan dipaparkan dalam tulisan ilmiah yang disebut “kata kunci”. Judul tulisan ilmiah memberikan informasi lengkap kepada pembaca mengenai isi tulisan. Oleh karena itu judul hendaknya bersifat informatif, tidak terlalu pendek tetapi juga tidak terlalu panjang. Biasanya suatu judul yang baik terdiri atas 8 sampai 15 kata, namun ada yang menganjurkan tidak melebihi 12 kata. Apabila tidak dapat dihindari penggunaan jumlah kata yang banyak, pisahkanlah menjadi subjudul untuk memudahkan pemahamannya secara tepat. Pada umumnya judul tulisan ilmiah bukan merupakan suatu proses atau kegiatan yang menggambarkan  pelaksanaan penelitian. Sebab itu tidak dimulai dengan katakerja.

Contoh judul : Menetapkan Kadar Parasetamol dalamTablet yang beredar di
                       Makassar  menggunakan metode Acid Dye.
                        (Kata kunci : Tablet, Kadar Parasetamol, Metode Acid Dye)
Judul tersebut sudah benar dari segi bahasa dan sangat informatif, namun tidak efisien, karena dapat diubah tanpa mengubah artinya menjadi :
                      Penetapan Kadar Tablet Parasetamol yang beredar di
                      Makassar menggunakan metode Acid Dye
Tampaknya judul ini sudah baik, tetapi dari segi Bahasa Indonesia masih ambigu (ambiguous = mendua arti), karena metode Acid Dye dapat pula menerangkan cara  beredarnya di Makassar, bukan menerangkan penetapan kadar. Karena itu sebaiknya judul diubah menjadi :
                       Metode Acid Dye pada Penetapan Kadar Tablet Parasetamol
Pembatasan Masalah
Kesalahan yang sering dibuat mahasiswa ialah apabila terlalu berambisi untuk menulis suatu judul yang terlalu luas. Ada anggapan bahwa judul yang sederhana tidak akan menyulitkan pada proses pengembangannya. Pada kenyataannya semakin sederhana suatu judul, justru semakin banyak yang perlu dituliskan. Oleh karena itu terlebih dahulu perlu sekali diadakan pembatasan masalah, tetapi bukan dengan cara menghilangkan informasi yang mungkin penting, atau menghilangkan detail yang mungkin diperlukan , atau hanya menyediakan sebagian data.
Pembatasan masalah dilakukan dengan cara mempersempit jangkauan atau ruang lingkup telaahan.

Contoh judul :  (Katakunci pada judul ini ialah : Vitamin C, Bentuk Tablet)
a.      Vitamin C dalam bentuk tablet
Judul ini terlalu luas, karena mungkin akan meliputi pembicaraan mengenai khasiat Vitamin C, cara pembuatannya, aspek penggunaannya, atau aspek bentuk sediaannya. Judul ini pendek, tetapi justru meliputi permasalahan yang sangat luas, sehingga mungkin cocok untuk dijadikan judul suatu buku teks.
Karena terlalu luas, maka ludul itu dapat dipersempit jangkauannya, menjadi …
b.      Metode pembuatan tablet Vitamin C
Judul inipun masih terlalu luas untuk tugas laporan karya tulis biasa, bahkan untuk dijadikan judul Skripsi. Apabila dipersempit lagi ruang lingkupnya, akan menjadi …. 

  1. Metode granulasi basah pada pembuatan tablet Vitamin C
Dalam judul seperti ini akan diuraikan keuntungan dan kerugian metode granulasi basah pada pembuatan tablet Vitamin C yang mudah terurai oleh adanya lembab dan cahaya, dan penggunaan berbagai bahan penambah, misalnya bahan pengisi, bahan pengkilat, bahanpenghancur dalam dan luar, bahan pelicin, bahan pelincir, dan bahan korigensia (pewarna, pembau, pemberi rasa). Judul ini cocok untuk Skripsi. Untuk suatu laporan karya tulis, judul ini masih dapat dipersempit lagi menjadi ….

  1. Penggunaan Bahan X  sebagai Bahan Pengikat pada Pembuatan tablet Vitamin C
Pada judul ini ruang lingkup permasalahan sudah semakin dipersempit. Dengan demikian jelas bahwa semakin sempit ruang lingkup masalah, akan semakin spesifik bidang telaahnya, tetapi akan semakin panjang judulnya.

Apabila tidak dilakukan pembatasan masalah pada awalnya, akan terlalu banyak data yang akan dikumpulkan, yang akhirnya akan terbuang percuma; atau isi tulisan akan menjadi terlalu umum.
Contoh judul lain yang terlalu pendek : 
 Aksi Antibiotika terhadap Bakteri   (Katakunci pada judul ini ialah Aksi Antibiotika, Bakteri)

Antibiotika yang sudah ditemukan sudah ratusan jenis malah mungkin ribuan jenis. Demikian pula halnya jenis bakteri. Oleh karena itu perlu dipersempit jenis antibiotikanya dan jenis bakterinya. Jadi, patokan lain pada pemilihan judul tulisan ialah perumusan yang jelas dan spesifik mengenai ruang lingkup penelitian atau telaahan.
II.6    Penjadwalan Pekerjaan       
Penjadwalan pekerjaan perlu dilakukan agar tugas dapat diselesaikan dalam waktu yang ditentukan. Hal ini khususnya sangat perlu pada waktu menyusun Skripsi. Dalam penjadwalan perlu dimasukkan frekuensi pertemuan dan konsultasi dengan pembimbing. Pada awalnya memang sering ditemukan kesulitan, apalagi jika belum terbiasa  mengerjakan tugas karya tulis. Kadang-kadang seseorang perlu terlebih dahulu memperoleh inspirasi untuk dapat menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
II.7    Sumber Bacaan
Bersama dengan tugas yang diberikan dosen, sering telah disertai sumber rujukan yang dianjurkan dalam rangka penelusuran pustaka. Dalam pustaka rujukan itu sendiri terdapat rujukan selanjutnya. Penelusuran pustaka farmasi mungkin hanya terbatas pada topik tertentu, tetapi mungkin pula merupakan suatu survei umum, sehingga metode penelusurannya juga perlu disesuaikan, apakah akan mencari suatu informasi khusus atau umum, dan apakah untuk kepentingan mahasiswa, sarjana, praktisi profesi, pasca sarjana atau peneliti.

Sumber pustaka ilmiah secara umum  dapat dikelompokkan dalam pustaka primer dan pustaka sekunder.  Meskipun buku teks merupakan sumber referensi yang penting, namun bagi seorang peneliti sumber yang lebih penting ialah majalah ilmiah dibanding buku. Hal ini disebabkan keuntungan dalam tenggang waktu antara suatu penemuan dalam penelitian dengan waktu publikasinya. Majalah ilmiah yang mutakhir akan memuat penemuan atau hasil penelitian yang mutakhir pula dibanding dengan buku yang sudah lama diterbitkan. Media publikasi ilmiah berbentuk majalah biasanya diterbitkan secara berkala (periodical), apakah mingguan, bulanan, kuartalan, setengah tahunan atau tahunan; sedangkan suatu buku teks biasanya direvisi selang 5 tahun. Oleh karena itu informasi dalam buku kadang-kadang sudah kuno (obsolete) dibanding informasi dalam majalah ilmiah.
Sumber primer
Sumber primer meliputi rekaman laporan penelitian ilmiah, teknologi atau profesional dari tangan pertama. Materi yang disajikan merupakan pengetahuan baru yang terdiri atas informasi terakhir dan mutakhir. Media yang digunakan untuk pelaporan ini meliputi majalah (ilmiah), laporan penelitian, risalah konperensi, paten, standar ( misalnya Standar Industri Indoensia =SII), pustaka perdagangan, tesis dan disertasi. Sumber primer ini biasanya tersebar sangat luas dan sukar diperoleh. Majalah (periodicals) dapat diklasifikasikan dalam majalah ilmiah (scientific), profesi (professional), dan komersial (commercial). Yang membedakan majalah ilmiah dengan yang bukan ilmiah ialah tidak ditolerir adanya iklan di dalam majalah ilmiah.
Sumber sekunder
Sumber sekunder mengandung informasi tangan kedua, namun lebih terorganisasi sehingga mudah diperoleh. Termasuk kategori ini ialah majalah, pelayanan indeks dan abstrak, indeks sitasi (citation index), pelayanan melalui komputer, buku referensi (ensiklopedi, kamus, buku pegangan atau “handbook”, tabel, formularium), risalat (treatise), monograf (misalnya F.I.) kompendia dan buku teks (textbook)

Indeks sitasi (Citation Index)
Di Indonesia belum dilembagakan. Lembaga indeks sitasi ini mengumpulkan data mengenai berapa kali seorang penulis atau artikelnya disitasi (dikutip) oleh penulis lain. Kualitas seorang peneliti di luar negeri ditentukan selain oleh jumlah artikel yang dipublikasikannya, juga ditentukan oleh berapa kali karya tulisnya disitasi oleh penulis atau peneliti lain berdasarkan indeks sitasi.
Buku
Buku merupakan sumber sekunder yang paling umum. Daftar Buku atau “bibliography’” sebenarnya kurang tepat; lebih tepat dinamakan Daftar Pustaka, karena dalam praktek bukan saja terdiri atas buku, tetapi juga meliputi artikel dalam majalah, pamflet, rekaman pandang-dengar (audio visual), dan materi cetak maupun non-cetak lain seperti micro-fiche, video kaset, “compact disc” dan CD-ROM.
Referensi (Reference)
Referensi dapat berbentuk sembarang buku atau majalah yang dapat digunakan sebagai acuan, misalnya:
Ensiklopedi (Ecyclopedias), biasanya terdiri atas banyak jilid (volume), yang berisi informasi umum dan peristilahan. Belum ada ensiklopedi khusus Farmasi; ada untuk bidang alamiah dasar (basic sciences) dan ilmu terapan lain. Karena penerbitan maupun revisi ensiklopedi memerlukan puluhan tahun, biasanya informasi di dalamnya sudah “out of date”.
Kamus (Dictionaries). Selain kamus bahasa terdapat pula kamus istilah untuk setiap bidang ilmu. Sampai sekarang bidang farmasi belum mempunyai kamus istilah tersendiri, namun  terdapat kamus istilah lain yang penting bagi farmasi, misalnya kamus istilah kedokteran, kimia organik, kimia analitik, dan lain-lain.
Buku Pegangan (Handbook). Buku pegangan merupakan kompilasi fakta dan angka dalam bentuk tabel. Termasuk buku pegangan ialah manual, buku data, buku referensi, buku sumber, dan vademekum.
Direktori atau Buku Tahunan, berisi daftar nama, alamat yang dapat memberikan informasi mengenai orang (individu), organisasi, tempat, dan lain-lain.
Sumber Bacaan Khusus Farmasi
Di samping buku teks dalam bidang farmasi terdapat pula buku-buku khusus, yang merupakan buku standar mengenai obat, bahan obat dan bahan pembantu.

Farmakope atau Formularium, ialah buku yang berisi daftar obat (medicinal substances) dan bahan pembantu (device) disertai uraian, cara uji, dan formula untuk pembuatan obat yang sama, yang telah dikumpulkan oleh suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah dan disahkan berlaku untuk suatu negara tertentu. Di Amerika Serikat, badan ini terdiri atas organisasi swasta. Farmakope Indonesia Edisi terakhir ialah Edisi-IV, tahun 1995. Di Amerika Serikat terdapat “United States Pharmacopeia” Edisi ke-XX1 tahun 1990 dan “National Formulary” (NF Edisi XVI tahun 1990) yang dikelompokkan sebagai “official compendia”, sedangkan buku lain dikelompokkan dalam “non-official drug compendia”. Sekarang ini sudah ada terbitan USP/NF yang mutakhir. Buku “Materia Medika” yang berisi uraian tentang simplisia obat tradisional dapat dikategorikan sebagai formularium.
Risalat (Treatise), adalah buku mengenai suatu topik yang luas atau mengenai keseluruhan suatu bidang ilmu dengan pendekatan yang sistematik, luas , dan komprehensif, dan kadang-kadang kritis. Biasanya ini ditulis untuk keperluan para spesialis.
Monografi, merupakan tulisan mengenai satu topik saja, biasanya mengandung informasi terakhir, dan diusahakan komprehensif dan sistematik, tetapi tanpa latar belakang dan data historis seperti dalam suatu risalat.
Buku Teks, fungsi utama buku teks ialah mengajukan prinsip-prinsip suatu topik atau disiplin ilmu dalam cara sedemikian rupa agar informasi itu dapat digunakan sebagai dasar untuk pengajaran. Suatu buku teks ditulis menurut tingkat kesulitan dan kecanggihan tertentu, disesuaikan dengan forum yang dituju sesuai keinginan penulisnya. Suatu buku teks biasanya berkonsentrasi pada prinsip-prinsip, bukan pada perkembangan terakhir dari bidang ilmu tertentu, sehingga dapat digunakan selama jangka waktu yang panjang.
Penulis lain membagi sumber informasi ke dalam 3 kategori, yaitu sumber primer, sekunder dan tersier. Seperti telah diuraikan, contoh sumber sekunder ialah terjemahan, ikhtisar atau ringkasan dari sumber primer, buku pegangan, dan publikasi lain yang mengandung informasi fakta, komentar dan lain-lain; sedangkan buku teks dikategorikan sebagai sumber tersier, karena buku teks merupakan kompilasi dari sumber-sumber sekunder. Sumber tersier memberikan suatu tinjauan atau ringkasan yang agak luas mengenai suatu bidang ilmu, dan hal ini dapat diterima sebagai acuan, karena buku teks telah menjadi semacam patokan. Khusus untuk penelitian pasca sarjana diharuskan berkonsultasi pada sumber primer.
Penelusuran Pustaka
Termasuk penelusuran pustaka ialah metode pencarian pustaka di perpustakaan. Buku-buku tersimpan di rak menurut pengaturan tertentu, umumnya menurut klasifikasi Dewey. Pencarian buku dapat dilakukan secara langsung, melalui :micro fiche” atau melalui katalog buku. Metode lain penelusuran pustaka ialah melalui internet.
II.8    Pembuatan Catatan
Agar mudah ditemukan kembali catatan disimpan menggunakan “card system”. Setiap catatan  ditulis dalam selembar kartu menurut abjad pengarang atau menurut subjudul. Perlu diingat untuk setiap kali mencatat nama buku, pengarang, penerbit dan tahun penerbitannya. Jika perlu dicatat pula halaman buku.
II.9    Kerangka Laporan
Kerangka laporan suatu karya ilmiah umumnya terdiri atas 3 bagian, yaitu Pendahuluan, Tubuh atau Isi, dan Kesimpulan atau Penutup. 



Pendahuluan
Pada Bab Pendahuluan diberikan perumusan yang jelas tentang masalah. Definisikan istilah yang digunakan , dan batas-batas telaah. Tempatkan masalah itu dalam latar belakang (setting) yang mempunyai arti. Untuk ini mungkin digunakan beberapa bentuk :
Ø  diuraikan latar belakang permasalahan
Ø  diadakan telusuran penelitian sebelum itu
Ø  ditunjukkan dimensi waktunya
Ø  diadakan pembatasan ruang lingkup bahasan
Pendahuluan ini hendaknya memberikan kepada pembaca semua informasi yang akan diperlukan selanjutnya. Bagian ini hendaknya bersifat padat dan informatif. (Khusus untuk penulisan Skripsi dapat dilihat pada bagian yang lain)
Isi
Bagian ini merupakan argumentasi logis atau suatu sudut pandang tertentu mengenai permasalahan (Lihat : Mendefinisikan masalah). Di sini diusahakan untuk menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan dalam pendahuluan. Diusahakan agar cara penulisan itu bergerak maju, jangan terhambat oleh penulisan detai yang terlalu terperinci, yang dapat mengalihkan konsentrasi pembaca dari permasalahan pokoknya.
Penutup
Bagian ini menyajikan hasil telaahan atau penelitian, kesimpulan atau pendekatan ke arah kesimpulan yang telah dirumuskan semula.
II.10        Laporan Tugas Praktikum
Pada dasarnya Laporan Tugas Praktikum tidak berbeda dengan Laporan Tugas Pustaka mengenai tatacara penulisannya. Perbedaan mungkin terletak pada format laporan yang berbeda menurut jenis percobaan yang dilakukan. Suatu laporan praktikum meliputi bagian-bagian :
1.      Judul. Judul laporan praktikum ialah nama percobaan yang mengilustrasilkan masalah yang akan ditanggulangi, yang sebenarnya adalah Tujuan Instruksional yang sudah dirumuskan, misalnya :
            -     Pembuatan injeksi (Steril) Morfin HCl 1%
-          Penentuan Kadar Asetaminofen secara Spektroskopi uv
-          Isolasi Alkaloida dari Brugmnabsia sp.
-          Uji Toksisitas akut Obat Tradisional
2.      Sebagai pendahuluan diuraikan :
-          Tujuan Percobaan (permasalahan apa yang akan diambil kesimpulannya)
-          Prinsip penentuan (pada analisis misalnya diuraikan mekanisme reaksi)
-          Latar Belakang (uraian singkat mengenai permasalahan)
-          Formula Resep (uraian permasalahan)
                Urutan ini mungkin pula berbeda menurut jenis praktikumnya.
3.      Pengerjaan. Termasuk bahan, alat dan metode yang digunakan pada percobaan
4.      Pengamatan (hasil yang diamati, perhitungan dan pembahasan)
5.      Kesimpulan (hasil)
6.      Pustaka
Jadi sama dengan laporan tugas pustaka, laporan inipun secara garis besar meliputi bagian Pendahuluan, Isi, dan Penutup (Kesimpulan), yang mungkin terdapat keragaman menurut sifat praktikum yang dilakukan. Perhatikan bahwa judul praktikum juga terdiri atas 2 katakunci.
III.             Perencanaan Skripsi
Pemilihan judul Skripsi yang sesuai keinginan merupakan tugas yang paling sulit, karena setelah menetapkan pilihan, jarang sekali terjadi perubahan judul karena biasanya sudah dibuatkan Surat Tugas oleh pimpinan. Untuk ini diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai bidang studi yang sedang dipelajari, atau disiplin ilmu tertentu. Selain pengetahuan yang mendalam, juga faktor minat mahasiswa sendiri sangat penting dalam menentukan dan memilih bidang apa yang akan ditekuni.  Semakin bertambah pengetahuan seseorang dalam bidang studi tertentu, semakin tampak adanya kesenjangan (gap) dan permasalahan baru yang memerlukan penelitian. (Ada pemeo yang mengatakan…The more you learn, the more you don’t know). Kemampuan menemukan masalah inilah yang harus dikembangkan pada mahasiswa, karena setiap skripsi hendaknya menjelaskan suatu masalah tertentu. Pertanyaan pertama yang akan ditanya oleh penguji ialah : Apakah kontribusi atau sumbangan tulisan itu bagi ilmu pengetahuan; mengapa Anda memilih judul tersebut; apakah ini merupakan suatu masalah yang perlu diteliti lebih lanjut, dan apakah skripsi ini dapat menjawab pemecahan masalah tersebut.
Sumber masalah untuk penelitian
Salah satu sumber masalah yang baik ialah akhir dari suatu penelitian. Biasanya pada bagian akhir skripsi terdapat saran-saran untuk penelitian lebih lanjut. Staf pengajar yang aktif meneliti juga dapat dijadikan narasumber permasalahan, karena biasanya ada penelitian dosen yang dapat dipecah-pecah menjadi penelitian kecil yang dapat dikerjakan oleh mahasiswa. Semakin banyak masalah yang diteliti, semakin banyak pula masalah yang timbul untuk diteliti. Sumber lain ialah tulisan dalam majalah/jurnal ilmiah yang mutakhir, karena dari publikasi tersebut seseorang dapat terinspirasi untuk melihat permasalahan baru. Dapat pula diadakan pengulangan penelitian yang sama dalam lingkunagn (setting) yang berbeda, misalnya faktor waktu, tempat (geografis) dan variasi lainnya, misalnya metode dan peralatan yang berbeda.  Demikian pula dapat ditemukan gejala yang timbul di masyarakat, yang ada hubungannya dengan bidang yang ditekuni, misalnya di masa lalu pernah terjadi kasus biskuit yang beracun karena tertukarnya bahan kimia, kasus bumbu masak Ajinomoto, penggunaan asam borat dalam bakso, penggunaan formalin pada tahu, pestisida di perkebunan, pencemaran lingkungan oleh surfaktan yang terkandung dalam sabun detergen, dan masalah aktual lain yang perlu penjelasan secara ilmiah.
Kriteria pemilihan Judul
Setelah diadakan pembatasan ruang lingkup masalah yang akan diteliti, dan telah ditemukan beberapa masalah yang mungkin dapat dijadikan objek penelitian, perlu diperanyakan beberapa hal mengenai judul yang dipilih itu.
Pertama, ialah adakah pembimbing untuk bidang penelitian yang dipilih itu. Oleh karena cenderung terjadi spesialisasi dalam bidang ilmu, maka kemungkinan tidak ada pembimbing yang cocok atau yang berminat membimbing Anda dengan judul itu.
Kedua, apakah judul itu memang menarik bagi Anda. Selama waktu yang cukup lama Anda diharuskan menggeluti judul tersebut, sehingga seyogianya judul itu menarik bagi Anda. Tanpa minat yang besar, kemungkinan pekerjaan Anda akan terbengkalai dan berhenti di tengah jalan.
Ketiga, masalah waktu yang tersedia untuk penelitian. Judul-Judul yang berkaitan dengan pertumbuhan atau kecenderungan (trend) yang memerlukan waktu menunggu atau yang memerlukan waktu pengerjaan yang lama. Sebagai contoh di bidang Farmakognosi, misalnya yang menyangkut pembudidayaan tanaman obat, mungkin tidak akan dipilih mahasiswa karena risiko waktu dan kegagalan pekerjaan. Bagaimanapun menariknya suatu judul, apabila tidak dapat diselesaikan dalam waktu tertentu, lebih baik ditinggalkan saja.
Keempat, peralatan yang diperlukan. Kebanyakan penelitian di bidang farmasi memerlukan peralatan khusus yang mungkin cukup canggih (sophisticated). Contohnya ialah instrumen Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) atau Spektrofotometer Serapan Atom yang belum dipunyai sendiri. Selain faktor peralatan, juga faktor bahan kimia yang mungkin harus dipesan dari luar negeri merupakan kendala yang harus dipertimbangkan pada pemilihan judul.
Kelima, subyek penelitian. Khususnya dalam bidang Ilmu-Ilmu sosial diperlukan subyek. Dalam bidang Ilmu-Ilmu Kesehatan mungkin diperlukan probandus (manusia percobaan) atau hewan percobaan.
Keenam, fasilitas perpustakaan. Fasilitas perpustakaan sangat penting untuk penelitian kepustakaanmaupun analitis. Suatu judul tertentu mungkin tidak sesuai disebabkan oleh tidak adanya sumber pustaka yang diperlukan. Seringkali mahasiswa perlu bantuan perpustakaan di tempat lain. Akan tetapi dalam era perkembangan informasi yang pesat ini, bukan lagi merupakan penghambat. Beberapa institusi farmasi di Indonesia sudah menggunakan CD-ROM untuk pembelajaran. Demikian pula dengan mengakses melalui internet dapat diperoleh semua informasi yang diperlukan.
Ketujuh, kelayakan (feasibility) penelitian. Selain kelayakan peralatan, subjek, kepustakaan dan waktu, masalah kelayakan lain ialah apakah teknik riset yang diperlukan untuk pengujian masalah tertentu telah dikembangkan atau sudah cukup teruji. Dengan demikian sudah harus diperhitungkan sebelumnya alat uji apa (statistik) yang akan digunakan dalam penelitian.
Kedelapan, kebermaknaan (significancy) penelitian. Pertanyaan ini sulit dijawab. Seperti pengamatan Stimpson (1945) : ….Secara umum tidak ada fakta yang dapat dianggap sepele. Kekuatan suatu matarantai ditentukan oleh kekuatan pada ikatannya yang terlemah, dan semua fakta akan cocok secara keseluruhan. Suatu fakta yang tampaknya sepele, mungkin berubah menjadi sesuatu yang sangat penting di tangan seorang ilmuwan.

Si pelaksana sendiri yang dapat menilai apakah waktu, usaha dan biaya untuk menangani suatu masalah itu wajar untuk dapat melaksanakan penelitian itu.
IV.       PENALARAN DALAM TULIS MENULIS    [5,7,9]
Berpikir dilakukan oleh semua orang. Tidak semua kegiatan batin dapat disebut berpikir, misalnya melamun atau berangan-angan. Orang mulai berpikir apabila berhadapan dengan suatu masalah, lalu mencoba untuk mencari jalan keluarnya. Masalah yang sekecil apapun dapat menyebabkan orang berpikir. Sebagai contoh, orang harus berpikir bagaimana harus menyeberangi jalan raya yang ramai. Ia harus memperhatikan arus lalu lintas, arah datangnya serta kecepatan kendaraannya. Kalau diperhatikannya lebih lanjut, akan ditemukannya tempat khusus penyeberangan, apakah jembatan penyeberangan atau “zebra cross”. Pada tempat khusus penyeberangan itu orang dapat menyeberang dengan aman pada saat tertentu. Di tempat lain selain itu akan sangat berbahaya untuk menyeberang jalan. Dari sejak orang itu berniat untuk menyeberang jalan sampai pada saat ia mengayunkan langkahnya untuk menyebrang, terdapat proses pemikiran dalam diri orang itu.
Berpikir Logis dan Analitis
Dalam proses itu ia bernalar, artinya ia menggunakan akal sehatnya (logika). Orang dikatakan bernalar apabila ia membanding-bandingkan kemungkinan yang satu dengan kemungkinan yang lain, menimbang-nimbang mana yang lebih menguntungkan, dan mana yang justru merugikan.
Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan; jadi penalaran adalah proses berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran ilmiah. Karakteristik atau ciri pertama penalaran ialah, adanya  suatu pola berpikir luas yang dinamakan logika; atau dapat dikatakan bahwa penalaran ialah proses berpikir logis. Ciri kedua dari penalaran ialah sifat analitis dari proses berpikir itu, yaitu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Proses berpikir menurut Dewey (1957) terdiri atas 5 langkah :
1)      merasakan ada kesulitan
2)      mendefinisikan kesulitan itu
3)      mengajukan (alternatif) penyelesaian yang mungkin
4)      memberi gambaran mengenai pertautan atau hubungan
5)      menguji lebih lanjut hingga usulan itu akhirnya diterima atau ditolak.
Penalaran dapat disertai, tetapi dapat pula tidak disertai logika. Pada penalaran secara logis terdapat pernyataan yang disebut dalil atau premis, dan pernyataan yang disebut kesimpulan. Apabila pernyataan itu wajar, maka uraian itu disebut berlogika. Sebaliknya bila tidak tersusun secara wajar, maka orang menyebutnya tidak menurut logika.
Penalaran Ilmiah
Untuk melakukan kegiatan analisis, maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. Pada dasarnya pengetahuan yang digunakan pada penalaran bersumber pada rasio atau fakta. Sebagian orang menganut faham bahwa rasio adalah sumber kebenaran (rasionalisme), sebagian lagi menganut faham yang menyatakan bahwa sumber kebenarnan ialah fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia (empirisme). Penalaran ilmiah yang merupakan bagian dari usaha untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, merupakan gabungan dari penalaran deduktif yang terkait dengan rasionalisme, dan penalaran induktif yang terkait dengan empirisme. Setiap penulis hendaknya berusaha sedapat mungkin untuk menyampaikan buah pikirannya dengan sebaik-baiknya. Dengan usaha demikian itu pesan yang hendak disampaikan dapat terjaga dari cacat yang melekat padanya. Pada dasarnya dapat dibedakan berbagai pola pemikiran dalam cara penyampaiannya secara tulisan, seperti yang terlihat pada pola paragraf.  (Lihat pola paragraf pada Membaca Efektif)
        Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir itu harus dilakukan menurut cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan dianggap sahih (valid), apabila proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara atau metode tertentu. Terdapat 2 cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Penarikan kesimpulan dibedakan pula atas sebelum (apriori) dan sesudah (posteriori).
Logika Induktif
Logika induktif berkaitan dengan pengambilan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.  Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran induktif dimulai dengan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi, yang diakhiri dengan pernyataan (kesimpulan) yang bersifat umum.
Contoh sederhana ialah fakta bahwa:
                                              Kambing mempunyai mata
                                                                             Gajah mempunyai mata
                                                                             Kucing dan hewan lain mempunyai mata


 
 Kesimpulannya yang bersifat umum ialah :        Semua hewan mempunyai mata

Cara pembuatan kesimpulan yang bersifat umum ini mempunyai 2 keuntungan :

1.      Pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoretis.
2.      Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara induktif, dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang lebih bersifat umum lagi. Umpamanya, dengan melanjutkan contoh tadi, dari kenyataan bahwa semua hewan mempunyai mata dan manusia mempunyai mata, dapat ditarik kesimpulan umum bahwa semua mahluk hidup mempunyai mata. Penalaran demikian itu memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis, yang mengarah pada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin berisfat fundamental.

Contoh di atas itu merupakan pengungkapan dengan rekaan yang disebut induksi. Secara umum induksi dapat diperoleh dengan cara generalisasi atau penyamarataan hubungan sebab akibat dan analogi. Penyamarataan ialah kesimpulan yang didasarkan pada penelitian dari beberapa anggota atau komponen. Dengan sendirinya penelitian itu harus merata atau mewakili, dan tidak dilakukan pada bagian yang terpilih saja, agar kesimpulan yang diperoleh itutidak timpang. Sebenarnya azas yang terpakai disini ialah azas statistika, yaitu arah kecenderungan.

Contoh lain di bidang analisis farmasi:
             Analisis tablet Valium 2    menghasilkan kadar   99,9  %
                                     Analisis tablet Diazepin 2  menghasilkan kadar 102,5 %
                         Analisis tablet Mentalium 2 menghasilkan kadar  100,1 %


 
Kesimpulan :
                        Analisis tablet Diazepam 2 yang beredar di Makassar menghasilkan kadar dalam
                        batas persyaratan (95-105) %.
Berarti (secara umum) semua tablet yang mengandung Diazepam 2 memenuhi persyaratan kadar. Setelah dilanjutkan dengan analisis berbagai tablet Diazepam 5  dengan hasil yang sama, dapat diambil kesimpulan bahwa semua tablet yang mengandung psikotropika yang beredar di Makassar memenuhi persyaratan kadar Farmakope Indonesia.
Logika Deduktif
Deduksi adalah kegiatan berpikir  sebaliknya dari induksi, yaitu cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Logika deduktif dinamakan pula sebagai cara kerja yang apriori, yaitu menghasilkan kesimpulan sebelum adanya pengamatan indriawi sebagai suatu dasar pengetahuan (contoh: perumusan hipotesis). Cara apriori tidak bersifat empiris, melainkan langsung berdasarkan pengetahuan (pengetahuan, konsep, intuisi) akal budi. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus.

Contoh :  Semua mahluk mempunyai mata             (Premis mayor)
                  Si Polan adalah seorang mahluk               (Premis minor)


 
                  Jadi si Polan mempunyai mata                        (Kesimpulan)
Dalam contoh itu,  “Semua mahluk mempunyai mata” merupakan dalil yang bersifat umum yang dinamakan premis mayor;  kalimat berikutnya merupakan pernyataan yang bersifat khusus atau premis minor. Kesimpulan “si Polan mempunyai mata” adalah absah, karena ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Penalaran yang menggunakan 3 kalimat seperti itu dinamakan silogisme. Pada silogisme, kita bertolak dari dalil utama, menurunkannya ke dalil yang kurang penting, lalu sampai pada suatu kesimpulan. Kebenaran suatu kesimpulan tergantung pada kebenaran premis yang mendahuluinya. Mungkin saja kedua premis itu benar tetapi cara pengambilan kesimpulannya yang salah. Jadi ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari 3 hal, yaitu kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan kebenaran pengambilan kesimpulan. Contoh pengetahuan yang tersusun secara deduktif ialah Matematika.
Pola Penelitian pada Penulisan Skripsi
Skripsi ialah laporan penelitian yang merupakan persyaratan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan program Sarjana. Materi Skripsi ialah bidang keahlian mahasiswa sesuai program studi yang diambilnya. Keahlian dalam bidang Farmasi dapat dilihat pada uraian sebelum ini tentang Ilmu-Ilmu Farmasi. Karena bersifat ilmu, maka cara-cara dalam memperoleh pengetahuan kefarmasian itu harus memenuhi persyaratan tertentu yang dinamakan metode ilmiah. Ilmu-Ilmu Farmasi secara sistematik dan kumulatif tersusun setahap demi setahap melalui penyusunan argumentasi mengenai sesuatu hal yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian penyusunan ilmu pengetahuan dapat diibaratkan susunan batu bata (buiding blocks) pada suatu bangunan, yang lama kelamaan tersusun teratur di atas fondasi kuat yang telah ada. Dengan perkataan lain, suatu ilmu yang baru haruslah didasarkan atas pengetahuan yang telah ada sebelumnya, sehingga permasalahan atau gejala dicari jawabannya berdasarkan ilmu yang telah ada itu. Salah satu persyaratan keilmuan ialah bahwa pengethuan yang baru harus bersifat konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya. Suatu perumpamaan dalam bahasa Latin menggambarkan hal tersebut sebagai berikut : “Serpens nisi serpentum comederit, non fit draco”, yang secara harfiah berarti : Ular yang tidak memakan ular kecil lain, tidak akan menjadi naga, atau orang yang tidak belajar dari orang lain tidak akan menjadi orang besar [7]. Demikian pula halnya pada penyusunan ilmu pengetahuan, yang hanya dapat berkembang dengan mencontoh dan menggunakan ilmu orang lain.
BAB V    METODE ILMIAH
Metode ilmiah ialah prosedur untuk mendapatkan ilmu; atau dibalik, ilmu diperoleh melalui metode ilmiah. Metode ialah prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematik. Metodologi ialah suatu pengkajian dalam mempelajari aturan-aturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah ialah pengkajian dari aturan-aturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Karena berpikir itu merupakan suatu kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan, maka dapat pula dikatakan bahwa metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Pengetahuan yang dihasilkan dengan menggunakan metode ilmiah  mempunyai karakteristik tertentu,  yang merupakan persyaratan pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji. Metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun ilmu pengetahuan. Kerangka berpikir ilmiah berintikan proses yang disebut proses logiko-hipotetiko-verifikatif . Alur berpikir dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam langkah-langkah :
1)      Perumusan masalah
2)      Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis
3)      Perumusan hipotesis
4)      Pengujian hipotesis
5)      Penarikan kesimpulan
Suatu semboyan ilmiah ialah : Yakinkan secara logis dengan kerangka teoretis ilmiah, dan buktikan secara empiris pengumpulan fakta yang relevan.
Box, Hunter dan Hunter dalam (Andi Hakim Nasution, 1982) mengungkapkan dalam gambar mengenai proses penelitian itu (untuk memperoleh pengetahuan baru), sebagai proses belajar berulang dari pengalaman melalui penerapan deduksi dan induksi silih berganti sebagai berikut :

                            Data (fakta, gejala)


 


                              deduksi       induksi         deduksi            induksi


 


                           Hipotesis ( konjektur, model, teori)    
Penjelasan Bagan : Suatu hipotesis awal mengantar kita melalui deduksi ke sekumpulan akibat, yang dapat dibandingkan terhadap data yang telah dikumpulkan melalui pengalaman. Kalau akibat hipotesis dan data itu tidak sesuai, maka disusunlah suatu hipotesis baru melalui induksi. Hipotesis baru ini selanjutnya dibandingkan dengan data yang telah ada. dan dengan data baru. Perbandingan ini kemudian dapat menimbulkan perbaikan terhadap hipotesis, maka muncullah pengetahuan baru.
V.1   Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian pada dasarnya meliputi pemilihan metode atau teknik yang paling sesuai untuk memecahkan masalah dalam suatu penelitian. Sangatlah sulit untuk merumuskan rancangan penelitian yang bersifat umum, karena demikian luasnya keragaman tipe penelitian. Namun demikian, secara umum tipe penelitian dapat dibagi 2 kategori besar : empiris dan analitis. Penelitian empiris atau eksperimental terutama dilaksanakan pada penelitian tipe-sains, sedangkan penelitian analitis atau penelitian pustaka, umumnya dilakukan pada banyak subjek bertipe-seni. Namun demikian pada penelitian sains dapat pula dilakukan penelitian bersifat analitis atau deskriptif, yang non-eksperimental melalui suatu survei, observasi atau pengukuran tertentu.
Rantai Penalaran
Salah satu logika berpikir dalam penelitian ialah rantai penalaran (pola penelitian atau pola berpikir), yang dapat diterapkan pada penelitian tipe-sains maupun tipe-ilmu sosial. Krathwohl [6] menyatakan bahwa penelitian itu merupakan suatu rantai penalaran melalui alur-alur berpikir yang dapat digambarkan dalam suatu bagan seperti pada halaman berikut. Rantai penalaran ini berfungsi sebagai model umum dari suatu argumentasi logis, yang sebenarnya masih berupa konsep abstrak.  Dengan menggunakan rantai penalaran, maka pola pikir yang digunakan pada contoh penelitian :

Metode Acid Dye pada Penetapan Kadar Tablet Parasetamol ialah sebagai berikut:

1)      Misalnya, dari hasil penelitian terdahulu disarankan untuk mencari metode penetapan kadar Paresetamol yang lain, atau menurut pemberitaan di media massa ditemukan tablet parasetamol yang sub-standar, atau metode penetapan kadar resmi di F.I.IV menggunakan instrumen yang canggih yang tidak dipunyai oleh umumnya laboratorium.
2)      Di sini peneliti memberikan dasar pemikiran dan sudut pandangnya dengan cara menghubungkan dan melihat keterkaitan antara butir-butir di atas. Berdasarkan keterkaitan atau hubungan yang ada pada latar belakang tersebut di atas, maka didefinisikan masalah : perlu dicari metode penetapan kadar alternatif (yang lain), karena Tablet Parasetamol sangat luas digunakan oleh masyarakat, padahal ternyata ditemukan beredarnya Tablet Parasetamol sub-standar. Acid Dye ialah suatu zat warna asam yang dapat bereaksi dengan asetaminofen membentuk warna yang dapat diukur serapannya. Dengan demikian maka mungkin saja kadar asetaminofen dalam Tablet Parasetamol dapat ditetapkan menggunakan pereaksi Zat Warna Asam yang diukur secara Spektrofotometri.
3)      Pada tahapan ini timbul pertanyaan, prediksi atau model, tergantung seberapa banyak riset sebelumnya dapat memberikan dasar pemikiran bagi peneliti untuk mengetahui sesuatu. Pertanyaan timbul apabila tersedia cukup data untuk menunjukkan dimana dan apa yang akan dicari. Prediksi yang setingkat lebih tinggi dari pertanyaan , dapat dirumuskan apabila cukup banyak data dan jelas keterkaitannya dengan perlakuan. Jika dapat dikaitkan semua atau sebagian besar variabel dalam situasi tertentu, maka dapat dirumuskan suatu model, misalnya Hipotesis : Tidak ada perbedaan nyata pada kadar Asetaminofen dalam tablet (sesuai yang tertera pada etiket) menggunakan cara spektrofotometri  Metode Acid Dye.
  



(1)                                                                                Hubungan     dengan      penelitian   sebelumnya.         = latar
                                              Gejala           yang          diamati     di masyarakat          belakang
                                                                                                                                      masalah  
(2)                                                                          Dasar pemikiran atau Rationale             = mendefinisikan         
                                                                                                                            masalah

(3)                                                          Pengajuan    pertanyaan,     hipotesis,        model        = perumusan 
                                                                                                                                  hipotesis

(4)                                                                                        Desain                                              = Pola Peneltian
                                                                                                  Dasar
(5)                                                Subjek      Perlakuan      Observasi      pengamatan        Prosedur     = Rencana
                                                                                               ciri atau                                   Kerja
                                                                                               perubahan

(6)                                                                                         Analisis                                                     = Hasil 
                                                                                                                                              dan
                                                                                                                                      Pembahasan     
(7)                                                                                      Kesimpulan

(8)                                                                    Hubungan ke penelitian selanjutnya

(9)                                                                  Dasar pemikiran (baru) atau Rationale
                                     dan seterusnya


4)      Setelah menyatakan keterkaitan, maka perlu diuraikan bagaimana studi itu akan dilakukan dalam bentuk desain. Pada tahapan ini perlu diadakan “penerjemahan” berbagai keterkaitan dalam hipotesis itu ke dalam rancangan atau pola penelitian. Pola penelitian meliputi 6 aspek (dikenal dengan 5 WH),  yaitu :
Ø  Who (subyek apa). Dalam contoh di atas subyeknya ialah asetaminofen dalam tablet
Ø  Where (situasi di mana ia berada). Sampel yang diambil ialah bentuk tablet yang beredar di Makassar
Ø  Why (penyebab atau perlakuan). Tablet parasetamol dari berbagai jenis bentuk dan merk mungkin berbeda kadarnya, atau kadarnya tidak sesuai yang tertera pada etiket apabila ditetapkan menggunakan metode Acid Dye.
Ø  What Effect (pengamatan dan pengukuran). Hasil pengamatan dan pengukuran kadar masing-masing jenis tablet Parasetamol sesuai dengan yang tertera pada etiket, dibandingkan dengan standar.
Ø  How (bagaimana diketahui terjadinya efek atau perbedaan). Untuk mengetahui adanya efek atau perbedaan antara sampel, digunakan analisis statistik.
Ø  When (sekuens atau prosedur). Sampel tablet parasetamol diambil secara acak dari berbagai lokasi, kemudian ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri metode acid dye di laboratorium.
Tablet parasetamol yang beredar di Makassar terdiri atas berbagai jenis dan kemasan. Langkah pertama dalam desain (Pola Penelitian) ialah mengambil sampel yang mewakili semua jenis dan kemasan Tablet Parasetamol (disini diperlukan pengetahuan mengenai metode sampling dan statistik). Langkah kedua ialah mencari Zat warna Asam yang sesuai yang dapat membentuk warna stabil dengan asetaminofen, sehingga dapat diukur serapannya dengan Spektrofotometer visibel. Karena akan diukur dan dibandingkan serapannya, maka perlu dibuat kurva baku menggunakan asetaminofen BP (baku pembanding = reference standard).
5)      Konsep Pola Penelitian yang berupa pola pikir masih perlu dituangkan secara operasional dalam bentuk Rencana Kerja. Pada Rencana Kerja diidentifikasi Alat (spektrofotometer dan alat lain) yang diperlukan, dan bahan (asetaminofen BP, zat warna asam dan bahan pereaksi lain), dan prosedur kerja sesuai dengan pustaka.
6)      Berdasarkan Rencana Kerja ini dilaksanakan eksperimen. Pada pelaksanaannya diamati hasil yang diperoleh, dicatat kondisi dan kemungkinan penyimpangan yang terjadi, lalu di analisis dan dibahas untuk menarik kesimpulan sesuai dengan hipotesis..
7)      Kesimpulan diambil berdasarkan analisis
8)      Berdasarkan pengamatan kondisi atau penyimpangan selama pelaksanaan eksperimen diajukan saran-saran  untuk penelitian lanjut.
9)      Dari saran itu dapat timbul masalah baru yang selanjutnya dapat dimulai lagi dari butir 1.
V.2   Struktur Penelitian (Struktur Pengkajian Ilmiah)  [9]
Struktur penelitian merupakan rambu-rambu yang diterapkan dari pola pemikiran abstrak, yang secara logis dan kronologis mencerminkan kerangka penalaran ilmiah, yang selanjutnya dituangkan dalam suatu laporan ilmiah atau penulisan ilmiah. Banyak bentuk dan tata cara penulisan ilmiah yang dapat ditemukan dalam pedoman penulisan ilmiah. Meskipun bentuk luarnya berbeda, namun jiwa dan penalarannya adalah sama. Dengan demikian, yang lebih  penting bukan saja memahami teknik pelaksanaannya, melainkan memahami dasar pikiran yang melandasinya. Penelitian ilmiah pada dasarnya merupakan operasionalisasi metode ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Demikian juga penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan dalam bahasa tulisan. Untuk itu maka mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakekat keilmuan, agar dapat melakukan penelitian, dan sekaligus melaporkannya secara tertulis. Dengan penguasaan tematik dan teknik yang menjamin suatu keseluruhan yang utuh, tidak lagi menjadi soal dari mana penulis akan mulai, apakah hipotesis ditulis langsung setelah perumusan masalah, di tempat mana akan ditempatkan postulat asumsi atau prinsip. Mereka yang belum menguasai logika penalaran ilmiah secara baik, biasanya akan memperlakukan bentuk dan tata cara penulisan secara baku, sesuai dengan pedoman tertentu. 
Bagan berikut ini menyajikan operasionalisasi penelitian yang dinamakan Struktur Pengkajian Ilmiah. 

                  Metode Ilmiah                                                    Penelitian Ilmiah


                                                                                                 Pengajuan masalah

-    Latar belakang masalah
-    Identifikasi masalah
-    Pembatasan masalah
                                          MASALAH                        -   Perumusan masalah
-    Tujuan penelitian (secara umum)  
-    Kegunaan penelitian

 Penyusunan                                                   Penyusunan Kerangka Teoretis
 KERANGKA                                                        dan Penyusunan Hipotesis
 BERPIKIR                                
-    Pengkajian teori yang digunakan  
-    Pembahasan penelitian yang relevan
-    Penyusunan kerangka berpikir
di samping hipotesis
                                        HIPOTESIS                       -  Perumusan hipotesis







 
                                                                                               METODOLOGI PENELITIAN

-    Tujuan penelitian (operasional)
-    Tempat / Waktu penelitian
METODOLOGI                                                      -  Metode penelitian
PENELITIAN                                                               -  Teknik Pengambilan contoh
-    Teknik pengumpulan data
-    Teknik analisis data

                                                                                                 HASIL PENELITIAN

-    Variabel yang diteliti
-    Teknik analisis
-    Kesimpulan analisis data
-    Penafsiran kesimpulan analisis data
                                        PENGUJIAN                        -  Kesimpulan pengujian hipotesis
                                            HIPOTESIS
                                                                                RINGKASAN KESELURUHAN

-    Deskripsi singkat mengenai masalah,
hipotesis, metodologi dan hasil penelitian
                                        KESIMPULAN                      -  Kesimpulan penelitian yang merupakan
sintesis dari seluruh aspek tersebut di atas
-    Pembahasan hasil penelitian dengan
membandingkan terhadap penelitian lain
dan pengalaman ilmiah yang relevan
-    Pengkajian implikasi penelitian
-    Pengajuan saran
Penjelasan Struktur Pengkajian Ilmiah : 
Pengajuan Masalah.   
Suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri, tetapi terkait dengan faktor-faktor sekelilingnya. Oleh karena itu  perlu dikaji latar belakang permasalahan, yaitu situasi dimana permasalahan itu berada, apakah latar belakang ekonomi, sosial, politik, kebudayaan atau faktor lainnya. Dalam konstelasi situasi tertentu demikian itu dapat diidentifikasi suatu permasalahan.  Identifikasi masalah merupakan tahap permulaan dari penguasaan masalah dimana suatu objek dalam jalinan situasi tertentu dapat dikenali sebagai suatu masalah. Ternyata identifikasi masalah menimbulkan banyak pertanyaan. Dalam kegiatan ilmiah berlaku azas, bahwa bukanlah kuantitas jawabannya yang menentukan mutu keilmuan suatu penelitian, melainkan kualitas jawabannya. Karena banyaknya pertanyaan yang memerlukan jawaban itu, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya. Pembatasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas permasalahan dengan jelas, yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk ke dalam ruang lingkup permasalahan dan mana yang tidak. Di sini pun masalah penelitian harus dibatasi lebih lanjut dengan menetapkan di mana dan kapan penelitian akan dilakukan (pembatasan ruang dan waktu). Dengan pembatasan masalah ini, maka fokus masalah menjadi bertambah jelas sehingga memungkinkan kita untuk merumuskan masalah itu dengan baik. Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya, yang merupakan pertanyaan lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Masalah yang dirumuskan dengan baik, berarti setengah terjawab. Setelah masalah diidentifikasi dan dibatasi, yang tercermin pada pernyataan yang bersifat jelas dan spesifik, maka dapatlah dikembangkan kerangka pemikiran yang berupa kajian teoretis berdasarkan pengetahuan ilmiah yang relevan, serta memungkinkan kita untuk melakukan pengujian secara empiris terhadap kesimpulan analisis teoretis, maka secara konseptual masalah tersebut sudah berhasil dirumuskan. Tanpa perumusan masalah yang spesifik, tidak mungkin kita mengidentifikasi pengetahuan ilmiah yang relevan dalam membangun suatu kerangka pemikiran. Demikian pula metode ilmiah mensyaratkan adanya hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang dihadapi, yang diturunkan secara deduktif dari pengalaman ilmiah yang dikumpulkan, sehingga untuk dapat mengidentifikasi teori-teori yang diperlukan, maka perlu diketahui karakteristik permasalahannya. Dengan perumusan masalah yang baik akan membantu pula dalam menetapkan data empiris yang harus dikumpulkan. Setelah masalah dirumuskan dengan baik maka seorang peneliti menyatakan tujuan penelitiannya. Tujuan penelitian adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan berasarkan masalah yang telah dirumuskan. Setelah itu dibahas kegunaan penelitian, yang merupakan manfaat yang dapat dipetik dari pemecahan masalah yang diperoleh dari penelitian. Keseluruhan langkah dalam kegiatan keilmuan terpadu secara utuh dalam suatu logika ilmiah. Oleh sebab itu haruslah benar-benar dipahami, bukan saja sekedar mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan, melainkan juga mengetahui dasar pikiran yang melatarbelakangi langkah-langkah tersebut.
Penyusunan Kerangka Teoretis dan Pengajuan Hipotesis
Setelah masalah dirumuskan dengan baik, maka langkah kedua dalam metode ilmiah ialah pengajuan hipotesis. Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Pemecahan masalah dalam kegiatan ilmiah menggunakan cara ilmiah. Cara ilmiah dalam pemecahan masalah pada hakekatnya adalah mempergunakan pengetahuan atau teori-teori ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan agar didapatkan jawaban yang dapat diandalkan, berarti dipergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat pembantu untuk menemukan pemecahan masalah. Dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah yang relevan dengan permasalahan tersebut, maka dimulai melakukan analisis yang berupa pengkajian teoretis. Pada dasarnya pengkajian teoretis ini meliputi :
1)      Mengkaji karakteristik masalah berdasarkan pengetahuan ilmiah;
2)      Mencari perbedaan dari karakteristik tersebut,
3)      Dan mengkaji secara ilmiah mengenai hakekat masalah.
Berdasarkan pengkajian ini akan dirumuskan hipotesis yang berupa pertanyaan-pertanyaan. Agar supaya kerangka teoretis dapat disebut meyakinkan, maka argumentasi yang disusun tersebut harus memenuhi beberapa syarat :
1)      Teori yang dipergunakan dalam kerangka berpikir harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Sekiranya dipilih suatu pendekatan tertentu dari beberapa pendekatan sesuai teori, atau dipilih satu alternatif dari beberapa kemungkinan, perlu dijelaskan mengapa kita memilih pendekatan atau alternatif tersebut.
2)      Karena perkembangan ilmu sangat pesat, sebuah teori yang efektif di masa lalu mungkin sudah ditinggalkan saat ini. Oleh karena itu teori yang dipilih hendaknya merupakan perkembangan terakhir dalam bidangnya. Dengan demikian kita dapat berargumentasi menggunakan teori-teori yang representatif pada saat ini.
“The state of the art” merupakan lingkup yang bersifat menyeluruh dalam mencakup perkembangan terbaru dalam suatu disiplin keilmuan, yang dipergunakan sebagai dasar analisis dalam pengajuan hipotesis. Pengetahuan filsafati tentang suatu teori adalah pengetahuan tentang pikiran-pikiran dasar yang melandasi tersebut dalam bentuk postulat, asumsi atau prinsip. Idealnya perkuliahan sarjana, apalagi pasca sarjana , pada hakekatnya paling tidak harus mencakup beberapa hal, yaitu
-          mengkaji “the state of the art” dari suatu disiplin ilmu yang mencakup seluruh perkembangan teori keilmuan sampai sekarang.
-          “analisis filsafati” dari teori-teori keilmuan yang difokuskan kepada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya.
-          mampu mengidentifikasi masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut.

Seorang peneliti harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar dari argumentasi dalam menyusun kerangka pemikiran yang membuahkan hipotesis. Kerangka pemikiran ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan kita. Kriteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan sesama ilmuwan, adalah alur-alur pikiran logis dalam membangun suatu kerangka berpikir yang membuahkan kesimpulan sementara berupa hipotesis. Ilmu mensyaratkan bahwa pengetahuan ilmiah baru harus bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya, dan hal ini harus tercermin dalam struktur logika berpikir dalam menarik kesimpulan. Untuk ini harus dipenuhi 2 persyaratan :
1)      mempergunakan premis-premis yang benar, dan
2)      mempergunakan cara penarikan kesimpulan yang sah.

Pada hakekatnya kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis didasarkan kepada argumentasi deduktif dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis-premis dasarnya. Mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis dasar dalam kerangka argumentasi akan menjamin 2 hal :

1)      Karena kebenaran pernyataan ilmiah telah teruji lewat proses keilmuan, maka kesimpulan yang ditarik merupakan jawaban yang terandalkan.
2)      Dengan mempergunakan pernyataan yang secara sah diakui sebagai pengetahuan ilmiah, maka pengetahuan baru yang ditarik secara deduktif akan bersifat konsisten dengan tubuh pengetahuan yang telah disusun.
Patut disadari bahwa dalam menyusun kerangka pemikiran yang membuahkan hipotesis, pada pokoknya kita mengembangkan argumentasi untuk memberi penjelasan sementara tentang masalah yang dihadapi. Berpikir argumentatif ini selanjutnya berarti bahwa kita menyusun kerangka berpikir kita (bukan kerangka berpikir orang lain) secara sistematik dan analitik dengan mempergunakan khasanah teori ilmiah yang selektif. Di samping premis-premis tersebut, maka dalam kerangka teoretis dilakukan juga pengkajian terhadap penelitian-penelitian yang relevan, yang telah dilakukan peneliti lainnya. Perumusan pikiran-pikiran dasar berupa postulat, asumsi, atau prinsip, lebih banyak digunakan dalam kajian bidang ilmu-ilmu soasial, relatif tidak banyak dalam kajian ilmu-ilmu alam. Sebagai contoh, penelitian di bidang pendidikan terdapat sejumlah pikiran dasar mengenai apa yang disebut proses pendidikan yang baik, kurikulum yang efektif, sistem pendidikan yang efisien, dan sebagainya. Pikiran-Pikiran dasar ini secara sistematik harus dinyatakan dalam serangkaian postulat, asumsi dan prinsip, agar alur kerangka berpikir kita dapat diikuti orang lain dengan jelas.
Metodologi Penelitian
Setelah dirumuskan hipotesis yang diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan, maka langkah berikutnya adalah menguji hipotesis tersebut secara empiris. Artinya bahwa dilakukan verifikasi apakah pernyataan yang dikandung dalam hipotesis yang diajukan tersebut didukung atau tidak oleh pernyataan yang bersifat faktual. Kalau dalam proses pengajuan hipotesis dilakukan penerimaan kesimpulan secara deduktif, maka dalam proses verifikasi dilakukan penarikan kesimpulan secara induktif. Proses verifikasi ialah upaya untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari fakta-fakta yang bersifat individual. Masalah dalam proses verifikasi ini adalah bagaimana prosedur dan cara dalam pengumpulan dan analisis data, agar kesimpulan yang ditarik itu memenuhi persyaratan berpikir induktif.  Penetapan cara dan prosedur ini disebut metodologi penelitian. Metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi metodologi penelitian ialah pengetahuan tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian yang diturunkan dari tujuan penelitian. Dalam proses verifikasi dituntut untuk melakukan penarikan kesimpulan secara induktif. Kegiatan pertama dalam menyusun metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian, yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti, dan karaktersitik hubungan yang akan diuji, melainkan sekaligus juga tingkat keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya. Berdasarkan tujuan penelitian ini akan dapat dipilih metode penelitian yang tepat, beserta teknik pengambilan contoh (sampel) dan teknik penarikan kesimpulan yang relevan. Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan, sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam memecahkan masalah tertentu yang ditemukan dalam melaksanakan prosedur. Jadi metode penelitian mencakup beberapa teknik, misalnya teknik pengambilan contoh, teknik pengukuran, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Pada hakekatnya proses verifikasi adalah mengumpulkan dan menganalisis data, dimana kesimpulan yang ditarik kemudian dibandingkan dengan hipotesis untuk menentukan apakah hipotesis yang diajukan tersebut diterima atau ditolak. Dengan demikian maka teknik-teknik yang tergabung dalam metode penelitian harus dipilih yang cocok dengan rumusan hipotesis. Sebagai contoh, pada teknik analisis statistika untuk menemukan perbedaan antara dua variabel,  x ≠ y, atau pengujian hipotesis alternatif, digunakan analisis statistika yang bersifat dua arah, sedangkan untuk membandingkan 2 variabel, x  > y, atau pengujian hipotesis selektif, digunakan analisis statistika satu arah. Oleh karena itu dalam teknik analisis data harus dinyatakan secara tersurat pengajuan hipotesisnya, yang dinyatakan dalam pernyataan statistis dengan menuliskan bersama-sama, baik hipotesis nol (H0) maupun hipotesis tandingan (H1) beserta rumus statistika yang dipergunakan. Pengajuan hipotesis  dalam kerangka teoretis cukup diekspresikan dengan hipotesis konseptual, yang dinyatakan dalam bentuk nonstatistis. Dalam teknik pengumpulan data harus dinyatakan variabel yang akan dikumpulkan, sumber data dari mana keterangan mengenai variabel tersebut akan diperoleh. Demikian pula halnya dengan teknik pengukuran, instrumen pengukuran (misalnya kuesioner) dan teknik memperoleh data (misalnya wawancara). Apabila pada pengumpulan data perlu menggunakan instrumen tertentu, maka instrumen itu harus diuji dulu sebelum dipergunakan. Untuk itu dinyatakan secara tersurat langkah-langkah pengujian beserta hasilnya. Pada pokoknya sebuah instrumen harus teruji keabsahan (validity) dan keandalannya (reliability).
Hasil Penelitian
Setelah perumusan asalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian, maka langkah berikutnya ialah melaporkan  apa yang ditemukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik kesimpulan. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Dalam membahas hasil penelitian, harus diingat bahwa tujuannya adalah membandingkan kesimpulan yang ditarik dari data yang telah dikumpulkan, dengan hipotesis yang diajukan. Secara sistematik dan terarah data yang telah dikumpulkan tersebut diolah, dideskripsikan, dibandingkan, dan dievaluasi, yang kesemuanya diarahkan kepada sebuah pengambilan kesimpulan apakah data tersebut mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Sebaiknya pula diadakan evaluasi mengenai kesimpulan tersebut. Suatu kesimpulan yang menyebabkan ditolaknya suatu hipotesis sebaiknya juga dianalisis lebih lanjut. Mungkin juga ditemukan bahwa hipotesis tidak diterima, disebabkan oleh kerangka teoretis untuk pengajuan hipotesisnya tidak benar. Dalam hal ini tidak dibenarkan untuk berbalik arah dengan mengubah kerangka teoretis untuk disesuaikan, sebab secara epistemologis hal itu tidak sah, dan kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang salah. Seandainya terdapat keraguan dalam kesimpulan, sebaiknya kesimpulan ini dianggap sebagai kebenaran sementara, yang dapat disarankan untuk diuji kembali pada penelitian nerikutnya, agar dapat lebih dipastikan kebenarannya. Dalam keadaan hipotesis yang ditolak, biasanya diberikan penjelasan berupa dugaan mengapa hal itu terjadi, kemudian disarankan menjadi hipotesis untuk diuji pada penelitian lain. Untuk melaporkan hasil penelitian, maka secara singkat dan kronologis, pertama-tama diberikan deskripsi tentang variabel yang diteliti, disusul dengan teknik analisis yang digunakan. Setelah itu hasil pengukuran dilaporkan, yang kemudian dilengkapi dengan kesimpulan analisis dari data yang dikumpulkan. Laporan ditulis dalam bentuk esei dengan kalimat-kalimat verbal yang mencakup semua pernyataan yang sepatutnya dikemukakan, baik pernyataan yang bersifat kualitatif maupun yang kuantitatif. Sekiranya diperlukan, maka deskripsi bentuk esei ini dilengkapi dengan berbagai sarana pembantu seperti tabel, grafik atau bagan, yang berfungsi untuk lebih memperjelas pernyataan verbal, bukan sebaliknya. Demikian juga data yang ditempatkan dalam tubuh utama laporan haruslah merupakan data yang telah diolah. Data mentah dan langkah-langkah dalam pengolahan data tersebut sebaiknya ditulis dalam lampiran. Langkah berikutnya ialah pemberian penafsiran terhadap kesimpulan analisis data. Pada tahap ini harus ditafsirkan hubungan yang bersifat statistis seperti regresi dan korelasi, ke dalam hubungan yang bersifat ilmiah, misalnya hubungan kausalita.  Demikian pula ditafsirkan tingkat keumuman (generality) dari kesimpulan yang ditarik berdasarkan contoh (sampel), kepada kesimpulan yang menyangkut populasi.  Penafsiran terminologi  analisis juga harus diberikan, misalnya apa yang dimaksud dengan koefisien korelasi tertentu yang besarnya diukur pada penelitian. Sekiranya diperoleh bahwa  x dan y berkorelasi dengan koefisien sebesar r, maka harus dijelaskan hubungan yang terdapat antara kedua variabel tersebut. Kiranya patut diingat bahwa statistika dan bermacam teknik analisis lainnya hanya sekedar alat dan bukan merupakan tujuan.
Ringkasan dan Kesimpulan
Kesimpulan penelitian merupakan sintesis dari keseluruhan aspek penelitian yang terdiri dari masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian. Sintesis membuahkan kesimpulan yang ditopang oleh suatu kajian terpadu, dengan meletakkan berbagai apek penelitian dalam perspektif yang menyeluruh. Untuk itu maka diuraikan kembali secara ringkas pernyataan pokok aspek tersebut di atas dan meletakkannya dalam kerangka yang mengarah kepada kesimpulan. Itulah sebabnya bagian ini disebut ringkasan. Kesimpulan penelitian harus tetap dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka teori keilmuan yang didukung oleh penemuan penelitian. Kesimpulan ini kemudian dibahas dengan jalan membandingkannya terhadap penelitian dan pengetahuan ilmiah lain yang relevan.
Abstrak
Abstrak merupakan ringkasan yang disarikan dari seluruh kegiatan penelitian, yang paling banyak terdiri atas 3 halaman, namun ada yang memberi batas paling banyak 200 kata. Keseluruhan abstrak merupakan esei yang utuh, dan tidak dibatasi dengan subjudul. (Catatan : karena tidak mempunyai subjudul, berarti hanya ada 1 topik kalimat yaitu abstrak. Karena hanya ada 1 topik kalimat, maka ada yang mengatakan bahwa abstrak sebaiknya hanya terdiri atas 1 paragraf. Khususnya, apabila abstrak ini akan dimuat dalam jurnal ilmiah, maka biasanya hanya diminta dalam satu paragraf saja). Sesuai dengan langkah-langkah dalam peneilitan, maka abstrak mencakup keseluruhan pokok pernyataan penelitian, mengenai masalah, hipotesis , metodologi dan kesimpulan. Karena teralu panjang, maka kerangka pemikiran tidak dicantumkan dalam abstrak, atau dicantumkan  hanya bagian pokoknya saja. Tiap bagian ditulis secara utuh namun ringkas, tiap bagian harus mendapatkan perlakuan yang seimbang. Sebuah abstrak hendaknya menimbulkan minat kepada pembaca untuk membaca keseluruhan laporan. Karena dapat diibaratkan sebagai iklan, maka abstrak ditempatkan di halaman terdepan dari publikasi ilmiah.

BAB  VI     BENTUK  DAN  FORMAT  PELAPORAN
Pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan bentuk dan format pada pelaporan karya tulis ilmiah; apakah karya tulis itu berbentuk tugas laporan pustaka (assignment), makalah ilmiah (scientific paper), laporan praktikum, skripsi, tesis atau disertasi. Suatu karya tulis ilmiah pada dasarnya terdiri atas Pendahuluan, Isi dan Kesimpulan atau Penutup. Format laporan dapat bervariasi menurut forum atau “audience” yang akan mempublikasikannya. Sebagai contoh, penulisan artikel untuk suatu jurnal tertentu, biasanya sudah ditentukan formatnya. Demikian pula format makalah yang akan disajikan dalam suatu pertemuan ilmiah, biasanya panitia sudah menentukan format makalah yang dapat diterima. Untuk pelaporan hasil penelitian berbentuk Skripsi, setiap universitas atau fakultas mempunyai Pedoman Penulisan Skripsi sendiri. Seperti telah diuraikan sebelum ini, hendaknya jangan terlalu kaku dalam mengikuti pedoman tersebut, karena yang lebih penting ialah alur berpikir yang ingin dikemukakan penulis. Sebagai pedoman aturan pelaporan Skripsi itu hanya memberikan kerangka  dasar format pelaporan yang tidak mengikat.
VI. 1   Contoh Format Penulisan Skripsi   [10]
Penulisan Skripsi pada dasarnya terdiri atas 3 bagian besar :
1.      Bagian Pendahuluan, yang memuat bahan preliminer
2.      Bagian Pokok, yang memuat teks pokok laporan / karya
3.      Bagian Akhir, yang memuat bahan-bahan referensi
Perincian kerangka laporan penelitian adalah sebagai berikut :
I . Bagian Pendahuluan
1.      Judul laporan
2.      Halaman pengesahan (bila ada)
3.      Kata pembuka dan pengharagaan (Ucapan terima kasih)
4.      Daftar Isi
5.      Daftar tabel (jika ada)
6.      Daftar grafik, diagram atau gambar (jika ada)
II. Bagian Pokok
A.     PENGANTAR
1.      Penegasan mengenai judul
2.      Alasan pemilihan judul.
3.      Tujuan riset (jika belum digabung pada 2).
4.      Sistematika pelaporan.
B.     ANALISIS  LANDASAN  TEORI
1.   Analisis hasil penelitian sebelumnya, pengamatan, dan diskusi tentang masalah yang
       berkaitan.
2.   Eksposisi angapan-anggapan yang mendasari hipotesis yang diajukan.
3.   Pernyataan hipotesis yang hendak diselidiki.
4.   Hasil yang diharapkan beserta implikasi-implikasi praktisnya.
C.     ANALISIS  DAN  PENETAPAN  METODE  YANG  DIPAKAI
1.       Populasi, sampel, dan prosedur sampling
2.       Metode dan prosedur pengumpulan data
3.       Metode dan prosedur analisis data
D.     PENGUMPULAN  DAN  PENYAJIAN  DATA
1.       Uraian atau deskripsi secara singkat (jika perlu)
2.       Penyajian tabel-tabel (jika ada)
3.       Penyajian grafik, diagram, dll (jika ada)
E.      ANALISIS  DATA
1.       Analisis statistik (jika ada)
2.       Analisis isi atau analisis kualitatif (jika ada)
3.       Analisis perbandingan atau komparatif (jika ada)
4.       Kesimpulan analisis
F.      RINGKASAN  DAN  SARAN-SARAN
1.       Ungkapkan kembali secara singkat permasalahannya
2.       Nyatakan kembali secara singkat metode yang digunakan untuk menggarap masalah itu.
3.       Nyatakan secara singkat penggarapan masalah dan kesimpulannya
4.       Saran-Saran atau rekomendasi yang relevan
III.         Bagian Akhir
1.       Daftar pustaka atau bibliografi
2.       Lampiran (jika ada)
3.       Indeks nama dan indeks masalah (jika ada)
VI. 2  Pedoman Penulisan Skripsi  (FARMASI-UNHAS)
Karena sampai saat ini belum disahkan Pedoman Penulisan Skripsi yang baru, berikut disajikan pedoman yang digunakan pada tahun 1990 dan 1991, sebagai berikut.
  Bab  I    PENDAHULUAN
II    MAKSUD DAN TUJUAN 
      Bab ini telah dihapus dan dimasukkan dalam Pendahuluan
        III    POLA PENELITIAN.
                Bab ini juga sudah dihapus, dimasukkan Bab Pendahuluan,  namun masih ada yang
                tetap memisahkannya dalam bab tersendiri. Kebanyakan masih menganggap Pola
                Peneltian ini sama dengan Rencana Kerja. Seharusnya Pola Penelitian merupakan pola
                pikir yang masih bersifat abstrak. Pola penelitian ini  selanjutnya dioperasionalisasikan
                dalam Rencana Kerja.
IV.  TINJAUAN  PUSTAKA
V.     RENCANA KERJA
       (untuk seminar I atau seminar proposal, untuk seminar II menjadi PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN.
VI.  PEMBAHASAN
         VII. KESIMPULAN  DAN  SARAN
Bagian Inti atau Isi laporan akhir menurut pedoman (1991) terdiri atas:
Bab   I   PENDAHULUAN , yang berisi gambaran singkat tentang :
-          latar belakang, identifikasi dan perumusan masalah
-          ruang lingkup dan / atau manfaat penelitian
-          metodologi penelitian
-          maksud dan tujuan penelitian
-          lokasi dan tempat       
Bab II    TINJAUAN PUSTAKA, seharusnya hanya berisi tinjauan pustaka yang ada kaitannya
              dengan BAB I. Kadang-Kadang dimasukkan juga hal-hal yang tidak relevan dalam 
              Tinjauan Pustaka
Bab III   PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN
Bab IV   PEMBAHASAN
Bab  V   KESIMPULAN DAN SARAN                 
VI. 3    Format Rencana Penelitian dan Laporan Penelitian
Skripsi sebagai mata kuliah pada Proram Studi Farmasi UNHAS terbagi atas:
I.                   Rencana Penelitian, (Seminar I)
II.                Skripsi, dan
III.             Laporan Hasil Penelitian (Seminar II)
Bagian II Skripsi dinilai hanya oleh Pembimbing. Bagian I Rencana Penelitian dan Bagian III Laporan Hasil Penelitian harus diseminarkan dalam forum seminar yang dihadiri dan dinilai oleh staf pengajar. Di sini timbul masalah, karena mahasiswa sebagai penyaji harus memperbanyak  makalahnya untuk sejumlah peserta seminar yang cukup banyak, sehingga memerlukan biaya cukup banyak pula. Untuk mengatasi hal itu telah diadakan pembicaraan antara pimpinan, koordinator seminar dan wakil mahasiswa (4 Mei 1990) yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :
1.      Penulisan Rencana Penelitian mahasiswa (Seminar I) dibuat hanya 6-10 halaman dengan pembagian isi sebagai berikut :
-          Pendahuluan
-          Pola Penelitian
-          Rencana Kerja
-          Cara Pengambilan Kesimpulan
-          Daftar Pustaka
2.Laporan Penelitian (Seminar II), dibuat 6-10 halaman dengan pembagian sebagai berikut :
-          Abstrak  (Bahasa Indonesia dan Inggris)
-          Pendahuluan
-          Cara Kerja (dalam bentuk bagan) dan Hasil
-          Pembicaraan / Pembahasan
-          Kesimpulan, Saran dan daftar Pustaka
3.Naskah hasil penelitian yang lengkap dibagikan hanya kepada semua dosen
          penguji, serta 1 eksemplar untuk Koordinator Seminar Skripsi.
Hal-Hal yang belum diatur dalam kesepakatan ini akan dibicarakan kemudian. Dalam pedoman Penulisan Skripsi 1991, Format Laporan Hasil Penelitian (Seminar II) telah mengalami sedikit perubahan sebagai berikut:
RESUME LAPORAN PENELITIAN
  1. Judul Penelitian
  2. Nama dan Nomor Pokok mahasiswa
  3. Nama Pembimbing Skripsi
  4. Abstrak (diusahakan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris). Abstrak hendaknya memuat ringkasan penelitian yang mencakup latar belakang, tujuan penelitian, metode dan hasil penelitian. Jumlah kata tidak lebih dari 200 kata.
  5. Metodologi atau Pelaksanaan Penelitian
Disajikan dalam bentuk skema, bagan, gambar, tabel dan lainnya yang sangat teknis.
  1. Hasil dan Pembahasan, disajikan dalam butir-butir yang runtut untuk memudahkan cara mengikutinya.
  2. Kesimpulan dan Saran.
Catatan : namanya saja INTISARI, jadi harus dapat dibuat secara singkat, jelas dan menarik.
BAB  VII    TEKNIK PENULISAN ILMIAH
Teknik penulisan ilmiah meliputi 2 aspek, yaitu gaya penulisan dan teknik notasi dalam menyebutkan sumber pengetahuan ilmiah yang digunakan dalam penulisan.
 VII. 1    Gaya Penulisan
 Komunikasi ilmiah  harus bersifat jelas dan tepat, yang memungkinkan penyampaian pesan yang bersifat reproduktif dan impersonal. Penulis ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Sebuah kalimat yang tidak dapat diidentifikasi, mana yang merupakan subjek dan mana yang merupakan predikat, serta hubungan apa yang terkait antara keduanya, kemungkinan besar akan merupakan informasi yang tidak jelas. Tata bahasa merupakan ekspresi dari logika berpikir. Oleh karena itu, langkah pertama dalam menulis karangan ilmiah yang baik adalah mempergunakan tata bahasa yang benar. Demikian juga penggunaan kata harus secara tepat, yaitu memilih kata-kata yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan.
Komunikasi ilmiah harus bersifat impersonal. Oleh karena itu tidak digunakan kata ganti orang pertama (saya, kami), dan orang ketiga (dia, mereka); sebaiknya digunakan kalimat pasif. Menurut Purbo M. 1970  [7],   terdapat 6 sifat atau ciri penulisan keilmuan :
1)      Jelas, yang berarti tidak menimbulkan salah tafsiran atau memiliki makna ganda (ambigu = ambiguous), baik dalam pemilihan kata, istilah maupun dalam susunan kalimat.
2)      Ringkas, dalam arti padat, tetapi bukan dengan cara pemendekan kata atau penggunaan akronim.
3)      Lengkap, berarti mencantumkan semua data yang diperlukan.
4)      Teliti, berarti teliti sampai hal-hal terkecil, misalnya penggunaan data, penerapan rumus, penulisan nama orang, nama tempat dan alat, penggunaan ejaan dan tanda baca.
5)      Tersusun, dalam hal runtunan gagasan (pola pikir), pengertian secara kronologis atau berdasarkan alasan tertentu.
6)      Menyatu, bahwa semuanya tertuju ke suatu sasaran, tanpa adanya pencampuran pokok atau unsur lain di luar permasalahan yang sebenarnya.
VII. 2    Teknik Notasi
Dalam tulis menulis ilmiah dikenal suatu etik, sopan santun atau tatakrama, yang mengharuskan seorang penulis menyebutkan sumber dari mana diperoleh suatu pernyataan ilmiah. Adalah suatu kebohongan besar, jika ada orang yang menganggap dirinya yang paling mengetahui segala-galanya. Padahal ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, diperolehnya melalui pergaulan dengan orang lain secara langsung atau melalui media cetak. Oleh karena itu pengetahuan dan ilmu yang dibeberkan seseorang tidak lain merupakan perangkuman (integrasi) dari segala sesuatu yang diperolehnya sepanjang hidupnya.
Salah satu aturan (tidak tertulis) dalam tulis menulis atau penyusunan naskah, ialah untuk menyebut sumber yang terpakai dalam suatu tulisan. Ini merupakan tatakrama yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Pernyataan yang diambil sebagian atau keseluruhan dari suatu sumber disebut nukilan (sitasi = citation), dan dalam tulisan ilmiah dikenal dengan teknik notasi. Tanda notasi diletakkan pada ujung kalimat menggunakan angka Arab yang dinaikkan ½ spasi, atau angka Arab dalam kurung di belakang kalimat. Apabila seluruh paragraf merupakan nukilan, maka tanda notasi ditulis setelah titik pada akhir kalimat. Jika hanya sebagian, misalnya hanya kalimat terakhir saja yang merupakan nukilan, maka tanda notasi ditempatkan sebelum titik pengakhir kalimat. Teknik notasi ilmiah menyebutkan sumber pengetahuan ilmiah yang digunakan dalam tulisan, yang meliputi 4 hal :
1)      Orang yang membuat pernyataan tersebut (penulis)
2)      Media komunikasi ilmiah di mana pernyataan itu disampaikan, apakah berbentuk makalah, buku, seminar, lokakarya, dan sebagainya.
3)      Lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut.
4)      Tempat domisili dan waktu penerbitan itu dilakukan.
Kewajiban mengutip suatu sumber juga untuk menyatakan penghargaan atas karya orang lain. Terdapat bermacam teknik notasi ilmiah yang pada dasarnya mencerminkan hakekat dan unsur yang sama, meskipun dalam format dan simbol berbeda-beda.
VII.3   Penempatan Catatan Kaki
Penggunaan catatan kaki (footnote) dalam teks mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungannya ialah bahwa informasi yang perlu dibaca sesuai dengan sumber aslinya dapat langsung diperoleh. Akan tetapi terlalu banyak catatan kakinya juga akan mengalihkan perhatian pembaca dari keutuhan topik pembicaraa. Dianjurkan agar tidak menggunakan kutipan langsung ini lebih dari 30% dari keseluruhan teks. Catatan kaki juga merupakan kutipan langsung, yang berarti susunan kalimat tidak berubah dari kalimat aslinya, sedangkan kutipan taklangsung, berarti sudah menggunakan kalimat penulis sendiri.
Penempatan catatan kaki dapat dilakukan dalam 2 cara :
a)      Langsung mengikuti tanda notasi, tanpa menunggu berakhirnya paragraf, dicetak dengan huruf lebih kecil dari teks, atau dibatasi oleh 2 garis tak terputus sepanjang garis.
Contoh :
      Obat dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Menurut KONAS Dep.Kes.R.I. [7] …..
       yang dimaksud dengan obat dalam Kebijakan Obat Nasional ialah bahan atau paduan bahan yang
        digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau keadaan patologis dalam rangka
        penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
 

b)      Ditempatkan di bagian bawah halaman , berjarak satu spasi dan dibatasi dengan teks oleh garis tak terputus.
[7] Kebijaksanaan Obat Nasional (1983), Departemen Keshatan R.I.   

Pada prinsipnya penulisan catatan kaki sama dengan penulisan pustaka secara umum, yang meliputi nama pengarang lengkap (didahului nama kecil atau nama pemberian yang sebaiknya tidak disingkat, disusul nama keluarga), judul karangan, data publikasi. Jika penulis lebih dari 1 orang, penulisan nama penulis lainnya sama denganpenulis pertama, dimulai dengan nama kecil. Seringkali dalam catatan kaki diadakan penyingkatan tertentu, yang baku demi efisiensi, misalnya :
Ibid.   singkatan dari ibidum, yang berarti sama dengan yang diatas, digunakan apabila nama pengarangnya sama, judul karangannya sama , hanya berbeda pada halaman yang dirujuk. Singkatan ini digunakan juga pada penulisan daftar pustaka apabila nama pengarangnya sama.
Contoh :  1.  Anderson  J. et al. (1970) “Thesis and Assignment Writing”, Jacaranda Wiley,
                     New York, pp. 22-35.
2.       Ibid. pp 36-45
op.cit. , singkatan dari opere citato, yang berarti dalam karya yang telah dikutip sebelumnya.
Contoh :  J.Anderson,  op.cit,  pp. 45-60
loc.cit. , singkatan dari locus citato, yang berarti pada tempat yang telah dikutip sebelumnya. Karena tempatnya sudah diketahui (nomor halaman), tidak perlu lagi menulis pada halaman berapa.
Contoh :  J.Anderson   loc.cit.
7.4    Penulisan Daftar Pustaka
      Penulisan daftar pustaka dapat mengkuti 2 pola :
    I.  Sistem Nama   ®  Tahun  (Harvard System)

·         Kutipan dari buku teks
         nama penulis.
         tahun penerbitan ( dalam kurung ),
         Judul buku ( Italic / miring ),
         edisi.
         nama penerbit,
         tempat penerbit.
         halaman ( disingkat p./pp. atau hal. ).
       Contoh :
Groenewegen, D. ( 1997 ), The Real Thing? : The Rock Music Industry and the  Creation of Australian Images, Moonlight Publishing, Victoria. pp. 232-234.

          Kutipan dari Jurnal
         nama penulis
         tahun publikasi
         “Judul buku” à diberi tanda kutip
         Judul Jurnal à italic/miring
         Nomor volume ( vol )
         Nomor terbitan
         Nomor halaman
        Contoh  :
Withrow, R & Roberts, L.  ( 1987 ), “ The Videodisc: Putting education on a silver platter”, Electronic Learning vol. 1, no. 5 . pp. 43-44

·         Kutipan jurnal dari Internet ( Harvard )
        Nama penulis/Editor  (nama akhir, Ed )
        Tahun
         Judul artikel
         Judul Jurnal ( Italic / digaris) [online]
         Jenis media yg dikutip [internet]
         Tanggal publikasi
         Nomor volume ( vol.) dan no. isu
         Alamat web-site ( Available from http : // www)
         Tanggal akses, nama bulan lengkap, tahun


               Contoh :
Smith,J. (1996) Time to go home. Journal of Hyperactivity [Internet] 12th October, 6 (4), pp.122-3. Available from: http://www.lmu.ac.uk [Accessed June 6th,1997] 

 Kumaidi, W. (1998) Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan tesnya, Jurnal Ilmu Pendidikan [Internet], Jilid 5, No. 4,  Available from: <http://www.malang.ac.id, diakses, 20 Januari 2000 

·         Kutipan di dalam naskah :
1.      Manfaat bahan ajar bagi mahasiswa terasa lebih bermanfaat… (Weston 1988, p.45)
2.      Scholtz (1990, p.445) membantah bahwa…


     II.  Sistem Nomor yang terbagi pula sebagai berikut :

                  a. menggunakan notasi menurut urutan nama pengarang berdasarkan abjad huruf awal
                     nama pengarang. (Alphabetic)
 
b.menggunakan urutan nama pengarang secara kronologis digunakannya notasi dari pengarang tersebut. (Vancouver System).

·         Kutipan dari buku teks (Vancouver)
-           nama penulis atau editor
-           tahun penerbitan ( dalam kurung ),
-           Tidak digaris bawahi atau miring
-           edisi.
-           nama penerbit,
-           tempat penerbit.
-           halaman ( disingkat p./pp. atau hal. ).

            Contoh :  (Satu Penulis)

Getzen TE. Health economics: fundamentals of funds. New York: John Wiley & Sons; 1997.

Contoh : (Lebih dari enam penulis)
Fauci AS, Braunwald E, Isselbacker KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al, editors.  Harrison’s principle of internal medicine. 14th ed.  New York: McGraw Hill, Health Professions  Division ; 1997.
          Kutipan dari Jurnal
        nama penulis
        Judul artikel
        Judul jurnal ( disingkat sesuai gaya )
        Tahun publikasi;
        Nomor volume ( vol ) ( no. terbitan):
        Nomor halaman

·         Kutipan dari internet :
-    Alamat web-site / URL
-    tanda titik, koma
-    garis datar, garis miring
-    Tanggal up-date
-    Tanggal akses
-    Kutipan tetap mengikuti sistem penulisan yang dipilih à Konsisten!

w  Kutipan jurnal dari Internet ( Vancouver )
          Nama penulis/Editor  (nama akhir, Ed )
         Judul artikel
         Judul Jurnal dalam singkatan
         [ nomor seri online ]
         Tahun publikasi;
         Nomor volume ( vol.)no. isu.
         Alamat web-site ( Available from http : // www)
         Tanggal akses, nama bulan ditulis lengkap,  tahun.
          Contoh :
Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar;1(1):[internet]. Available from: URL:http://www/cdc/gov/ncidoc/EID/ eid.htm. Accessed December 25, 1999.
·         Kutipan di dalam naskah:
1.      Manfaat bahan ajar bagi mahasiswa terasa lebih bermanfaat… [1]
2.      Scholtz [2] membantah bahwa…

Keuntungan pola I ialah bahwa nama pengarang yang sama dapat langsung terlihat. Namun pola apapun yang digunakan, asal digunakan secara konsisten sesuai kesepakatan. Jurusan Farmasi UNHAS menggunakan kombinasi Sistem Harvard, yaitu  Sistem Nama  ® Tahun, dan Sistem Nomor secara kronologis penggunaan pustaka tersebut dalam teks.
Kesepakatan terakhir di FMIPA UNHAS, tahun publikasi buku atau karya ilmiah ditempatkan setelah nama pengarang, agar supaya langsung terlihat kapan (tahun) dipublikasikannya suatu tulisan oleh pengarang tertentu. Akan tetapi kecenderungan terakhir, penulisan tahun penerbitan diletakkan pada bagian paling akhir.
Dengan berkembangnya media cetak, terdapat beberapa alternatif penulisan judul buku, artikel atau karya ilmiah untuk membedakannya dari nama penulis dan penerbit. Judul dapat ditulis dengan huruf  miring atau huruf tebal, atau di antara tanda kutip ‘tunggal’ atau “ganda”. Sebaiknya garis bawah digunakan untuk nama jurnal atau majalah, dan huruf miring digunakan untuk nama spesies tanaman atau hewan. Apabila menggunakan mesin ketik biasa, nama spesies dapat digarisbawahi.

Dengan demikian, maka alternatif terbaik untuk penulisan judul suatu buku atau artikel dalam majalah, ialah menggunakan huruf biasa di antara tanda kutip, baik dengan mesin ketik atau komputer, atau huruf tebal dengan komputer. Garis bawah digunakan pada majalah (judul artikel tetap di antara tanda kutip) atau penulisan nama spesies dengan mesin ketik biasa. Penulisan nama spesies dengan komputer dapat menggunakan huruf miring. Huruf awal setiap kata pada judul buku ditulis dengan huruf kapital, kecuali kata penghubung, misalnya kata: dan, serta, dengan, dari, tentang, mengenai, dan sebagainya.

Berikut ini contoh-contoh penulisan pustaka di Jurusan Farmasi UNHAS

Notasi yang berasal dari Buku
Mengikuti pola teknik notasi di atas, urutan teknik notasi ialah nama penulis,tahun,  judul buku dan media, lembaga serta waktu penerbitan.
Contoh [1] :      Brown, G. and M.Atkins (1988) “Effective Teaching in Higher
                          Education”, Methuen & Co, London.
Perhatikan penggunaan [kurung siku] untuk notasi pustaka, bukan kurung (biasa).

Dalam daftar pustaka, penulisan nama penulis pertama dudahulukan nama keluarga (marga) yang berbeda dengan penulisan nama pada catatan kaki. Nama penulis ke-2 dan ke-3 bila ada, kadang-kadang dimulai dengan nama marga, kadang pula dimulai dengan nama kecil.

Contoh [2]:       Kolthoff, I.M., Elving, P.J. Treatise on Analytical Chemistry, Vol. 5,
                          Part I, Interscience Publication, New York, 1982.
                           (dari : Remington’s Pharmaceutical Sciences. 1985)

Contoh [3]:            Martin B.L. and Briggs L.J. (1986) The Affective and Cognitive Domain :
                  Integration for Instruction and Research, Engelwood Cliffs, New Jersey.

Apabila penulis lebih dari 3 orang, hanya nama penulis pertama yang dicantumkan, ditambah et al. (singkatan dari et alii, yang berarti dan kawan-kawan).

Apabila penulis hanya berfungsi sebagai editor, perlu dicantumkan (ed.) di belakang nama penulis atau (penyad.) sebagai singkatan dari penyadur, atau (penerj.) sebagai singkatan dari penerjemah.

Apabila tanpa penulis, maka lengsung dituliskan lembaga yang menerbitkan, nama buku, edisi, dan tahun.
Contoh [4]:    Departemen Kesehatan Republik Indonesia “Farmakope Indonesia”
                                     Edisi IV, 1995, Jakarta.

Dapat pula dituliskan anonim (tidak bernama), apabila tidak tidak diketahui nama penulisnya.
Kutipan dari sumber kedua, sebagai contoh penulisan pustaka nomor tertentu dalam daftar pustaka :
Contoh [5] :    Smith, R.P. (1969) “ The Significance of Methemoglobinemia in Toxicology “ 
                         dikutip dari Blood,F.R. (ed.) “Essay in Toxicology”, hal. 84,95
                         Academic Press, New York . Mc Graw Hill, New York.

Beberapa contoh lain :
Contoh [6] :  Mattulada, Latoa, Satu Lukisan Analitik tentang Antropologi Orang Bugis,
                     Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1985.
                     (dari Majalah Lontara, Hasanuddin University Press, Tahun XXIX No.1 1993)
Catatan : Sebaiknya judul tulisan ditulis di antara tanda petik, atau menggunakan huruf tebal, agar huruf miring dapat digunakan untuk nama spesies tanaman dan hewan).
Contoh [7] :     Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),
                         Metode Penelitian Survei, Masri Singarimbun (Editor) 1989.
Notasi yang Berasal dari Jurnal atau Majalah
Urutan unsur pokok dari majalah yang harus masuk dalam notasi ialah : nama penulis, judul tulisan, nama majalah, nomor penerbitan, bulan dan tahun penerbitan, dan halaman yang dikutip. Nama dan tempat penerbit tidak lagi dicantumkan.
Contoh [8]:      Sudana Atmawidjaja, Slamet Ibrahim, “Pengujian Kadar Residu Beberapa 
                        Pestisida dalam Tanaman Solanum khasianum “, Acta Pharmaceutica Indonesia,
                        Volum IV, Nomor 3, September 1990, hal. 84-90.
Catatan : 
Tidak semua sukubangsa di Indonesia menggunakan nama marga (family name). Jadi apabila timbul keragu-raguan, maka nama penulis ditulis lengkap. Jika terdapat 2 penulis atau lebih, maka nama penulis ke-2 dan ke-3 boleh dimulai dengan nama marga atau nama kecil.
Notasi yang berasal dari Surat Kabar
Notasi dari surat kabar atau majalah populer hendaknya berisi sesuai urutan :
1.      Jenis tulisan, apakah editorial, berita, mimbar pendidikan, ruang ekonomi, pojok, dan sebagainya.
2.      Nama Surat Kabar, digarisbawahi atau dicetak tebal.
3.      Tanggal, bulan, dan tahun penerbitan
4.      Nomor halaman dan kolom.

Contoh [9] :     “Tajuk Rencana” dalam Harian KOMPAS, Selasa, 20 Juli 1968,
                           Tahun ke-III, hal.2, kol,7-9
 Notasi yang berasal dari sumber lain
Sumber lain yang dapat dikutip ialah kuliah, pidato, hasil wawancara, Skripsi, Tesis, maupun Disertasi yang tidak dipublikasi. Teknik notasinya menggunakan cara yang sama dengan notasi buku, majalah atau sumber lain, dengan penjelasan mengenai sumber, tempat dan waktu. Sekarang ini banyak  digunakan artikel dari internet. Sama halnya dengan penulisan artikel biasa, harus jelas pengarangnya atau sumbernya, karena setiap orang dapat  membuat halaman webnya sendiri. Untuk memudahkan penelusuran kembali, perlu dituliskan halaman Web Sitenya.
Contoh [10] :      Moskal, Barbara M. 2000  Scoring Rubrics : What, When and How ?
                            Practical Assessment, Research and Evaluation, 7 (3)
                            Available on line : http://ericae.net/pare/getvn.asp?v=7&n=3.

Contoh [11] :       Wiggins, Grant  1990  The Case for Authentic Assessment
                             ERIC Digest ED328611 (online) Available
                             http://www.ed.gov/databases/ERIC Digest/ed1238611.html


Daftar Pustaka

1.      Ahmad Watik Pratiknya, (1986) “ Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
                                                              Kesehatan, Penerbit  C.V. Radjawali, Jakarta.
2.      Anderson, J. et al. (1970) “ Thesis and Assignment Writing”,
                                                   Jacaranda Wiley, New York.
3.      Brown,G., and Atkins M. (1988) “ Effective Teaching in Higher Education”
                                                              Methuen & Co, London.
4.      Day, R.A. (1976)  “How to Write and Publish a Scientific Paper”,
                                     Council of Biology Editors, Washington D.C.
5.       Drost, J. et al.   (1987) “ Ilmu Alamiah Dasar” , Buku Panduan Mahasiswa
                                              Pusat Penelitian, UNIKA ATMA JAYA, Jakarta.
6.      Krathwohl, D.R. (1992) “ Research as a Chain of Reasoning”,
                             Instructional Developments, Vol.2, No.1 pp.1-6, School of Education,
                             Syracuse University, New York
7.      Purbo, M.  “ Menulis Laporan Teknik”, Penerbit ITB Bandung.
8.      Rumate, F.A. ( 1986)  “Kajian Pustaka Farmasi”, Lembaga Penerbitan , UNHAS
9.      Suriasumantri, J.S. (1985)  “Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer”
                                                   Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
10.  Sutrisno Hadi, (1988)  “ Bimbingan Menulis Skripsi Thesis”, Jilid I dan II
                                             Yayasan Penerbit Fak. Psikologi, UGM Yogyakarta.





BAGIAN III      PELENGKAP  PENULISAN  ILMIAH

I.                   PENDAHULUAN

Penulisan ilmiah tidak lepas dari kegiatan membaca buku teks atau karya ilmiah yang dipublikasikan. Membaca efektif sama pentingnya dengan menulis karya ilmiah. Budaya membaca yang telah dikembangkan sejak dini perlu ditingkatkan dan diperluas di perguruan tinggi. Meskipun media komunikasi informasi telah semakin canggih dengan perkembangan sarana pandang dengar (audio visual), dan akses melaui internet, media cetak masih menempati kedudukan penting, khususnya dalam pengkomunikasian temuan baru berupa hasil penelitian. Media cetak masih merupakan sarana yang paling sesuai untuk mempublikasikan suatu karya ilmiah.

Kebanyakan buku teks di perguruan tinggi tertulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Tak dapat disangkal, penguasaan bahasa Inggris oleh mahasiswa umumnya rendah. Meskipun sudah dipersiapkan pengajaran bahasa Inggris sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, kemampuan mahasiswa belum memadai untuk dapat mencerna karya tulis berbahasa Inggris dengan baik. Pengalibahasaan suatu teks dari bahasa asing ke bahasa sasaran sudah menjadi bidang telaah tersendiri. Untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam teknik menterjemahkan, perlu dibicarakan beberapa kiat yang dapat digunakan dalam menerjemahkan teks dari bahasa Inggris sebagai bahasa sumber ke bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik (menggunakan ragam bahasa keilmuan) dan benar (menggunakan kaidah berbahasa yang benar) merupakan syarat mutlak dalam penulisan karya ilmiah. Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri tertentu, demikian pula susunan kalimat, grmatika, penggunaan istilah yang tepat, dan penggunaan ejaan maupun tanda baca yang tepat sangatlah penting dalam suatu karya tulis.

Suatu karya ilmiah, apakah tugas laporan pustaka, makalah, skripsi, tesis, dan lain-lain, perlu dipresentasikan di hadapan forum atau audiens tertentu. Karena itu tkenik presentasi perlu pula dikuasai oleh si pemakalah. Dalam tulisan ini diberikan pula rambu-rambu teknik presentasi menggunakan alat bantu visual, khususnya penggunaan OHP/OHT.

II.     MEMBACA  EFEKTIF    [7,8]
Untuk memperoleh informasi ilmiah sebanyak-banyaknya, mahasiswa perlu banyak membaca pula. Penerbitan buku teks baru, majalah ilmiah yang beraneka ragam dan fasilitas perpustakaan yang semakin baik, belum banyak menimbulkan gairah mahasiswa untuk mengembangkan diri dalam sarana komunikasi perorangan ini. Pengembangan keterampilan membaca efektif merupakan salah satu gejala perkembangan mahasiswa dalam pendidikannya. Dengan perkembangan yang pesat dalam bidang Ilmu dan Teknologi, keterampilan membaca menjadi faktor yang sangat penting untuk keberhasilan dalam berbagai bidang. Informasi mengenai perkembangan terakhir dalam suatu bidang ilmu perlu secara cepat diperoleh mahasiswa dalam pengembangan bidang ilmunya. Dengan membaca secara efektif akan diperoleh masukan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang relatif singkat. Seorang yang mengucapkan kata-kata yang tertulis dapat dianggap ”membaca”. Bagi si pendengar, cara membaca demikian mungkin mengandung arti, tetapi mungkin tidak mempunyai arti sama sekali bagi si pembaca sendiri. Cara membaca demikian tidaklah mementingkan tujuan membaca. Cara membaca komprehensif ialah cara membaca kombinasi kata dalam teks itu ditangkap artinya oleh si pembaca, tanpa perlu membaca keras.Terdapat 4 peringkat membaca, yaitu (1) membaca dasar, (2) membaca sidik, (3) membaca analitis dan (4) membaca sintopis.

  II.1   Membaca Dasar
Membaca dasar dibagi lagi dalam :
Pengembangan Keterampilan Kosa Kata
Tanpa penggunaan kosa kata yang baik, membaca komprehensif akan kurang dan lambat. Untuk dapat menangkap arti dari sesuatu yang dibaca, seseorang perlu mendefinisikan kata tersebut, dan bagaimana kata itu digunakan dalam konteksnya. Untuk  dapat  mengembangkan  keterampilan  kosa  kata   terdapat   berbagai   cara,   yaitu :
1.          Mengenal kata kunci (key word). Kata merupakan alat pemikiran. Kata-kata adalah kata manusia untuk mengerti pikiran orang lain.
            Contoh  :   1.   Asetosal masih digunakan untuk menurunkan panas, sebab belum banyak dilakukan penelitian golongan obat antipiretika.
            Dalam kalimat ini sudah dijelaskan arti kata kunci antipiretika.
                              2.   Meskipun sudah ditemukan metode analisis instrumen yang canggih. Volumetri masih merupakan metode baku untuk analisis kimia tertentu.
            Kata  meskipun di sini memberi pengertian mengenai hal yang bertentangan.
2.          Mempelajari asal kata dan bagiannya. Kata dasar adalah inti dari sebuah kata, yang dapat diberi awalan, sisipan atau akhiran. Apabila terdapat imbuhan ini, perlu dicari dahulu kata dasarnya.
            Contoh  :   Pengendalian kualitas obat dilakukan sebelum, selama, dan setelah proses pembuatannya.
           
            Kata dasar dari pengendalian ialah kendali, yang berati mengekang (kuda) atau mengontrol. Di sini sekaligus terlihat bahwa arti kata itu harus dilihat dalam konteksnya, apakah mengendalikan kualitas obat atau mengendalikan kuda. 
3.          Pemakaian Kamus. Kegunaan kamus bukan saja sebagai tempat mencari arti suatu kata, tetapi banyak pula menyimpan informasi lain, misalnya ejaan, cara ucapan, pembagian suatu kata, etimologi, arti, pemakaian, sinonim, dan antonim, asal kata, tata bahasa dan keterangan umum. Untuk memperoleh informasi dari kamus dengan cepat terdapat kunci yang perlu diketahui, seperti adanya kata kunci pada sudut kiri dan kanan atas setiap halaman. Kata kunci sebelah kiri atas menunjukkan kata pertama di halaman tersebut, sedangkan kata kunci kanan menunjukkan kata terakhir pada halaman itu. Di samping itu perlu diingat bahwa kata-kata disusun menurut abjad (alphabetic); jadi misalnya dua kata atau lebih yang dimulai dengan huruf sama, maka urutannya alam entri dilihat pada huruf kedua, apabila huruf kedua masih sama, dilihat huruf ketiga, dan seterusnya.
Contoh  :   kata sakit
                  dan  sakti
perbedaan terjadi pada huruf keempat i dan t, karena i dalam abjad berada sebelum t, maka kata sakit berada sebelum sakti.  Mencari kata dalam kamus perlu dilakukan dengan cepat dan tepat, yang memerlukan latihan.
Pengembangan Keterampilan Menanggapi (Persepsi)
Agar dapat membaca dengan cepat maka kata-kata yang dibaca itu harus terlihat dengan baik, yang disebut fiksasi. Fiksasi perlu dilatih menjadi cepat dan tepat, agar membaca itu juga cepat, demikian pula pengertiannya. Contoh fiksasi yang tidak terlatih ialah apabila orang membuat kesalahan membaca :          
                                                      Ia membawa baki
                                        Ia membawa daki
Karena kalimat kedua ini tidak memberikan pengertian (salah pengertian), maka harus dibaca kembali secara keseluruhan kalimat secara benar, yang berarti memperlambat membaca. Seorang pembaca lambat perlu membaca kata demi kata, seringkali menggunakan pinsil sebagai penunjuk kata. Apalagi kalau ia perlu membaca keras sehingga akan semakin memperlambat membaca. Dengan menghindari kebiasaan itu seorang pembaca dapat mmbaca lebih cepat, dan dengan latihan, dalam satu fiksasi orang dapat melihat 3 kata sekaligus.
Pengembangan Ingatan Ungkapan Harfiah (Developing Literal Recall)
Mengembangkan ingatan arti harfiah dapat dilakukan melalui beberapa cara :
1.          Mengenal ide pokok (utama) dan rinci (details)
Suatu wacana biasanya terdiri dari beberapa paragraph yang terpisah satu dari yang lain, karena setiap paragraf merupakan sekumpulan kalimat yang mempunyai satu ide pokok dan kalimat rinci yang mengembangkan ide pokok itu. Dalam berlatih membaca cepat dan efektif, si pembaca perlu mencari ide pokok itu dan membaca sambil memfokus pada ide pokok itu.  Seorang penulis biasanya memperkenalkan satu pokok pembicaraan lalu mengembangkannya dan menutup dengan sebuah kesimpulan. Ide pokok biasanya ditulis dalam kalimat pokok, yang biasanya ditempatkan pada kalimat pertama atau kalimat terakhir suatu paragraf, jarang di tengah. Dalam suatu paragraph yang baik hanya satu topik yang dibahas. Topik ini disebut benda topik. Kata benda topik ini akan muncul dalam berbagai bentuk dalam paragraf. Ia dapat berupa sinonim, kata ganti, atau sekumpulan kata yang artinya sama dengan akat benda topik itu. Kata-kata tersebut akan diulang dengan cara yang berlainan agar pembaca tetap mengingatnya. Karena itu fungsi kalimat topik ialah sebagai singkatan dan untuk menekankan inti dari seluruh paragraf. Kalimat topik menceritakan sesuatu tentang kata benda topik yang didukung oleh kalimat rinci.

Contoh pola paragraph dengan kalimat topik pada permulaan :
Obat ialah bahan kimia yang berinteraksi dengan sistem biologis tubuh melalui cara tertentu. Bahan kimia ini dapat mengakibatkan kontraksi otot, pengeluaran sekresi oleh kelenjar, pelepasan hormon, atau perubahan keaktifan syaraf, mengubah kecepatan pembagian sel, atau membunuh sel. Keragaman aksi obat ini demikian luas, sehingga pada prinsipnya obat ini memungkinkan modifikasi setiap proses biologis. Pada kenyataannya telah ditemukan obat yang mempengaruhi hampir setiap proses biologis. (Mid Career Training in Pharmocochemistry)

Contoh pola paragraf dengan kalimat topik di tengah :
Formulasi obat modern merupakan campuran kompleks yang selain mengandung satu atau campuran bahan berkhasiat, juga mengandung sejumlah bahan ineri, misalnya bahan pengencer, penghancur, pewarna dan pembau. Sebelum mengadakan analisis kuantitatif dalam rangka pengendalian kualitas dan kestabilan produksi akhir, campuran bahan tersebut perlu dipisahkan komponen-komponennya. Kromatografi meliputi kumpulan metode untuk memisahkan campuran molekul yang ditentukan oleh perbedaan afinitas zat terlarut di antara dua fase yang tidak bercampur. Salah satu fase merupakan pelataran tetap yang permukaannya sangat luas, sedang fase lainnya merupakan cairan yang mengalir di atas atau pada pelataran tetap tadi. Komponen campuran zat harus berada dalam bentuk molekul dalam keadaan terlarut atau bentuk gas. (Remington’s Pharmaceutical Sciences)

Contoh pola paragraph dengan kalimat topik pada akhir :
Titrasi adalah pengerjaan eksperimen dalam analisis titrimetri. Suatu larutan pereaksi yang diketahui konsentrasinya dengan tepat (titran dan larutan baku) ditambahkan pada larutan pereaksi kedua, yaitu larutan sample yang akan ditentukan kadarnya. Titran ditambahkan pada larutan sample sampai reaksi berlangsung sempurna, yaitu jumlah titran yang ditambahkan itu ekivalen secara kiia dengan jumlah sample. Tahapan terjadinya ekivalensi ini dinamakan titik ekivalen titrasi atau titik akhir titrasi, dari konsentrasinya, dan dari kesetimbangan (stokiometri) reaksi titrasi yang diketahui, dapat dihitung jumlah bahan sample. Biasanya penghitungan diadakan dengan pengukuran volume titran, sehingga analisis titrimetri dinamakan juga Volumetri. (Connors, K.A., A Textbook of Pharmaceutical Analysis)
Dapat dilihat bahwa paragraf adalah satu blok pemikiran dan suatu perkembangan dari kata benda topik. Kalimat topik menceritakan sesuatu tentang kata benda topik. Di samping kalimat topik yang eksplisit (yang tertulis), kadang-kadang terdapat pula kalimat topik yang implicit. Ini berarti bahwa kalimat topik itu tidak tertulis tetapi ada pada benak si penulis, dan pembaca perlu menyimak isi paragraf untuk mendapatkannya. Berikut ini beberapa kata kunci untuk memformulasikan kalimat topik yang implisit :
1.      perhatikan fungsi dari setiap kalimat.
2.      pertanyakan arti dari semua fakta yang dibeberkan, maka Anda akan menemukan topik yang sedang dibicarakan.
3.      tuliskan kalimat topik yang seharusnya berupa ide pokok dari paragraf tersebut.

Sekali lagi, ide pokok biasanya ditulis dalam salah satu kalimat dari paragraf. Kalimat lain merupakan perincian yang diperlukan untuk mengembangkan ide pokok. Kesukaran terjadi apabila tidak ada kalimat topik, sehingga pembaca perlu mencari sendiri ide pokok tersebut. 

2.      Mengenal pola paragraph

        Paragraf dapat dibagi atas berbagai macam pola, yaitu :

     a.    Paragraf definisi. Tujuan dari pola ini ialah untuk mendefinisikan sesuatu, misalnya :
Farmakokimia dapat didefinisikan sebagai bidang ilmu antar disiplin, yang merupakan gabungan ilmu bidang kimia, yang saling bekerjasama; dan secara khusus menggunakan disiplin seperti kimia organic, biokimia, kimia analisis, kimia fisika, farmasi, farmakologi, fisiologi, mikrobiologi, patobiologi, dan toksikologi. Melihat kerja sama antardisiplin ini, dapat dikatakan bahwa famakokimia meliputi riset mengenai semua aspek senyawa biologis aktif mulai dari tahap pembuatan, melalui elusidasi struktur, analisis, dan uji biologis, sampai pada tahap interpretasi aksinya pada tingkat molekul. (Mid Career Training in Pharmacochemistry)

b.      Paragraf contoh. Seorang penulis akan memberi contoh untuk mengilustrasikan atau
       menopang ide pokok (pola ini dinamakan juga pola ilustrasi), misalnya :
 Simbion sel alga diklasifikasikan dalam kelompok berdasarkan warnanya. Zooxanthellae merupakan sel-sel yang berwarna coklat, kuning emas atau kuning kecoklatan dan Zoochlorellae adalah sel yang berwarna hijau. Kelompok ketiga adalah kelompok-kelompok kecil yang berwarna biru atau hijau kebiruan, dan disebut Cynellae. Pengelompokan berdasarkan warna ini tidak membedakan spesies-spesies alga yang sebenarnya terlibat. (Nybakken J.W. : Biologi Laut)

c.     Paragraf perbandingan dan kontras.  Dalam pola paragraf ini penulis mencoba untuk mengembangkan ide pokok melalui perbandingan atau kontras antara dua hal. Misalnya :
Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia seperti temulawak, temu giring, jahe, kencur dan bahan sejenis lainnya dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk mencegah berkurangnya kadar minyak atsiri. (Dit.Jen. P.O.M DepKes : Cara Pembuatan Simplisia)

d.    Paragraf deskripsi. Penulis dalam pola paragraph ini memberikan sesuatu yang dapat berupa deskripsi fisik sesuatu, atau tempat, atau proses bagaimana sesuatu dilakukan. Misalnya :
Rimpang jaringau (Acorus calamus L.) merupakan potongan-potongan berbentuk silindrik agak bengkok, liat, tidak bercabang. Bau khas aromatik, ras pahit dan agak pedas. Pada bagian atas terdapat parut daun berbentuk segitiga yang terentang melintang, pada bagian bawa terdapat parut-parut akar berbentuk bundar, menonjol dan letaknya tidak beraturan dalam baris yang berkelok-kelok; permukaan rimpang berkerut memanjang dan berwarna coklat kekuningan hingga coklat. (Dit.Jen. P.O.M DepKes : Cara Pembuatan Simplisia)

    e.   Paragraf analisis. Dalam pola ini sebuah topik dianalisis, misalnya :
Latar belakang pendidikan seorang Farmasis yang bersifat multidisiplin, pelatihan manajemen, terlatih dalam ketelitian dan kontrol, menyebabkannya memenuhi criteria untuk bekerja di industri farmasi. Pada bagian mana pun ia ditempatkan dalam organisasi perusahaan, pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu kesehatan akan menjamin keamanan manusia yang akan menggunakan produk perusahaannya. Dengan latar belakang pengetahuan berbagai disiplin ilmu ia dapat bekerja sangat efektif dalam organisasi yang meliputi berbagai macam keahlian. Secara singkat dapat dikatakan bahwa seorang ahli farmasi mempunyai kemampuan untuk memahami semua aspek yang kompleks dari industri yang berkaian dengan kesehatan, dan dapat mengisi semua peran yang terdapat di dalamnya. (Remington’s Pharmaceutical Sciences)

f.  Paragraf urutan kejadian (kronologis). Dalam pola paragraf ini si penulis memberikan urutan kejadian secara kronologis. Untuk mudah diingat pembaca, biasanya diberikan kata-kata kunci Pertama, Kedua, Ketiga dan sebagainya. Paragraph ini sering ditemukan pada prosedur pengerjaan di laboratorium yang urutannya harus sesuai. Sebagai berikut :
Pilih salah satu senyawa monohidroksi untuk analisis, misalnya etanol, isopropanol, n-butanol, fenol dan seterusnya. Ditimbang tepat 4-6 mcg senyawa itu lalu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 125 cc yang bertutup gelas. Di pipet tepat 5,0 ml pereaksi asetat anhidrat ke dalam labu, lalu labu dikocok untuk melarutkan sample. Biarkan larutan selama 5 menit agar reaksi asetilasi itu sempurna. (Connors K.A. : Pharmaceutical Analysis)

Membedakan Fakta dan Opini
Fakta biasanya didefinisikan sebagai suatu kebenaran, yaitu sesuatu yang dapat diuji dengan mengadakan eksperimen, observasi atau penelitian, misalnya :

Antibiotika dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme

Ini suatu fakta yang sudah dibuktikan. Akan tetapi kebenaran dari suatu fakta di waktu sekarang mungkin tidak lagi merupakan kebenaran di waktu yang akan dating dengan kemajuan teknologi yang dapat menyanggah kebenarannya.  Opini lebih mudah ditentukan karena berupa pemikiran, gagasan, keyakinan atau pendapat seseorang, misalnya :
Pembuatan emulsi minyak ikan lebih baik menggunakan gomarab.
II.2    Membaca Sidik
Membaca sidik (Inspectional Reading), dibagi menjadi (1) pra-membaca dan (2) membaca sepintas
1)      Pra-membaca (skimming). Membaca sidik merupakang skimming secara sistematis; tujuannya ialah menyidik permukaan buku, mempelajari segala sesuatu yang dapat ditampilkan hanya oleh permukaan buku tersebut. Pada tahap ini dapat diajukan pertanyaan: Tentang apa buku itu; bagaimana susuan buku itu; apa bagian-bagian buku itu; apakah merupakan buku ilmu pengetahuan ? Jadi skimming mencakup membaca sekilas dan cepat untuk memperoleh kesan keseluruhan secara umum dari suatu buku atau artikel.
2)      Membaca sepintas (scanning), diartikan sebagai kemampuan untuk menemukan informasi khusus atau fakta secepat mungkin. Pada umumnya telah diketahui sebelumnya apa yang akan dicari, misalnya mencari acara jam 20.00 pada program acara TVRI; menelusuri Bab suatu buku untuk mencari apa yang dibutuhkan. Scanning ini juga memerlukan latihan agar waktu yang digunakan untuk membaca itu seefektif mungkin.
Kadang-kadang digunakan juga istilah penelusuran (surveying), yaitu apabila pembaca ingin menemukan struktur atau topografi suatu teks atau artikel.

II.3     Membaca Analitis
Dalam membaca analitis atau membaca kritis digunakan 4 kaidah :
1.      Perlu diketahui jenis buku yang akan dibaca secepat mungkin, sebaiknya sebelum mulai membaca. Cara menerangkan dan penyajian dalam suatu buku ilmu pengetahuan berbeda dengan sebuah novel, fiksi drama atau karya tulis lainnya. Langkah-langkah yang ditempuh ialah melalu membaca sidik, yaitu membaca judul buku, subjudul atau bab, daftar isi, membaca sekilas kata pengantar atau prakata dan penjurua (indeks). Semuanya ini merupakan petunjuk dari penulis untuk memberi arah kepada pembaca. Informasi apa yang diperoleh pembaca dari judul ? Biasanya terjadi kekeliruan dalam menginterpretasi judul artikel atau buku. Menginterpretasi judul artikel dan prakata dari suatu buku seringkali dianggap tidak penting oleh pembaca, padahal pengarahan ini merupakan inti bagaimana membaca selanjutnya.
2.      Nyatakan isi seluruh buku dalam satu kalimat atau paragraf pendek yang terdiri dari beberapa kalimat. Ini berarti bahwa pembaca harus dapat mengetahui isi buku dalam waktu sesingkat mungkin. Hal ini dapat diketahui dari pokok bahasan buku itu atau ide pokok isi buku tersebut.
3.      Mengidentifikasi bagian-bagian penting buku itu dan bagaimana bagian-bagian buku itu tersusun menjadi satu kesatuan. Dengan perkataan lain, perlu dibuat garis besar isi buku itu, dengan memperhatikan pembagian bab, subbab dan seterusnya.
4.      Memahami permasalahan yang dikemukakan penulis. Dalam hal ini perlu diketahui tujuan dan maksud penulis menuangkan karyanya, pesan apa yang ingin disampaikannya serta kemungkinan adanya elon (bias) dari pihak penulis. Di samping itu berdasarkan hasil bacaannya, pembaca harus dapat menentukan apakah bersetuju atau tidak dengan penulis, apakah argumentasi penulis itu masuk akal atau tidak.    
II.4     Membaca Sintopis (Syntoptical Reading)
Membaca Sintopis terutama diperlukan apabila pembaca ingin mencari informasi tertentu sebanyak-banyaknya dari berbagai buku teks atau jurnal, dalam rangka menyusun suatu karya ilmiah atau penelitian. Dalam hal ini informasi atau pokok bahasan hendaknya dicari dari buku atau artikel yang penad (relevan) saja. Peringkat membaca suda dibicarakan itu bersifat akumulatif, artinya peringkat yang lebih tinggi mencakup pula peringkat membaca yang rendah. Misalnya membaca sepintas akan membantu Anda dalam membaca analitis dan membaca analitis akan membantu dalam membaca sintopis.

Membaca sintopis terdiri dari 5 langkah :
1.      Mencari bagian-bagian yang penad. Diasumsikan bahwa pembaca sudah menguasai membaca analitis, sehingga dapat membaca setiap buku secara menyeluruh dan dalam (deep study reading). Berdasarkan keterampilan menyidik (membaca sidik), pembaca sudah dapat memilih bagian dari dua buku atau lebih yang sepadan atau kontras.
2.      Bawalah istilah dan paham penulis ke pemahaman Anda. Dalam menafsirkan bacaan (kaidah kedua membaca analitis), Anda harus dapat mengerti penulis dan memahami istilah serta kunci yang digunakan penulis. Sekarang Anda alihkan maksud penulis ke pemahaman Anda sendiri. Dengan kata lain, membaca sintopis pada tahap ini ialah menerjemahkan sesuatu ke pemahaman Anda.
3.      Memperjelas permasalahan. Gagasan yang diajukan penulis mengenai suatu permasalahan dan pembahasannya oleh berbagai penulis harus diperjelas sendiri agar permasalahan itu mempunyai satu bahasa.
4.      Memperjelas pokok permasalahan. Penjelasan mengenai suatu pokok permasalahan oleh satu penulis dapat senada, dapat juga bertentangan dengan penulis lain. Di sini Anda perlu memilah (to select) penjelasan mana yang senada dan mana yang tidak, agar pokok permasalahan semakin diperjelas.
5.      Menganalisis pembahasan. Pembahasan permasalahan oleh beberapa penulis yang mengemukakan berbagai pendapat hendaknya dianalisis dengan mencari alasan yang dikemukakan masing-masing penulis tersebut. Apakah alasan yang dipakai itu masuk akal dan apakah penulis itu memberikan pemecahan terhadap permasalahan yang dihadapi, dan bila tidak apakah alasannya. Dengan demikian dapat pula dinilai buku mana yang bermutu dan yang tidak.
Semua pembicaraan di atas merupakan keterampilan yang dapat dilatih.
II. 5    Mengembangkan Strategi Membaca (Metode SQ3R)
Seringkali kita dihadapkan pada suatu bacaan yang sulit dimengerti. Menangani hal demikian dikatakan bahwa sebaiknya membaca terus tanpa berhenti. Mekipun ada bagian yang sukar, perhatikan saja bagian yang mudah dimengerti, konsentrasikan pada bagian yang mudah dan jangan memperhatikan catatan kaki, komentar, dan referensi yang sukar. Nanti pada bacaan yang kedua kalinya akan menjadi lebih mudah karena Anda telah membaca seluruh buku sekali. Mungkin pada pembacaan pertama harus dimengerti 50% isi buku, yang akan meningkat pada pembacaan ulang.

Terdapat suatu cara untuk mengembangkan strategi membaca yang disebut SQ3R, berupa singkatan dari S(urvey), Q(uestion), R(ead), R(ecite), dan R(eview). Cara ini akan sangat bermanfaat bagi mereka yang banyak membaca buku teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa survei cepat mengenai topik dan subtopik dapat memberi orientasi yang mempercepat membaca dan menolong daya ingatan. Juga dibuktikan bahwa dengan mengajukan pertanyaan sebelum membaca akan menolong seseorang membaca. Penelitian lain menyatakan bahwa cepat melupakan apa yang telah dibaca dapat dikurangi dengan memaksa diri untuk mengatakan kembali dengan keras apa yang telah dibaca. Memberi garis besar dan menghubungkan materi yang telah dibaca dengan apa yang telah diketahui sebelumnya, dihubungkan dengan hal-hal yang menarik, dan mengulangi kembali pada akhir pembacaan, semuanya dapat sangat menolong pembaca untuk mengerti wacana yang telah dibaca.

Langkah-langkah SQ3R :

1.                              Survei; dengan cepat bacalah judul dan subjudul dalam bab untuk mencari   informasi penting yang akan dikembangkan. Bacalah juga ringkasan pada akhir bab. Survei ini tidak boleh lebih dari 1 menit. Orientasi ini akan banyak membantu kemudian.
2.                                                   Pertanyaan. Sekarang ubahlah judul ke kalimat bertanya atau buatlah suatu pertanyaan tentangnya. Ini akan menimbulkan ingin tahu dan karena itu menimbulkan pengertian yang lebih baik. Mengubah judul menjadi ertanyaan dapat dilakukan dengan cepat, tetapi memerlukan latihan yang tidak mudah.
3.                                                  Membaca.   Bacalah untuk menjawab pertanyaan tadi. Ini merupakan pekerjaan yang memerlukan aktivitas tinggi.
4.                                                  Mengulang. Setelah pembaca pertama tadi, cobalah untuk mengungkapkan kembali dengan keras apa yang telah dibaca. Sebaiknya tulislah kata-kata kunci atau frasa dalam garis besar. Urutan 1-2-3-4 dilakukan dengan bab lainnya, sampai seluruh buku atau pelajaran dibaca habis.
5.                                                  Mengulas.     Jika selesai membaca seluruh isi buku dengan cara seperti di atas, periksalah catatan Anda, dan periksalah apa yang Anda ingat dari bacaan di atas.

Bila dilaksanakan dengan baik, cara atau metode SQ3R akan membantu seseorang membaca lebih cepat, memilih topik yang penting, dan mengingatnya dengan tepat. Metode ini juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan daya piker dan daya tangkap Anda.
II. 6   PENUTUP
Membaca dan membaca mempunyai perbedaan dalam hal efektif tidaknya apa yang dibaca. Teknik membaca efektif perlu dipelajari dan dilatih agar dapat diperoleh informasi dari media cetak itu sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin. Para ilmuwan dan calon ilmuwan perlu memperoleh informasi yang mutakhir dalam rangka pengembangan ilmu dan profesinya, sehingga perlu mengembangkan teknik membaca yang efektif.

III.   TEKNIK  MENERJEMAHKAN     [5]


Pengetahuan tentang teori penerjemahan tidak dapat disangkal amat diperlukan oleh seorang penerjemah. Mahasiswa yang perlu banyak membaca buku teks berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris, perlu memperoleh sedikit pengetahuan mengenai teori maupun teknik ataupun kiat-kiat menerjemahkan dari bahasa asing sebagai sumber ke bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran. Dengan menerjemahkan teks secara tepat dan cepat akan diperoleh ilmu pengetahuan yang dibutuhkannya sebanyak-banyaknya tanpa kekeliruan.

Menurut The Merriam-Webster Dictionary, 1984, penerjemahan ialah pengubahan suatu bentuk ke bentuk yang lain, atau pengubahan suatu bahasa ke bahasa yang lain, dan sebaliknya. Menurut Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice of Translation, 1969, penerjemahan ialah pengungkapan kembali suatu amanat atau pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

Bahasan selanjutnya meliputi jenis-jenis terjemahan, tujuannya, masalah dalam penerjemahan serta contoh-contoh penerjemahan sebagai latihan. Contoh tersebut dititikberatkan pada penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, mengingat sebagian besar buku teks dan buku wajib di perguruan tinggi menggunakan bahasa Inggris. Diharapkan pembahasan ini akan dapat membantu mahasiswa yang kurang menguasai teks berbahasa Inggris.
III.1  Jenis-Jenis Terjemahan
Jenis-jenis   terjemahan   dapat   dikelompokkan    dalam    berbagai    macam,    misalnya :
1.      Terjemahan kata demi kata (word for word translation)
2.      Terjemahan harfiah (literal translation)
3.      Terjemahan bebas (free translation)
Terjemahan kata demi kata .
Terjemahan kata demi kata ialah mengalihkan atau mengungkapkan kembali suatu amanat dari bahasa sumber (bsu) ke bahasa sasaran (bsa), dengan cara mengalihkan setiap unsure leksikal (yang berupa kata) bsu ke unsure leksikal bsa, misanya : Saving for a rainy day
diartikan : Menabung untuk suatu hari hujan
Di sini tidak diperhatikan rangkaian kata dalam bsu yang berbentuk idiom, sehingga pengertian dalam bsa tidaklah tepat.
Terjemahan harfiah,
Terjemahan harifiah merupakan peralihan antara jenis terjemahan kata demi kata dengan jenis terjemahan bebas. Di sini juga diadakan penyesuaian bentuk yang lebih sesuai dalam bsa, misalnya dengan pengurangan atau penambahan kata. Contoh di atas menjadi :
                                                   Menabung untuk hari hujan.
Terjemahan bebas
Di sini penerjemah tidak lagi terikat pada bentuk bsu, dan mengadakan penyesuaian agar bentuk bsa merupakan ujaran yang wajar dan sesuai dengan aturan tata bahasa bsa. Contoh di atas diterjemahkan menjadi :
Menabung untuk masa suram
Dalam suatu terjemahan bebas, suatu kalimat bsu dapat diterjemahkan menjadi frase dalam bsa, atau frase menjadi satu kata dalam bsa. Di sini sudah harus diperhatikan apakah dalam ujaran bsu itu merupakan idiom, yang mungkin ada padanannya berupa idiom dalam bsa. Jenis terjemahan lain mengutamakan bentuk kalimat
III.2    Terjemahan yang Menekankan Keterikatan Bentuk.
Terjemahan ini disesuaikan dengan keseluruhan amanat bsu, atau amanat yang terkandung dalam bentuk aslinya (Padanan bentuk). Di sini sedapat mungkin dipertahankan tata bahasa, kalimat, anak kalimat serta pemakaian kata-kata secara ajeg (konsisten) menurut batasan bsu. Terjemahan demikian itu hanya dapat diterapkan pada bahasa serumpun, karena ada kemiripan kosa kata, tata bahasa, dan latar belakang kebudayaan bsu dan bsa.

Terjemahan yang bentuk bahasannya tidak terikat pada naskah sumbernya, terutama bertujuan untuk mengungkapkan ide atau tempat yang terkandung alam bsu.

Terjemahan jenis ini paling mudah dipahami pembacanya, karena di dalamnya telah terjalin tafsiran dari penerjemah sendiri. Terjemahan jenis ini memungkinkan adanya perubahan, misalnya nama diri, benda nyata maupun tempat terjadinya peristiwa dalam ceritera naskah aslinya dalam bsu, yang disesuaikan dengan latar belakang budaya dan adat istiadat yang terdapat dalam lingkungan pemakai bsa. Penerjemahan yang terlalu bebas dinamakan saduran.
Terjemahan yang mengutamakan unsur padanan yang dinamis, makna, serta ekivalensi budaya antara bsu dan bsa (padanan makna).
Terjemahan jenis ini berlawanan dengan yang sebelumnya., sebab tidak berdasarkan pada penerjemahan kata demi kata. Terjemahan ini dianggap paling baik, karena mengutamakan makna tanpa harus mengorbankan bentuk kalimat, dan dapat memberikan padanan kata dan ekivalensi budaya yang paling dekat.

Pembagian jenis terjemahan lain diutarakan oleh Mildred Laron, yang lebih sederhana,  dengan membagi jenis terjemahan, yaitu :
1.      Penerjemah harfiah
2.      Penerjemah idiomatis
Pada hakekatnya penerjemahan harfiah ialah penerjemahan berdasarkan bentuk teks bsu, sedangkan penerjemahan idiomatis ialah penerjemahan berdasarkan makna, dan berusaha menyampaikan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang jajar. Penerjemahan baris demi baris (interliniear translation) merupakan penerjemahan harfiah mutlak. Penerjemahan harfiah tampak tidak mempunyai makna dan hampir tidak mempunyai nilai komunikasi yang bermakna.

Penerjemahan yang disesuaikan, kadang-kadang berasal dari penerjamahan harfiah, yaitu mengubah urutan dan gramatika bsu supaya bsa-nya menjadi jelas, tetapi unsur leksikal (kata-kata) diterjemahkan secara harfiah. Kadang-kadang unsur leksikal hanya diubah untuk menghindari makna yang kosong, walaupun hasilnya belum wajar. Penerjemahan harfiah yang disesuaikan ini mengubah bentuk gramatika jika konstruksinya mengaharuskannya, tetapi jika penerjemah mempunyai pilihan, ia akan mengikuti bentuk teks bsu walaupun bentuk yang berbeda mungkin lebih wajar dalam bsa.
III. 3      Tujuan Penerjemahan
Tujuan utama suatu penerjemahan sudah jela digambarkan oleh definisi di atas, yaitu mencari padanan makna, atau pengalihan amanat atau pesan dari suatu bahasa sumber ke bahasa sasaran. Amanat itu disampaikan melalui kata-kata yang terangkai menurut pola yang sesuai, dan membentuk suatu ujaran bermakna dalam bahasa sasaran.

Seorang penerjemah yang berusaha mencari padanan yang merupakan ungkapan yang wajar dalam bsa dapat pula dikatakan mencari padanan yang dinamis. Padanan hendaknya merupakan ungkapan yang wajar dalam bahasa sasaran dan kesan yang diperoleh dari ungkapan itu hendaknya sama dengan kesan yang diperoleh dari ungkapan bahasa sumber.
a.          Masalah Dalam Penerjemahan
Faktor penting yang perlu diperhatikan oleh penerjemah seperti yang diungkapkan oleh Eugene Nida terdiri atas 5 faktor :
1.      Lingkungan hidup (Ecology)
2.      Kebudayaan materi (Material Culture)
3.      Kebuyaan sosial (Social Culture)
4.      Kebudayaan agama (Religious Culture)
5.      Kebudayaan bahasa (Linguistic Culture)
Faktor Lingkungan Hidup
Adanya keragaman lingkungan hidup dapat mengakibatkan terjadinya kesukaran dalam mencari padanan istilah untuk bsa, yang lingkungan kehidupan masyarakatnya berbeda dengan masyarakat pemakai bsu. Sebagai contoh, di Eropa mengalami 4 musim dalam setahun, sedangkan di daerah tropik hanya mengalami musim hujan dan musim panas. Keragaman lingkungan hidup ini berkaitan dengan keberadaan tumbuhan, hewan, alat yang menimbulkan keragaman ”kata” atau ”istilah” atau ”ungkapan”, yang kadang-kadang sulit dicarikan padanannya dalam bsa yang jauh berbeda ekologinya. Contoh :
                  skating   -   kegiatan meluncur di atas es
                  sleigh     -   kereta khusus untuk meluncur
Faktor Kebudayaan Materi
Kebudayaan materi lebih kompleks daripada kebudayaan ekologi. Benda atau materi yang digunakan sesuatu bangsa berbeda dengan yang digunakan bangsa lain. Misalnya, dalam suatu teks diceritakan seseorang sedang ”makan pisang” (bsu), yang akan dicarikan padanan katanya dalam bsa yang tidak pernah mengenal pisang, sehingga ”makan pisang” dapat membingungkan pemakai bsa. Jalan keluarnya ialah menerjemahkannya menjadi : Seseorang sedang makan buah yang disebut ”pisang”. Dengan demikian jelas bagi pemakai bsa bahwa dalam ceriteranya tersebut orang itu sedang makan sejenis buah, bukan penganan lain. Contoh lain ialah kata ”rice” dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti padi, beras atau nasi.
Faktor Kebudayaan Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Eropa ungkapan ”selamat malam” dapat diterjemahkan dengan good evening apabila bertemu seseorang dan good night apabila hendak masuk tidur. Dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda dikenal beberapa tingkatan penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan siapa seseorang berkomunikasi, apakah dengan atasannya, orang tua, atau seseorang yang tingkatannya lebih rendah. Hal ini tidak dikenal dalam bahasa Eropa pada umumnya, kecuali di kalangan istana raja.
Faktor Kebudayaan Agama
Dalam lingkungan suatu agama digunakan istilah-istilah yang mungkin sulit malahan tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Contoh dari bahasa Melayu : Ibu menyuruh Jabar mengantar saya ke makam Habib Noh untuk meminta keselamatan dari tempat keramat itu. Dalam bahasa Inggris keselamatan dapat diartikan menjadi ”safety”, yang sebenarnya lebih tepat diterjemahkan menjadi ”blessing” (berkat).
Faktor Kebudayaan Bahasa
Setiap bahasa mempunyai aturan, baik aturan gramatikal (tata bahasa) maupun leksikal (kata).
Terdapat 4 ciri bahasa yang berpengaruh langsung terhadap prinsip-prinsip penerjemahan.
  1.            Komponen makna dikemas dalam unsur leksikal, yang pengemasannya dalam suatu bahasa berbeda dengan bahasa lain, misalnya, komponen makna ”jamak”, yaitu tambahan s sebagai akhiran nomina atau verba dalam bahasa Inggris, yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Seringkali suatu kata dalam bsu diterjemahkan dalam beberapa kata bsa.
  2.             Komponen makna yang sama, mungkin muncul dalam beberapa unsur (bentuk) leksikal struktur lahir (generik). Dalam bahasa Inggris dijumpai kata ”sheep” (domba), ”ram” (domba jantan) dan ”ewe” (domba betina), yang semuanya mencakup makna domba. Contoh lain ialah ”chicken” (anak ayam), ”hen” (ayam betina), dan ”rooster” (ayam jantan).
  3.             Sebuah bentuk kata dapat digunakan untuk mewakili beberapa alternatif makna, misalnya  
          kata ”to go” mempunyai makna primer apabila diucapkan dalam bentuk kata dasarnya,
      akan tetapi kalau disertai kata lain, dapat mempunyai makna sekunder.
      Contoh : I go to school (makna primer : pergi)
                                    The apples go bad     (menjadi busuk)
                                    Go for it !          (raihlah)
                                     It is no go         (tidak dapat terjadi)           
4.  Suatu makna dapat diungkapkan.dalam berbagai bentuk.  Bentuk bahasa penting sekali dalam mempelajari perbedaan bahasa. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal hukum D-M (diterangkan-menerangkan), dalam bahasa Inggris hukum ini terbalik menjadi M-D.
  Contoh :     The young thrips are yeelowish, very small, slender, active creature
                  =    Thrips muda adalah makhluk aktif, ramping, sangat kecil yang berwarna kekuningan.
          Contoh lain ialah perubahan bentuk yang maknanya sama :
            (Bahasa Indonesia)   :     1.     anak nakal itu
                                                    2.     anak yang nakal itu    
           atau perubahan bentuk aktif ke bentuk pasif :
1.          Mereka mendorong mobil itu
2.          Mobil itu didorong oleh mereka
Contoh perubahan bentuk dengan makna sama dalam bahasa Inggris :
1.      The dog is brown
2.      The dog, which is brown
3.      The brown dog

Bahasa merupakan suatu perangkat hubungan yang kompleks antara makna dan bentuk, sehingga setiap bahasa mempunyai bentuk yang khas yang mewakili maknanya. Jadi makna yang sama mungkin harus diterjemahkan ke dalam bahasa lain dalam bentuk yang sangat berbeda. Menerjemahkan bentuk suatu bahasa secara harfiah dapat mengubah maknanya, atau paling tidak akan menghasilkan bentuk yang tidak wajar dalam bsa. Oleh karena itu dalam penerjemahan, makna haruslah diutamakan daripada bentuk.
b.      Persiapan Proyek Penerjemahan
Apabila akan dimulai suatu proyek penerjemahan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat menghasilkan suatu terjemahan yang baik. Hal-hal tersebut menyangkut Teks, Sasaran, Tim, dan Sarana seperti yang diutarakan Mildred L. Larsen (3).
1.      Teks, merujuk ke naskah sumber yang akan diterjemahkan, apakah bermanfaat bagi pembacanya, siapa nanti yang akan membutuhkannya serta alasan-alasan lain. Alasan yang umum ialah untuk menyampaikan isi informasi teks sumber kepada mereka yang bukan penutur bahasa sumber tadi. Jadi apa pun alasannya, pilihan teks bahasa sumber itu erat hubungannya dengan khalayak bahasa sasaran.
2.      Sasaran, merujuk ke khalayak, untuk siapa terjemahan itu dibuat. Apakah terjemahan itu akan digunakan oleh mahasiswa, insan bisnis, atau untuk bacaan umum sebagai hiburan. Hal ini penting, karena terjemahan akan dipengaruhi oleh dialek, tingkat pendidikan pemakai bsa, serta umur mereka. Juga populasi pembacanya nanti, apakah luas atau hanya sekelompok golongan tertentu saja, akan menentukan strategi penerjemahan.
3.      Tim, merujuk pada orang yang akan terlibat dalam proyek terjemahan tersebut. Ada orang yang menguasai baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran, atau menguasai hal-hal tertentu saja, misalnya gramatika atau padanan kata saja. Suatu tim penerjemah dapat terdiri dari Ketua Tim, co-penerjemah (rekan penerjemah), seorang penasehat atau konsultan yang bekerja bersama-sama. Dalam tim tersebut juga dapat terlihat penerbit atau penyalur. Salah satu anggota tim harus dapat membaca, menulis, dan berbicara dengan bahasa sumber, dapat menentukan makna teks bsu serta kebudayaan bsu. Di samping itu penerjemah harus telah memahami kebudayaan dan bsa dengan baik.Penerjemah sendiri dapat melakukan pengujian hasil terjemahannya, tetapi alangkah baiknya apabila orang lain yang melakukannya agar sifat objektif dapat dicapai. Seorang pemeriksa kadang-kadang juga diperlukan, yang bertanggung jawab terhadap seluruh terjemahan, baik yang menyangkut struktur gramatika maupun gaya bahasanya, serta dapat memberi komentar kepada tim untuk perbaikan.
4.      Sarana, merujuk ke peralatan, tempat kerja, biaya dan materi yang berhubungan dengan penerjemahan.

Peralatan meliputi mesin ketik atau komputer, foto kopi, kertas, karbon, buku referensi, kamus serta buku gramatika. Tidak kurang pentingnya ialah soal tempat kerja, haruslah tempat yang tenang sehingga memungkinkan bekerja dengan baik. Tidak kalah pula pentingnya dari mana sumber dana itu tersedia untuk membiayai proyek penerjemahan itu.
c.       Langkah-Langkah Proses Penerjemahan
Apabila dikehendaki hasil penerjemahan yang baik dan tanpa kesalahan, maka urutan kerja berikut ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi penerjemah atau tim penerjemah. Dalam praktek urutan tersebut tidak selalu mutlak, karena penerjemah dapat bekerja bolak balik, kadang-kadang analisis teks sumber, ke teks sasaran dan sebaliknya.
1.  Persiapan. Ada dua macam persiapan, yaitu persiapan sebelum mulai kerja dan sewaktu penerjemahan dimulai. Persiapan jenis pertama mencakup latihan penulisan dan beberapa kajian ilmu bahasa. Penerjemah sebaiknya sudah pernah menulis semacam karya tulis dalam bsa. Persiapan jenis kedua ialah membaca keseluruhan teks bsu beberapa kali, mencatat bagian yang tidak jelas, memahami makna pesan bsu serta informasi apa yang akan dialihkan ke bsa. Di samping itu, penerjemah harus mempelajari latar belakang kebudayaan khalayak bsu, sejarah penulisan, serta waktu penulisannya. Selama membaca teks bsu, harus dilakukan pencatatan kata-kata penting, istilah, kata yang ambigu (ambigous) atau tidak jelas artinya.
2.          Analisis, ialah mempelajari kata-kata kunci (hasil pencatatan pertama) untuk mendapatkan padanan kata bsa. Proses analisis yang sebenarnya ialah dimulai dari keseluruhan teks, lalu beralih ke satuan yang lebih kecil itu. Analisis teks sumber dan pengalihannya ke bsa merupakan proses yang dinamis dan dapat bergerak dari satuan yang besar ke satuan yang lebih kecil, atau sebaliknya.
3.          Pengalihan, ialah proses pemindahan dai analisis struktur semantis ke konsep awal terjemahan. Sesudah analisis, penerjemah mengalihkan makna ke dalam bsa. Dalam proses ini penerjemah mencari padanan leksikal yang baik untuk konsep bahasa dan kebudayaan sasaran. Tanpa studi prinsip penerjemahan, proses pengalihan dapat menjadi sulit dan hasilnya tidak memuaskan.
4.          Konsep awal. Hal ini dapat bergantung dengan hasil analisis dan pengalihan. Penerjemah harus mulai konsep awal dengan satu paragraf, dan apabila sudah merasa benar akan maknanya maka dapat menyusun paragraf dengan wajar tanpa melihat teks bsu. Apabila konsep menulis paragraf sudah benar, penerjemah dapat memeriksa kembali ketepatannya. Sewaktu membuat konsep awal, penerjemah harus ingat akan khalayak pembacanya, tingkat pendidikan mereka dan sebagainya. Apabila konsep awal sudah dianggap baik, maka akan lebih mudah untuk proses selanjutnya karena tidak banyak melakukan perubahan konsep awal tadi.
5.          Pengerjaan kembali konsep awal, mencakup pemeriksaan ketepatan dan kewajaran. Proses ini tidak boleh dilakukan sebelum bagian yang lebih besar selesai dikerjakan. Dalam membaca seluruh naskah, harus dilakukan :
-   pencarian bentuk gramatikal yang salah
-   mengubah bagian yang berbelit-belit
-   mengubah bentuk urutan yang salah atau janggal
-   mencari bagian yang penghubungnya salah
-   memperbaiki makna yang kedengarannya asing
-   melihat gaya bahasanya, bila perlu diadakan modifikasi.
6.           Pengujian terjemahan, meliputi aspek alasan pengujian, penguji, cara pengujian dan penggunaan hasil pengujian. Aspek alasan pengujian ialah untuk memastikan ketepatan, kejelasan, dan kewajaran terjemahan. Aspek penguji ialah dengan anggapan bahwa terjemahan akan lebih baik bila melibatkan beberapa orang penguji. Sedangkan cara penguji meliputi pembahasan tentang :
a.           perbandingan dengan teks sumber
b.          terjemahan balik ke bahasa sumber
c.           pemeriksaan pemahaman
d.          pengujian kewajaran dan keterbatasan
e.           pengujian keajegan (consistency)
Aspek penggunaan hasil pengujian menjelaskan bahwa jika hasil pengujian tidak dimasukkan ke dalam terjemahan, maka pengujian tersebut akan sia-sia. Sesudah semua uji dilakukan, hasilnya harus dievaluasi dan perubahan yang disarankan itu dapat diterima, ditolak, atau diganti.
7.          Penyempurnaan terjemahan, dilakukan apabila hasil penerjemahan masih mempunyai kekurangan atau ada bagian yang dapat disempurnakan. Proses ini merupakan proses terakhir sebelum persiapan naskah untuk pencetakan.
8.      Persiapan naskah untuk penerbit. Proses ini merupakan proses penulisan teks dalam bsa yang sudah mengalami penyempurnaan semua proses sebelumnya. Dalam hal ini haruslah sudah jelas formatnya, banyaknya halaman, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan pencetakan.

III.4   Proses Pengalihbahasaan
Pada tahap proses pengalihan terdapat 3 tahapan penting yang perlu ditelaah lebih lanjut, yaitu analisis, penalihan (transfer), dan penyusunan kembali (restructuring).
Analisis.
Analisis teks dapat dilakukan dalam 2 tahap, yaitu analisis gramatikal dan analisis semantik.
1.            Analisis gramatikal.
Di sini penerjemah menentukan makna suatu teks bsu berdasarkan kata atau segi leksikal, dan tata hubungan kata atau segi gramatikal dari teks tersebut. Makna referensial (referensial meaning) ialah makna kata yang melekat atau merujuk pada suatu benda tertentu yang dapat dibagi pula atas :
a.       Makna formal (formal meaning), yaitu makna yang dimiliki sebuah benda dalam hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang sama.
b.      Makna konstekstual (contextual meaning), yaitu makna sebuah kata dalam hubungannya dengan konteks dan bentuk situasi pada saat kata itu dipakai. (Catatan : Dalam ragam bahasa ilmiah mungkin tidak ditemukan makna konstekstual ini)
           Contoh :           1.         I saw a black sheep grazing in the garden
2.                  He is the black sheep in the family
            Contoh dalam bahasa Indonesia :
                  1.   Ia berjalan-jalan di daerah lampu merah
                  2.   Ia diseret ke meja hijau
Analisis ini perlu apabila pada teks terdapat ujaran yang dapat menimbulkan makna ganda atau ambigu (ambigous), atau apabila suatu teks menggunakan kalimat yang panjang, bersusun, majemuk. Untuk itu perlu dilihat struktur batin (deep structure) ujaran tersebut. Di dalam struktur batin tersebut akan ditemukan kalimat-kalimat inti (kernel sentences).
           Contoh kalimat ambigu :
1.          The shooting of the hunters
2.          He hit the man with a stick
        Kalimat ini dapat diuraikan menjadi kalimat-kalimat inti yang dapat berbeda artinya :
1.a     They shoot the hunters
1.b     The hunters shoot
2.a       He hit the man.          He hit with a stick
2.b       He hit the man.          The man had a stick

Contoh suatu kalimat panjang yang perlu diuraikan menjadi kalimat-kalimat inti agar diperoleh makna yang sesuai dengan yang dimaksud :
If it were possible to evaluate and asses the manner in which all, or at least the important, factors affect the efficacy of a drug and relate these factors to the complex biosystem through which the drug must survive in order to be efficacious, then, perhaps, one could intelligently construct a molucule that would be effective in the treatment of a specific disease state.
Analisis kalimat panjang ini akan menghasilkan kalimat-kalimat inti sebagai berikut :
1.  If it were possible to evaluate and assess…
2.  (evaluate and assess) The manner in which all, or at least the important factors
3.  (factors) which affect the efficacy of drugs
4.  and relate these factors to the complex biosystem
5.  (the biosystem) through which the drug must survive in order to be efficacious
6.  then, perhaps, one could intelligently construct a molecule
7.  (a molecule) which would be effective
8.  (effective) in the treatment of a specific desease state
Pengalibahasaan
1.  Sekiranya dimungkinkan untuk mengevaluasi dan mengukur …
2.  (mengevaluasi dan mengukur) cara terjadinya semua atau setidak-tidaknya faktor
              yang penting
3.  (faktor) yang mempengaruh daya kedayagunaan obat
4.  dan mengkaitkan faktor-faktor ini dengan biosistem yang kompleks
5.  melalui (biosistem) itu obat harus utuh agar tetap berdaya guna
6.  maka saat itulah seseorang mungkin secara cerdik dapat mengkonstruksi suatu
            molekul
7.  (molekul) yang akan efektif
8.  (efektif) pada pengobatan suatu tahap penyakit tertentu

          Hasil sintesis kalimat :
Sekiranya dimungkinkan untuk mengevaluasi dan mengukur bagaimana semuanya faktor atau setidak-tidaknya faktor yang penting dapat mempengaruhi kedayagunaan obat, dan menghubungkan faktor-faktor ini dengan biosistem  yang kompleks dimaa obat itu harus utuh agar tetap berdaya guna, maka saat itulah mungkin seseorang secara cerdik dapat mengkonstruksi suatu molekul yang efektif pada pengobatan setiap tahap sakit tertentu.
2.  Analisis semantis.
Dalam analisis semantis diteliti apakah kata-kata itu hanya mempunyai makna referensial atau juga mengandung makna konotatif, misalnya perempuan dan wanita mempunyai makna referensial yang sama, tetapi berbeda dalam makna konotatif. Contoh lain : wash room, powder room, men’s room, lavatory.
3.  Pengalihan (transfer)
Proses penerjemahan yang sebenarnya terjadi pada tahap ini. Hasil analisis dialihkan dari bsu ke bsa.  Sebelum ini telah diuraikan masalah kata dan ungkapan yang dipengaruhi oleh latar belakang ekologi dan kultur. Di samping itu perlu pula diperhatikan masalah inti yang berkaitan dengan penyesuaian semantis, yang dapat dikelompokkan dalam 8 unsur sebagai berikut.
a)      Idiom (idioms), ialah ungkapan dua kata atau lebih yang tidak dapat dimengerti secara harfiah, dan secara semantis berfungsi sebagai suatu kesatuan
               Contoh :
1.      He has a hard heart   (seorang yang berani)
2.      The farmer called upon  the president (mengunjungi)         
b)        Makna kiasan   (figurative meaning)
                Contoh  :  He is a fox          (ia licik)
c)        Pergeseran komponen inti makna (shifts in the central components of meaning)
                Contoh:    Holy spirit menjadi white ghost, yang sebenarnya berarti : roh suci
d)       Makna generik dan spesifik
               Contoh         :   generic meaning (makna umum) : horse (kuda)
                                         specific meaning (makna khusus) :  stallion (jantan)
                                                                                                  mare (betina)
                                                                                                   pony (anak kuda)
              Contoh lain :      meat  (makna umum : daging)
                                          mutton       -           daging domba
                                          beef            -           daging sapi
                                          pork           -           daging babi
e)        Pleonasme  (pleonastic expression)
                     Contoh   :           spoke by the mouth of yhe prophets
                                                      (diucapkan oleh nabi)
f)          Rumusan khusus  (special formulas)
                     Contoh   :           An eye for an eye and a tooth for a tooth
                                               (pembalasan yang setimpal)
g)          Pendistribusian kembali komponen makna  (redistribution of semantic components)
                     Contoh   :           She was caught having sexual relationship with a man not her     
                                                husband (She was caught in adullery)
                                                  = Wanita itu berzina
h)          Frase penuntun untuk memperjelas arti  (provision for contextual conditioning)
                      Contoh  :           penggunaan ”classifier” :
                                                Animals called camel
                                                Ia makan buah yang disebut pisang

4.    Penyusunan kembali (restructuring)
Pada tahap penyusunan kembali atau tahap penyerasian, masih mungkin diadakan perubahan yang telah dilakukan pada tahap pengalihan tadi, yakni dapat berupa :
a.   reduksi, pemendekan bagian tes dengan menghilangkan kata-kata tertentu.
b.  suplementasi, penambahan kata-kata baru
c.   inversi, pengubahan urutan kata, ungkapan atau kalimat.
d.  ekuivalensi, pertukaran unsur-unsur, kata, ungkapan atau kalimat dalam bsu dalam padanannya dalam bsa.
Selain keempat unsur pokok itu, unsur lain yang dianggap perlu ialah unsur gaya penulisan (writing style). Termasuk dalam gaya penulisan ialah ragam penulisan, apakah suatu novel, prosa atau tulisan ilmiah yang masing-masing mempunyai cara-cara penulisan tersendiri. Misalnya, suatu tulisan ilmiah harus memenuhi syarat jelas, ringkas, lengkap, teliti, tersusun dan menyatu.

Dalam melakukan penulisan kembali ini perlu diperhatikan beberapa hal :
a.       Bentuk alihan yang ditulis kembali harus merupakan bentuk bahasan sasaran yang tepat, yaitu sesuai dengan aturan tata bahasa bsa sehingga merupakan bentuk wajar dalam bsa.
b.      Untuk mendapatkan bentuk-bentuk wajar dalam bsa, penerjemah harus membebaskan diri dari pengaruh struktur bsu.
Pergerseran bentuk maupun pergeseran makna seringkali tidak dapat dihindari dalam suatu terjemahan. Pergeseran makna terutama terjadi pada idiom, makna figuratif, pergeseran komponen utama makna, makna generik, dan spesifik, ungkapan pleonastis dan sebagainya.
Contoh pergeseran bentuk :
But his left hand has always been a traitor (kata benda)
Tetapi tangan kirinya selalu berkhianat (kata kerja)
Contoh pergeseran makna :
Here comes my mother
Nah, itu ibu datang
III. 5     Penutup
Menerjemahkan dari suatu bahasa sumber (bsu) ke suatu bahasa lain (bahasa sasaran = bsa) memerlukan pengetahuan mendalam mengenai bsu dan bsa, dan pengetahuan yang cukup mengenai bidang ilmu atau materi yang akan diterjemahkan. Di samping itu seorang penulis buku ajar perlu pula mempelajari teori dan teknik menerjemahkan agar dapat dihasilkan suatu terjemahan yang baik dan berguna, khalayak sasaran buku ajar itu mungkin masyarakat ilmiah, rekan pengajar atau mahasiswa dan orang lain yang memerlukan informasi dalam bidang itu.
Pemadanan berdasar makna lebih diutamakan daripada pemadanan berdasar struktur kalimat. Apalagi dalam penulisan buku ajar yang bersifat tulisan ilmiah, lebih ditekankan pada pembentukan istilah baru dan pengayaan kosa kata.


IV     TEKNIK  PRESENTASI

Suatu karya ilmiah perlu dikomunikasikan, apakah secara tertulis melalui media cetak, misalnya jurnal ilmiah, atau dipresentasikan secara oral di depan suatu forum tertentu. Tidak banyak orang yang terbiasa berbicara di depan suatu forum atau audiens, apalagi menyajikan suatu karya ilmiah di depan forum ilmiah. Menghadapi hal ini biasanya membuat si penyaji gugup atau “stress” karena kurang percaya diri, sama halnya menghadapi suatu ujian dan tidak belajar dengan baik. Untuk menghilangkan  keadaan yang demikian itu, dan agar dapat membangkitkan percaya diri, maka diperlukan persiapan-persiapan tertentu. Audiens yang dihadapi bukan saja terdiri atas 5 atau 10 orang, tetapi seringkali lebih dari 20 orang, yang perlu memperoleh informasi secara jelas dari penyaji. Sebab itu si penyaji harus berbicara dengan suara cukup keras dan jelas, dan menyajikan makalahnya dengan menggunakan alat bantu. Alat bantu pandang-dengar (Audio-visual aids) yang akan diberbicarakan di sini ialah “Overhead Projector dan “Overhead Transparencies” (OHP/OHT). OHT adalah sarana visual berupa huruf, lambang, gambar, grafis maupun gabungannya yang dibuat pada bahan tembus pandang atau transparan, untuk diproyeksikan pada suatu layar atau dinding menggunakan alat OHP. Jadi sebenarnya yang bersifat media di sini ialah OHT, sedangkan OHP ialah alat (hardware) yang digunakan untuk media tersebut.

Masih banyak terlihat kesalahan pada penggunaan media ini, sehingga tidak tercapai tujuan penggunaannya. Fungsi media OHP/OHT yang terutama ialah sebagai alat bantu untuk memperjelas apa yang dibicarakan; jadi apa gunanya OHT yang tulisannya kecil sehingga tidak terbaca oleh audiens yang duduk di depan, apalagi yang duduk di belakang ruangan.
Kelebihan dan Kekurangan Media OHT
Seperti halnya jenis media proyeksi lain, OHT mempunyai kemampuan untuk membesarkan tayangannya di layar atau dinding, tergantung kekuatan lensa dan sinar proyeksinya. Oleh karena itu OHT sangat sesuai untuk kegiatan presentasi di seminar, lokakarya, pelatihan atau perkuliahan yang melibatkan jumlah peserta yang besar. Untuk dapat memanfaatkan media ini sebaik-baiknya, perlu dipelajari berbagai karakteristiknya. Media OHT mempunyai kelebihan maupun kekurangan sebagai berikut.

Kelebihan OHT :
1.      Dapat menjangkau kelompok sasaran yang cukup besar (efektif sampai 60 orang)
2.      Memungkinkan penyaji selalu dapat bertatap muka dengan audiens.
3.      Tidak memerlukan ruangan yang terlalu gelap (memungkinkan orang dapat membaca)
4.      Memberikan variasi teknik penyajian yang menarik dan tidak membosankan
5.      Dapat menggunakan tampilan warna
6.      Dapat dibuat salinan (fotokopi)
7.      Dapat dilakukan penyajian secara sistematik.
8.      Dapat disimpan dan digunakan berulang kali
9.      Tidak memerlukan keterampilan khusus untuk menyajikannya

 Kekurangan OHT :
1.      Tergantung pada sumber listrik
2.      Memerlukan alat OHP (Hardware)
Perancangan OHT    (Lihat Contoh pada lampiran)
Beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan dalam merancang OHT ialah sebagai berikut :
1)      Dapat dibaca oleh audiens yang duduk di kursi paling belakang
-          Ukuran huruf minimal 6 mm
-          Semua tulisan berada dalam bidang proyeksi       
2)      Sederhana
-          dalam 1 lembar OHT, sebaiknya hanya mengandung 8 – 10 baris
-          dalam 1 baris hanya terdapat 15 kata
-          setiap lembar OHT hanya mengandung 1 topik
3)      Jelas, sistematik dan tidak rumit (Lihat Contoh Lampiran : VISUALS)
4)      Tata Letak OHP  (Lihat Contoh Lampiran)
-          diletakkan di sebelah kanan penyaji, agar penyaji tetap berada di dalam bingkai pemandangan audiens, karena penyaji akan menunjuk dengan tangan kanan.
-          jarak terdekat tempat duduk adalah 3 m
-          jarak terjauh tempat duduk ialah 10 m
-          jarak layar dari lantai ialah 1 m
-          ukuran layar 150 cm X 150 cm
5)      Teknik penyajian OHT (Lihat Contoh Lampiran)
-          menunjuk pakai pointer, bolpoint atau jari pada lembar OHT, jangan melihat atau menunjuk ke layar (dilarang membelakangi audiens) karena si penyaji harus senantiasa bertatap muka dengan audiens.
-          dapat menggunakan teknik “strip tease”, yaitu menggunakan penutup dari selembar kertas, lalu penutup ini dibuka sedikit demi sedikit sesuai dengan materi yang akan dibicarakan.
-          menggunakan teknuk “overlay”, yaitu menggunakan beberapa OHT sekaligus, tetapi ditempatkan satu demi satu, di atas yang lainnya.
-          menggunakan teknik “roll film”. Sekarang jarang digunakan, transparansi berbentuk rol (gulungan), bukan lembaran (sheet)  yang penggunaannya untuk ditulisi langsung (write on), sama seperti menggunakan papan tulis.
6.      Karakteristik pesan yang akan disampaikan, yaitu relevan, jelas, mudah, sistematis, dan hanya mengandung 1 kata kunci

Sekali lagi media OHP/OHT hanyalah alat bantu dalampenyajian makalah. Penguasaan materi yang baik, ditambah alat bantu yang dikuasai pula dengan baik akan meningkatkan rasa percaya diri, sehingga dapat mempresentasikan karya ilmiahnya dengan baik.

Daftar Pustaka
  1. Adjat Sakri (penyunting) (1985) “Ihwal Menerjemahkan”, Terbitan 2,
      Penerbit ITB Bandung.
  1. Brown, B. Atkins, M. (1988) “ Effective Teaching in Higher Education”,
      Methuen, New York.
  1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1989) “ Materi Penataran Calon Penulis Buku Ajar Peguruan Tinggi”, makalah dalam Lokakarya di Cisarua, Bogor.
  2. Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Universitas terbuka : Penataran Program PEKERTI/AA (2002)
  3. Larsen,M.L. (1988) “Penerjemahan Berdasar Makna : Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa”, Terjemahan oleh Kencanawati Taniran, Penerbit ARCAN, Jakarta.
  4. Nida, E.A. and Taber, Ch.R.  (1966)  “The Theory and Practice pf Translation”,
Vol.VIII by E.J.Brill, Leiden.
  1. Rusli, R.S. (1993) “ Membaca Akademik”, Makalah dalam Lokakarya Membaca,
Universitas Terbuka, Januari 1993.
  1. Simatupang, M. (1981) “ Menterjemahkan : Azas dan Kiatnya”, dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Jilid 2 , No.2, hal. 69-83.
  2. Stageberg, N.C. (1967) “Some Structural Ambiguities” dalam Wilson, G (ed.) A Linguistic Reader, Harper & Row, New York, pp.76-85.
  3. Timisela-Luhulima, C.M. “Membaca Efektif”, Makalah dalam Workshop Membaca Effektif, di Universitas Terbuka, Jakarta, 22 Januari 1993.

1 comment:

  1. merit casino no deposit bonus codes 2020
    casino no deposit bonus codes 2020 - play now - win real money on the internet casinos no deposit bonus 메리트카지노총판 codes 2020 · casino no deposit bonus codes 2020 · best of luck.

    ReplyDelete