BAGIAN I
RUANG LINGKUP FARMASI
I.
PENDAHULUAN
Farmasi
didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan
obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan
digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan
mengenai identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan,
penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat
(medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan
obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin,
dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya
dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai [4].
Kata farmasi
diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau elok, yang
kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi
obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah
orang yang paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai
obat, karena pengetahuan keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan yang
mendalam mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi
di atas.
Bagian I tulisan ini membicarakan ruang lingkup
farmasi, meliputi perkembangan orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi
sebagai ilmu dan profesi, karir dan pekerjaan Farmasis, dan pendidikan farmasi.
Perkembangan farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulum pendidikan
tingginya, karena kurikulum pendidikan merupakan gambaran kebutuhan masyarakat
akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu. Oleh
karena itu sebagai perbandingan dibicarakan pula pendidikan Farmasis pada
beberapa perguruan tinggi diluar negeri.
II. PERUBAHAN ORIENTASI FARMASI
Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan
pada pengertian dan orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu
dikatakan merupakan seni (arts) dan pengetahuan (science). Hal ini dapat
dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan tinggi farmasi pada awal
pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul “Scoville’s The Art of
Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan “Recepteerkunde” (Ilmu Resep) karangan
van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat menurut Undang-Undang No. 7 Tahun
1960 tentang Farmasi :
.. obat yang
dibuat dari bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral,
dan obat sintetis.
Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya
obat. Perkembangan farmasi setelah itu
berorientasi pada teknologi seperti tergambar oleh buku teks yang populer pada
saat itu, dan masih digunakan sampai sekarang : “ Pharmaceutical Technology”
oleh Lachman. Dalam Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : …… obat ialah
bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Definisi obat
ini lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya
Perkembangan
farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan orientasi di bidang
kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang beranggotakan negara-negara
di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-an mencanangkan semboyan “Health
for All by the year 2000”, yang merupakan tujuan sekaligus proses yang
melibatkan seluruh negara untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya,
suatu derajat kesehatan yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh
kehidupan yang produktif secara sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi
dirumuskan melalui suatu konsep bernama
“Primary Health Care” dalam konperensi internasional di Alma Atta 1978,
sehingga konsep itu dikenal dengan nama Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini merupakan
kunci dalam pencapaian tujuan pengembangan sosio-ekonomi masyarakat dengan
semangat persamaan hal dan keadilan sosial.
Perkembangan terakhir pengembangan di bidang kesehatan pada milenium
baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”. Paradigma sehat, bukan paradigma
sakit, berorientasi pada bagaimana mempertahankan keadaan sehat, bukan
menekankan pada manusia sakit yang sudah menjadi tugas rutin bidang kesehatan.
Jadi jelas perkembangan farmasi yang menjadi bagian dari bidang kesehatan, juga
harus mengikuti perkembangan yang terjadi di bidang kesehatan.
The American
Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1]
mendefinisikan farmasi sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge system)
yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak
sulit untuk mendefinisikan farmasi secara lengkap, yang bukan saja melihatnya
dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan pemakaian obat. Pada Ekspose
Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta bulan Maret 1986 [9] oleh suatu Tim dari Institut
Teknologi Bandung telah dikemukakan definisi Farmasi sebagai berikut :
Farmasi pada
dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi dan sosial budaya) yang
mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan dirinya
dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan tentang
obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh
obat pada manusia dan hewan.
Untuk
menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti diuraikan di atas,
farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi,
kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji,
diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan.
Sebagian
besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan
didistribusikan secara profesional bagi yang membutuhkannya.
Pengetahuan farmasi disampaikan secara
selektif kepada tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam
dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat
memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum
masyarakat.
Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan
farmasi, karena penerapannya untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang
berarti secara kuantitatif maupun secara kualitatif dalam setiap upaya
kesehatan.
III. SEJARAH PERKEMBANGAN FARMASI [4]
Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah
mengenal penggunaan obat tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional
(dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi sekaligus,
yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi kefarmasian
(meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya).
Penggunaan obat
dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan
Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan
bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam
yang digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan
selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates
(460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman
Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya
Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang
penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti
ular dijadikan lambang kefarmasian.
Perkembangan
profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang telah
menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin
yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan
istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah
terjadi dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama
al-Saidalani pada abad ke-9.
Namun demikian tonggak sejarah yang
penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia, Eropa, ketika dikeluarkan
surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang) mengatur
pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan
”Magna Charta” dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis
melalui pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai
keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan seragam. ”Magna
Charta” kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam bentuk Kode Etik
Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker. [4]
IV. PENGETAHUAN, ILMU DAN PROFESI
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”. Ilmu atau ”Science” ialah pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin. [8]
IV.1
Farmasi Sebagai Sains
Semua bentuk
pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai kategori
atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau
disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika
(Ethics), dan Sains (Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni
teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan
obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science).
Dalam tinjauan pengelompokan
bidang ilmu atau
kategori di atas
digunakan kriteria :
1.
Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi
ialah hubungan manusia dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup; obyek telaah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai
tujuan yang telah disetujui bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat
dari segi kimia dan fisis, segi terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada
penyerahannya kepada yang memerlukan.
2.
Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tersebut. Contoh landasan Epistemologis Matematika ialah logika
deduktif; landasan epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan
akal sehat; landasan epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika
induktif dengan pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode
logiko-hipotetiko-verifikatif.
3.
Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut.
Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda. Dalam
hal ini nilai kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama
karena kedua-duanya bertujuan untuk kesehatan manusia. [8]
Sebagai ilmu,
Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam maupun
sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode
logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan
pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang
dapat dikelompokkan dalam bidang Sains.
IV.2
Farmasi Sebagai Profesi
Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu
atau Sains, Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah
Profesi dan Profesional saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan
secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahlian
(skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional sering
digunakan sebagai lawan kata amatir.
Menurut Hughes,
E.C. [4] :
…..Profesion profess to know better than other the nature of certain
matters, and to know better than their clients what ails them or their affairs.
Definisi ini
menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak semua
pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi.
Menurut Schein, F.H. [4] :
…The profession are a set of occupation that have developed a very
special set or norms deriving from their special role in society .
Kelompok
profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria
berikut :
1.
Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini
dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2.
Sikap dan Prilaku
Profesional. Seorang profesional memiliki
seperangkat sikap yang mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah
mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri
sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan bekerja untuk dibayar,
tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3.
Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk
menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau
lisensi (lincense) oleh negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi.
Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak
berkompetensi untuk melakukan praktek profesional.
Apabila kriteria
di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai berikut :
1.
Profesi itu sendiri yang
menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.
2.
Mahasiswa yang mengikuti
pendidikan profesi tertentu harus memperoleh pengalaman sosialisasi menuju
kedewasaan yang lebih intensif dibanding mahasiswa pada bidang pekerjaan lain.
3.
Praktek profesional secara legal
(menurut hukum) diakui dengan pemberian lisensi.
4.
Pemberian lisensi dan dewan
penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5.
Umumnya peraturan yang
berkaitan dengan profesi dibentuk dan dirumuskan oleh profesi itu sendiri.
6.
Okupasi ini akan berkembang
dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan tingkat prestise, sehingga dapat
menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon mahasiswanya.
7.
Praktisi profesi secara relatif
tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang awam.
8.
Norma-norma praktek yang
dikeluarkan profesi itu lebih mengikat dibanding kontrol legal.
9.
Anggota profesi sangat erat
terikat dan terafiliasi dengan profesinya dibanding dengan anggota okupasi
lain.
10.
Profesi ini biasanya merupakan
terminal, dalam arti tidak ada yang akan beralih ke profesi lain. [7]
V. VOKASI DAN KARIR DALAM BIDANG FARMASI
Perhatian utama para dokter, dokter gigi dan
dokter hewan yang menulis resep ialah pada efek obat pada penderita, nilai
terapetika, dan toksiologinya. Para perawat bertugas untuk memberikan obat,
tanggap terhadap bentuk sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya. Maka
ahli Farmasi (Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan
tanggung jawab legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala sesuatu
mengenai obat itu adalah tanggung jawab profesinya. Tidak ada program studi
lain selain Farmasi yang memberikan dasar-dasar pengetahuan lengkap mengenai
segala sesuatu yang perlu diketahui tentang obat. Jadi hanya seorang Farmasis
yang mempunya kompetensi keahlian obat secara lengkap.
Farmasis Komunitas (Community Pharmacist)
Farmasis atau Apoteker memberikan kesan umum bahwa tempat kerja
seorang farmasi hanyalah di Apotik, yaitu salah satu tempat pengabdian
profesi seorang Apoteker. Seorang Farmasis di Apotik langsung berhadapan dengan
masyarakat sehingga fungsi tersebut dikelompokkan dalam Farmasi Masyarakat
(Community Pharmacy). Fungsi Farmasis Masyarakat di Apotik merupakan kombinasi
seorang profesional dan wiraswastawan. Dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 25/80 tentang Apotik, bahwa Apotik adalah tempat pengabdian
profesi seorang Apoteker, maka makin besar harapan yang diberikan pemerintah
kepada para Farmasis, baik dari segi jumlah tenaga farmasi maupun dari segi
kemampuan profesionalnya.
Farmasi Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)
Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan yang dilakukan di
rumah sakit pemerintah maupun swasta. Fungsi kefarmasian ini yang sudah sangat
berkembang di negara maju, juga sudah mulai dirintis di Indonesia dengan
pembukaan program spesialisasi Farmasi Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan Farmasis
di rumah sakit di masa depan akan semakin meningkat karena 3 hal :
1.
Faktor pertambahan penduduk.
2.
Meningkatnya kebutuhan untuk
perawatan yang lebih baik di rumah sakit.
3.
Fungsi dan peranan Farmasis
Rumah Sakit akan lebih meningkat dalam berbagai aspek mengenai penggunaan dan
pemantauan obat.
Pedagang
Besar Farmasi (PBF)
Mata rantai sebagai perantara industri farmasi dan masyarakat dalam
hal penyaluran obat ialah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di luar negeri PBF ini
mempunyai tenaga Farmasis terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh sifat
khas produk yang ditanganinya itu sehubungan dengan peraturan
perundang-undangan. Di Indonesia hanya dipersyaratkan tenaga menengah farmasi
(Asisten Apoteker = AA) sebagai penanggungjawab, mengingat belum cukup
tersedianya tenaga ahli berpendidikan tinggi.
PBF sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai
industri farmasi yang secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis Komunitas
(Apoteker) untuk secara cepat pula melayani kebutuhan penderita akan obat. PBF
juga mengurangi beban finansial Apoteker dalam hal menyimpan stok obat dalam
jumlah besar dan menjembatani kerumitan negosiasi dengan ratusan industri
farmasi sebagai produsen obat.
Industri Farmasi
Farmasis di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran
produk, riset dan pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi dan
administrasi atau manajemen. Fungsi perwakilan pelayanan medis (medical service
representative) atau ”detailman” yang bertugas dan langsung berhubungan dengan
Dokter dan Apoteker untuk memperkenalkan produk yang dihasilkan industri
farmasi mungkin juga dijabat seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun
paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain.
Namun paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar
belakang pengetahuannya. Saat ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi
jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi, dan lebih dibutuhkan di tempat
pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat mencapai
tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan direktur pemasaran produk dalam
organisasi industri farmasi.
Pada unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control)
industri dipersyaratkan seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan
(R & D = Research and Development) biasanya diperlukan lulusan pendidikan
pascasarjana, meskipun bukan merupakan persyaratan.
Instansi Pemerintah
Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak
menyerap tenaga Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Minuman (DitJen POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai
Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM) di daerah. Demikian pula Bidang
Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan (sekarang dihapus, hanya ada Dinas Kesehatan Propinsi) dan jajaran
Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan Gudang Farmasi. Fungsi utama
Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan, bimbingan
dan pengendalian. Sejak tahun 2001, telah terjadi perubahan struktur,
Direktorat Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah Departemen Kesehatan,
tetapi menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang
bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur Balai
(besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah Badan POM,
tidak berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi.
Departemen HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama berfungsi
pada bagian logistik dan penyaluran obat dan alat kesehatan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di perguruan
tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang Farmasis ialah
dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan ditingkatkan menjadi
lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program PEKERTI/AA
(Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach), yaitu
program penataran dosen dalam aktivitas instruksional atau proses belajar
mengajar.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan
untuk mengabdi pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker sebelum
dapat berpraktek swasta perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal sebagai
Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat dilaksanakan pada instansi pemerintah
seperti tersebut di atas atau penugasan khusus dari Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri Kesehatan di daerah. Dengan
dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi.
Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang
memperoleh latihan khusus dalam kewartawanan dan mempunyai bakat menulis dan
mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh instansi pemerintah atau industri
farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan yang berlatar belakang
kefarmasian.
Manajemen Perusahaan
Khususnya instansi swasta banyak memerlukan tenaga
ahli berlatar belakang kefarmasian dengan berkembangnya organisasi pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini diperlukan pendidikan tambahan, misalnya
Magister Manajemen (MBA = Master of Business Administration).
VI. PENDIDIKAN KEFARMASIAN
Pendidikan
Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan tuntutan
zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang
lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya
bidang Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi
swasta yang menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada
pendidikan program profesional di bidang
kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga
Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi
setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan
Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan (POLTEKKES).
VI.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di
Indonesia. [6]
Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian
di Indonesia dapat dibagi dalam era pra Perang Dunia II, Zaman Pendudukan
Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum Perang Dunia II, selama
penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari Denmark,
Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya
setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan
pendidikan A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan
setelah periode tertentu seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918
dibuka sekolah Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan murid lulusan
MULO Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh
Indonesia hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker warga
negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik. Untuk
mengisi kekosongan itu diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik,
juga diberi izin kepada dokter untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek)
di daerah yang belum ada Apotiknya.
Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis
pendidikan tinggi Farmasi dengan nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika
Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka
Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian pindah dan berubah menjadi
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan
Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA), Bandung
sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian berubah
menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.
Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang
dihasilkan pada tahun 1953. Saat ini di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi
farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta [6].
VI.2
Sekolah Menengah Farmasi
Dari sejarah perkembangan kefarmasiaan di Indonesia
tampak besarnya peranan pendidikan
menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker), khususnya pada saat langkanya
tenaga kefarmasian berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai
dikeluarkannya PP 25 tahun 1980, masih dimungkinkan adanya ”Apotik Darurat”
yaitu Apotik yang dikelola oleh Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman
kerja. Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan
berperanan, khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di
Apotik maupun di Rumah Sakit. Dengan bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan
tinggi, peranan ini akan semakin kecil, sehingga perlu dipikirkan untuk
meningkatkan pendidikan AA ini setingkat akademi (lulusan SMA). Mulai tahun
2000, pendidikan menengah ini mulai “phasing out”, ditingkatkan menjadi Akademi
Farmasi.
VI.3 Program Diploma Farmasi
Sejak 1991 telah dirintis pembukaan
pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam bentuk Program Diploma (D-III) oleh
Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis Farmasi. Kebutuhan ini
merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang semakin memerluka
tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin memerlukan
diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah
menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan
pekerjaan di bidang pengendalian kualitas (quality control). Adapun peranan
yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis Farmasi ialah: Melaksanakan
analisis farmasi dalam laboratorium: obat, obat tradisional, kosmetika,
makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di industri farmasi,
instalasi farmasi rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan
makanan-minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor pemerintah maupun
swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis
dan peserta aktif dalam pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.
Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan
tinggi negeri yang mempunyai fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status
Program Diploma (D-III). Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa
yang akan datang dapat ditingkatkan menjadi Program Diploma seperti yang
diuraikan di atas. [3] Ramalan kami lebih dari 10 tahun yang lalu,
sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang mengharuskan
pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.
VI.4 Pendidikan Tinggi Farmasi [6]
Perkembangan pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak berdirinya
perguruan tinggi farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini
terdapat 8 pendidikan tinggi Farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi
swasta. Menurut catatan tahun 1983 jumlah lulusan Farmasis (Apoteker) di
Indonesia 3552 orang, yang merupakan peningkatan sebesar 350% dari jumlah
Apoteker di tahun 1966. Proyeksi jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666
orang berdasarkan rasio 1 Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya untuk bidang
pelayanan saja. (Rasio yang ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang
lazim diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan ialah 1 : 15.000).
Saat ini jumlah Apoteker diperkirakan sebanyak 10.000 orang.
Tantangan pembangunan di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang
yang merupakan tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ialah
menghasilkan produk pendidikan tinggi yang memenui Standar Profesi Apoteker
(Standard Operating Procedure = SOP) sebagai berikut : [5]
-
turut mengupayakan obat yang
bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan penderitaan akibat
penyakit.
-
memberikan sumbangan untuk
mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal dan fungsi abnormal
organisme.
-
mengupayakan obat yang bekerja
spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi penyakit; memulihkan kesehatan;
mencegah penyakit.
-
mengupayakan obat yang dapat
membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain (bukan obat) dalam upaya
kesehatan.
-
menciptakan metode untuk
mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada manusia.
-
menggali dan mengembangkan
sumber alam Indonesia yang dapat diperbaharui atau pun tidak dapat diperbaharui
untuk tujuan kefarmasian.
-
menciptakan cara baru untuk
penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya dalam organisme.
-
mengembangkan metode untuk
menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk meningkatkan secara menyeluruh
daya guna dan keamanan obat dan komoditi farmasi, maupun keamanan lingkungan
dan bahan lain yang digunakan manusia untuk kepentingan kehidupannya.
-
membangun sistem farmasi
Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi farmasi yang efisien dan efektif
selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan lingkungan Indonesia.
VI.5 Kurikulum Pendidikan
Tinggi Farmasi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun perubahan
orientasi Farmasi sebagai ilmu dan profesi juga berkembang mengikuti zaman.
Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi mulai berubah secara drastis pada awal
tahun 80-an. Perubahan ini ditandai oleh penerapan Sistem Kredit Semester,
penerapan Kurikulum Inti dalam rangka penyeragaman pendidikan tinggi Farmasi di
seluruh Indonesia, dan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang
dikembalikannya fungsi Apotik sebagai tempat pengabdian profesi Apoteker.
Perkembangan di
era sembilan puluhan dimulai dengan terbitnya Undang-Undang No. 2 tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 30/Tahun 1990
tentang Pendidikan Tinggi, Konsep Link and Match (1993) oleh DepDikBud; dan di
sektor kesehatan diterbitkan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Perkembangan terakhir ialah diterbitkannya PP 60/ Tahun 1999 tentang Pendidikan
Tinggi, yang merupakan penyempurnaan PP No.30/Tahun 1990 Tentang Pendidikan
Tinggi, dan PP No.61/ Tahun 1999,
tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Peraturan
Pemerintah yang terakhir ini pada dasarnya memberikan otonomi kepada
perguruan tinggi untuk penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesional,
yang disertai akuntabilitas (pertanggungjawaban), melalui akreditasi,
yang dilakukan melalui evaluasi, untuk meningkatkan kualitas
secara berkelanjutan. (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi ,KPPT-JP 1996-2005)
Kebijaksanaan
pemerintah yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan itu semuanya mengacu
pada Tujuan Pembangunan Nasional seperti yang tercantum dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mempengaruhi pula arah, tujuan dan orientasi pendidikan
kefarmasian, dan kurikulum pendidikannya.
VI.6 Sistem Kredit Semester
Sistem Kredit Semester ialah sistem pengadministrasian pendidikan
yang memberikan bobot SKS pada hasil upaya peserta didik maupun pendidik. Untuk
Sarjana Farmasi ditetapkan jumlah bobot 114-160 SKS sebagai suatu kebulatan
studi yang dapat diselesaikan dalam 9 Semester, dan 2 Semester untuk program
profesi Apoteker.
VI.7 Kurikulum Inti
Kurikulum Inti Bidang Farmasi merupakan hasil rumusan Konsorsium
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, DepDikBud pada tahun 1980 yang
diberlakukan tahun 1983 dengan SK DirJenDikTi. Kurikulum Inti (1983) dapat
dilihat pada Tabel berikut menurut pengelompokan mata kuliah dan sebaran SKS :
Kelompok
|
Kurikulum
Inti (SKS)
|
Di
luar Kurikulum Inti
(SKS)
|
Jumlah
SKS
|
Mata kuliah Dasar Umum (MKDU)
|
6
|
8 - 10
|
14
- 16
|
Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK)
|
54
|
11
- 18
|
65
- 72
|
Mata Kuliah Keahlian Utama (MKKU)
|
54
|
11
- 18
|
65
- 72
|
(Kimia Farmasi
|
12
|
|
|
Farmasetik
|
12
|
|
|
Farmakognosi
|
12
|
|
|
Farmakologi
|
12
|
|
|
Tugas Akhir
|
6
|
|
|
Mata kuliah Pilihan(MKP)
|
(termasuk
mata kuliah di luar Kurikulum Inti)
|
114
114 - 160
Catatan :
1.
Antara MKDK dan MKDU dibuat
berimbang dengan maksud agar supaya mahasiswa lebih fleksibel untuk
mengembangkan diri baik terjun ke masyarakat, maupun melanjutkan ke program
Pascasarjana.
2.
Masing-masing MKKU mendapat
jumlah SKS yang sama dengan maksud memberi kesempatan yang seimbang kepada
masing-masing bidang untuk berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi
masing-masing universitas/institut.
3.
MKP dapat diisi dengan mata
kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang studi untuk memperluas wawasan,
juga dimaksudkan untuk diisi dengan mata kuliah yang sesuai dengan Pola Ilmiah
Pokok masing-masing universitas/institut.
VI.8 Kurikulum Pendidikan
Tinggi Farmasi Tahun 2000
Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (MenDikNas)
No.232/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan
Evaluasi hasil Belajar, dan No.045/2002, tentang Kurikulum Pendidikan, telah
terjadi perubahan mendasar pada penyusunan kurikulum, yang saat ini ditekankan
pada kompetensi lulusan (Competency-Based Curriculum). Dengan demikian
maka perlu diadakan tinjauan kembali mengenai kompetensi yang akan dirumuskan
dalam Tujuan Program Studi Farmasi sesuai dengan elemen kompetensi seperti
diberikan pengelompokannya. Kalau pada kurikulum mata kuliah dikelompokkan
menurut MKDU, MKDK, MKK dan MKP, maka dalam kurikulum 2002 diadakan
pengelompokan menurut :
·
Kelompok MPK (mata kuliah pengembangan kepribadian)
·
Kelompok MKK (mata kuliah keilmuan dan ketrampilan)
·
Kelompok MKB (mata kuliah keahlian berkarya)
·
Kelompok MPB
(mata kuliah perilaku berkarya)
·
Kelompok MBB
(matakuliah berkehidupan bermasyarakat)
Pada dasarnya, masing-masing pendidikan tinggi dapat
menyusun kurikulumnya sendiri berdasarkan
pedoman tersebut. Kurikulum yang baru ini sedang dalam proses
penyusunannya. Selanjutnya oleh Asosiasi PTFI (lihat di bawah) telah diterbitkan
kesepakatan mengenai Kisi-Kisi Matakuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi
Tahun 2002, yang berisi silabus dan uraian singkat masing-masing matakuliah.
Kisi-Kisi Mata Kuliah Kurikulum Inti Program Studi Farmasi 2002 telah disusun
untuk mata kuliah :
1)
Biologi Sel dan Molekul ( 2 SKS
)
2)
Mikrobiologi Farmasi (2+1)
3)
Morfologi, Anatomi dan
Fisiologi Tumbuhan (2+1)
4)
Anatomi Fisiologi Manusia (2+1)
5)
Kimia Analisis (2+1)
6)
Kimia Fisika (2)
7)
Kimia Organik (4+1)
8)
Biokimia (2+1)
9)
Farmasi Fisika (2+1)
10)
Farmasetika Dasar (2+1)
11)
Kimia Farmasi Analisis (2+1)
12)
Teknologi Sediaan Farmasi (4+2)
13)
Biofarmasi (2)
14)
Farmakokinetika (2)
15)
Kimia Medisinal (2)
16)
Farmakognosi (3+1)
17)
Fitokimia (2+1)
18)
Farmakologi-Toksikologi (4+1)
-------------------------------------------------------------------------------
Jumlah Mata Kuliah = 18
Jumlah SKS = (43 + 14)
Jumlah Mata kuliah dan Bobot SKS masih perlu dilengkapi dengan
muatan lokal sampai menjadi (144-160) SKS
VI.9 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi
Negeri
Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan pendidikan
tinggi Farmasi Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang bertemu sekali setahun
sebagai wadah sumbang saran dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan
pendidikan. Beberapa kesepakatan penting antara lain :
1.
usaha penyeragaman status
pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.
2.
usaha penyeragaman lulusan
Farmasis, khususnya Apoteker dengan menetapkan kurikulum minimal selain
Kurikulum Inti.
3.
pelaksanaan ujian negara bagi
Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah dihapus)
4.
pengembangan program studi baru,
misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi, dan Spesialis.
FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan tinggi negeri yang
menyelenggarakan pendidik Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun 2000 perkembangan
perguruan tinggi swasta semakin pesat sehingga dibentuk Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, yang beranggotakan
semua pendidikan tinggi farmasi, negeri dan swasta. Tercatat saat ini perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Sarjana Farmasi di Indonesia berjumlah
8 (negeri) dan 23 (swasta)
VI.10 Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan
Apoteker
Sejak dikeluarkannya PP 25/80 diwajibkan kepada para Apoteker untuk
mengikuti pelatihan tambahan sebagai Apoteker Pengelola Apotik (APA). Dengan
dikeluarkannya PP tersebut maka kemampuan dan keterampilan Apoteker sebagai
Pengelola Apotik perlu ditingkatkan, khususnya dalam bidang manajemen,
komunikasi personal, farmakologi dan kewiraswastaan dalam rangka peningkatan
kemampuan dalam pengabdian profesi di Apotik. Pelatihan ini dilaksanakan untuk
semua Apoteker yang sudah mempunyai izin kerja dengan pemberian sertifikat
Apoteker Pengelola Apotik (APA). Setelah itu pada tahun 1984 materi kompetensi
APA itu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Apoteker.
VI.11 Konsep Link and Match
Dalam rangka pembinaan Sistem Pendidikan Nasional, sejak Agustus
1993 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diumumkan kebijakan keterkaitan
(link) dan keterpadanan (match) sebagai salah satu strategi di bidang
pendidikan. Inti dari konsep ini ialah relevansi pendidikan yang perlu
dijabarkan lebih lanjut dalam program-program pendidikan, sedangkan latar
belakang permasalahan yang mendasari konsep ini ialah kenyataan bahwa terdapat
ketidaksesuaian antara kesempatan kerja menurut proyeksi penyediaan tenaga
kerja (DepTenaKer), dengan luaran pendidikan menurut tingkat pendidikannya.
Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan dapat diartikan
bahwa hasil pendidikan harus memberikan dampak bagi pemenuhan dunia kerja,
kehidupan di masyarakat, dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Upaya peningkatan relevansi ini perlu dioptimalkan agar lulusan dapat
memperoleh keterampilan dan keahlian sesuai (keterpadanan) kebutuhan masyarakat
pada umumnya dan kebutuhan lapangan kerja (keterkaitan) pada khususnya baik
dilihat dari segi jumlah dan komposisinya menurut keahlian, mutu keahlian dan
keterampilannya maupun sebaran serta efisiensinya.
Dikaitkan dengan konsep DepDikBud tersebut, pendidikan tinggi
farmasi perlu membenahi diri untuk menghasilkan tenaga yang jumlahnya cukup
(kuantitas) untuk mengisi kebutuhan lapangan kerja yang diproyeksikan, dan
lebih meningkatkan kualitasnya lulusan agar mempunyai keterampilan dan keahlian
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia baik negeri maupun swasta
setiap tahun diperkirakan dapat memproduksi lulusan Apoteker sebanyak 500
orang. Jumlah Apoteker saat ini (1993) diperikirakan 4500 orang. Dengan
perhitungan rasio 1 orang Apoteker untuk 20.000 orang, dan perkiraan penduduk
Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 200 juta orang, berarti diperlukan tenaga
Apoteker sebanyak 10.000 orang, yang belum dapat dihasilkan oleh perguruan
tinggi di Indonesia (7 tahun @ 500 =
3500 orang). Dari segi kualitas Apoteker sebagai profesi ang mendapat
pengakuan masyarakat, perlu ditingkatkan dan diadakan diversifikasi menurut
keahlian yang sepadan denga kebutuhan masyarakat. Konsep “Link and Match” saat
ini masih dilanjutkan dengan nama lain.
VII PENDIDIKAN TINGGI
FARMASI DI LUAR
NEGERI
[1,2]
Kurikulum pendidikan tinggi Farmasi dapat memberikan gambaran
mengenai perkembangan kefarmasian (state of the art) dalam suatu negara, karena
perkembangan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan
kefarmasian akan diejawantahkan dalam kurikulum pendidikan tingginya.
Sekedar melakukan
perbandingan, pada tabel di bawah ini disajikan perbedaan pendidikan tinggi
Farmasi di Indonesia dengan beberapa pendidikan tinggi di luar negeri :
|
Farmasis
|
Master
|
Doktor
|
Indonesia
|
4 ½ th.
+ 1 th. profesi
|
+ 2 th.
|
+ 3 th.
|
Australia
|
3 th.
+ 1 th. Profesi
(akan diseragamkan 4 th +
1)
|
Master of Pharmacy
+ 2 th.
|
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)
|
Amerika Serikat
|
2 th. (Pre- professional)
4 th.
(Professional)
Pharm. Doctor)
|
Master of Science
+ 2 th.
|
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)
|
Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat hanya ada 1 jalur untuk mencapai
profesi Pharmacist, yaitu Pharmaceutical Doctor yang membutuhkan waktu 6 tahun
(2 tahun pre-professional + 4 tahun professional). Di Australia juga akan
diseragamkan lama waktu studi Pharmacist (Bachelor of Pharmacy = B.P.) menjadi
(4 + 1) tahun. Di samping program pascasarjana di bidang penelitian (Master dan
Doctor), sama halnya di Indonesia, di Australia juga disediakan program
Graduate Diploma di bidang tertentu (Hospital Pharmacy; Industrial Pharmacy)
bagi Farmasis yang ingin meningkatkan keahliannya, khususnya keterampilan.
VII.1 Pendidikan Tinggi
Farmasi di Australia [2]
Pendidikan tinggi Farmasi di Australia
secara khusus mendidik calon Farmasis untuk dapat bekerja sebagai seorang
profesional di masyarakat, berbeda dengan di Indonesia yang mendidik mahasiswa
juga sebagai calon peneliti (ada jalur akademik dan jalur profesi). Yang dapat
menjadi peneliti hanya terbatas pada lulusan yang mencapai Honours Degree
(lulusan dengan pujian) agar dapat melanjutkan ke jenjang Master of Pharmacy
atau Doctor of Philosophy. Hal ini tergambarkan pada Tujuan Pendidikan dan
Materi sebagai berikut :
Tujuan Pendidikan
1.
memahami ilmu dasar dan terapan
yang cukup, agar dengan bertambahnya pengalaman, mampu mengintegrasikan dan
menerapkan pengetahuannya pada lingkungan profesi praktis.
2.
memiliki keterampilan
”dispensing” dan keterampilan lain yang sesuai agar setelah menjalani magang (1
th.) dapat berpraktek sebagai Farmasis yang kompeten.
3.
memperoleh keterampilan
berkomunikasi yang cukup untuk berpraktek sebagai Farmasis yang kompeten dengan
bertambahnya pengetahuan.
4.
mengembangkan ciri, kualitas
dan pandangan pribadi terhadap etika dan standar profesi yang diperlukan untuk
berpraktek sebagai profesional di bidang kesehatan secara bertanggung jawab.
5.
mempunyai komitmen untuk
mempertahankan dan mengembangkan pengetahuan dasarnya dengan cara melanjutkan
proses pendidikan selama karirnya.
Pengetahuan mendalam
(detailed knowledge)….
Materi yang diperlukan untuk pencapaian tujuan di atas
yang perlu dikuasai secara mendalam
ialah mengenai :
(a)
ciri struktur dan sifat
fisiokimia obat sebagai dasar untuk memahami mekanisme molekuler dari aksi
obat; faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi;
dan tentang desain bentuk sediaan.
(b)
fisiologi manusia dan
farmakologi sebagai dasar untuk pengobatan penyakit; optimasi pengobatan,
menghindari efek samping, kontraindikasi, efek bertentangan dan reaksi toksis.
(c)
formulasi dan pembuatan obat
menjadi bentuk sediaan yang tepat untuk optimasi kemanfaatn terapetik.
(d)
penyerahan obat kepada
penderita (individu) sesuai dengan persyaratan legalitas, terapetik dan
profesional.
(e) peraturan perundang-undangan tentang praktek profesional farmasi.
Pengetahuan
secara umum (general knowledge) tentang……
(f)
keadaan penyakit manusia secara
umum agar dapat memahami dasar-dasar terapi obat secara rasional.
(g)
pengenalan dan pengobatan
penyakit biasa (minor ailments) dan kemampuan menentukan perlunya merujuk
penderita kepada profesional kesehatan lain.
(h)
teknik membimbing penderita dan
berkomunikasi dengan profesi kesehatan lain mengenai penggunaan obat yang
sesuai dan tentang masalah lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
(i)
sumber informasi yang relevan
dan kemampuan untuk mengevaluasi dan menggunakannya secara kritis.
Pengertian
mengenai….
(j)
proses yang berkaitan dengan
pengembangan obat baru dan persetujuan mengenai bahan obat baru untuk tujuan
terapetik.
(k)
pereaksi dan uji diagnostik
yang umum digunakan, yang sesuai dengan praktek kefarmasian.
(l)
kedudukan Farmasi dalam sistem
pemeliharaan kesehatan.
(m)
bahaya yang berkaitan dengan
bahan kimia tertentu yang umum digunakan.
(n)
penggunaan salah dan
penyalahgunaan obat, bahan obat dan zat lain.
(o)
nutrisi, yang berpengaruh pada
penyakit dan pengobatannya.
Garis Besar Matakuliah
Matakuliah kefarmasian di Australia itu
sifatnya ”berorientasi-obat” dan berorientasi-pasien”, meliputi 4 bidang utama
:
1.
Pharmaceutical Chemistry (segi
kimia dari obat).
2.
Pharmacology (aksi obat).
3.
Pharmaceutics (bentuk dan
pemberian obat)
4.
Pharmacy Practice (aplikasi
ketiga di atas pada praktek kefarmasian)
VII.2 Pendidikan Tinggi
Farmasi di Amerika Serikat
Pendidikan Tinggi Farmasi (Pharmacist) di Amerika Serikat, sejak
tahun 1996 telah diseragamkan hanya melalui 1 jalur, yaitu Pharmaceutical
Doctor yang berlangsung selama 6 tahun.
Perubahan kurikulum pendidikan ini disebabkan oleh tuntutan kemampuan
profesional seorang Farmasis di masyarakat yang semakin meningkat dan
memerlukan tambahan pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu dasar dan pengetahuan lain
di luar kefarmasian, misalnya pengetahuan mengenai komputer. Pada saat itu, profesi Pharmacist menempati
ranking teratas paling mulia di mata masyarakat. Hal ini disebabkan karena keahlian dan
kemampuan profesi pharmacist seanntiasa dikaji dan dikembangkan agar lebih
sesuai dengan kebutuhan (link and match).
Kajian tentang perubahan kurikulum pendidikan pharmacist ini dihasilkan
oleh suatu Satuan Tugas Pendidikan Farmasi (Task Force on Pharmacy Education)
yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Farmasi Amerika Serikat (American
Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacists),
yang telah bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama.
Standar Profesi
Farmasis [1]
Salah satu hasil kajian dari Satuan Tugas
Pendidikan Farmasi ialah mengenai Standar Profesi Farmsis (Professional
Standards of Practice = SOP) yang rumusan terakhirnya berbunyi sebagai berikut
:
A. Seorang Farmasis hendaknya mampu bertukar pikiran dengan dokter dan
praktisi perawatan kesehatan lain, yang menyangkut perawatan dan perlakuan
terhadap pasien, dan senantisa mempertebal kepercayaan pasien akan
perawatannya. Farmasis hendaknya dapat menghargai esensi diagnosis klinis dan
memahami pengelolaan medis untuk pasien. Farmasis hendaknya memiliki
pengetahuan tentang obat yang akan digunakan terhadap pengobatan status sakit
pasien; mekanisme aksinya, bentuk sediaan dan kombinasi obat dalam perdagangan;
nasib dan disposisi obat; faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemanfaatan
fisiologis dan aktivitas biologis obat dalam bentuk sediaannya; pengaruh umur,
seks atau status sakit sekunder yang dapat mempengaruhi lancarnya pengobatan;
dan kemungkinan interaksi dengan obat lain, makanan dan prosedur diagnostik
yang dapat memodifikasi aktivitas obat.
B. Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya menghasilkan terapi obat
secara maksimum. Farmasis hendaknya memahami penggunaan yang sesuai dan regimen
takaran dari terapi obat yang dilakukan, kontraindikasi dan kemungkinan reaksi
tak diinginkan yang diakibatkan oleh terapi obat. Farmasis hendaknya mempunyai
cukup informasi mengenai kemungkinan obat paten mana yang interaksinya
berlawanan dengan terapi atau mungkin berguna sebagai tambahan dalam
memperbaiki pemberian obat atau perawatan secara keseluruhan.
C. Farmasis harus mengetahui aksi terapi obat paten sesuai penegasan
(claim) yang dikemukakan, komposisinya dan keunikan maupun keterbatasan bentuk
sediaan tersebut. Farmasis hendaknya mampu menilai secara obyektif kemampuan
suatu produk sesuai iklannya. Jika diminta oleh pasien, Farmasis hendaknya
mampu menegaskan kemungkinan kegunaan terapetik suatu obat paten sehubungan
dengan keluhan pasien.
D. Farmasis hendaknya mampu mereviuw publikasi ilmiah dan mampu mencari
implikasi praktis suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan kegunaan klinis
suatu obat. Farmasis harus mampu menganalisis suatu laporan pustaka percobaan
klinis mengenai kesesuaian desain penelitian dan analisis statistik yang dibuat
dari data. Farmasis hendaknya mampu menyiapkan suatu abstrak yang obyektif
mengenai kebermaknaan data dan kesimpulan si penulis.
E. Farmasis hendaknya merupakan seorang spesialis mengenai
karakteristik kestabilan dan persyaratan penyimpanan obat dan bahan obat,
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari bentuk sediaannya,
bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di sekitar tempat itu pada
tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk sediaan yang
diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk mempengaruhi aksi
awal (onset), intensitas, atau lamanya (duration) aksi terapetik.
F.
Farmasis hendaknya paham
benar akan pengaturan legal tentang pengadaan, penyimpanan, dan distribusi
obat. Farmasis hendaknya mengetahui tentang penggunaan obat yang diizinkan
seperti yang terperinci oleh pejabat negara dan daerah, praktek medis yang
benar, dan tanggung jawab legalnya terhadap pasien dalam penggunaan obat pada
prosedur terapetik eksperimental.
G. Farmasis hendaknya mampu, dengan terdapatnya bahan sumber yang
sesuai, untuk merekomendasi produk obat atau bentuk sediaan mana yang mungkin
secara potensial berguna untuk kebutuhan terapetik tertentu, dan Farmasis
hendaknya secara obyektif mampu mendukung pilihan yang diambil. Farmasis
hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi produk obat berdasarkan bentuk dan
warna yang dirinci, dan mungkin penggunaannya yang dianjurkan dengan
menggunakan bahan sumber yang sesuai.
H. Farmasis akan tanggap, berdasarkan gejala yang akan diuraikan dalam
wawancara dengan pasien, tentang informasi tambahan yang masih perlu diusahakan
diperoleh dari pasien mengenai kondisi pasien itu. Berdasarkan informasi ini
Farmasis hendaknya dapat merujuk pasien itu kepada praktisi medis yang sesuai,
spesialis, atau badan yang paling berkompeten untuk membantu pasien dalam kasus
spesifik. Farmasis hendaknya memperoleh dan menyimpan kartu data sakit (profil)
pasien untuk digunakan dalam melakukan keputusan farmatesis yang menyangkut
perawatan pasien. Melalui pemanfaatan profil demikian dan materi pembantu yang
sesuai, Farmasis hendaknya melaksanakan program reviuw pemanfaatan obat dalam
lingkungan daerah praktek. Farmasis hendaknya memantapkan dan melaksanakan
program untuk memastikan tidak lalainya pasien menggunakan obat dengan tujuan
terapetik.
I.
Farmasis hendaknya
mempunyai pengetahuan tentang manifestasi toksis dari obat dan tindakan yang
diperlukan yang merupakan cara terbaik untuk pengobatan gejala keracunan ini.
J.
Farmasis hendaknya mampu
berkomunikasi secara efektif dengan pasien mengenai petunjuk mengenai
penanganan yang sesuai dari resep dan obat paten. Farmasis hendaknya mengetahui
tentang pembatasan yang perlu ditekankan pada konsumsi makanan, pengobatan lain
dan aktivitas fisik.
K. Farmaisis hendaknya mampu berkomunikasi dengan profesional kesehatan
lain atau orang awam tentang topik obat yang baik, masalah kesehatan
masayrakat, dan pendidikan kesehatan perorangan.
L. Farmasis hendaknya mampu untuk meracik obat yang sesuai atau
campuran obat dalam bentuk sediaan yang baik.
M. Farmasis hendaknya mampu untuk menginterpretasi resep dari penulis
resep yang sepatutnya berlisensi, secara teliti meracik bahan terapetik yang
sesuai, memeriksa ketepatan resep yang sudah selesai sesuai isinya, dan
menempelkan label petunjuk sesuai diperlukan agar membantu pemahaman pasien
tentang maksud si penulis resep. Selanjutnya Farmasis hendaknya memberitahu
pasien secara lisan atau tertulis, mengenai efek merugikan dari obat yang
diracik menurut resep, apabila mengandung obat yang mungkin berbahaya bagi
orang yang memakannya. Farmasis hendaknya memastikan bahwa pasien mengerti
betul mengenai petunjuk obat yang ditulis.
N. Farmasis hendaknya memahami prinsip dan teknik prosesur manajemen
yang baik, dan akan memberikan pelayanan kefarmasian yang efisien untuk
memastikan kesinambungan perawatan pasiennya. Farmasis hendaknya menyadari
tentang pertimbangan finansial dari perawatan kesehatan, dan senantiasa
berusaha memberikan perawatan pasien yang berkualitas.
O. Farmasis akan mengambil langkah-langkah yang seuai dalam
mempertahankan tingkat kompetensi dalam setiap bidang yang disebutkan di atas.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) pada Kongres Nasional ISFI
XV di Semarang, pada tahun 1966 juga sudah merumuskan Standar Profesi Apoteker
dalam Pengabdian Profesi di Apotik. Hal ini merupakan sebagia materi pada mata
kuliah Perundang-undangan dan Etik, Program Profesi Apoteker.
Kurikulum Pendidikan Farmasi di Amerika Serikat 2002
Sejak 1996
pendidikan profesi Farmasis di Amerika Serikat bergelar Doctor of Pharmacy
(Pharm.D.)
berlangsung selama 6 tahun; terbagi atas 2 tahun prasyarat (Prepharmacy) dan 4
tahun magang (residence) untuk program profesional dan pengalaman kerja. Di samping itu ditawarkan juga program Master
of Science (M.S) dan Philosophical Doctor (Ph.D.) dalam bidang farmasi tertentu,
misalnya M.S. in Pharmaceutical Policy and Evaluative Sciences, yang
dapat dilanjutkan ke Program Ph.D. dalam bidang Pharmacoepidemiology,
atau Ph.D. dalam bidang Pharmacoeconomics and Policy. Contoh Kurikulum Pendidikan ialah sebagai
berikut :
A. General College, School of Pharmacy, University of
North Carolina at Chapel Hill [11]
PREPHARMACY REQUIREMENTS ( min. 60 Semester Hours Credits)
|
Min. Sem. Hours
|
Notes
|
English
Composition
|
6
|
|
Elementary
Statistics
|
3
|
|
Analytical
Geometry and Calculus
|
3
|
|
General
Biology with Laboratory
|
4
|
|
Genearl
Chemistry with Laboratory
|
8
|
All topics traditionally included in
Org.Chem. Courses
|
General College Physics
|
8
|
All topics
incl. in introductory Physics Course.
|
Microbiology
with Laboratory
|
8
|
|
General
Education Courses
|
18
|
Six courses are to be selected : 2
Aesthetic perspective Courses, 2 Historical Perspective, 1 Philosophical, 1
Social Science perspective
|
Foreign
Language
|
6-9
|
|
Physical
Education Activities
|
2
|
|
Doctor of Pharmacy Curriculum (Pharm.Doctor) (UNC at Chapel Hill)
Fall
|
Spring
|
First
Professional Year
|
|
Community
Hospital Externship
|
|
Physiology
|
Pharmacology I
|
Biochemistry I
|
Biochemistry
II
|
Basic
Pharmaceutics
|
Basic
Pharmaceutics II
|
Health Care
Systems
|
Pharmaceutical
Care
|
Pharm.Care
Lab.I
|
Pharm.Care Lab
II
|
Second Professional
Year
|
|
Community/Hospital
Externship
|
|
Pharmacology
II
|
Pharmacology
III
|
Pharmacotherapy
I
|
Pharmacotherapy
II
|
Literature
Analysis
|
Pharmacotherapy
III
|
ANS Med. Chem.
|
Pharmacotherapy
IV
|
Pharmacokinetics
|
Applied
Pharmacokinetics
|
Professional
Elective
|
Professional
Elective
|
Pharm.Care
Lab. III
|
Pharm.Care
Lab. IV
|
Third
Professional Year
|
|
Pharmacy
Law & Ethics
|
Pharmacy
Operations
|
Pharmacotherapy
V
|
Physival
Assessment
|
Pharmacotherapy
VI
|
Professional
Elective
|
Immunology
|
Professional
Elective
|
Nonprescription
Drugs
|
Prob.in
Pharmacotherapy
|
Professional
Elective
|
Seminar
|
Seminar
|
|
Fourth
Professional Year
|
|
Clerkships
|
Clerkships
|
B. University of Minnesota [10]
Program
Doktor Farmasi (Pharmaceutical Doctor Program) mempersiapkan mahasiswanya untuk
mengidentifikasi, mengambil keputusan dan mencegah permasalahan yang berkaitan
dengan obat. Mahasiswa belajar untuk menguasai
perawatan pasien dalam hal menghasilkan terapi obat yang positif, yang
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Program ini tidak lagi
mempersyaratkan gelar “bachelor”, namun terdapat sejumlah mata kuliah yang
harus dilulusi sebelum memasuki program ini yang dinamakan “pre-pharmacy
requirements” . Program profesi Pharm.Doctor 4 tahun ini merupakan pendidikan didaktik dan praktek,
dan merupakan satu-satunya gelar yang resmi untuk memperoleh izin praktek
kefarmasian di Amerika Serikat.
Lulusan
program ini dipersiapkan untuk memasuki praktek kefarmasian, program pelatihan
profesi lanjut, atau untuk pendidikan lanjut pasca sarjana (graduate
education), dan penelitian. Program ini meliputi ilmu-ilmu kimia, biologi,
fisika, sosial, dan klinis yang mendasari ilmu farmasi. Proses perawatan pasien
secara umum digunakan untuk mengajarkan mahasiswa bagaimana caranya memenuhi
kebutuhan akan obat pada tingkat spesifik-pasien. Mahasiswa mengembangkan
keterampilan dalam pemecahan masalah, komunikasi, dan berpikir analitis.
Program ini menekankan pada etika profesional, tanggungjawab sosial,
kewarganegaraan profesional, dan komitmen pada pendidikan seumur hidup.
Selama tiga tahun pertama kurikulum profesi
diberikan komponen dasar pendidikan farmasi yang diperlukan untuk berpraktek
pada berbagai lingkungan kerja. Mulai tahun kedua, mahasiswa sudah dapat
memilih jurusan yang diinginkannya, dengan cara mengambil mata kuliah dalam
salah satu dari 4 bidang konsentrasi (penekanan), yaitu (a) farmakoterapi umum,
(b) perawatan komunitas dan rawat jalan, (c) manajemen, dan (d) penelitian.
Kebanyakan mata kuliah bidang konsentrasi diambil pada tahun terakhir.
Bidang Konsentrasi :
1)
Farmakoterapi Umum,
mempersiapkan farmasis untuk kegiatan perawatan pasien pada berbagai lingkungan
kerja. Mata kuliah yang wajib meliputi farmakokinetika dan terapi obat
bukan-resep. Mata kuliah pilihan meliputi komunikasi, proses pengembangan obat
baru, manajemen, dan farmakoterapi bagi usia lanjut.
2)
Perawatan komunitas dan
rawat-jalan, mempersiapkan mahasiswa untuk praktek pada farmasi komunitas
(Apotik), dan lingkungan pasien yang tidak dirawat di rumah sakit. Mata kuliah
wajib meliputi manajemen farmasi komunitas, terapi obat bukan-resep, dan
praktek perawatan-jalan.
3)
Manajemen, mempersiapkan
farmasis untuk pekerjaan dalam pengelolaan pelayanan farmasi dan keuntungan
terapi obat. Mata kuliah wajib meliputi manajemen komunitas atau institusional,
review dan manajemen penggunaan obat, dan ekonomi farmasi dan kebijakan publik.
Mata kuliah pilihan meliputi hukum perdagangan, pemasaran, ekonomi kesehatan,
manajemen personalia, dan perilaku organisasi.
4)
Penelitian, memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan
mempersiapkan mereka untuk pendidikan pasca sarjana.
Dengan melihat beberapa contoh program pendidikan dan kurikulum di
luar negeri, mahasiswa dapat membandingkannya dengan kurikulum pendidikan di
Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan adanya mahasiswa yang akan melanjutkan
studinya di luar negeri, sehingga pengetahuan dasar ini dapat membantu dalam
menentukan pilihannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
American Pharmaceutical
Association, The National Professional Society of Pharmacicts, “The Final
Report of the Task Force on Pharmacy education, Washington DC.
2.
College Handbook (Nov.1992),
MONASH University, The Office of University Development for the Victorian
College of Pharmacy, Melbourne, Victoria.
3.
Forum Komunikasi Perguruan
Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan (1992).
4.
Gennaro, A.R. [Ed.] (1990) “ Remington’s Pharmaceutical
Sciences”, Mack Publishing Co, Easton, Pennsylvania.
5.
Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989
tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.
6.
Ketut Patra dkk. (1988)
“ 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang Pembangunan di Bidang Obat”,
Penerbit P.T.Priastu, Jakarta.
7.
Smith, A.K. (1980) “ Principles
and Methods of Pharmacy Management”, Second Edition, Lea Febiger, Philadelphia.
8.
Suryasumantri, Y.S (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar
Populer”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
9.
Wattimena, J.R. dkk.
(1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh IDI/ISFI,
Jakarta.
10.
University of Minnesota ,
(2001) “College of Pharmacy Catalog”, the Regents of the University of
Minnesota, Catalog On Line.
11.
University of North Carolina at
Chapel Hill, (2002) “ School of
Pharmacy”, Catalog on Line.
B A
G I A N II P E N U L I S A N I L M I A H
I. PENDAHULUAN
Pada pendidikan
formal terdapat kecenderungan untuk lebih menekankan pada karya tulis sebagai
bagian dari persyaratan lulus suatu matakuliah, dan untuk tujuan pengukuran (assessment)
keberhasilan mahasiswa. Kecenderungan
ini khususnya tampak pada perguruan tinggi yang semakin merasa tidak puas
apabila hanya mengandalkan ujian akhir sebagai satu-satunya cara mengevaluasi
kinerja (performance) mahasiswanya. Pengukuran kemampuan mahasiswa pada
kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri dilakukan melalui uji berkala dan
tugas laporan (assignment), bukan hanya berdasarkan ujian tengah semester dan
akhir semester. Pengukuran kinerja mahasiswa melalui ujian berkala yang berkesinambungan ini jelas lebih
menguntungkan mahasiswa maupun staf pengajar. Apabila mahasiswa harus
menyelesaikan suatu tugas laporan, skripsi, tesis atau disertasi, tentu perlu
dilakukannya hal ini dalam tata cara penulisan dan bentuk serta format
penulisan yang benar. Umumnya mahasiswa dihadapkan pada masalah penulisan ini
tanpa persiapan yang baik; untuk itulah perlu diadakan pembimbingan cara
penulisan, baik penulisan laporan ilmiah, karya tulis, maupun skripsi yang
cukup rumit.
Perguruan Tinggi
di Indonesia sejak tahun 2000 menggunakan Kurikulum Berdasar-Kompetensi
(Competency-Based Curriculum), sehingga konsekuensinya ialah bahwa pengukuran
hasil belajar mahasiswa juga perlu
disesuaikan. Pengukuran tradisional menggunakan ujian dengan kertas dan pinsil
(paper and pencil test), berupa pertanyaan ujian berbentuk tes esei (essay test) atau pilihan ganda (multiple
choice). Untuk pengukuran kompetensi mahasiswa, sekarang ini sudah dikembangkan
pengukuran alternatif (Alternative Assessment) sebagai pengganti pengukuran
tradisional itu. Pengukuran Alternatif meliputi antara lain, Pengukuran
Berdasar Kinerja (Performance Assessment), Penelitian Singkat (Short
Investigations), Pertanyaan Terbuka (Open-Response Questions), Evaluasi Sendiri
(Self Evaluation), Asesmen Portfolio (Portfolio Assessment) dan penggunaan
Rubrik Penskoran (Scoring Rubrics). Di sini tidak akan dibicarakan mengenai
pengukuran alternatif, tetapi akan digunakan pada evaluasi hasil belajar
mahasiswa, yaitu penggunaan rubrik penskoran.
Bagian 2 buku
ini merupakan usaha untuk mengkaji persamaan dan perbedaan penulisan Tugas
Laporan Ilmiah, Tugas Laporan Praktikum, Makalah Ilmiah (Scientific Paper),
Skripsi, Tesis dan Disertasi. Perencanaan suatu tulisan ilmiah memiliki suatu
teknik tersendiri yang perlu dilatih sejak awal. Demikian pula tata cara
penulisan suatu karya ilmiah, yang meliputi teknik penulisan, bentuk serta
formatnya merupakan modal utama seorang calon ilmuwan. Perlu ditekankan di sini
bahwa bentuk serta format pelaporan tulisan ilmiah hendaknya tidak dijadikan
sebagai suatu aturan yang kaku agar tidak mematikan kreativitas penulis, akan
tetapi perlu dipahami betul-betul tentang lika-liku karya ilmiah. Dalam
menghasilkan karya ilmiah itu, seorang ilmuwan menerapkan penalaran dan metode
ilmiah dalam tulisannya.
II. KARYA
ILMIAH
Karya ilmiah
merupakan suatu produk yang dituangkan dalam bentuk nyata, misalnya dalam
bentuk suatu desain di bidang Teknik Arsitektur, atau berbentuk suatu karya
tulis. Produk karya ilmiah demikian itu merupakan hasil dari suatu penalaran.
Datanya diperoleh melalui suatu survei, eksperimen atau studi pustaka, dengan
menggunakan metode atau cara tertentu, yaitu metode ilmiah, yang selanjutnya
dituangkan dalam bentuk tulisan atau laporan ilmiah.
Salah satu fungsi
perguruan tinggi yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan
dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat), ialah
menghasilkan produk ilimiah yang dilakukan melalui penelitian. Produk ilmiah
ini bervariasi menurut bobotnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang
berbobot tinggi, apakah dihasilkan oleh mahasiswa atau dosen sebagai peneliti;
dan menurut forum di mana produk tersebut dikomunikasikan atau dipublikasikan.
Penentuan tinggi rendahnya nilai bobot suatu karya ilmiah ditentukan pula oleh
kriteria masing-masing jenjang pendidikan tinggi (S-1, S-2, dan S-3), oleh
nilai kegunaannya di masyarakat, maupun oleh peranannya dalam pengembangan
suatu disiplin ilmu tertentu. Umumnya suatu karya ilmiah dituntut merupakan
produk yang baru dan orisinil (bukan jiplakan) yang diperoleh melalui
penelitian.
II.1 Tugas Laporan (Assignment)
Menulis suatu
karya ilmiah merupakan hal yang sangat penting bagi seorang ilmuwan. Mahasiswa
sebagai calon ilmuwan perlu secara awal diberikan pengetahuan tentang teori
penulisan ilmiah, sehingga dapat berlatih menulis sepanjang waktu selama
mengikuti jenjang pendidikannya. Membuat tugas laporan biasanya ditugaskan
kepada mahasiswa melalui suatu rangkaian perkuliahan dan asistensi, meskipun
sering pula ditugaskan kepada mahasiswa untuk menyusun suatu tulisan ilmiah
mengenai topik yang tidak secara langsung berkaitan dengan suatu mata kuliah.
Tugas laporan ini dapat berbentuk Laporan Tugas Pustaka, dan dapat pula
berbentuk Laporan Tugas Praktikum yang harus diserahkan kepada dosen atau asisten setelah mahasiswa
menyelesaikan suatu tugas praktikum.
Mahasiswa
mungkin ditugasi suatu topik tertentu sebagai pokok tulisan, atau diberikan
suatu daftar judul oleh dosen yang dapat dipilih oleh mahasiswa. Mahasiswa
hanya diberikan instruksi mengenai panjangnya karangan dan batas waktu untuk
menyelesaikannya. Bimbingan dapat diberikan oleh dosen dalam bentuk saran-saran
mengenai pustaka atau daftar pustaka. Pada mata kuliah yang telah dirancang
dengan baik, biasanya dosen memberikan penugasan dalam bentuk laporan tugas
penelusuran pustaka pada awal perkuliahan, agar mahasiswa dapat merencanakan
sendiri pelaksanaan tugas tersebut secara berhasilguna atau efektif. Judul yang
disediakan untuk karya tulis dapat memberikan gambaran mengenai bidang materi
yang penting dalam suatu mata kuliah. Dengan penugasan ini, mahasiswa
dirangsang untuk membaca secara kritis mengenai bidang materi tersebut, mencari
dan memilih materi sesuai yang dibutuhkannya, memusatkan perhatiannya pada satu
judul tertentu, lalu membiasakan diri dan berlatih dalam mengkomunikasikan buah
pikirannya melalui suatu pembuktian yang telah diambil sarinya dan dievaluasi
menuju suatu kesimpulan tertentu.
Dalam bidang
sains, umumnya matakuliah disertai dengan praktikum, yang dapat meliputi
pengembangan, penerapan, atau pengujian suatu teori yang telah dipelajari.
Kalau pada perkuliahan lebih ditekankan pada pengembangan kemampuan atau proses
belajar mahasiswa dalam ranah kognitif (cognitive domain) dan afektif
(affective domain), maka penekanan pada praktikum lebih pada kemampuan dalam
ranah psikomotor (psychomotor domain) dan afektif. Setiap akhir praktikum
mahasiswa perlu menyusun Laporan Tugas Praktikum, yang pada prinsipnya tidak
berbeda dengan format dan tata cara penyusunan laporan yang bersifat telusuran
pustaka. Di samping untuk tujuan mempelajari
bidang materi suatu mata kuliah, proses belajar mandiri melalui tugas
penyusunan laporan dan penelusuran pustaka maupun tugas praktikum, pada
gilirannya mempunyai nilai besar bagi pendidikan mahasiswa, yaitu pemecahan
masalah melalui penalaran ilmiah.
Jika pada ujian
secara konvensional mahasiswa mengalami
situasi yang menegangkan menghadapi ujian, sebaliknya pada cara penyajian tugas
laporan atau karya tulis ia diberikan kesempatan cukup untuk mengadakan
perencanaan, dan mengatur sendiri waktu dan cara kerjanya. Di sini ia tidak
diburu waktu untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan pada
perkuliahan, atau yang tercantum dalam buku teks, tetapi diberikan kesempatan
untuk membuat rencana secara cermat, banyak membaca, mengorganisasikan
pikirannya, lalu merekamnya dalam tulisan menurut tatacara penulisan yang
benar. Dengan demikian dituntut dari mahasiswa suatu karya pikir yang lebih
tinggi kualitasnya, dan sekaligus melatih daya nalar mahasiswa.
Umumnya suatu karya tulis yang berbentuk tugas laporan tidaklah
harus berbentuk penelitian orisinil. Di sini lebih ditekankan pada proses
belajarnya dan fungsi melatih diri, bukan pada hasil akhir yang dicapai, karena
hasil karya itu biasanya tidak dipublikasikan. Pemberi tugas akan menilai dan
memberikan komentar sebagai balikan (feedback) terhadap tugas laporan itu untuk
diperbaiki, agar mahasiswa dapat menggunakannya di kemudian hari.
II.2
Skripsi, Tesis dan Disertasi
Sebagai penutup
suatu program pendidikan tinggi, khususnya pada jalur akademik, biasanya
mahasiswa harus menyelesaikan suatu produk akhir berupa Tugas Akhir, Skripsi,
Tesis atau Disertasi. Dalam PP No.60/Tahun 1999 telah diberikan batasan
mengenai Tugas Akhir ini, yaitu penulisan Skripsi untuk jenjang program
Sarjana, Tesis untuk jenjang program Magister, dan Disertasi untuk program
Doktor. Untuk melihat perbedaan kompetensi berbagai jenjang akademik itu yang
memberikan gambaran tentang bobot penelitian, maka dikutip kualifikasi lulusan
jenjang Program sebagai berikut :
( KepMendiknas No.232/Tahun 2000 tentang
Kurikulum )
1)
Program sarjana diarahkan pada
hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
a.
menguasai dasar-dasar ilmiah
dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertnetu sehingga mampu menemukan,
memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di
dalam kawasan keahliannya;
b.
mampu menerapkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya
dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan
perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;
c.
mampu bersikap dan berperilaku
dalam membawakan diri berkarya di bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan
bersama di masyarakat;
d.
mampu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang merupakan keahliannya;
2)
Program magister diarahkan pada
hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.
mempunyai kemampuan
mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian
dengan cara menguasai dan memahami, pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai
ketrampilan penerapannya;
b.
mempunyai kemampuan memecahkan
masalah di bidang keahliannya melalui kegiatan penelitian dan pengembangan
berdasarkan kaidah ilmiah;
c.
mempunyai kemampuan
mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan dengan ketajaman analisis
permasalahan, keserbacukupan tinjauan, kepaduan pemecahan masalah atau profesi
yang serupa;
3)
Program doktor diarahkan pada
hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
a.
mempunyai kemampuan
mengembangkan kosep ilmu, teknologi, dan/atau kesenian baru di dalam bidang
keahliannya melalui penelitian;
b.
mempunyai kemampuan mengelola,
memimpin, dan mengembangkan program penelitian;
c.
mempunyai kemampuan pendekatan
interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya.
Sumber
permasalahan untuk diteliti
Tugas Akhir atau
Skripsi mahasiswa lebih luas daripada tugas laporan yang biasa. Skripsi
biasanya merupakan perpaduan dan puncak suatu karya mandiri dalam bentuk
penelitian yang dikerjakan dalam waktu sekurang-kurangnya selama 1 semester.
Sebagian penelitian dapat merupakan pengulangan penelitian terdahulu dengan
tujuan pengujian kembali hasil karya yang telah dilaporkan, atau pengujian
relevansi suatu hasil penelitian yang dilakukan pada latar lingkungan yang
berbeda. Penelitian yang lain lagi dimulai dari akhir suatu penelitian
terdahulu, untuk meneruskan hal atau masalah baru yang muncul, atau untuk
mempertajam atau memantapkan suatu hasil penelitian. Permasalahan yang dapat
diangkat menjadi judul penelitian dapat pula diperoleh melalui gejala yang
diamati , apakah dari sekitar lingkungan, dari media cetak maupun elektronik,
dan dari pustaka yang relevan. Semua jenis penelitian itu diharapkan dapat
memberikan sumbangan yang orisinil bagi ilmu pengetahuan.
Perbedaan dan
Persamaan Skripsi, Tesis dan Disertasi
Meskipun kepada
mahasiswa yang akan menulis Skripsi dapat saja diberikan judul atau diarahkan
judulnya oleh dosen pembimbing ilmu atau spesialisasi tertentu, mahasiswa itu
sendiri yang akan bertanggungjawab untuk memilih dan membatasi lingkup bidang
penelitiannya. Berbeda dengan Tugas Laporan, penguji dari luar juga akan ikut
menilai Skripsi. Setelah dikomunikasikan dan diterima melalui suatu forum tertentu (seminar), maka
Skripsi yang telah dijilid baik itu akan ditempatkan di perpustakaan dan akan
menjadi milik umum. Namun demikian, sesuai dengan aturan bahwa Skripsi itu
merupakan suatu mata kuliah, yang merupakan “latihan meneliti” bagi mahasiswa
dengan bimbingan penuh seorang atau beberapa
dosen, maka “bobotnya” pun belum memadai sebagai ilmu yang baru.
Biasanya Skripsi mahasiswa ditingkatkan bobotnya oleh dosen pembimbing dengan melakukan
perubahan dan pemolesan seperlunya, kemudian dipublikasikan dalam majalah
ilmiah. Meskipun demikian “hak cipta” dari Skripsi tersebut tetap berada pada
penyusunnya, termasuk dosen pembimbingnya. Dengan demikian maka nama baik
mahasiswa penyusun Skripsi, dosen Pembimbing dan lembaga pendidikannya akan
dipertaruhkan. Oleh karena itu persyaratan Skripsi haruslah lebih tinggi
daripada tugas pustaka biasa.
Tesis dan
Disertasi pada hakekatnya tidak berbeda dengan Skripsi dalam hal bentuk dan
formatnya, hanya persyaratan mutu yang hendaknya lebih tinggi menurut jenjang
programnya. Ruang lingkup permasalahan biasanya lebih luas dan antar disiplin.
Demikian pula sifat pembimbingannya berbeda, yaitu dalam hal peneliti yang
semakin mandiri sesuai dengan jenjang program yang semakin tinggi. Di sini dituntut
hasil penelitian yang benar-benar orisinil.
II.3 Makalah Ilmiah (Scientific Paper)
Hasil penelitian
merupakan suatu karya ilmiah yang dipublikasikan, yang pengelolaannya
dikoordinir oleh Lembaga Penelitian universitas. Semua staf pengajar di
perguruan tinggi diwajibkan untuk menghasilkan karya ilmiah melalui penelitian
dalam rangka pengembangan karirnya. Mutu suatu perguruan tinggi akan dinilai
berdasarkan kuantitas dan kualitas karya ilmiah yang dihasilkan, sehingga ada
yang membedakan kualifikasi perguruan tinggi menurut “teaching institution” dan
“research institution”. UNHAS baru akan merintis untuk menjadi “research
university”.
Suatu makalah
ilmiah (scientific paper) adalah laporan tertulis yang dipublikasikan, yang
menguraikan hasil penelitian orisinil. Bentuk, format serta proses perolehan
laporan ilmiah ini sama dengan penyusunan Skripsi oleh mahasiswa. Bedanya
terletak pada tempat atau wadah yang sahih (valid publication) dimana tulisan
ini dipublikasikan. Suatu hasil penelitian yang berbentuk Ringkasan, Skripsi,
Tesis atau Laporan Konperensi belum tentu memenuhi persyaratan publikasi yang
sahih, karena publikasi itu sahih ialah apabila dimuat melalui media tertentu,
misalnya jurnal primer. Sebaliknya pula, suatu laporan pemerintah, pustaka konperensi
(seminar) belum memenuhi syarat sebagai pustaka primer apabila tidak memenuhi
persyaratan penulisan ilmiah. Lihat pustaka primer dan sekunder pada bagian
lain. Menurut Day, R.A. (1976), suatu makalah ilmiah ialah : [4]
1)
publikasi pertama dari hasil
penelitian orisinil,
2)
dalam bentuk yang dapat
diualing eksperimennya, dapat diuji dan diambil kesimpulannya oleh orang lain,
3)
dalam suatu jurnal atau dokumen
sekunder lain yang mudah diperoleh dalam lingkungan ilmiah
Isi artikel
hendaknya baru, benar, penting dan mudah dimengerti, dan memenuhi persyaratan
kualitas pemikiran yang sama seperti yang diperlukan pada pembentukan ilmu
pengetahuan, yaitu logika, kejelasan dan ketelitian. Komponen suatu makalah ilmiah terdiri atas :
a)
Pendahuluan (yang menguraikan apa
permasalahannya)
b)
Materi dan Metode (bagaimana
masalah itu dipecahkan)
c)
Hasil (apa temuannya)
d)
Pembahasan (apa makna
penemuan itu)
Publikasi Makalah Ilmiah
Publikasi suatu
makalah ilmiah yang sahih ialah apabila menggunakan media jurnal primer
(majalah ilmiah). Jurnal demikian disebut juga sebagai sumber primer bagi
peneliti, tetapi biasanya sulit diperoleh, karena meskipun tersebar laus,
pemilikannya hanya terbatas pada kalangan ilmuwan bidang ilmu yang sejenis.
Oleh karena itu Lembaga Penelitian atau Perpustakaan Pusat suatu negara
mendirikan suatu lembaga khusus yang mendokumentasikan dan mengindeks semua
hasil penelitian dan selanjutnya memberikan pelayanan informasi ini kepada
lembaga lain atau peneliti dalam bentuk pelayanan indeks (Index Service) atau
pelayanan abstrak (Abstract Service). Hasil penelitian di Indonesia
didokumentasi oleh Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia (PDIN), Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Contoh lain ialah Lembaga Biologi Nasional (LBN, LIPI). Pusat dokumentasi seperti itu
pada hakekatnya merupakan lembaga pengolahan dan penyebarluasan informasi.
Selain lembaga di tingkat pusat, setiap departemen yang mempunyai bagian riset
dan pengembangan juga mempunyai lembaga pengolahan informasi demikian.
Di Amerika
Serikat terdapat suatu lembaga pengindeks untuk setiap bidang ilmu, misalnya
Chemical Indeks, Biological Index dan
sebagainya. Namun di bidang Farmasi belum ada lembaga yang secara khusus
menangani layanan indeks ini.. Pada umumnya penelitian di bidang Farmasi dikelompokkan
dalam Biological Sciences (Life Sciences) atau Medical Sciences. Dalam rangka
pendokumentasian ini, maka judul suatu artikel penelitian haruslah menggunakan kata-kata
kunci yang tepat, agar tepat pula pengkategoriannya yang dilakukan oleh
lembaga pengindeks.
Secara berkala
lembaga pengindeks ini menyebarluaskan artikel penelitian terakhir dalam bentuk
daftar indeksnya saja, yaitu judul artikel, nama pengarang dan kata-kata kunci
artikel tersebut. Kadang-kadang daftar tersebut berupa indeks beranotasi, yaitu
diberikan keterangan tambahan atau komentar pada setiap indeks. Di samping
melayani indeks, berdasarkan permintaan, lembaga demikian itu juga melayani
permintaan abstrak (Abstract Service) tertentu.
Oleh karena itu,
maka nilai ilmiah suatu artikel yang disajikan dalam bentuk makalah pada suatu
pertemuan ilmiah tidaklah sebesar nilai ilmiah artikel yang disajikan dalam
jurnal / majalah ilmiah, yang kemudian diindeks oleh lembaga pengindeks.
Makalah yang disajikan dalam suatu pertemuan ilmiah belum tentu dipublikasikan
dalam risalah atau “proceedings” pertemuan. Risalah dari suatu pertemuan ilmiah
juga merupakan publikasi primer. (Lihat juga bagian lain mengenai Sumber
Bacaan).
Dengan demikian
maka tidak semua publikasi ilmiah merupakan karya ilmiah apabila tidak
dipublikasikan sesuai dengan wadah atau media tertentu. Sebagai contoh, “Review
Paper”, atau “Abstract”, tidak memenuhi syarat karya ilmiah, karena merupakan
ikhtisar, analisis atau sintesis informasi yang telah dipubilkasikan. “Conference
Report” juga jarang menyajikan data yang orisinil, dan tidak dipublikasikan
dalam jurnal primer.
II.4 Persepakatan Penulisan dan Gaya Penulisan
Ilmiah
Suatu karya
tulis yang berbentuk laporan tugas pustaka (assignment) biasanya mempunyai
ruang lingkup yang sangat terbatas, dan biasanya lebih pendek daripada Karya
Ilmiah atau Skripsi., yang merupakan penelitian orisinil. Namun demikian dalam
penyajiannya tidak banyak berbeda, baik mengenai format, tata cara maupun gaya
penulisannya. Semua tulisan ilmiah menggunakan tatacara penulisan, gaya
penulisan, bentuk dan format tertentu. Terdapat berbagai macam cara penulisan
yang dianut. Di samping isi tulisan, cara penyajiannya dalam bentuk format baku
juga penting. Penelitian yang baik akan dinilai buruk apabila cara penyajiannya
tidak baik. Suatu penelitian akan berguna bagi ilmu pengetahuan apabila dapat
dikomunikasikan dengan baik. Karena itu
maka tata cara penulisan ilmiah itu sangatlah penting.
Gaya penulisan, Bahasa dan Penggunaan Istilah
Pemilihan kata
yang tepat akan memberikan pengertian yang tepat. Kata atau kalimat yang baik
untuk mengungkapkan suatu pemikiran bukanlah berbentuk kalimat yang panjang.
Istilah yang digunakan harus didefinisikan (ditakrifkan) dengan tepat dan
seterusnya digunakan secara taat azas (konsisten). Bahasa tutur atau bahasa
percakapan dan cara pengungkapan yang lain, misalnya bahasa bahasa prokem atau
bahasa puisi tidaklah cocok untuk digunakan dalam penulisan ilmiah. Tulisan
ilmiah bukan pula sesuatu yang bersifat pribadi atau berbentuk percakapan
biasa, karena itu selalu dihindari penggunaan kataganti orang (saya, kami,
mereka, dsb.nya) , kecuali dalam hal tertentu misalnya nukilan (quotations)
Dalam tulisan ilmiah tidak boleh terdapat laporan pengalaman atau pendapat
pribadi; yang dituliskan dalam laporan ialah analisis secara kritis tentang
suatu masalah dan sajian pembuktian yang berkaitan dengan permasalahan itu,
sehingga gaya bahasa yang digunakan haruslah yang bukan bersifat pribadi,
melainkan bersifat ilmiah.
Seorang penulis
harus menggunakan cara penulisan yang mudah ditangkap orang lain. Bentuk
kalimat tidak boleh terlalu sulit atau kompleks. Seringkali ditemukan dalam
tulisan mahasiswa, kalimat majemuk yang sangat kompleks sehingga sulit
menentukan mana pokok kalimatnya ! Penulisan ilmiah bukanlah suatu permainan
kata, bersifat ambigu (ambigous) atau mendua arti, merupakan penonjolan
kepintaran seseorang, atau sesuatu yang melebih-lebihkan. Hendaknya dihindari
pernyataan yang memelas atau minta dikasihani, atau pernyataan yang berlebihan.
Pernyataan yang dibuat itu hendaknya benar-benar sesuai. Penalaran yang benar
dan kejujuran intelektual adalah tujuan utama pada penulisan ilmiah. Kutipan
atau nukilan dari buku atau pustaka lain harus dilakukan dengan teliti dan
dikatakan secara jujur. Kontribusi atau hasil karya orang lain haruslah
dihormati, sehingga jelas bagian mana yang merupakan kontribusi penulis sendiri
dan mana yang merupakan kutipan.
Karena isi
tulisan adalah sesuatu yang telah dikerjakan (berbentuk laporan ilmiah), maka
biasanya digunakan waktu lampau (past tense) dalam penulisan atau kalimat
pasif, kecuali dalam hal khusus, misalnya nukilan. Ejaan kata yang tepat sangat
diperlukan. Perlu pula diperhatikan khususnya mengenai tatabahasa dan
penggunaan tanda baca. Singatan seperti dg. tidak boleh digunakan, kecuali
singkatan yang lazim digunakan secara internasional, misalnya satuan cm
(sentimeter), g (gram) dan Gr (grain).
Jadi misalnya, corpis (corong pisah) tidak lazim digunakan pada tulisan
ilmiah. Selain itu perlu diperhatikan ketaatazasan penggunaan kata dan istilah.
Dengan demikian maka sesuai dengan tujuannya, baik pelaksanaan penelitian
maupun pelaporannya haruslah dilaksanakan secara teliti, taatazas, dengan
menggunakan gaya bahasa dan tatacara penulisan yang baku dan mudah
dimengerti.
II.5 Perencanaan Laporan Tugas Pustaka
(Assignment) [2]
Penulisan tugas
atau laporan ilmiah di perguruan tinggi biasanya berbentuk judul yang sudah
disiapkan oleh dosen, yang dapat dipilih mahasiswa atau ditetapkan oleh dosen.
Judul tugas menggambarkan suatu masalah yang akan ditelaah oleh mahasiswa dalam
bentuk penelusuran pustaka. Permasalahan ialah suatu perbedaan keadaan yang ada
(what is) dengan keadaan yang seharusnya (what should). Materi permasalahan
yang ditelaah harus berupa materi dalam ruang lingkup bidang ilmu atau keahlian
yang sedang dipelajari. Langkah pertama yang dilakukan ialah mencoba
mendefinisikan (mentakrifkan) dan mengadakan pembatasan masalah yang
diutarakan.
Mendefinisikan masalah
Mendefinisikan masalah
meliputi penentuan masalah, tugas atau karangan yang akan dikerjakan. Dari
judul karangan yang dipilih itu harus tergambarkan kegiatan yang akan dilakukan
mengenai masalah itu. Sebelumnya perlu dipelajari kata-kata kunci yang tepat
untuk menghindari salah pengertian. Kata kunci yang perlu dipahami terlebih
dahulu dari masalah itu ialah :
1.
menganalisis, yaitu
mempertimbangkan berbagai komponen dari suatu
keseluruhan, dan mencoba memperinci antar hubungan komponen itu.
2.
membandingkan, yaitu mengadakan
pemerian (description) karakteristik obyek dengan maksud untuk menunjukkan
kesamaan atau perbedaannya.
3.
mengkontraskan, yaitu
mengadakan pemerian untuk tujuan membedakannya
4.
mendefinisikan (mentakrifkan),
yaitu memberikan definisi atau menetapkan syarat sesuai dengan rujukan
(reference).
5.
menguraikan , yaitu memberikan
penjelasan.
6.
menghubungkan, yaitu melihat
keterkaitan antara antara 2 aspek atau
objek.
7.
mendiskusikan, yaitu
mempertimbangkan berbagai aspek masalah itu.
8.
menyebutkan, yaitu memberikan
contoh dalam suatu daftar
9.
mengevaluasi, yaitu memeriksa
berbagai sudut suatu masalah dan
mencoba mencapai suatu keputusan (judgment).
10.
memeriksa secara kritis, yaitu
berfungsi sebagai hakim.
11.
mengilustrasikan, yaitu
memberikan contoh, menjelaskan, menggambarkan.
12.
mengikhtisarkan, yaitu
menuliskan butir-butir utama secara ringkas.
Untuk memperoleh
penjelasan suatu kata atau istilah, perlu dilihat dalam kamus atau ensiklopedi.
Dengan demikian tidak ada keragu-raguan tentang apa yang akan ditulis, dan
tidak akan menimbulkan interpretasi berlainan bagi pembacanya.
Penulisan Judul
Judul tulisan
ilmiah menggambarkan permasalahan yang akan diangkat dalam isi tulisan. Dari
definisi masalah di atas terlihat bahwa selalu terdapat lebih dari satu aspek
atau objek yang akan dipaparkan dalam tulisan ilmiah yang disebut “kata kunci”.
Judul tulisan ilmiah memberikan informasi lengkap kepada pembaca mengenai isi
tulisan. Oleh karena itu judul hendaknya bersifat informatif, tidak terlalu
pendek tetapi juga tidak terlalu panjang. Biasanya suatu judul yang baik
terdiri atas 8 sampai 15 kata, namun ada yang menganjurkan tidak melebihi 12
kata. Apabila tidak dapat dihindari penggunaan jumlah kata yang banyak,
pisahkanlah menjadi subjudul untuk memudahkan pemahamannya secara tepat. Pada umumnya
judul tulisan ilmiah bukan merupakan suatu proses atau kegiatan yang
menggambarkan pelaksanaan penelitian.
Sebab itu tidak dimulai dengan katakerja.
Contoh judul : Menetapkan Kadar Parasetamol dalamTablet
yang beredar di
Makassar menggunakan metode Acid
Dye.
(Kata kunci : Tablet,
Kadar Parasetamol, Metode Acid Dye)
Judul tersebut sudah benar dari segi bahasa dan sangat informatif,
namun tidak efisien, karena dapat diubah tanpa mengubah artinya menjadi :
Penetapan Kadar Tablet Parasetamol yang beredar di
Makassar menggunakan metode
Acid Dye
Tampaknya judul ini sudah baik, tetapi dari segi Bahasa Indonesia
masih ambigu (ambiguous = mendua arti), karena metode Acid Dye dapat pula
menerangkan cara beredarnya di Makassar,
bukan menerangkan penetapan kadar. Karena itu sebaiknya judul diubah menjadi :
Metode Acid Dye pada Penetapan Kadar Tablet Parasetamol
Pembatasan Masalah
Kesalahan yang
sering dibuat mahasiswa ialah apabila terlalu berambisi untuk menulis suatu
judul yang terlalu luas. Ada anggapan bahwa judul yang sederhana tidak akan
menyulitkan pada proses pengembangannya. Pada kenyataannya semakin sederhana
suatu judul, justru semakin banyak yang perlu dituliskan. Oleh karena itu
terlebih dahulu perlu sekali diadakan pembatasan masalah, tetapi bukan dengan
cara menghilangkan informasi yang mungkin penting, atau menghilangkan detail
yang mungkin diperlukan , atau hanya menyediakan sebagian data.
Pembatasan
masalah dilakukan dengan cara mempersempit jangkauan atau ruang lingkup
telaahan.
Contoh judul
: (Katakunci pada judul ini ialah :
Vitamin C, Bentuk Tablet)
a. Vitamin C dalam bentuk
tablet
Judul ini terlalu luas,
karena mungkin akan meliputi pembicaraan mengenai khasiat Vitamin C, cara
pembuatannya, aspek penggunaannya, atau aspek bentuk sediaannya. Judul ini
pendek, tetapi justru meliputi permasalahan yang sangat luas, sehingga mungkin
cocok untuk dijadikan judul suatu buku teks.
Karena terlalu luas, maka ludul itu dapat dipersempit jangkauannya,
menjadi …
b.
Metode pembuatan tablet Vitamin C
Judul inipun masih terlalu luas untuk tugas laporan karya tulis
biasa, bahkan untuk dijadikan judul Skripsi. Apabila dipersempit lagi ruang
lingkupnya, akan menjadi ….
- Metode granulasi basah pada pembuatan tablet Vitamin C
Dalam judul seperti ini akan diuraikan keuntungan dan kerugian
metode granulasi basah pada pembuatan tablet Vitamin C yang mudah terurai oleh
adanya lembab dan cahaya, dan penggunaan berbagai bahan penambah, misalnya
bahan pengisi, bahan pengkilat, bahanpenghancur dalam dan luar, bahan pelicin,
bahan pelincir, dan bahan korigensia (pewarna, pembau, pemberi rasa). Judul ini
cocok untuk Skripsi. Untuk suatu laporan karya tulis, judul ini masih dapat
dipersempit lagi menjadi ….
- Penggunaan Bahan X sebagai Bahan Pengikat pada Pembuatan tablet Vitamin C
Pada judul ini ruang lingkup permasalahan sudah semakin dipersempit.
Dengan demikian jelas bahwa semakin sempit ruang lingkup masalah, akan semakin
spesifik bidang telaahnya, tetapi akan semakin panjang judulnya.
Apabila tidak
dilakukan pembatasan masalah pada awalnya, akan terlalu banyak data yang akan
dikumpulkan, yang akhirnya akan terbuang percuma; atau isi tulisan akan menjadi
terlalu umum.
Contoh judul lain yang terlalu pendek :
Aksi
Antibiotika terhadap Bakteri
(Katakunci pada judul ini ialah Aksi Antibiotika, Bakteri)
Antibiotika yang
sudah ditemukan sudah ratusan jenis malah mungkin ribuan jenis. Demikian pula
halnya jenis bakteri. Oleh karena itu perlu dipersempit jenis antibiotikanya
dan jenis bakterinya. Jadi, patokan lain pada pemilihan judul tulisan ialah
perumusan yang jelas dan spesifik mengenai ruang lingkup penelitian atau
telaahan.
II.6 Penjadwalan Pekerjaan
Penjadwalan
pekerjaan perlu dilakukan agar tugas dapat diselesaikan dalam waktu yang
ditentukan. Hal ini khususnya sangat perlu pada waktu menyusun Skripsi. Dalam
penjadwalan perlu dimasukkan frekuensi pertemuan dan konsultasi dengan
pembimbing. Pada awalnya memang sering ditemukan kesulitan, apalagi jika belum
terbiasa mengerjakan tugas karya tulis.
Kadang-kadang seseorang perlu terlebih dahulu memperoleh inspirasi untuk dapat
menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
II.7 Sumber Bacaan
Bersama dengan
tugas yang diberikan dosen, sering telah disertai sumber rujukan yang
dianjurkan dalam rangka penelusuran pustaka. Dalam pustaka rujukan itu sendiri
terdapat rujukan selanjutnya. Penelusuran pustaka farmasi mungkin hanya
terbatas pada topik tertentu, tetapi mungkin pula merupakan suatu survei umum,
sehingga metode penelusurannya juga perlu disesuaikan, apakah akan mencari
suatu informasi khusus atau umum, dan apakah untuk kepentingan mahasiswa,
sarjana, praktisi profesi, pasca sarjana atau peneliti.
Sumber pustaka
ilmiah secara umum dapat dikelompokkan
dalam pustaka primer dan pustaka sekunder. Meskipun buku teks merupakan sumber referensi
yang penting, namun bagi seorang peneliti sumber yang lebih penting ialah
majalah ilmiah dibanding buku. Hal ini disebabkan keuntungan dalam tenggang
waktu antara suatu penemuan dalam penelitian dengan waktu publikasinya. Majalah
ilmiah yang mutakhir akan memuat penemuan atau hasil penelitian yang mutakhir
pula dibanding dengan buku yang sudah lama diterbitkan. Media publikasi ilmiah
berbentuk majalah biasanya diterbitkan secara berkala (periodical), apakah
mingguan, bulanan, kuartalan, setengah tahunan atau tahunan; sedangkan suatu
buku teks biasanya direvisi selang 5 tahun. Oleh karena itu informasi dalam
buku kadang-kadang sudah kuno (obsolete) dibanding informasi dalam majalah
ilmiah.
Sumber primer
Sumber primer
meliputi rekaman laporan penelitian ilmiah, teknologi atau profesional dari
tangan pertama. Materi yang disajikan merupakan pengetahuan baru yang terdiri
atas informasi terakhir dan mutakhir. Media yang digunakan untuk pelaporan ini
meliputi majalah (ilmiah), laporan penelitian, risalah konperensi, paten,
standar ( misalnya Standar Industri Indoensia =SII), pustaka perdagangan, tesis
dan disertasi. Sumber primer ini biasanya tersebar sangat luas dan sukar
diperoleh. Majalah (periodicals) dapat diklasifikasikan dalam majalah ilmiah
(scientific), profesi (professional), dan komersial (commercial). Yang
membedakan majalah ilmiah dengan yang bukan ilmiah ialah tidak ditolerir
adanya iklan di dalam majalah ilmiah.
Sumber sekunder
Sumber sekunder
mengandung informasi tangan kedua, namun lebih terorganisasi sehingga mudah
diperoleh. Termasuk kategori ini ialah majalah, pelayanan indeks dan abstrak,
indeks sitasi (citation index), pelayanan melalui komputer, buku referensi
(ensiklopedi, kamus, buku pegangan atau “handbook”, tabel, formularium),
risalat (treatise), monograf (misalnya F.I.) kompendia dan buku teks (textbook)
Indeks sitasi (Citation Index)
Di Indonesia belum dilembagakan. Lembaga indeks sitasi ini
mengumpulkan data mengenai berapa kali seorang penulis atau artikelnya disitasi
(dikutip) oleh penulis lain. Kualitas seorang peneliti di luar negeri
ditentukan selain oleh jumlah artikel yang dipublikasikannya, juga ditentukan
oleh berapa kali karya tulisnya disitasi oleh penulis atau peneliti lain
berdasarkan indeks sitasi.
Buku
Buku merupakan sumber sekunder yang paling umum. Daftar Buku atau
“bibliography’” sebenarnya kurang tepat; lebih tepat dinamakan Daftar Pustaka,
karena dalam praktek bukan saja terdiri atas buku, tetapi juga meliputi artikel
dalam majalah, pamflet, rekaman pandang-dengar (audio visual), dan materi cetak
maupun non-cetak lain seperti micro-fiche, video kaset, “compact disc” dan
CD-ROM.
Referensi (Reference)
Referensi dapat
berbentuk sembarang buku atau majalah yang dapat digunakan sebagai acuan,
misalnya:
Ensiklopedi (Ecyclopedias), biasanya
terdiri atas banyak jilid (volume), yang berisi informasi umum dan
peristilahan. Belum ada ensiklopedi khusus Farmasi; ada untuk bidang alamiah
dasar (basic sciences) dan ilmu terapan lain. Karena penerbitan maupun revisi
ensiklopedi memerlukan puluhan tahun, biasanya informasi di dalamnya sudah “out
of date”.
Kamus (Dictionaries). Selain kamus
bahasa terdapat pula kamus istilah untuk setiap bidang ilmu. Sampai sekarang
bidang farmasi belum mempunyai kamus istilah tersendiri, namun terdapat kamus istilah lain yang penting bagi
farmasi, misalnya kamus istilah kedokteran, kimia organik, kimia analitik, dan
lain-lain.
Buku Pegangan (Handbook). Buku pegangan
merupakan kompilasi fakta dan angka dalam bentuk tabel. Termasuk buku pegangan
ialah manual, buku data, buku referensi, buku sumber, dan vademekum.
Direktori atau Buku
Tahunan, berisi daftar nama, alamat yang dapat
memberikan informasi mengenai orang (individu), organisasi, tempat, dan
lain-lain.
Sumber Bacaan Khusus Farmasi
Di samping buku
teks dalam bidang farmasi terdapat pula buku-buku khusus, yang merupakan buku
standar mengenai obat, bahan obat dan bahan pembantu.
Farmakope atau Formularium, ialah buku
yang berisi daftar obat (medicinal substances) dan bahan pembantu (device)
disertai uraian, cara uji, dan formula untuk pembuatan obat yang sama, yang
telah dikumpulkan oleh suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah dan disahkan
berlaku untuk suatu negara tertentu. Di Amerika Serikat, badan ini terdiri atas
organisasi swasta. Farmakope Indonesia Edisi terakhir ialah Edisi-IV, tahun
1995. Di Amerika Serikat terdapat “United States Pharmacopeia” Edisi ke-XX1
tahun 1990 dan “National Formulary” (NF Edisi XVI tahun 1990) yang
dikelompokkan sebagai “official compendia”, sedangkan buku lain dikelompokkan
dalam “non-official drug compendia”. Sekarang ini sudah ada terbitan USP/NF
yang mutakhir. Buku “Materia Medika” yang berisi uraian tentang simplisia obat
tradisional dapat dikategorikan sebagai formularium.
Risalat (Treatise), adalah buku mengenai
suatu topik yang luas atau mengenai keseluruhan suatu bidang ilmu dengan
pendekatan yang sistematik, luas , dan komprehensif, dan kadang-kadang kritis.
Biasanya ini ditulis untuk keperluan para spesialis.
Monografi, merupakan tulisan mengenai
satu topik saja, biasanya mengandung informasi terakhir, dan diusahakan
komprehensif dan sistematik, tetapi tanpa latar belakang dan data historis
seperti dalam suatu risalat.
Buku Teks, fungsi utama buku teks ialah
mengajukan prinsip-prinsip suatu topik atau disiplin ilmu dalam cara sedemikian
rupa agar informasi itu dapat digunakan sebagai dasar untuk pengajaran. Suatu
buku teks ditulis menurut tingkat kesulitan dan kecanggihan tertentu,
disesuaikan dengan forum yang dituju sesuai keinginan penulisnya. Suatu buku
teks biasanya berkonsentrasi pada prinsip-prinsip, bukan pada perkembangan
terakhir dari bidang ilmu tertentu, sehingga dapat digunakan selama jangka
waktu yang panjang.
Penulis lain membagi sumber informasi ke dalam 3 kategori, yaitu
sumber primer, sekunder dan tersier. Seperti telah diuraikan, contoh sumber
sekunder ialah terjemahan, ikhtisar atau ringkasan dari sumber primer, buku
pegangan, dan publikasi lain yang mengandung informasi fakta, komentar dan
lain-lain; sedangkan buku teks dikategorikan sebagai sumber tersier, karena
buku teks merupakan kompilasi dari sumber-sumber sekunder. Sumber tersier
memberikan suatu tinjauan atau ringkasan yang agak luas mengenai suatu bidang
ilmu, dan hal ini dapat diterima sebagai acuan, karena buku teks telah menjadi
semacam patokan. Khusus untuk penelitian pasca sarjana diharuskan berkonsultasi
pada sumber primer.
Penelusuran Pustaka
Termasuk
penelusuran pustaka ialah metode pencarian pustaka di perpustakaan. Buku-buku
tersimpan di rak menurut pengaturan tertentu, umumnya menurut klasifikasi
Dewey. Pencarian buku dapat dilakukan secara langsung, melalui :micro fiche”
atau melalui katalog buku. Metode lain penelusuran pustaka ialah melalui
internet.
II.8 Pembuatan Catatan
Agar mudah ditemukan
kembali catatan disimpan menggunakan “card system”. Setiap catatan ditulis dalam selembar kartu menurut abjad
pengarang atau menurut subjudul. Perlu diingat untuk setiap kali mencatat nama
buku, pengarang, penerbit dan tahun penerbitannya. Jika perlu dicatat pula
halaman buku.
II.9 Kerangka Laporan
Kerangka laporan
suatu karya ilmiah umumnya terdiri atas 3 bagian, yaitu Pendahuluan, Tubuh atau
Isi, dan Kesimpulan atau Penutup.
Pendahuluan
Pada Bab
Pendahuluan diberikan perumusan yang jelas tentang masalah. Definisikan istilah
yang digunakan , dan batas-batas telaah. Tempatkan masalah itu dalam latar
belakang (setting) yang mempunyai arti. Untuk ini mungkin digunakan beberapa
bentuk :
Ø diuraikan latar belakang permasalahan
Ø diadakan telusuran penelitian sebelum itu
Ø ditunjukkan dimensi waktunya
Ø diadakan pembatasan ruang lingkup bahasan
Pendahuluan ini hendaknya memberikan kepada pembaca semua informasi
yang akan diperlukan selanjutnya. Bagian ini hendaknya bersifat padat dan
informatif. (Khusus untuk penulisan Skripsi dapat dilihat pada bagian yang
lain)
Isi
Bagian ini
merupakan argumentasi logis atau suatu sudut pandang tertentu mengenai
permasalahan (Lihat : Mendefinisikan masalah). Di sini diusahakan untuk
menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan dalam pendahuluan. Diusahakan agar
cara penulisan itu bergerak maju, jangan terhambat oleh penulisan detai yang
terlalu terperinci, yang dapat mengalihkan konsentrasi pembaca dari
permasalahan pokoknya.
Penutup
Bagian ini
menyajikan hasil telaahan atau penelitian, kesimpulan atau pendekatan ke arah
kesimpulan yang telah dirumuskan semula.
II.10
Laporan Tugas Praktikum
Pada dasarnya
Laporan Tugas Praktikum tidak berbeda dengan Laporan Tugas Pustaka mengenai
tatacara penulisannya. Perbedaan mungkin terletak pada format laporan yang
berbeda menurut jenis percobaan yang dilakukan. Suatu laporan praktikum
meliputi bagian-bagian :
1.
Judul. Judul laporan praktikum
ialah nama percobaan yang mengilustrasilkan masalah yang akan ditanggulangi,
yang sebenarnya adalah Tujuan Instruksional yang sudah dirumuskan, misalnya :
- Pembuatan injeksi (Steril) Morfin HCl 1%
-
Penentuan Kadar Asetaminofen
secara Spektroskopi uv
-
Isolasi Alkaloida dari
Brugmnabsia sp.
-
Uji Toksisitas akut Obat
Tradisional
2.
Sebagai pendahuluan diuraikan :
-
Tujuan Percobaan (permasalahan
apa yang akan diambil kesimpulannya)
-
Prinsip penentuan (pada
analisis misalnya diuraikan mekanisme reaksi)
-
Latar Belakang (uraian singkat
mengenai permasalahan)
-
Formula Resep (uraian
permasalahan)
Urutan ini mungkin pula berbeda
menurut jenis praktikumnya.
3.
Pengerjaan. Termasuk bahan,
alat dan metode yang digunakan pada percobaan
4.
Pengamatan (hasil yang diamati,
perhitungan dan pembahasan)
5.
Kesimpulan (hasil)
6.
Pustaka
Jadi sama dengan laporan tugas pustaka, laporan inipun secara garis
besar meliputi bagian Pendahuluan, Isi, dan Penutup (Kesimpulan), yang mungkin
terdapat keragaman menurut sifat praktikum yang dilakukan. Perhatikan bahwa
judul praktikum juga terdiri atas 2 katakunci.
III.
Perencanaan Skripsi
Pemilihan judul
Skripsi yang sesuai keinginan merupakan tugas yang paling sulit, karena setelah
menetapkan pilihan, jarang sekali terjadi perubahan judul karena biasanya sudah
dibuatkan Surat Tugas oleh pimpinan. Untuk ini diperlukan pengetahuan yang
mendalam mengenai bidang studi yang sedang dipelajari, atau disiplin ilmu
tertentu. Selain pengetahuan yang mendalam, juga faktor minat mahasiswa sendiri
sangat penting dalam menentukan dan memilih bidang apa yang akan ditekuni. Semakin bertambah pengetahuan seseorang dalam
bidang studi tertentu, semakin tampak adanya kesenjangan (gap) dan permasalahan
baru yang memerlukan penelitian. (Ada pemeo yang mengatakan…The more you learn, the more you don’t know).
Kemampuan menemukan masalah inilah yang harus dikembangkan pada mahasiswa,
karena setiap skripsi hendaknya menjelaskan suatu masalah tertentu. Pertanyaan
pertama yang akan ditanya oleh penguji ialah : Apakah kontribusi atau sumbangan
tulisan itu bagi ilmu pengetahuan; mengapa Anda memilih judul tersebut; apakah
ini merupakan suatu masalah yang perlu diteliti lebih lanjut, dan apakah
skripsi ini dapat menjawab pemecahan masalah tersebut.
Sumber masalah untuk penelitian
Salah satu
sumber masalah yang baik ialah akhir dari suatu penelitian. Biasanya pada
bagian akhir skripsi terdapat saran-saran untuk penelitian lebih lanjut. Staf
pengajar yang aktif meneliti juga dapat dijadikan narasumber permasalahan,
karena biasanya ada penelitian dosen yang dapat dipecah-pecah menjadi
penelitian kecil yang dapat dikerjakan oleh mahasiswa. Semakin banyak masalah
yang diteliti, semakin banyak pula masalah yang timbul untuk diteliti. Sumber
lain ialah tulisan dalam majalah/jurnal ilmiah yang mutakhir, karena dari
publikasi tersebut seseorang dapat terinspirasi untuk melihat permasalahan
baru. Dapat pula diadakan pengulangan penelitian yang sama dalam lingkunagn
(setting) yang berbeda, misalnya faktor waktu, tempat (geografis) dan variasi
lainnya, misalnya metode dan peralatan yang berbeda. Demikian pula dapat ditemukan gejala yang
timbul di masyarakat, yang ada hubungannya dengan bidang yang ditekuni,
misalnya di masa lalu pernah terjadi kasus biskuit yang beracun karena
tertukarnya bahan kimia, kasus bumbu masak Ajinomoto, penggunaan asam borat
dalam bakso, penggunaan formalin pada tahu, pestisida di perkebunan, pencemaran
lingkungan oleh surfaktan yang terkandung dalam sabun detergen, dan masalah
aktual lain yang perlu penjelasan secara ilmiah.
Kriteria pemilihan Judul
Setelah diadakan
pembatasan ruang lingkup masalah yang akan diteliti, dan telah ditemukan
beberapa masalah yang mungkin dapat dijadikan objek penelitian, perlu
diperanyakan beberapa hal mengenai judul yang dipilih itu.
Pertama, ialah adakah pembimbing untuk bidang penelitian yang dipilih itu.
Oleh karena cenderung terjadi spesialisasi dalam bidang ilmu, maka kemungkinan
tidak ada pembimbing yang cocok atau yang berminat membimbing Anda dengan judul
itu.
Kedua, apakah judul itu memang menarik bagi Anda. Selama waktu yang cukup
lama Anda diharuskan menggeluti judul tersebut, sehingga seyogianya judul itu
menarik bagi Anda. Tanpa minat yang besar, kemungkinan pekerjaan Anda akan
terbengkalai dan berhenti di tengah jalan.
Ketiga, masalah waktu yang tersedia untuk penelitian. Judul-Judul yang
berkaitan dengan pertumbuhan atau kecenderungan (trend) yang memerlukan waktu
menunggu atau yang memerlukan waktu pengerjaan yang lama. Sebagai contoh di
bidang Farmakognosi, misalnya yang menyangkut pembudidayaan tanaman obat,
mungkin tidak akan dipilih mahasiswa karena risiko waktu dan kegagalan
pekerjaan. Bagaimanapun menariknya suatu judul, apabila tidak dapat
diselesaikan dalam waktu tertentu, lebih baik ditinggalkan saja.
Keempat, peralatan yang diperlukan. Kebanyakan penelitian di bidang farmasi
memerlukan peralatan khusus yang mungkin cukup canggih (sophisticated).
Contohnya ialah instrumen Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(HPLC) atau Spektrofotometer Serapan Atom yang belum dipunyai sendiri. Selain
faktor peralatan, juga faktor bahan kimia yang mungkin harus dipesan dari luar
negeri merupakan kendala yang harus dipertimbangkan pada pemilihan judul.
Kelima, subyek penelitian. Khususnya dalam bidang Ilmu-Ilmu sosial diperlukan
subyek. Dalam bidang Ilmu-Ilmu Kesehatan mungkin diperlukan probandus (manusia
percobaan) atau hewan percobaan.
Keenam, fasilitas perpustakaan. Fasilitas perpustakaan sangat penting
untuk penelitian kepustakaanmaupun analitis. Suatu judul tertentu mungkin tidak
sesuai disebabkan oleh tidak adanya sumber pustaka yang diperlukan. Seringkali
mahasiswa perlu bantuan perpustakaan di tempat lain. Akan tetapi dalam era
perkembangan informasi yang pesat ini, bukan lagi merupakan penghambat.
Beberapa institusi farmasi di Indonesia sudah menggunakan CD-ROM untuk
pembelajaran. Demikian pula dengan mengakses melalui internet dapat diperoleh
semua informasi yang diperlukan.
Ketujuh, kelayakan (feasibility) penelitian. Selain kelayakan peralatan,
subjek, kepustakaan dan waktu, masalah kelayakan lain ialah apakah teknik riset
yang diperlukan untuk pengujian masalah tertentu telah dikembangkan atau sudah
cukup teruji. Dengan demikian sudah harus diperhitungkan sebelumnya alat uji
apa (statistik) yang akan digunakan dalam penelitian.
Kedelapan, kebermaknaan (significancy) penelitian. Pertanyaan ini sulit
dijawab. Seperti pengamatan Stimpson (1945) : ….Secara umum tidak ada fakta
yang dapat dianggap sepele. Kekuatan suatu matarantai ditentukan oleh kekuatan
pada ikatannya yang terlemah, dan semua fakta akan cocok secara keseluruhan.
Suatu fakta yang tampaknya sepele, mungkin berubah menjadi sesuatu yang sangat
penting di tangan seorang ilmuwan.
Si pelaksana
sendiri yang dapat menilai apakah waktu, usaha dan biaya untuk menangani suatu
masalah itu wajar untuk dapat melaksanakan penelitian itu.
IV. PENALARAN DALAM
TULIS MENULIS [5,7,9]
Berpikir
dilakukan oleh semua orang. Tidak semua kegiatan batin dapat disebut berpikir,
misalnya melamun atau berangan-angan. Orang mulai berpikir apabila berhadapan
dengan suatu masalah, lalu mencoba untuk mencari jalan keluarnya. Masalah yang
sekecil apapun dapat menyebabkan orang berpikir. Sebagai contoh, orang harus
berpikir bagaimana harus menyeberangi jalan raya yang ramai. Ia harus
memperhatikan arus lalu lintas, arah datangnya serta kecepatan kendaraannya.
Kalau diperhatikannya lebih lanjut, akan ditemukannya tempat khusus
penyeberangan, apakah jembatan penyeberangan atau “zebra cross”. Pada tempat
khusus penyeberangan itu orang dapat menyeberang dengan aman pada saat
tertentu. Di tempat lain selain itu akan sangat berbahaya untuk menyeberang
jalan. Dari sejak orang itu berniat untuk menyeberang jalan sampai pada saat ia
mengayunkan langkahnya untuk menyebrang, terdapat proses pemikiran dalam diri
orang itu.
Berpikir Logis dan Analitis
Dalam proses itu ia
bernalar, artinya ia menggunakan akal sehatnya (logika). Orang dikatakan
bernalar apabila ia membanding-bandingkan kemungkinan yang satu dengan
kemungkinan yang lain, menimbang-nimbang mana yang lebih menguntungkan, dan
mana yang justru merugikan.
Penalaran
merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan;
jadi penalaran adalah proses berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu
dalam menemukan kebenaran ilmiah. Karakteristik atau ciri pertama penalaran
ialah, adanya suatu pola berpikir luas
yang dinamakan logika; atau dapat dikatakan bahwa penalaran ialah proses
berpikir logis. Ciri kedua dari penalaran ialah sifat analitis dari proses
berpikir itu, yaitu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Proses berpikir menurut Dewey (1957) terdiri atas 5 langkah :
1)
merasakan ada kesulitan
2)
mendefinisikan kesulitan itu
3)
mengajukan (alternatif)
penyelesaian yang mungkin
4)
memberi gambaran mengenai
pertautan atau hubungan
5)
menguji lebih lanjut hingga
usulan itu akhirnya diterima atau ditolak.
Penalaran dapat disertai, tetapi dapat pula tidak disertai logika.
Pada penalaran secara logis terdapat pernyataan yang disebut dalil atau premis,
dan pernyataan yang disebut kesimpulan. Apabila pernyataan itu wajar, maka
uraian itu disebut berlogika. Sebaliknya bila tidak tersusun secara wajar, maka
orang menyebutnya tidak menurut logika.
Penalaran Ilmiah
Untuk melakukan
kegiatan analisis, maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi
pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. Pada dasarnya pengetahuan
yang digunakan pada penalaran bersumber pada rasio atau fakta. Sebagian orang
menganut faham bahwa rasio adalah sumber kebenaran (rasionalisme), sebagian
lagi menganut faham yang menyatakan bahwa sumber kebenarnan ialah fakta yang
tertangkap lewat pengalaman manusia (empirisme). Penalaran ilmiah yang
merupakan bagian dari usaha untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, merupakan
gabungan dari penalaran deduktif yang terkait dengan rasionalisme, dan
penalaran induktif yang terkait dengan empirisme. Setiap penulis hendaknya
berusaha sedapat mungkin untuk menyampaikan buah pikirannya dengan
sebaik-baiknya. Dengan usaha demikian itu pesan yang hendak disampaikan dapat
terjaga dari cacat yang melekat padanya. Pada dasarnya dapat dibedakan berbagai
pola pemikiran dalam cara penyampaiannya secara tulisan, seperti yang terlihat
pada pola paragraf. (Lihat pola paragraf
pada Membaca Efektif)
Penalaran merupakan suatu proses
berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan itu mempunyai dasar
kebenaran, maka proses berpikir itu harus dilakukan menurut cara tertentu.
Suatu penarikan kesimpulan dianggap sahih (valid), apabila proses penarikan kesimpulan
tersebut dilakukan menurut cara atau metode tertentu. Terdapat 2 cara penarikan
kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Penarikan kesimpulan
dibedakan pula atas sebelum (apriori) dan sesudah (posteriori).
Logika Induktif
Logika induktif
berkaitan dengan pengambilan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran induktif
dimulai dengan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup khas dan
terbatas dalam menyusun argumentasi, yang diakhiri dengan pernyataan
(kesimpulan) yang bersifat umum.
Contoh sederhana
ialah fakta bahwa:
Kambing mempunyai mata
Gajah mempunyai mata
Kucing dan hewan lain mempunyai mata
Kesimpulannya yang bersifat umum ialah : Semua hewan mempunyai mata
Cara pembuatan
kesimpulan yang bersifat umum ini mempunyai 2 keuntungan :
1.
Pernyataan yang bersifat umum
ini bersifat ekonomis. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoretis.
2.
Dimungkinkannya proses
penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara
induktif, dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan
pernyataan yang lebih bersifat umum lagi. Umpamanya, dengan melanjutkan contoh
tadi, dari kenyataan bahwa semua hewan mempunyai mata dan manusia mempunyai
mata, dapat ditarik kesimpulan umum bahwa semua mahluk hidup mempunyai mata.
Penalaran demikian itu memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis,
yang mengarah pada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin berisfat
fundamental.
Contoh di atas
itu merupakan pengungkapan dengan rekaan yang disebut induksi. Secara umum
induksi dapat diperoleh dengan cara generalisasi atau penyamarataan hubungan
sebab akibat dan analogi. Penyamarataan ialah kesimpulan yang didasarkan pada
penelitian dari beberapa anggota atau komponen. Dengan sendirinya penelitian
itu harus merata atau mewakili, dan tidak dilakukan pada bagian yang terpilih
saja, agar kesimpulan yang diperoleh itutidak timpang. Sebenarnya azas yang
terpakai disini ialah azas statistika, yaitu arah kecenderungan.
Contoh lain di
bidang analisis farmasi:
Analisis tablet
Valium 2 menghasilkan kadar 99,9
%
Analisis tablet Diazepin 2 menghasilkan kadar 102,5 %
Analisis tablet
Mentalium 2 menghasilkan kadar 100,1 %
Kesimpulan :
Analisis tablet Diazepam 2 yang beredar di Makassar
menghasilkan kadar dalam
batas persyaratan (95-105) %.
Berarti (secara
umum) semua tablet yang mengandung Diazepam 2 memenuhi persyaratan kadar.
Setelah dilanjutkan dengan analisis berbagai tablet Diazepam 5 dengan hasil yang sama, dapat diambil
kesimpulan bahwa semua tablet yang mengandung psikotropika yang beredar di
Makassar memenuhi persyaratan kadar Farmakope Indonesia.
Logika Deduktif
Deduksi adalah
kegiatan berpikir sebaliknya dari
induksi, yaitu cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Logika deduktif dinamakan pula sebagai cara
kerja yang apriori, yaitu menghasilkan kesimpulan sebelum adanya pengamatan
indriawi sebagai suatu dasar pengetahuan (contoh: perumusan hipotesis). Cara
apriori tidak bersifat empiris, melainkan langsung berdasarkan pengetahuan
(pengetahuan, konsep, intuisi) akal budi. Penarikan kesimpulan secara deduktif
biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus.
Contoh : Semua mahluk mempunyai mata (Premis mayor)
Si Polan adalah seorang
mahluk (Premis minor)
Jadi si Polan mempunyai
mata (Kesimpulan)
Dalam contoh itu, “Semua
mahluk mempunyai mata” merupakan dalil yang bersifat umum yang dinamakan premis
mayor; kalimat berikutnya merupakan
pernyataan yang bersifat khusus atau premis minor. Kesimpulan “si Polan
mempunyai mata” adalah absah, karena ditarik secara logis dari dua premis yang
mendukungnya. Penalaran yang menggunakan 3 kalimat seperti itu dinamakan
silogisme. Pada silogisme, kita bertolak dari dalil utama, menurunkannya ke
dalil yang kurang penting, lalu sampai pada suatu kesimpulan. Kebenaran suatu
kesimpulan tergantung pada kebenaran premis yang mendahuluinya. Mungkin saja
kedua premis itu benar tetapi cara pengambilan kesimpulannya yang salah. Jadi
ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari 3 hal, yaitu kebenaran premis
mayor, kebenaran premis minor, dan kebenaran pengambilan kesimpulan. Contoh
pengetahuan yang tersusun secara deduktif ialah Matematika.
Pola Penelitian pada Penulisan Skripsi
Skripsi ialah
laporan penelitian yang merupakan persyaratan bagi mahasiswa untuk
menyelesaikan program Sarjana. Materi Skripsi ialah bidang keahlian mahasiswa
sesuai program studi yang diambilnya. Keahlian dalam bidang Farmasi dapat
dilihat pada uraian sebelum ini tentang Ilmu-Ilmu Farmasi. Karena bersifat
ilmu, maka cara-cara dalam memperoleh pengetahuan kefarmasian itu harus
memenuhi persyaratan tertentu yang dinamakan metode ilmiah. Ilmu-Ilmu Farmasi
secara sistematik dan kumulatif tersusun setahap demi setahap melalui
penyusunan argumentasi mengenai sesuatu hal yang baru berdasarkan pengetahuan
yang telah ada. Dengan demikian penyusunan ilmu pengetahuan dapat diibaratkan
susunan batu bata (buiding blocks) pada suatu bangunan, yang lama kelamaan
tersusun teratur di atas fondasi kuat yang telah ada. Dengan perkataan lain,
suatu ilmu yang baru haruslah didasarkan atas pengetahuan yang telah ada
sebelumnya, sehingga permasalahan atau gejala dicari jawabannya berdasarkan
ilmu yang telah ada itu. Salah satu persyaratan keilmuan ialah bahwa pengethuan
yang baru harus bersifat konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya. Suatu
perumpamaan dalam bahasa Latin menggambarkan hal tersebut sebagai berikut : “Serpens nisi serpentum comederit, non fit
draco”, yang secara harfiah berarti : Ular yang tidak memakan ular kecil
lain, tidak akan menjadi naga, atau orang yang tidak belajar dari orang lain
tidak akan menjadi orang besar [7].
Demikian pula halnya pada penyusunan ilmu pengetahuan, yang hanya dapat
berkembang dengan mencontoh dan menggunakan ilmu orang lain.
BAB V METODE ILMIAH
Metode ilmiah
ialah prosedur untuk mendapatkan ilmu; atau dibalik, ilmu diperoleh melalui
metode ilmiah. Metode ialah prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang
mempunyai langkah-langkah sistematik. Metodologi ialah suatu pengkajian dalam
mempelajari aturan-aturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah ialah
pengkajian dari aturan-aturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Karena
berpikir itu merupakan suatu kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan,
maka dapat pula dikatakan bahwa metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara
bekerja pikiran. Pengetahuan yang dihasilkan dengan menggunakan metode
ilmiah mempunyai karakteristik
tertentu, yang merupakan persyaratan
pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji. Metode ilmiah mencoba
menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun ilmu
pengetahuan. Kerangka berpikir ilmiah berintikan proses yang disebut proses
logiko-hipotetiko-verifikatif . Alur berpikir dalam metode ilmiah dapat
dijabarkan dalam langkah-langkah :
1)
Perumusan masalah
2)
Penyusunan kerangka berpikir
dalam pengajuan hipotesis
3)
Perumusan hipotesis
4)
Pengujian hipotesis
5)
Penarikan kesimpulan
Suatu semboyan ilmiah ialah : Yakinkan
secara logis dengan kerangka teoretis ilmiah, dan buktikan secara empiris
pengumpulan fakta yang relevan.
Box, Hunter dan
Hunter dalam (Andi Hakim Nasution, 1982) mengungkapkan dalam gambar mengenai
proses penelitian itu (untuk memperoleh pengetahuan baru), sebagai proses
belajar berulang dari pengalaman melalui penerapan deduksi dan induksi silih
berganti sebagai berikut :
Data (fakta,
gejala)
deduksi induksi deduksi induksi
Hipotesis (
konjektur, model, teori)
Penjelasan Bagan : Suatu hipotesis awal
mengantar kita melalui deduksi ke sekumpulan akibat, yang dapat dibandingkan
terhadap data yang telah dikumpulkan melalui pengalaman. Kalau akibat hipotesis
dan data itu tidak sesuai, maka disusunlah suatu hipotesis baru melalui
induksi. Hipotesis baru ini selanjutnya dibandingkan dengan data yang telah
ada. dan dengan data baru. Perbandingan ini kemudian dapat menimbulkan
perbaikan terhadap hipotesis, maka muncullah pengetahuan baru.
V.1 Rancangan Penelitian
Rancangan
penelitian pada dasarnya meliputi pemilihan metode atau teknik yang paling
sesuai untuk memecahkan masalah dalam suatu penelitian. Sangatlah sulit untuk
merumuskan rancangan penelitian yang bersifat umum, karena demikian luasnya
keragaman tipe penelitian. Namun demikian, secara umum tipe penelitian dapat
dibagi 2 kategori besar : empiris dan analitis. Penelitian empiris atau
eksperimental terutama dilaksanakan pada penelitian tipe-sains, sedangkan
penelitian analitis atau penelitian pustaka, umumnya dilakukan pada banyak
subjek bertipe-seni. Namun demikian pada penelitian sains dapat pula dilakukan
penelitian bersifat analitis atau deskriptif, yang non-eksperimental melalui
suatu survei, observasi atau pengukuran tertentu.
Rantai Penalaran
Salah satu
logika berpikir dalam penelitian ialah rantai penalaran (pola penelitian atau
pola berpikir), yang dapat diterapkan pada penelitian tipe-sains maupun
tipe-ilmu sosial. Krathwohl [6]
menyatakan bahwa penelitian itu merupakan suatu rantai penalaran melalui
alur-alur berpikir yang dapat digambarkan dalam suatu bagan seperti pada
halaman berikut. Rantai penalaran ini berfungsi sebagai model umum dari suatu
argumentasi logis, yang sebenarnya masih berupa konsep abstrak. Dengan menggunakan rantai penalaran, maka
pola pikir yang digunakan pada contoh penelitian :
Metode Acid Dye
pada Penetapan Kadar Tablet Parasetamol ialah sebagai berikut:
1)
Misalnya, dari hasil penelitian
terdahulu disarankan untuk mencari metode penetapan kadar Paresetamol yang
lain, atau menurut pemberitaan di media massa ditemukan tablet parasetamol yang
sub-standar, atau metode penetapan kadar resmi di F.I.IV menggunakan instrumen
yang canggih yang tidak dipunyai oleh umumnya laboratorium.
2)
Di sini peneliti memberikan dasar
pemikiran dan sudut pandangnya dengan cara menghubungkan dan melihat
keterkaitan antara butir-butir di atas. Berdasarkan keterkaitan atau hubungan
yang ada pada latar belakang tersebut di atas, maka didefinisikan masalah :
perlu dicari metode penetapan kadar alternatif (yang lain), karena Tablet
Parasetamol sangat luas digunakan oleh masyarakat, padahal ternyata ditemukan
beredarnya Tablet Parasetamol sub-standar. Acid Dye ialah suatu zat warna asam
yang dapat bereaksi dengan asetaminofen membentuk warna yang dapat diukur
serapannya. Dengan demikian maka mungkin saja kadar asetaminofen dalam Tablet
Parasetamol dapat ditetapkan menggunakan pereaksi Zat Warna Asam yang diukur
secara Spektrofotometri.
3)
Pada tahapan ini timbul
pertanyaan, prediksi atau model, tergantung seberapa banyak riset sebelumnya
dapat memberikan dasar pemikiran bagi peneliti untuk mengetahui sesuatu.
Pertanyaan timbul apabila tersedia cukup data untuk menunjukkan dimana dan apa
yang akan dicari. Prediksi yang setingkat lebih tinggi dari pertanyaan , dapat
dirumuskan apabila cukup banyak data dan jelas keterkaitannya dengan perlakuan.
Jika dapat dikaitkan semua atau sebagian besar variabel dalam situasi tertentu,
maka dapat dirumuskan suatu model, misalnya Hipotesis : Tidak ada perbedaan
nyata pada kadar Asetaminofen dalam tablet (sesuai yang tertera pada etiket)
menggunakan cara spektrofotometri Metode
Acid Dye.
(1)
Hubungan dengan
penelitian sebelumnya. = latar
Gejala yang diamati di masyarakat belakang
masalah
(2)
Dasar pemikiran atau
Rationale =
mendefinisikan
masalah
(3)
Pengajuan pertanyaan, hipotesis, model = perumusan
hipotesis
(4)
Desain =
Pola Peneltian
Dasar
(5)
Subjek Perlakuan Observasi pengamatan Prosedur = Rencana
ciri atau Kerja
perubahan
(6)
Analisis
= Hasil
dan
Pembahasan
(7)
Kesimpulan
(8)
Hubungan ke penelitian
selanjutnya
(9)
Dasar pemikiran (baru) atau
Rationale
dan seterusnya
4)
Setelah menyatakan keterkaitan,
maka perlu diuraikan bagaimana studi itu akan dilakukan dalam bentuk desain.
Pada tahapan ini perlu diadakan “penerjemahan” berbagai keterkaitan dalam
hipotesis itu ke dalam rancangan atau pola penelitian. Pola penelitian meliputi
6 aspek (dikenal dengan 5 WH), yaitu :
Ø Who (subyek apa). Dalam contoh di atas
subyeknya ialah asetaminofen dalam tablet
Ø Where (situasi di mana ia berada).
Sampel yang diambil ialah bentuk tablet yang beredar di Makassar
Ø Why (penyebab atau perlakuan). Tablet
parasetamol dari berbagai jenis bentuk dan merk mungkin berbeda kadarnya, atau
kadarnya tidak sesuai yang tertera pada etiket apabila ditetapkan menggunakan
metode Acid Dye.
Ø What Effect (pengamatan dan pengukuran).
Hasil pengamatan dan pengukuran kadar masing-masing jenis tablet Parasetamol
sesuai dengan yang tertera pada etiket, dibandingkan dengan standar.
Ø How (bagaimana diketahui terjadinya efek atau perbedaan). Untuk mengetahui adanya efek atau perbedaan antara sampel,
digunakan analisis statistik.
Ø When (sekuens atau prosedur). Sampel
tablet parasetamol diambil secara acak dari berbagai lokasi, kemudian
ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri metode acid dye di laboratorium.
Tablet
parasetamol yang beredar di Makassar terdiri atas berbagai jenis dan kemasan.
Langkah pertama dalam desain (Pola Penelitian) ialah mengambil sampel yang
mewakili semua jenis dan kemasan Tablet Parasetamol (disini diperlukan
pengetahuan mengenai metode sampling dan statistik). Langkah kedua ialah
mencari Zat warna Asam yang sesuai yang dapat membentuk warna stabil dengan
asetaminofen, sehingga dapat diukur serapannya dengan Spektrofotometer visibel.
Karena akan diukur dan dibandingkan serapannya, maka perlu dibuat kurva baku
menggunakan asetaminofen BP (baku pembanding = reference standard).
5)
Konsep Pola Penelitian yang
berupa pola pikir masih perlu dituangkan secara operasional dalam bentuk
Rencana Kerja. Pada Rencana Kerja diidentifikasi Alat (spektrofotometer dan
alat lain) yang diperlukan, dan bahan (asetaminofen BP, zat warna asam dan
bahan pereaksi lain), dan prosedur kerja sesuai dengan pustaka.
6)
Berdasarkan Rencana Kerja ini
dilaksanakan eksperimen. Pada pelaksanaannya diamati hasil yang diperoleh,
dicatat kondisi dan kemungkinan penyimpangan yang terjadi, lalu di analisis dan
dibahas untuk menarik kesimpulan sesuai dengan hipotesis..
7)
Kesimpulan diambil berdasarkan
analisis
8)
Berdasarkan pengamatan kondisi
atau penyimpangan selama pelaksanaan eksperimen diajukan saran-saran untuk penelitian lanjut.
9)
Dari saran itu dapat timbul
masalah baru yang selanjutnya dapat dimulai lagi dari butir 1.
V.2 Struktur Penelitian
(Struktur Pengkajian Ilmiah) [9]
Struktur penelitian
merupakan rambu-rambu yang diterapkan dari pola pemikiran abstrak, yang secara
logis dan kronologis mencerminkan kerangka penalaran ilmiah, yang selanjutnya
dituangkan dalam suatu laporan ilmiah atau penulisan ilmiah. Banyak bentuk dan
tata cara penulisan ilmiah yang dapat ditemukan dalam pedoman penulisan ilmiah.
Meskipun bentuk luarnya berbeda, namun jiwa dan penalarannya adalah sama.
Dengan demikian, yang lebih penting
bukan saja memahami teknik pelaksanaannya, melainkan memahami dasar pikiran
yang melandasinya. Penelitian ilmiah pada dasarnya merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Demikian juga penulisan ilmiah pada
dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan dalam
bahasa tulisan. Untuk itu maka mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai
hakekat keilmuan, agar dapat melakukan penelitian, dan sekaligus melaporkannya
secara tertulis. Dengan penguasaan tematik dan teknik yang menjamin suatu
keseluruhan yang utuh, tidak lagi menjadi soal dari mana penulis akan mulai,
apakah hipotesis ditulis langsung setelah perumusan masalah, di tempat mana
akan ditempatkan postulat asumsi atau prinsip. Mereka yang belum menguasai
logika penalaran ilmiah secara baik, biasanya akan memperlakukan bentuk dan
tata cara penulisan secara baku, sesuai dengan pedoman tertentu.
Bagan berikut ini
menyajikan operasionalisasi penelitian yang dinamakan Struktur Pengkajian
Ilmiah.
Metode Ilmiah
Penelitian Ilmiah
Pengajuan masalah
-
Latar belakang masalah
-
Identifikasi masalah
-
Pembatasan masalah
MASALAH
- Perumusan masalah
-
Tujuan penelitian
(secara umum)
-
Kegunaan penelitian
Penyusunan Penyusunan Kerangka Teoretis
KERANGKA
dan Penyusunan Hipotesis
BERPIKIR
- Pengkajian teori yang digunakan
-
Pembahasan penelitian yang
relevan
-
Penyusunan kerangka berpikir
di samping hipotesis
HIPOTESIS
- Perumusan hipotesis
METODOLOGI PENELITIAN
-
Tujuan penelitian (operasional)
-
Tempat / Waktu penelitian
METODOLOGI
- Metode penelitian
PENELITIAN
- Teknik Pengambilan contoh
-
Teknik pengumpulan
data
-
Teknik analisis data
HASIL PENELITIAN
-
Variabel yang diteliti
-
Teknik analisis
-
Kesimpulan analisis data
-
Penafsiran kesimpulan analisis
data
PENGUJIAN
- Kesimpulan pengujian hipotesis
HIPOTESIS
RINGKASAN KESELURUHAN
-
Deskripsi singkat mengenai
masalah,
hipotesis,
metodologi dan hasil penelitian
KESIMPULAN
- Kesimpulan penelitian yang
merupakan
sintesis dari
seluruh aspek tersebut di atas
-
Pembahasan hasil penelitian
dengan
membandingkan
terhadap penelitian lain
dan pengalaman
ilmiah yang relevan
-
Pengkajian implikasi penelitian
-
Pengajuan saran
Penjelasan Struktur Pengkajian Ilmiah
:
Pengajuan Masalah.
Suatu masalah
tidak pernah berdiri sendiri, tetapi terkait dengan faktor-faktor
sekelilingnya. Oleh karena itu perlu dikaji
latar belakang permasalahan, yaitu situasi dimana permasalahan itu berada,
apakah latar belakang ekonomi, sosial, politik, kebudayaan atau faktor lainnya.
Dalam konstelasi situasi tertentu demikian itu dapat diidentifikasi suatu
permasalahan. Identifikasi masalah
merupakan tahap permulaan dari penguasaan masalah dimana suatu objek dalam
jalinan situasi tertentu dapat dikenali sebagai suatu masalah. Ternyata
identifikasi masalah menimbulkan banyak pertanyaan. Dalam kegiatan ilmiah
berlaku azas, bahwa bukanlah kuantitas jawabannya yang menentukan mutu keilmuan
suatu penelitian, melainkan kualitas jawabannya. Karena banyaknya pertanyaan
yang memerlukan jawaban itu, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya. Pembatasan
masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas permasalahan dengan
jelas, yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang
termasuk ke dalam ruang lingkup permasalahan dan mana yang tidak. Di sini pun
masalah penelitian harus dibatasi lebih lanjut dengan menetapkan di mana dan
kapan penelitian akan dilakukan (pembatasan ruang dan waktu). Dengan pembatasan
masalah ini, maka fokus masalah menjadi bertambah jelas sehingga memungkinkan
kita untuk merumuskan masalah itu dengan baik. Perumusan masalah
merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja
yang ingin dicarikan jawabannya, yang merupakan pertanyaan lengkap dan
terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti berdasarkan
identifikasi dan pembatasan masalah. Masalah yang dirumuskan dengan baik,
berarti setengah terjawab. Setelah masalah diidentifikasi dan dibatasi, yang
tercermin pada pernyataan yang bersifat
jelas dan spesifik, maka dapatlah dikembangkan kerangka pemikiran yang
berupa kajian teoretis berdasarkan pengetahuan ilmiah yang relevan, serta
memungkinkan kita untuk melakukan pengujian secara empiris terhadap kesimpulan
analisis teoretis, maka secara konseptual masalah tersebut sudah berhasil
dirumuskan. Tanpa perumusan masalah yang spesifik, tidak mungkin kita
mengidentifikasi pengetahuan ilmiah yang relevan dalam membangun suatu kerangka
pemikiran. Demikian pula metode ilmiah mensyaratkan adanya hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang
dihadapi, yang diturunkan secara
deduktif dari pengalaman ilmiah yang dikumpulkan, sehingga untuk dapat
mengidentifikasi teori-teori yang diperlukan, maka perlu diketahui
karakteristik permasalahannya. Dengan perumusan masalah yang baik akan membantu
pula dalam menetapkan data empiris yang harus dikumpulkan. Setelah masalah
dirumuskan dengan baik maka seorang peneliti menyatakan tujuan penelitiannya. Tujuan
penelitian adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang akan
dilakukan berasarkan masalah yang telah dirumuskan. Setelah itu dibahas kegunaan
penelitian, yang merupakan manfaat yang dapat dipetik dari pemecahan
masalah yang diperoleh dari penelitian. Keseluruhan langkah dalam kegiatan
keilmuan terpadu secara utuh dalam suatu logika ilmiah. Oleh sebab itu haruslah
benar-benar dipahami, bukan saja sekedar mengetahui langkah-langkah apa yang
harus dilakukan, melainkan juga mengetahui dasar pikiran yang melatarbelakangi
langkah-langkah tersebut.
Penyusunan Kerangka
Teoretis dan Pengajuan Hipotesis
Setelah masalah
dirumuskan dengan baik, maka langkah kedua dalam metode ilmiah ialah pengajuan
hipotesis. Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan
yang diajukan. Pemecahan masalah dalam kegiatan ilmiah menggunakan cara ilmiah.
Cara ilmiah dalam pemecahan masalah pada hakekatnya adalah mempergunakan
pengetahuan atau teori-teori ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji
persoalan agar didapatkan jawaban yang dapat diandalkan, berarti dipergunakan
teori-teori ilmiah sebagai alat pembantu untuk menemukan pemecahan masalah.
Dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah yang relevan dengan permasalahan
tersebut, maka dimulai melakukan analisis yang berupa pengkajian teoretis.
Pada dasarnya pengkajian teoretis ini meliputi :
1)
Mengkaji karakteristik masalah
berdasarkan pengetahuan ilmiah;
2)
Mencari perbedaan dari
karakteristik tersebut,
3)
Dan mengkaji secara ilmiah
mengenai hakekat masalah.
Berdasarkan pengkajian ini akan dirumuskan hipotesis yang berupa
pertanyaan-pertanyaan. Agar supaya kerangka teoretis dapat disebut meyakinkan,
maka argumentasi yang disusun tersebut harus memenuhi beberapa syarat :
1)
Teori yang dipergunakan dalam
kerangka berpikir harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai
secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Sekiranya
dipilih suatu pendekatan tertentu dari beberapa pendekatan sesuai teori, atau
dipilih satu alternatif dari beberapa kemungkinan, perlu dijelaskan mengapa
kita memilih pendekatan atau alternatif tersebut.
2)
Karena perkembangan ilmu sangat
pesat, sebuah teori yang efektif di masa lalu mungkin sudah ditinggalkan saat
ini. Oleh karena itu teori yang dipilih hendaknya merupakan perkembangan
terakhir dalam bidangnya. Dengan demikian kita dapat berargumentasi menggunakan
teori-teori yang representatif pada saat ini.
“The state of the art” merupakan lingkup yang bersifat menyeluruh
dalam mencakup perkembangan terbaru dalam suatu disiplin keilmuan, yang
dipergunakan sebagai dasar analisis dalam pengajuan hipotesis. Pengetahuan
filsafati tentang suatu teori adalah pengetahuan tentang pikiran-pikiran dasar
yang melandasi tersebut dalam bentuk postulat, asumsi atau prinsip. Idealnya
perkuliahan sarjana, apalagi pasca sarjana , pada hakekatnya paling tidak harus
mencakup beberapa hal, yaitu
-
mengkaji “the state of the art”
dari suatu disiplin ilmu yang mencakup seluruh perkembangan teori keilmuan
sampai sekarang.
-
“analisis filsafati” dari
teori-teori keilmuan yang difokuskan kepada cara berpikir keilmuan yang
mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai
postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya.
-
mampu mengidentifikasi masalah
yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut.
Seorang peneliti
harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar dari argumentasi dalam menyusun
kerangka pemikiran yang membuahkan hipotesis. Kerangka pemikiran ini
merupakan penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek permasalahan
kita. Kriteria utama agar suatu kerangka pemikiran bisa meyakinkan sesama
ilmuwan, adalah alur-alur pikiran logis dalam membangun suatu kerangka berpikir
yang membuahkan kesimpulan sementara berupa hipotesis. Ilmu mensyaratkan bahwa
pengetahuan ilmiah baru harus bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya,
dan hal ini harus tercermin dalam struktur logika berpikir dalam menarik
kesimpulan. Untuk ini harus dipenuhi 2 persyaratan :
1)
mempergunakan premis-premis
yang benar, dan
2)
mempergunakan cara penarikan
kesimpulan yang sah.
Pada hakekatnya
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis didasarkan kepada argumentasi
deduktif dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis-premis
dasarnya. Mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai premis dasar dalam kerangka
argumentasi akan menjamin 2 hal :
1)
Karena kebenaran pernyataan ilmiah
telah teruji lewat proses keilmuan, maka kesimpulan yang ditarik merupakan
jawaban yang terandalkan.
2)
Dengan mempergunakan pernyataan
yang secara sah diakui sebagai pengetahuan ilmiah, maka pengetahuan baru yang
ditarik secara deduktif akan bersifat konsisten dengan tubuh pengetahuan yang
telah disusun.
Patut disadari bahwa dalam menyusun kerangka pemikiran yang
membuahkan hipotesis, pada pokoknya kita mengembangkan argumentasi untuk
memberi penjelasan sementara tentang masalah yang dihadapi. Berpikir argumentatif
ini selanjutnya berarti bahwa kita menyusun kerangka berpikir kita (bukan
kerangka berpikir orang lain) secara sistematik dan analitik dengan
mempergunakan khasanah teori ilmiah yang selektif. Di samping premis-premis
tersebut, maka dalam kerangka teoretis dilakukan juga pengkajian terhadap
penelitian-penelitian yang relevan, yang telah dilakukan peneliti lainnya.
Perumusan pikiran-pikiran dasar berupa postulat, asumsi, atau prinsip, lebih
banyak digunakan dalam kajian bidang ilmu-ilmu soasial, relatif tidak banyak
dalam kajian ilmu-ilmu alam. Sebagai contoh, penelitian di bidang pendidikan
terdapat sejumlah pikiran dasar mengenai apa yang disebut proses pendidikan
yang baik, kurikulum yang efektif, sistem pendidikan yang efisien, dan
sebagainya. Pikiran-Pikiran dasar ini secara sistematik harus dinyatakan dalam
serangkaian postulat, asumsi dan prinsip, agar alur kerangka berpikir kita
dapat diikuti orang lain dengan jelas.
Metodologi Penelitian
Setelah dirumuskan hipotesis yang diturunkan secara deduktif dari
pengetahuan ilmiah yang relevan, maka langkah berikutnya adalah menguji
hipotesis tersebut secara empiris. Artinya bahwa dilakukan verifikasi apakah
pernyataan yang dikandung dalam hipotesis yang diajukan tersebut didukung atau
tidak oleh pernyataan yang bersifat faktual. Kalau dalam proses pengajuan
hipotesis dilakukan penerimaan kesimpulan secara deduktif, maka dalam proses verifikasi dilakukan penarikan
kesimpulan secara induktif. Proses verifikasi ialah upaya untuk menarik
kesimpulan yang bersifat umum dari fakta-fakta yang bersifat individual.
Masalah dalam proses verifikasi ini adalah bagaimana prosedur dan cara dalam
pengumpulan dan analisis data, agar kesimpulan yang ditarik itu memenuhi
persyaratan berpikir induktif. Penetapan
cara dan prosedur ini disebut metodologi penelitian. Metodologi adalah
pengetahuan tentang metode-metode, jadi metodologi penelitian ialah pengetahuan
tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian yang diturunkan dari
tujuan penelitian. Dalam proses verifikasi dituntut untuk melakukan penarikan
kesimpulan secara induktif. Kegiatan pertama dalam menyusun metodologi
penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian,
yang mencakup bukan saja variabel-variabel yang akan diteliti, dan
karaktersitik hubungan yang akan diuji, melainkan sekaligus juga tingkat
keumuman (level of generality) dari kesimpulan yang akan ditarik seperti
tempat, waktu, kelembagaan dan sebagainya. Berdasarkan tujuan penelitian ini
akan dapat dipilih metode penelitian yang tepat, beserta teknik pengambilan
contoh (sampel) dan teknik penarikan kesimpulan yang relevan. Metode adalah
prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan, sedangkan teknik
adalah cara yang spesifik dalam memecahkan masalah tertentu yang ditemukan
dalam melaksanakan prosedur. Jadi metode penelitian mencakup beberapa teknik,
misalnya teknik pengambilan contoh, teknik pengukuran, teknik pengumpulan
data dan teknik analisis data. Pada hakekatnya proses verifikasi adalah
mengumpulkan dan menganalisis data, dimana kesimpulan yang ditarik kemudian
dibandingkan dengan hipotesis untuk menentukan apakah hipotesis yang diajukan
tersebut diterima atau ditolak. Dengan demikian maka teknik-teknik yang
tergabung dalam metode penelitian harus dipilih yang cocok dengan rumusan
hipotesis. Sebagai contoh, pada teknik analisis statistika untuk menemukan
perbedaan antara dua variabel, x ≠ y,
atau pengujian hipotesis alternatif, digunakan analisis statistika yang
bersifat dua arah, sedangkan untuk membandingkan 2 variabel, x > y, atau pengujian hipotesis selektif,
digunakan analisis statistika satu arah. Oleh karena itu dalam teknik analisis
data harus dinyatakan secara tersurat pengajuan hipotesisnya, yang dinyatakan
dalam pernyataan statistis dengan menuliskan bersama-sama, baik hipotesis nol
(H0) maupun hipotesis tandingan (H1) beserta rumus
statistika yang dipergunakan. Pengajuan hipotesis dalam kerangka teoretis cukup diekspresikan
dengan hipotesis konseptual, yang dinyatakan dalam bentuk nonstatistis. Dalam teknik
pengumpulan data harus dinyatakan variabel yang akan dikumpulkan, sumber
data dari mana keterangan mengenai variabel tersebut akan diperoleh.
Demikian pula halnya dengan teknik pengukuran, instrumen pengukuran
(misalnya kuesioner) dan teknik memperoleh data (misalnya wawancara).
Apabila pada pengumpulan data perlu menggunakan instrumen tertentu, maka
instrumen itu harus diuji dulu sebelum dipergunakan. Untuk itu dinyatakan
secara tersurat langkah-langkah pengujian beserta hasilnya. Pada pokoknya
sebuah instrumen harus teruji keabsahan (validity) dan keandalannya
(reliability).
Hasil Penelitian
Setelah perumusan asalah,
pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian, maka langkah
berikutnya ialah melaporkan apa yang
ditemukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul
dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian
untuk menarik kesimpulan. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data
sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Dalam membahas hasil
penelitian, harus diingat bahwa tujuannya adalah membandingkan kesimpulan yang
ditarik dari data yang telah dikumpulkan, dengan hipotesis yang diajukan.
Secara sistematik dan terarah data yang telah dikumpulkan tersebut diolah,
dideskripsikan, dibandingkan, dan dievaluasi, yang kesemuanya diarahkan kepada
sebuah pengambilan kesimpulan apakah data tersebut mendukung atau menolak
hipotesis yang diajukan. Sebaiknya pula diadakan evaluasi mengenai kesimpulan
tersebut. Suatu kesimpulan yang menyebabkan ditolaknya suatu hipotesis
sebaiknya juga dianalisis lebih lanjut. Mungkin juga ditemukan bahwa hipotesis
tidak diterima, disebabkan oleh kerangka teoretis untuk pengajuan hipotesisnya
tidak benar. Dalam hal ini tidak dibenarkan untuk berbalik arah dengan mengubah
kerangka teoretis untuk disesuaikan, sebab secara epistemologis hal itu tidak
sah, dan kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang salah. Seandainya terdapat
keraguan dalam kesimpulan, sebaiknya kesimpulan ini dianggap sebagai kebenaran
sementara, yang dapat disarankan untuk diuji kembali pada penelitian
nerikutnya, agar dapat lebih dipastikan kebenarannya. Dalam keadaan hipotesis
yang ditolak, biasanya diberikan penjelasan berupa dugaan mengapa hal itu
terjadi, kemudian disarankan menjadi hipotesis untuk diuji pada penelitian
lain. Untuk melaporkan hasil penelitian, maka secara singkat dan kronologis,
pertama-tama diberikan deskripsi tentang variabel yang diteliti, disusul
dengan teknik analisis yang digunakan. Setelah itu hasil pengukuran
dilaporkan, yang kemudian dilengkapi dengan kesimpulan analisis dari
data yang dikumpulkan. Laporan ditulis dalam bentuk esei dengan kalimat-kalimat
verbal yang mencakup semua pernyataan yang sepatutnya dikemukakan, baik
pernyataan yang bersifat kualitatif maupun yang kuantitatif. Sekiranya
diperlukan, maka deskripsi bentuk esei ini dilengkapi dengan berbagai sarana
pembantu seperti tabel, grafik atau bagan, yang berfungsi untuk lebih
memperjelas pernyataan verbal, bukan sebaliknya. Demikian juga data yang
ditempatkan dalam tubuh utama laporan haruslah merupakan data yang telah
diolah. Data mentah dan langkah-langkah dalam pengolahan data tersebut
sebaiknya ditulis dalam lampiran. Langkah berikutnya ialah pemberian penafsiran
terhadap kesimpulan analisis data. Pada tahap ini harus ditafsirkan hubungan
yang bersifat statistis seperti regresi dan korelasi, ke dalam hubungan yang
bersifat ilmiah, misalnya hubungan kausalita.
Demikian pula ditafsirkan tingkat keumuman (generality) dari kesimpulan yang
ditarik berdasarkan contoh (sampel), kepada kesimpulan yang
menyangkut populasi. Penafsiran
terminologi analisis juga harus
diberikan, misalnya apa yang dimaksud dengan koefisien korelasi tertentu yang
besarnya diukur pada penelitian. Sekiranya diperoleh bahwa x dan y berkorelasi dengan koefisien sebesar
r, maka harus dijelaskan hubungan yang terdapat antara kedua variabel tersebut.
Kiranya patut diingat bahwa statistika dan bermacam teknik analisis lainnya hanya
sekedar alat dan bukan merupakan tujuan.
Ringkasan dan Kesimpulan
Kesimpulan penelitian merupakan sintesis dari keseluruhan aspek penelitian yang terdiri
dari masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan
penelitian. Sintesis membuahkan kesimpulan yang ditopang oleh suatu kajian
terpadu, dengan meletakkan berbagai apek penelitian dalam perspektif yang
menyeluruh. Untuk itu maka diuraikan kembali secara ringkas pernyataan pokok
aspek tersebut di atas dan meletakkannya dalam kerangka yang mengarah kepada
kesimpulan. Itulah sebabnya bagian ini disebut ringkasan. Kesimpulan
penelitian harus tetap dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka teori
keilmuan yang didukung oleh penemuan penelitian. Kesimpulan ini kemudian
dibahas dengan jalan membandingkannya terhadap penelitian dan pengetahuan
ilmiah lain yang relevan.
Abstrak
Abstrak merupakan
ringkasan yang disarikan dari seluruh kegiatan penelitian, yang paling banyak
terdiri atas 3 halaman, namun ada yang memberi batas paling banyak
200 kata. Keseluruhan abstrak merupakan esei yang utuh, dan tidak dibatasi
dengan subjudul. (Catatan : karena tidak mempunyai subjudul, berarti hanya ada
1 topik kalimat yaitu abstrak. Karena hanya ada 1 topik kalimat, maka
ada yang mengatakan bahwa abstrak sebaiknya hanya terdiri atas 1 paragraf.
Khususnya, apabila abstrak ini akan dimuat dalam jurnal ilmiah, maka biasanya
hanya diminta dalam satu paragraf saja). Sesuai dengan langkah-langkah dalam
peneilitan, maka abstrak mencakup keseluruhan pokok pernyataan penelitian,
mengenai masalah, hipotesis , metodologi dan kesimpulan. Karena teralu panjang,
maka kerangka pemikiran tidak dicantumkan dalam abstrak, atau dicantumkan hanya bagian pokoknya saja. Tiap bagian
ditulis secara utuh namun ringkas, tiap bagian harus mendapatkan perlakuan yang
seimbang. Sebuah abstrak hendaknya menimbulkan minat kepada pembaca untuk
membaca keseluruhan laporan. Karena dapat diibaratkan sebagai iklan, maka
abstrak ditempatkan di halaman terdepan dari publikasi ilmiah.
BAB VI BENTUK
DAN FORMAT PELAPORAN
Pada prinsipnya tidak
terdapat perbedaan bentuk dan format pada pelaporan karya tulis ilmiah; apakah
karya tulis itu berbentuk tugas laporan pustaka (assignment), makalah ilmiah
(scientific paper), laporan praktikum, skripsi, tesis atau disertasi. Suatu karya
tulis ilmiah pada dasarnya terdiri atas Pendahuluan, Isi dan Kesimpulan atau
Penutup. Format laporan dapat bervariasi menurut forum atau “audience” yang
akan mempublikasikannya. Sebagai contoh, penulisan artikel untuk suatu jurnal
tertentu, biasanya sudah ditentukan formatnya. Demikian pula format makalah
yang akan disajikan dalam suatu pertemuan ilmiah, biasanya panitia sudah
menentukan format makalah yang dapat diterima. Untuk pelaporan hasil penelitian
berbentuk Skripsi, setiap universitas atau fakultas mempunyai Pedoman Penulisan
Skripsi sendiri. Seperti telah diuraikan sebelum ini, hendaknya jangan terlalu
kaku dalam mengikuti pedoman tersebut, karena yang lebih penting ialah alur
berpikir yang ingin dikemukakan penulis. Sebagai pedoman aturan pelaporan
Skripsi itu hanya memberikan kerangka
dasar format pelaporan yang tidak mengikat.
VI. 1 Contoh Format
Penulisan Skripsi [10]
Penulisan Skripsi
pada dasarnya terdiri atas 3 bagian besar :
1.
Bagian Pendahuluan, yang memuat
bahan preliminer
2.
Bagian Pokok, yang memuat teks
pokok laporan / karya
3.
Bagian Akhir, yang memuat
bahan-bahan referensi
Perincian kerangka laporan
penelitian adalah sebagai berikut :
I . Bagian Pendahuluan
1.
Judul laporan
2.
Halaman pengesahan (bila ada)
3.
Kata pembuka dan pengharagaan
(Ucapan terima kasih)
4.
Daftar Isi
5.
Daftar tabel (jika ada)
6.
Daftar grafik, diagram atau
gambar (jika ada)
II. Bagian Pokok
A.
PENGANTAR
1.
Penegasan mengenai judul
2.
Alasan pemilihan judul.
3.
Tujuan riset (jika belum
digabung pada 2).
4.
Sistematika pelaporan.
B.
ANALISIS LANDASAN TEORI
1.
Analisis hasil penelitian
sebelumnya, pengamatan, dan diskusi tentang masalah yang
berkaitan.
2.
Eksposisi angapan-anggapan yang
mendasari hipotesis yang diajukan.
3.
Pernyataan hipotesis yang
hendak diselidiki.
4.
Hasil yang diharapkan beserta
implikasi-implikasi praktisnya.
C.
ANALISIS DAN
PENETAPAN METODE YANG
DIPAKAI
1.
Populasi, sampel, dan prosedur
sampling
2.
Metode dan prosedur pengumpulan
data
3.
Metode dan prosedur analisis
data
D.
PENGUMPULAN DAN
PENYAJIAN DATA
1.
Uraian atau deskripsi secara
singkat (jika perlu)
2.
Penyajian tabel-tabel (jika
ada)
3.
Penyajian grafik, diagram, dll
(jika ada)
E.
ANALISIS DATA
1.
Analisis statistik (jika ada)
2.
Analisis isi atau analisis
kualitatif (jika ada)
3.
Analisis perbandingan atau
komparatif (jika ada)
4.
Kesimpulan analisis
F.
RINGKASAN DAN
SARAN-SARAN
1.
Ungkapkan kembali secara
singkat permasalahannya
2.
Nyatakan kembali secara singkat
metode yang digunakan untuk menggarap masalah itu.
3.
Nyatakan secara singkat
penggarapan masalah dan kesimpulannya
4.
Saran-Saran atau rekomendasi
yang relevan
III.
Bagian Akhir
1.
Daftar pustaka atau bibliografi
2.
Lampiran (jika ada)
3.
Indeks nama dan indeks masalah
(jika ada)
VI. 2 Pedoman Penulisan
Skripsi (FARMASI-UNHAS)
Karena sampai saat ini
belum disahkan Pedoman Penulisan Skripsi yang baru, berikut disajikan pedoman
yang digunakan pada tahun 1990 dan 1991, sebagai berikut.
Bab
I PENDAHULUAN
II MAKSUD DAN TUJUAN
Bab ini telah dihapus dan dimasukkan
dalam Pendahuluan
III
POLA PENELITIAN.
Bab ini juga sudah dihapus, dimasukkan
Bab Pendahuluan, namun masih ada yang
tetap memisahkannya dalam bab
tersendiri. Kebanyakan masih menganggap Pola
Peneltian ini sama dengan
Rencana Kerja. Seharusnya Pola Penelitian merupakan pola
pikir yang masih bersifat
abstrak. Pola penelitian ini selanjutnya
dioperasionalisasikan
dalam Rencana Kerja.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
V.
RENCANA KERJA
(untuk seminar I atau
seminar proposal, untuk seminar II menjadi PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN.
VI. PEMBAHASAN
VII. KESIMPULAN DAN
SARAN
Bagian Inti atau Isi
laporan akhir menurut pedoman (1991) terdiri atas:
Bab I
PENDAHULUAN , yang berisi gambaran singkat tentang :
-
latar belakang, identifikasi
dan perumusan masalah
-
ruang lingkup dan / atau
manfaat penelitian
-
metodologi penelitian
-
maksud dan tujuan penelitian
-
lokasi dan tempat
Bab II TINJAUAN PUSTAKA, seharusnya hanya berisi
tinjauan pustaka yang ada kaitannya
dengan BAB I. Kadang-Kadang
dimasukkan juga hal-hal yang tidak relevan dalam
Tinjauan Pustaka
Bab III PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN
Bab IV PEMBAHASAN
Bab V KESIMPULAN DAN SARAN
VI. 3 Format Rencana
Penelitian dan Laporan Penelitian
Skripsi sebagai
mata kuliah pada Proram Studi Farmasi UNHAS terbagi atas:
I.
Rencana Penelitian, (Seminar I)
II.
Skripsi, dan
III.
Laporan Hasil Penelitian
(Seminar II)
Bagian II Skripsi dinilai
hanya oleh Pembimbing. Bagian I Rencana Penelitian dan Bagian III Laporan Hasil
Penelitian harus diseminarkan dalam forum seminar yang dihadiri dan dinilai
oleh staf pengajar. Di sini timbul masalah, karena mahasiswa sebagai penyaji
harus memperbanyak makalahnya untuk
sejumlah peserta seminar yang cukup banyak, sehingga memerlukan biaya cukup
banyak pula. Untuk mengatasi hal itu telah diadakan pembicaraan antara
pimpinan, koordinator seminar dan wakil mahasiswa (4 Mei 1990) yang
menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :
1.
Penulisan Rencana Penelitian
mahasiswa (Seminar I) dibuat hanya 6-10 halaman dengan pembagian isi sebagai
berikut :
-
Pendahuluan
-
Pola Penelitian
-
Rencana Kerja
-
Cara Pengambilan Kesimpulan
-
Daftar Pustaka
2.Laporan
Penelitian (Seminar II), dibuat 6-10 halaman dengan pembagian sebagai berikut :
-
Abstrak (Bahasa Indonesia dan Inggris)
-
Pendahuluan
-
Cara Kerja (dalam bentuk bagan)
dan Hasil
-
Pembicaraan / Pembahasan
-
Kesimpulan, Saran dan daftar
Pustaka
3.Naskah hasil penelitian yang lengkap dibagikan hanya kepada semua
dosen
penguji, serta 1 eksemplar untuk
Koordinator Seminar Skripsi.
Hal-Hal yang belum
diatur dalam kesepakatan ini akan dibicarakan kemudian. Dalam pedoman Penulisan
Skripsi 1991, Format Laporan Hasil Penelitian (Seminar II) telah mengalami
sedikit perubahan sebagai berikut:
RESUME LAPORAN
PENELITIAN
- Judul Penelitian
- Nama dan Nomor Pokok mahasiswa
- Nama Pembimbing Skripsi
- Abstrak (diusahakan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris). Abstrak hendaknya memuat ringkasan penelitian yang mencakup latar belakang, tujuan penelitian, metode dan hasil penelitian. Jumlah kata tidak lebih dari 200 kata.
- Metodologi atau Pelaksanaan Penelitian
Disajikan dalam bentuk
skema, bagan, gambar, tabel dan lainnya yang sangat teknis.
- Hasil dan Pembahasan, disajikan dalam butir-butir yang runtut untuk memudahkan cara mengikutinya.
- Kesimpulan dan Saran.
Catatan : namanya saja
INTISARI, jadi harus dapat dibuat secara singkat, jelas dan menarik.
BAB VII TEKNIK PENULISAN ILMIAH
Teknik penulisan ilmiah
meliputi 2 aspek, yaitu gaya penulisan dan teknik notasi dalam menyebutkan
sumber pengetahuan ilmiah yang digunakan dalam penulisan.
VII. 1 Gaya Penulisan
Komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan tepat, yang
memungkinkan penyampaian pesan yang bersifat reproduktif dan impersonal.
Penulis ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Sebuah kalimat
yang tidak dapat diidentifikasi, mana yang merupakan subjek dan mana yang
merupakan predikat, serta hubungan apa yang terkait antara keduanya,
kemungkinan besar akan merupakan informasi yang tidak jelas. Tata bahasa
merupakan ekspresi dari logika berpikir. Oleh karena itu, langkah pertama
dalam menulis karangan ilmiah yang baik adalah mempergunakan tata bahasa yang
benar. Demikian juga penggunaan kata harus secara tepat, yaitu memilih
kata-kata yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan.
Komunikasi ilmiah harus
bersifat impersonal. Oleh karena itu tidak digunakan kata ganti orang
pertama (saya, kami), dan orang ketiga (dia, mereka); sebaiknya digunakan
kalimat pasif. Menurut Purbo M. 1970 [7],
terdapat 6 sifat atau ciri penulisan keilmuan :
1)
Jelas, yang berarti tidak
menimbulkan salah tafsiran atau memiliki makna ganda (ambigu = ambiguous), baik
dalam pemilihan kata, istilah maupun dalam susunan kalimat.
2)
Ringkas, dalam arti padat,
tetapi bukan dengan cara pemendekan kata atau penggunaan akronim.
3)
Lengkap, berarti mencantumkan
semua data yang diperlukan.
4)
Teliti, berarti teliti sampai
hal-hal terkecil, misalnya penggunaan data, penerapan rumus, penulisan nama
orang, nama tempat dan alat, penggunaan ejaan dan tanda baca.
5)
Tersusun, dalam hal runtunan
gagasan (pola pikir), pengertian secara kronologis atau berdasarkan alasan
tertentu.
6)
Menyatu, bahwa semuanya tertuju
ke suatu sasaran, tanpa adanya pencampuran pokok atau unsur lain di luar
permasalahan yang sebenarnya.
VII. 2 Teknik Notasi
Dalam tulis menulis ilmiah
dikenal suatu etik, sopan santun atau tatakrama, yang mengharuskan seorang
penulis menyebutkan sumber dari mana diperoleh suatu pernyataan ilmiah. Adalah
suatu kebohongan besar, jika ada orang yang menganggap dirinya yang paling
mengetahui segala-galanya. Padahal ilmu dan pengetahuan yang dimiliki,
diperolehnya melalui pergaulan dengan orang lain secara langsung atau melalui
media cetak. Oleh karena itu pengetahuan dan ilmu yang dibeberkan seseorang
tidak lain merupakan perangkuman (integrasi) dari segala sesuatu yang
diperolehnya sepanjang hidupnya.
Salah satu aturan (tidak
tertulis) dalam tulis menulis atau penyusunan naskah, ialah untuk menyebut
sumber yang terpakai dalam suatu tulisan. Ini merupakan tatakrama yang tidak
boleh diabaikan begitu saja. Pernyataan yang diambil sebagian atau keseluruhan
dari suatu sumber disebut nukilan (sitasi = citation), dan dalam tulisan
ilmiah dikenal dengan teknik notasi. Tanda notasi diletakkan pada ujung kalimat
menggunakan angka Arab yang dinaikkan ½
spasi, atau angka Arab dalam kurung
di belakang kalimat. Apabila seluruh
paragraf merupakan nukilan, maka tanda notasi ditulis setelah titik pada akhir
kalimat. Jika hanya sebagian, misalnya hanya kalimat terakhir saja yang
merupakan nukilan, maka tanda notasi ditempatkan sebelum titik pengakhir
kalimat. Teknik notasi ilmiah menyebutkan sumber pengetahuan ilmiah yang
digunakan dalam tulisan, yang meliputi 4 hal :
1)
Orang yang membuat pernyataan
tersebut (penulis)
2)
Media komunikasi ilmiah di mana
pernyataan itu disampaikan, apakah berbentuk makalah, buku, seminar, lokakarya,
dan sebagainya.
3)
Lembaga yang menerbitkan
publikasi ilmiah tersebut.
4)
Tempat domisili dan waktu
penerbitan itu dilakukan.
Kewajiban mengutip suatu
sumber juga untuk menyatakan penghargaan atas karya orang lain. Terdapat
bermacam teknik notasi ilmiah yang pada dasarnya mencerminkan hakekat dan unsur
yang sama, meskipun dalam format dan simbol berbeda-beda.
VII.3 Penempatan Catatan
Kaki
Penggunaan catatan kaki
(footnote) dalam teks mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungannya ialah
bahwa informasi yang perlu dibaca sesuai dengan sumber aslinya dapat langsung
diperoleh. Akan tetapi terlalu banyak catatan kakinya juga akan mengalihkan
perhatian pembaca dari keutuhan topik pembicaraa. Dianjurkan agar tidak menggunakan
kutipan langsung ini lebih dari 30% dari keseluruhan teks. Catatan kaki juga
merupakan kutipan langsung, yang berarti susunan kalimat tidak berubah dari
kalimat aslinya, sedangkan kutipan taklangsung, berarti sudah menggunakan
kalimat penulis sendiri.
Penempatan catatan kaki
dapat dilakukan dalam 2 cara :
a)
Langsung mengikuti tanda
notasi, tanpa menunggu berakhirnya paragraf, dicetak dengan huruf lebih kecil dari teks, atau dibatasi oleh 2 garis tak terputus sepanjang
garis.
Contoh :
Obat dapat didefinisikan dalam berbagai
cara. Menurut KONAS Dep.Kes.R.I. [7] …..
yang dimaksud dengan obat dalam
Kebijakan Obat Nasional ialah bahan atau paduan bahan yang
digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologis atau keadaan patologis dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
b)
Ditempatkan di bagian
bawah halaman , berjarak satu spasi dan dibatasi dengan teks oleh garis tak
terputus.
[7] Kebijaksanaan Obat
Nasional (1983), Departemen Keshatan R.I.
Pada prinsipnya penulisan
catatan kaki sama dengan penulisan pustaka secara umum, yang meliputi nama
pengarang lengkap (didahului nama kecil atau nama pemberian yang sebaiknya
tidak disingkat, disusul nama keluarga), judul karangan, data publikasi. Jika
penulis lebih dari 1 orang, penulisan nama penulis lainnya sama denganpenulis
pertama, dimulai dengan nama kecil. Seringkali dalam catatan kaki diadakan
penyingkatan tertentu, yang baku demi efisiensi, misalnya :
Ibid. singkatan dari ibidum,
yang berarti sama dengan yang diatas, digunakan apabila nama pengarangnya sama,
judul karangannya sama , hanya berbeda pada halaman yang dirujuk. Singkatan ini
digunakan juga pada penulisan daftar pustaka apabila nama pengarangnya sama.
Contoh : 1.
Anderson J. et al. (1970) “Thesis
and Assignment Writing”, Jacaranda Wiley,
New York, pp. 22-35.
2.
Ibid. pp 36-45
op.cit. , singkatan dari opere citato, yang berarti dalam karya yang telah
dikutip sebelumnya.
Contoh : J.Anderson,
op.cit, pp. 45-60
loc.cit. , singkatan dari locus citato, yang berarti pada tempat yang telah
dikutip sebelumnya. Karena tempatnya sudah diketahui (nomor halaman), tidak
perlu lagi menulis pada halaman berapa.
Contoh : J.Anderson
loc.cit.
7.4 Penulisan Daftar Pustaka
Penulisan daftar pustaka dapat mengkuti 2
pola :
I.
Sistem Nama ® Tahun (Harvard System)
·
Kutipan dari buku teks
–
nama penulis.
–
tahun penerbitan ( dalam kurung ),
–
Judul buku ( Italic / miring ),
–
edisi.
–
nama penerbit,
–
tempat penerbit.
–
halaman ( disingkat p./pp. atau
hal. ).
Contoh :
Groenewegen, D. ( 1997 ), The Real Thing? :
The Rock Music Industry and the Creation
of Australian Images, Moonlight Publishing, Victoria. pp. 232-234.
•
Kutipan dari Jurnal
–
nama penulis
–
tahun publikasi
–
“Judul buku” à diberi tanda kutip
–
Judul Jurnal à italic/miring
–
Nomor volume ( vol )
–
Nomor terbitan
–
Nomor halaman
Contoh
:
Withrow, R & Roberts, L.
( 1987 ), “ The Videodisc: Putting education on a silver platter”, Electronic
Learning vol. 1, no. 5 . pp. 43-44
·
Kutipan jurnal dari Internet
( Harvard )
–
Nama
penulis/Editor (nama akhir, Ed )
–
Tahun
–
Judul artikel
–
Judul
Jurnal ( Italic / digaris)
[online]
–
Jenis media yg dikutip [internet]
–
Tanggal publikasi
–
Nomor volume ( vol.) dan no. isu
–
Alamat web-site ( Available
from http : // www)
–
Tanggal akses, nama bulan
lengkap, tahun
Contoh :
Smith,J. (1996) Time to go home. Journal
of Hyperactivity [Internet] 12th October, 6 (4), pp.122-3. Available from: http://www.lmu.ac.uk
[Accessed June 6th,1997]
Kumaidi, W. (1998) Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan tesnya,
Jurnal Ilmu Pendidikan [Internet], Jilid 5, No. 4, Available from: <http://www.malang.ac.id,
diakses, 20 Januari 2000
·
Kutipan di dalam naskah :
1. Manfaat bahan ajar bagi mahasiswa
terasa lebih bermanfaat… (Weston 1988, p.45)
2. Scholtz (1990, p.445) membantah
bahwa…
II.
Sistem Nomor yang terbagi pula sebagai berikut :
a. menggunakan notasi menurut
urutan nama pengarang berdasarkan abjad huruf awal
nama pengarang.
(Alphabetic)
b.menggunakan urutan nama pengarang secara kronologis digunakannya
notasi dari pengarang tersebut. (Vancouver System).
·
Kutipan dari buku teks
(Vancouver)
-
nama penulis atau editor
-
tahun penerbitan ( dalam kurung ),
-
Tidak digaris bawahi atau miring
-
edisi.
-
nama penerbit,
-
tempat penerbit.
-
halaman ( disingkat p./pp. atau hal. ).
Contoh
: (Satu Penulis)
Getzen TE.
Health economics: fundamentals of funds. New York: John Wiley & Sons; 1997.
Contoh : (Lebih dari enam penulis)
Fauci AS, Braunwald E, Isselbacker KJ, Wilson
JD, Martin JB, Kasper DL, et al, editors.
Harrison’s principle of internal medicine. 14th ed. New York: McGraw Hill, Health
Professions Division ; 1997.
•
Kutipan dari Jurnal
– nama penulis
– Judul artikel
– Judul jurnal ( disingkat sesuai gaya )
– Tahun publikasi;
– Nomor volume ( vol ) ( no. terbitan):
– Nomor halaman
·
Kutipan dari internet :
- Alamat web-site / URL
- tanda titik, koma
- garis datar, garis miring
- Tanggal up-date
- Tanggal akses
- Kutipan tetap mengikuti sistem penulisan
yang dipilih à Konsisten!
w Kutipan jurnal dari Internet (
Vancouver )
–
Nama penulis/Editor (nama akhir, Ed )
–
Judul artikel
–
Judul Jurnal
dalam singkatan
–
[ nomor seri online ]
–
Tahun
publikasi;
–
Nomor volume ( vol.)no. isu.
–
Alamat web-site ( Available from http : // www)
–
Tanggal akses,
nama bulan ditulis lengkap, tahun.
Contoh :
Morse
SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial
online] 1995 Jan-Mar;1(1):[internet]. Available from: URL:http://www/cdc/gov/ncidoc/EID/
eid.htm. Accessed December 25, 1999.
·
Kutipan di dalam naskah:
1. Manfaat bahan ajar bagi mahasiswa
terasa lebih bermanfaat… [1]
2. Scholtz [2] membantah bahwa…
Keuntungan pola
I ialah bahwa nama pengarang yang sama dapat langsung terlihat. Namun pola
apapun yang digunakan, asal digunakan secara konsisten sesuai kesepakatan.
Jurusan Farmasi UNHAS menggunakan kombinasi Sistem Harvard, yaitu Sistem Nama
® Tahun, dan Sistem Nomor secara
kronologis penggunaan pustaka tersebut dalam teks.
Kesepakatan terakhir di
FMIPA UNHAS, tahun publikasi buku atau karya ilmiah ditempatkan setelah nama
pengarang, agar supaya langsung terlihat kapan (tahun) dipublikasikannya suatu
tulisan oleh pengarang tertentu. Akan tetapi kecenderungan terakhir, penulisan
tahun penerbitan diletakkan pada bagian paling akhir.
Dengan berkembangnya media
cetak, terdapat beberapa alternatif penulisan judul buku, artikel atau karya
ilmiah untuk membedakannya dari nama penulis dan penerbit. Judul dapat ditulis
dengan huruf miring atau huruf tebal, atau
di antara tanda kutip ‘tunggal’ atau “ganda”. Sebaiknya garis bawah digunakan
untuk nama jurnal atau majalah, dan huruf
miring digunakan untuk nama spesies tanaman atau hewan. Apabila menggunakan
mesin ketik biasa, nama spesies dapat digarisbawahi.
Dengan demikian,
maka alternatif terbaik untuk penulisan judul suatu buku atau artikel dalam
majalah, ialah menggunakan huruf biasa di antara tanda kutip, baik dengan mesin
ketik atau komputer, atau huruf tebal dengan komputer. Garis bawah digunakan
pada majalah (judul artikel tetap di antara tanda kutip) atau penulisan nama
spesies dengan mesin ketik biasa. Penulisan nama spesies dengan komputer dapat
menggunakan huruf miring. Huruf awal setiap kata pada judul buku ditulis dengan
huruf kapital, kecuali kata penghubung, misalnya kata: dan, serta, dengan,
dari, tentang, mengenai, dan sebagainya.
Berikut ini
contoh-contoh penulisan pustaka di Jurusan Farmasi UNHAS
Notasi yang berasal dari Buku
Mengikuti pola
teknik notasi di atas, urutan teknik notasi ialah nama penulis,tahun, judul buku dan media, lembaga serta waktu
penerbitan.
Contoh [1]
: Brown, G. and M.Atkins (1988)
“Effective Teaching in Higher
Education”, Methuen & Co, London.
Perhatikan
penggunaan [kurung siku] untuk notasi pustaka, bukan kurung (biasa).
Dalam daftar
pustaka, penulisan nama penulis pertama dudahulukan nama keluarga (marga) yang
berbeda dengan penulisan nama pada catatan kaki. Nama penulis ke-2 dan ke-3
bila ada, kadang-kadang dimulai dengan nama marga, kadang pula dimulai dengan
nama kecil.
Contoh [2]: Kolthoff, I.M., Elving, P.J. Treatise on Analytical Chemistry, Vol.
5,
Part
I, Interscience Publication, New York, 1982.
(dari : Remington’s Pharmaceutical Sciences. 1985)
Contoh [3]: Martin B.L. and Briggs L.J. (1986) The Affective and Cognitive Domain :
Integration for Instruction
and Research, Engelwood Cliffs, New Jersey.
Apabila penulis
lebih dari 3 orang, hanya nama penulis pertama yang dicantumkan, ditambah et
al. (singkatan dari et alii, yang berarti dan kawan-kawan).
Apabila penulis
hanya berfungsi sebagai editor, perlu dicantumkan (ed.) di belakang nama
penulis atau (penyad.) sebagai singkatan dari penyadur, atau (penerj.) sebagai
singkatan dari penerjemah.
Apabila tanpa
penulis, maka lengsung dituliskan lembaga yang menerbitkan, nama buku, edisi,
dan tahun.
Contoh [4]: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
“Farmakope Indonesia”
Edisi IV, 1995, Jakarta.
Dapat pula
dituliskan anonim (tidak bernama), apabila tidak tidak diketahui nama
penulisnya.
Kutipan dari
sumber kedua, sebagai contoh penulisan pustaka nomor tertentu dalam daftar
pustaka :
Contoh [5]
: Smith, R.P. (1969) “ The
Significance of Methemoglobinemia in Toxicology “
dikutip dari
Blood,F.R. (ed.) “Essay in Toxicology”, hal. 84,95
Academic Press, New
York . Mc Graw Hill, New York.
Beberapa contoh lain :
Contoh [6] : Mattulada, Latoa, Satu Lukisan Analitik tentang Antropologi Orang Bugis,
Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1985.
(dari Majalah Lontara,
Hasanuddin University Press, Tahun XXIX No.1 1993)
Catatan : Sebaiknya judul tulisan ditulis di antara tanda petik, atau
menggunakan huruf tebal, agar huruf miring dapat digunakan untuk nama spesies
tanaman dan hewan).
Contoh [7]
: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),
Metode Penelitian Survei, Masri
Singarimbun (Editor) 1989.
Notasi yang
Berasal dari Jurnal atau Majalah
Urutan unsur pokok
dari majalah yang harus masuk dalam notasi ialah : nama penulis, judul tulisan,
nama majalah, nomor penerbitan, bulan dan tahun penerbitan, dan halaman yang
dikutip. Nama dan tempat penerbit tidak lagi dicantumkan.
Contoh [8]: Sudana
Atmawidjaja, Slamet Ibrahim, “Pengujian Kadar Residu Beberapa
Pestisida dalam Tanaman Solanum
khasianum “, Acta Pharmaceutica Indonesia,
Volum
IV, Nomor 3, September 1990, hal. 84-90.
Catatan :
Tidak semua sukubangsa di
Indonesia menggunakan nama marga (family name). Jadi apabila timbul
keragu-raguan, maka nama penulis ditulis lengkap. Jika terdapat 2 penulis atau
lebih, maka nama penulis ke-2 dan ke-3 boleh dimulai dengan nama marga atau
nama kecil.
Notasi yang berasal dari Surat Kabar
Notasi dari surat kabar
atau majalah populer hendaknya berisi sesuai urutan :
1.
Jenis tulisan, apakah editorial,
berita, mimbar pendidikan, ruang ekonomi, pojok, dan sebagainya.
2.
Nama Surat Kabar, digarisbawahi
atau dicetak tebal.
3.
Tanggal, bulan, dan tahun
penerbitan
4.
Nomor halaman dan kolom.
Contoh [9] : “Tajuk Rencana” dalam Harian KOMPAS, Selasa, 20 Juli 1968,
Tahun ke-III, hal.2,
kol,7-9
Notasi
yang berasal dari sumber lain
Sumber lain yang
dapat dikutip ialah kuliah, pidato, hasil wawancara, Skripsi, Tesis, maupun
Disertasi yang tidak dipublikasi. Teknik notasinya menggunakan cara yang sama
dengan notasi buku, majalah atau sumber lain, dengan penjelasan mengenai
sumber, tempat dan waktu. Sekarang ini banyak
digunakan artikel dari internet. Sama halnya dengan penulisan artikel
biasa, harus jelas pengarangnya atau sumbernya, karena setiap orang dapat membuat halaman webnya sendiri. Untuk
memudahkan penelusuran kembali, perlu dituliskan halaman Web Sitenya.
Contoh [10]
: Moskal, Barbara M. 2000 Scoring Rubrics : What, When and How ?
Practical Assessment,
Research and Evaluation, 7 (3)
Available on line :
http://ericae.net/pare/getvn.asp?v=7&n=3.
Contoh [11]
: Wiggins, Grant 1990 The
Case for Authentic Assessment
ERIC Digest ED328611
(online) Available
http://www.ed.gov/databases/ERIC
Digest/ed1238611.html
Daftar Pustaka
1.
Ahmad Watik Pratiknya, (1986) “
Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, Penerbit C.V.
Radjawali, Jakarta.
2.
Anderson, J. et al.
(1970) “ Thesis and Assignment Writing”,
Jacaranda Wiley, New York.
3.
Brown,G., and Atkins M. (1988)
“ Effective Teaching in Higher Education”
Methuen & Co, London.
4.
Day, R.A. (1976) “How to Write and Publish a Scientific
Paper”,
Council of Biology Editors, Washington D.C.
5.
Drost, J. et al. (1987) “ Ilmu Alamiah Dasar” , Buku Panduan
Mahasiswa
Pusat Penelitian, UNIKA ATMA JAYA, Jakarta.
6.
Krathwohl, D.R. (1992) “
Research as a Chain of Reasoning”,
Instructional
Developments, Vol.2, No.1 pp.1-6, School of Education,
Syracuse University, New York
7.
Purbo, M. “ Menulis Laporan Teknik”, Penerbit ITB
Bandung.
8.
Rumate, F.A. ( 1986) “Kajian Pustaka Farmasi”, Lembaga Penerbitan
, UNHAS
9.
Suriasumantri, J.S. (1985) “Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer”
Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
10.
Sutrisno Hadi, (1988) “ Bimbingan Menulis Skripsi Thesis”, Jilid I
dan II
Yayasan Penerbit Fak. Psikologi, UGM Yogyakarta.
BAGIAN III PELENGKAP PENULISAN ILMIAH
I.
PENDAHULUAN
Penulisan ilmiah tidak lepas dari kegiatan membaca buku teks atau
karya ilmiah yang dipublikasikan. Membaca efektif sama pentingnya dengan
menulis karya ilmiah. Budaya membaca yang telah dikembangkan sejak dini perlu
ditingkatkan dan diperluas di perguruan tinggi. Meskipun media komunikasi
informasi telah semakin canggih dengan perkembangan sarana pandang dengar
(audio visual), dan akses melaui internet, media cetak masih menempati
kedudukan penting, khususnya dalam pengkomunikasian temuan baru berupa hasil
penelitian. Media cetak masih merupakan sarana yang paling sesuai untuk mempublikasikan
suatu karya ilmiah.
Kebanyakan buku
teks di perguruan tinggi tertulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.
Tak dapat disangkal, penguasaan bahasa Inggris oleh mahasiswa umumnya rendah.
Meskipun sudah dipersiapkan pengajaran bahasa Inggris sejak sekolah dasar
sampai perguruan tinggi, kemampuan mahasiswa belum memadai untuk dapat mencerna
karya tulis berbahasa Inggris dengan baik. Pengalibahasaan suatu teks dari
bahasa asing ke bahasa sasaran sudah menjadi bidang telaah tersendiri. Untuk meningkatkan
keterampilan mahasiswa dalam teknik menterjemahkan, perlu dibicarakan beberapa
kiat yang dapat digunakan dalam menerjemahkan teks dari bahasa Inggris sebagai
bahasa sumber ke bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran.
Penggunaan
bahasa Indonesia yang baik (menggunakan ragam bahasa keilmuan) dan benar
(menggunakan kaidah berbahasa yang benar) merupakan syarat mutlak dalam
penulisan karya ilmiah. Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri tertentu, demikian
pula susunan kalimat, grmatika, penggunaan istilah yang tepat, dan penggunaan
ejaan maupun tanda baca yang tepat sangatlah penting dalam suatu karya tulis.
Suatu karya
ilmiah, apakah tugas laporan pustaka, makalah, skripsi, tesis, dan lain-lain,
perlu dipresentasikan di hadapan forum atau audiens tertentu. Karena itu tkenik
presentasi perlu pula dikuasai oleh si pemakalah. Dalam tulisan ini diberikan
pula rambu-rambu teknik presentasi menggunakan alat bantu visual, khususnya
penggunaan OHP/OHT.
II. MEMBACA
EFEKTIF [7,8]
Untuk memperoleh informasi ilmiah sebanyak-banyaknya, mahasiswa
perlu banyak membaca pula. Penerbitan buku teks baru, majalah ilmiah yang
beraneka ragam dan fasilitas perpustakaan yang semakin baik, belum banyak
menimbulkan gairah mahasiswa untuk mengembangkan diri dalam sarana komunikasi
perorangan ini. Pengembangan keterampilan membaca efektif merupakan salah satu
gejala perkembangan mahasiswa dalam pendidikannya. Dengan perkembangan yang
pesat dalam bidang Ilmu dan Teknologi, keterampilan membaca menjadi faktor yang
sangat penting untuk keberhasilan dalam berbagai bidang. Informasi mengenai
perkembangan terakhir dalam suatu bidang ilmu perlu secara cepat diperoleh
mahasiswa dalam pengembangan bidang ilmunya. Dengan membaca secara efektif akan
diperoleh masukan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang relatif singkat. Seorang
yang mengucapkan kata-kata yang tertulis dapat dianggap ”membaca”. Bagi si
pendengar, cara membaca demikian mungkin mengandung arti, tetapi mungkin tidak
mempunyai arti sama sekali bagi si pembaca sendiri. Cara membaca demikian
tidaklah mementingkan tujuan membaca. Cara membaca komprehensif ialah cara
membaca kombinasi kata dalam teks itu ditangkap artinya oleh si pembaca, tanpa
perlu membaca keras.Terdapat 4 peringkat membaca, yaitu (1) membaca dasar, (2)
membaca sidik, (3) membaca analitis dan (4) membaca sintopis.
II.1
Membaca Dasar
Membaca
dasar dibagi lagi dalam :
Pengembangan Keterampilan Kosa Kata
Tanpa
penggunaan kosa kata yang baik, membaca komprehensif akan kurang dan lambat.
Untuk dapat menangkap arti dari sesuatu yang dibaca, seseorang perlu
mendefinisikan kata tersebut, dan bagaimana kata itu digunakan dalam
konteksnya. Untuk dapat mengembangkan
keterampilan kosa kata
terdapat berbagai cara,
yaitu :
1.
Mengenal kata kunci (key
word). Kata merupakan alat pemikiran. Kata-kata
adalah kata manusia untuk mengerti pikiran orang lain.
Contoh : 1. Asetosal masih digunakan untuk menurunkan panas, sebab belum
banyak dilakukan penelitian golongan obat antipiretika.
Dalam kalimat ini sudah dijelaskan
arti kata kunci antipiretika.
2. Meskipun sudah ditemukan metode analisis
instrumen yang canggih. Volumetri masih merupakan metode baku untuk analisis
kimia tertentu.
Kata
meskipun di sini memberi pengertian mengenai hal yang
bertentangan.
2.
Mempelajari asal kata dan
bagiannya. Kata dasar adalah inti dari sebuah kata,
yang dapat diberi awalan, sisipan atau akhiran. Apabila terdapat imbuhan ini,
perlu dicari dahulu kata dasarnya.
Contoh : Pengendalian kualitas obat
dilakukan sebelum, selama, dan setelah proses pembuatannya.
Kata dasar dari pengendalian ialah kendali,
yang berati mengekang (kuda) atau mengontrol. Di sini sekaligus terlihat bahwa
arti kata itu harus dilihat dalam konteksnya, apakah mengendalikan kualitas
obat atau mengendalikan kuda.
3.
Pemakaian Kamus. Kegunaan kamus bukan saja sebagai tempat mencari arti suatu kata,
tetapi banyak pula menyimpan informasi lain, misalnya ejaan, cara ucapan,
pembagian suatu kata, etimologi, arti, pemakaian, sinonim, dan antonim, asal
kata, tata bahasa dan keterangan umum. Untuk memperoleh informasi dari kamus
dengan cepat terdapat kunci yang perlu diketahui, seperti adanya kata kunci
pada sudut kiri dan kanan atas setiap halaman. Kata kunci sebelah kiri atas
menunjukkan kata pertama di halaman tersebut, sedangkan kata kunci kanan
menunjukkan kata terakhir pada halaman itu. Di samping itu perlu diingat bahwa
kata-kata disusun menurut abjad (alphabetic); jadi misalnya dua kata atau lebih
yang dimulai dengan huruf sama, maka urutannya alam entri dilihat pada huruf
kedua, apabila huruf kedua masih sama, dilihat huruf ketiga, dan seterusnya.
Contoh : kata sakit
dan sakti
perbedaan terjadi pada
huruf keempat i dan t, karena i dalam abjad berada sebelum t, maka kata sakit
berada sebelum sakti. Mencari
kata dalam kamus perlu dilakukan dengan cepat dan tepat, yang memerlukan
latihan.
Pengembangan Keterampilan Menanggapi (Persepsi)
Agar dapat membaca dengan cepat maka kata-kata yang dibaca itu harus
terlihat dengan baik, yang disebut fiksasi. Fiksasi perlu dilatih
menjadi cepat dan tepat, agar membaca itu juga cepat, demikian pula
pengertiannya. Contoh fiksasi yang tidak terlatih ialah apabila orang membuat
kesalahan membaca :
Ia membawa baki
Ia
membawa daki
Karena kalimat
kedua ini tidak memberikan pengertian (salah pengertian), maka harus dibaca
kembali secara keseluruhan kalimat secara benar, yang berarti memperlambat
membaca. Seorang pembaca lambat perlu membaca kata demi kata, seringkali
menggunakan pinsil sebagai penunjuk kata. Apalagi kalau ia perlu membaca keras
sehingga akan semakin memperlambat membaca. Dengan menghindari kebiasaan itu
seorang pembaca dapat mmbaca lebih cepat, dan dengan latihan, dalam satu
fiksasi orang dapat melihat 3 kata sekaligus.
Pengembangan Ingatan Ungkapan Harfiah (Developing Literal Recall)
Mengembangkan
ingatan arti harfiah dapat dilakukan melalui beberapa cara :
1.
Mengenal ide pokok (utama)
dan rinci (details)
Suatu wacana biasanya terdiri dari beberapa paragraph
yang terpisah satu dari yang lain, karena setiap paragraf merupakan sekumpulan
kalimat yang mempunyai satu ide pokok dan kalimat rinci yang mengembangkan ide
pokok itu. Dalam berlatih membaca cepat dan efektif, si pembaca perlu mencari
ide pokok itu dan membaca sambil memfokus pada ide pokok itu. Seorang penulis biasanya memperkenalkan satu
pokok pembicaraan lalu mengembangkannya dan menutup dengan sebuah kesimpulan.
Ide pokok biasanya ditulis dalam kalimat pokok, yang biasanya ditempatkan pada
kalimat pertama atau kalimat terakhir suatu paragraf, jarang di tengah. Dalam
suatu paragraph yang baik hanya satu topik yang dibahas. Topik ini disebut
benda topik. Kata benda topik ini akan muncul dalam berbagai bentuk dalam
paragraf. Ia dapat berupa sinonim, kata ganti, atau sekumpulan kata yang
artinya sama dengan akat benda topik itu. Kata-kata tersebut akan diulang
dengan cara yang berlainan agar pembaca tetap mengingatnya. Karena itu fungsi
kalimat topik ialah sebagai singkatan dan untuk menekankan inti dari seluruh
paragraf. Kalimat topik menceritakan sesuatu tentang kata benda topik yang
didukung oleh kalimat rinci.
Contoh pola paragraph dengan kalimat topik pada permulaan
:
Obat ialah bahan kimia
yang berinteraksi dengan sistem biologis tubuh melalui cara tertentu. Bahan kimia ini dapat
mengakibatkan kontraksi otot, pengeluaran sekresi oleh kelenjar, pelepasan
hormon, atau perubahan keaktifan syaraf, mengubah kecepatan pembagian sel, atau
membunuh sel. Keragaman aksi obat ini demikian luas, sehingga pada prinsipnya
obat ini memungkinkan modifikasi setiap proses biologis. Pada kenyataannya
telah ditemukan obat yang mempengaruhi hampir setiap proses biologis. (Mid
Career Training in Pharmocochemistry)
Contoh pola paragraf dengan kalimat topik di tengah
:
Formulasi obat modern merupakan campuran kompleks yang selain
mengandung satu atau campuran bahan berkhasiat, juga mengandung sejumlah bahan
ineri, misalnya bahan pengencer, penghancur, pewarna dan pembau. Sebelum
mengadakan analisis kuantitatif dalam rangka pengendalian kualitas dan
kestabilan produksi akhir, campuran bahan tersebut perlu dipisahkan
komponen-komponennya. Kromatografi meliputi kumpulan metode untuk memisahkan campuran
molekul yang ditentukan oleh perbedaan afinitas zat terlarut di antara dua fase
yang tidak bercampur. Salah satu
fase merupakan pelataran tetap yang permukaannya sangat luas, sedang fase
lainnya merupakan cairan yang mengalir di atas atau pada pelataran tetap tadi.
Komponen campuran zat harus berada dalam bentuk molekul dalam keadaan terlarut
atau bentuk gas. (Remington’s Pharmaceutical Sciences)
Contoh pola paragraph dengan kalimat topik pada
akhir :
Titrasi
adalah pengerjaan eksperimen dalam analisis titrimetri. Suatu larutan pereaksi
yang diketahui konsentrasinya dengan tepat (titran dan larutan baku)
ditambahkan pada larutan pereaksi kedua, yaitu larutan sample yang akan
ditentukan kadarnya. Titran ditambahkan pada larutan sample sampai reaksi
berlangsung sempurna, yaitu jumlah titran yang ditambahkan itu ekivalen secara
kiia dengan jumlah sample. Tahapan terjadinya ekivalensi ini dinamakan titik
ekivalen titrasi atau titik akhir titrasi, dari konsentrasinya, dan dari
kesetimbangan (stokiometri) reaksi titrasi yang diketahui, dapat dihitung
jumlah bahan sample. Biasanya penghitungan diadakan dengan pengukuran volume titran,
sehingga analisis titrimetri dinamakan juga Volumetri. (Connors, K.A., A Textbook of Pharmaceutical Analysis)
Dapat dilihat bahwa paragraf adalah satu blok pemikiran dan suatu
perkembangan dari kata benda topik. Kalimat topik menceritakan sesuatu tentang
kata benda topik. Di samping kalimat topik yang eksplisit (yang tertulis),
kadang-kadang terdapat pula kalimat topik yang implicit. Ini berarti bahwa
kalimat topik itu tidak tertulis tetapi ada pada benak si penulis, dan pembaca
perlu menyimak isi paragraf untuk mendapatkannya. Berikut ini beberapa kata
kunci untuk memformulasikan kalimat topik yang implisit :
1.
perhatikan fungsi dari setiap
kalimat.
2.
pertanyakan arti dari semua
fakta yang dibeberkan, maka Anda akan menemukan topik yang sedang dibicarakan.
3.
tuliskan kalimat topik yang
seharusnya berupa ide pokok dari paragraf tersebut.
Sekali lagi, ide pokok biasanya ditulis dalam salah satu kalimat
dari paragraf. Kalimat lain merupakan perincian yang diperlukan untuk mengembangkan
ide pokok. Kesukaran terjadi apabila tidak ada kalimat topik, sehingga pembaca
perlu mencari sendiri ide pokok tersebut.
2. Mengenal pola paragraph
Paragraf dapat dibagi atas berbagai macam pola, yaitu :
a. Paragraf definisi. Tujuan dari pola
ini ialah untuk mendefinisikan sesuatu, misalnya :
Farmakokimia dapat didefinisikan sebagai bidang ilmu
antar disiplin, yang merupakan gabungan ilmu bidang kimia, yang saling
bekerjasama; dan secara khusus menggunakan disiplin seperti kimia organic,
biokimia, kimia analisis, kimia fisika, farmasi, farmakologi, fisiologi,
mikrobiologi, patobiologi, dan toksikologi. Melihat kerja sama antardisiplin
ini, dapat dikatakan bahwa famakokimia meliputi riset mengenai semua aspek
senyawa biologis aktif mulai dari tahap pembuatan, melalui elusidasi struktur,
analisis, dan uji biologis, sampai pada tahap interpretasi aksinya pada tingkat
molekul. (Mid Career Training in Pharmacochemistry)
b.
Paragraf contoh. Seorang penulis akan memberi contoh untuk mengilustrasikan atau
menopang ide pokok (pola ini dinamakan
juga pola ilustrasi), misalnya :
Simbion sel alga diklasifikasikan dalam
kelompok berdasarkan warnanya. Zooxanthellae merupakan sel-sel yang berwarna
coklat, kuning emas atau kuning kecoklatan dan Zoochlorellae adalah sel yang
berwarna hijau. Kelompok ketiga adalah kelompok-kelompok kecil yang berwarna
biru atau hijau kebiruan, dan disebut Cynellae. Pengelompokan berdasarkan warna
ini tidak membedakan spesies-spesies alga yang sebenarnya terlibat. (Nybakken
J.W. : Biologi Laut)
c.
Paragraf perbandingan dan kontras. Dalam pola paragraf ini penulis mencoba untuk
mengembangkan ide pokok melalui perbandingan atau kontras antara dua hal.
Misalnya :
Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat
penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang
terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat
yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang
diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia seperti temulawak, temu giring,
jahe, kencur dan bahan sejenis lainnya dihindari perajangan yang terlalu tipis
untuk mencegah berkurangnya kadar minyak atsiri. (Dit.Jen. P.O.M DepKes : Cara
Pembuatan Simplisia)
d. Paragraf deskripsi.
Penulis dalam pola paragraph ini memberikan sesuatu yang dapat berupa deskripsi
fisik sesuatu, atau tempat, atau proses bagaimana sesuatu dilakukan. Misalnya :
Rimpang jaringau (Acorus calamus L.)
merupakan potongan-potongan berbentuk silindrik agak bengkok, liat, tidak
bercabang. Bau khas aromatik, ras pahit dan agak pedas. Pada bagian atas
terdapat parut daun berbentuk segitiga yang terentang melintang, pada bagian
bawa terdapat parut-parut akar berbentuk bundar, menonjol dan letaknya tidak
beraturan dalam baris yang berkelok-kelok; permukaan rimpang berkerut memanjang
dan berwarna coklat kekuningan hingga coklat. (Dit.Jen. P.O.M DepKes : Cara
Pembuatan Simplisia)
e. Paragraf analisis. Dalam pola ini
sebuah topik dianalisis, misalnya :
Latar belakang pendidikan seorang Farmasis
yang bersifat multidisiplin, pelatihan manajemen, terlatih dalam ketelitian dan
kontrol, menyebabkannya memenuhi criteria untuk bekerja di industri farmasi.
Pada bagian mana pun ia ditempatkan dalam organisasi perusahaan, pengetahuannya
mengenai ilmu-ilmu kesehatan akan menjamin keamanan manusia yang akan
menggunakan produk perusahaannya. Dengan latar belakang pengetahuan berbagai
disiplin ilmu ia dapat bekerja sangat efektif dalam organisasi yang meliputi
berbagai macam keahlian. Secara singkat dapat dikatakan bahwa seorang ahli
farmasi mempunyai kemampuan untuk memahami semua aspek yang kompleks dari
industri yang berkaian dengan kesehatan, dan dapat mengisi semua peran yang
terdapat di dalamnya. (Remington’s Pharmaceutical Sciences)
f. Paragraf urutan kejadian (kronologis).
Dalam pola paragraf ini si penulis memberikan urutan kejadian secara
kronologis. Untuk mudah diingat pembaca, biasanya diberikan kata-kata kunci Pertama,
Kedua, Ketiga dan sebagainya. Paragraph ini sering ditemukan pada prosedur
pengerjaan di laboratorium yang urutannya harus sesuai. Sebagai berikut :
Pilih salah satu senyawa monohidroksi untuk analisis, misalnya
etanol, isopropanol, n-butanol, fenol dan seterusnya. Ditimbang tepat 4-6 mcg
senyawa itu lalu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 125 cc yang bertutup
gelas. Di pipet tepat 5,0 ml pereaksi asetat anhidrat ke dalam labu, lalu labu
dikocok untuk melarutkan sample. Biarkan larutan selama 5 menit agar reaksi
asetilasi itu sempurna. (Connors K.A. : Pharmaceutical Analysis)
Membedakan Fakta dan Opini
Fakta
biasanya didefinisikan sebagai suatu kebenaran, yaitu sesuatu yang dapat diuji
dengan mengadakan eksperimen, observasi atau penelitian, misalnya :
Antibiotika dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
Ini suatu fakta
yang sudah dibuktikan. Akan tetapi kebenaran dari suatu fakta di waktu sekarang
mungkin tidak lagi merupakan kebenaran di waktu yang akan dating dengan
kemajuan teknologi yang dapat menyanggah kebenarannya. Opini lebih mudah ditentukan karena berupa
pemikiran, gagasan, keyakinan atau pendapat seseorang, misalnya :
Pembuatan emulsi minyak
ikan lebih baik menggunakan
gomarab.
II.2 Membaca Sidik
Membaca sidik (Inspectional Reading), dibagi menjadi (1) pra-membaca
dan (2) membaca sepintas
1)
Pra-membaca (skimming). Membaca sidik merupakang skimming secara sistematis; tujuannya
ialah menyidik permukaan buku, mempelajari segala sesuatu yang dapat
ditampilkan hanya oleh permukaan buku tersebut. Pada tahap ini dapat diajukan
pertanyaan: Tentang apa buku itu; bagaimana susuan buku itu; apa bagian-bagian
buku itu; apakah merupakan buku ilmu pengetahuan ? Jadi skimming mencakup
membaca sekilas dan cepat untuk memperoleh kesan keseluruhan secara umum dari
suatu buku atau artikel.
2)
Membaca sepintas (scanning), diartikan sebagai kemampuan untuk menemukan informasi khusus atau
fakta secepat mungkin. Pada umumnya telah diketahui sebelumnya apa yang akan
dicari, misalnya mencari acara jam 20.00 pada program acara TVRI; menelusuri
Bab suatu buku untuk mencari apa yang dibutuhkan. Scanning ini juga memerlukan
latihan agar waktu yang digunakan untuk membaca itu seefektif mungkin.
Kadang-kadang
digunakan juga istilah penelusuran (surveying), yaitu apabila pembaca ingin
menemukan struktur atau topografi suatu teks atau artikel.
II.3 Membaca Analitis
Dalam membaca
analitis atau membaca kritis digunakan 4 kaidah :
1.
Perlu diketahui jenis buku yang
akan dibaca secepat mungkin, sebaiknya sebelum mulai membaca. Cara menerangkan
dan penyajian dalam suatu buku ilmu pengetahuan berbeda dengan sebuah novel,
fiksi drama atau karya tulis lainnya. Langkah-langkah yang ditempuh ialah
melalu membaca sidik, yaitu membaca judul buku, subjudul atau bab, daftar isi,
membaca sekilas kata pengantar atau prakata dan penjurua (indeks). Semuanya ini
merupakan petunjuk dari penulis untuk memberi arah kepada pembaca. Informasi
apa yang diperoleh pembaca dari judul ? Biasanya terjadi kekeliruan dalam
menginterpretasi judul artikel atau buku. Menginterpretasi judul artikel dan
prakata dari suatu buku seringkali dianggap tidak penting oleh pembaca, padahal
pengarahan ini merupakan inti bagaimana membaca selanjutnya.
2.
Nyatakan isi seluruh buku dalam
satu kalimat atau paragraf pendek yang terdiri dari beberapa kalimat. Ini
berarti bahwa pembaca harus dapat mengetahui isi buku dalam waktu sesingkat
mungkin. Hal ini dapat diketahui dari pokok bahasan buku itu atau ide pokok isi
buku tersebut.
3.
Mengidentifikasi bagian-bagian
penting buku itu dan bagaimana bagian-bagian buku itu tersusun menjadi satu
kesatuan. Dengan perkataan lain, perlu dibuat garis besar isi buku itu, dengan
memperhatikan pembagian bab, subbab dan seterusnya.
4.
Memahami permasalahan yang
dikemukakan penulis. Dalam hal ini perlu diketahui tujuan dan maksud penulis
menuangkan karyanya, pesan apa yang ingin disampaikannya serta kemungkinan
adanya elon (bias) dari pihak penulis. Di samping itu berdasarkan hasil
bacaannya, pembaca harus dapat menentukan apakah bersetuju atau tidak dengan
penulis, apakah argumentasi penulis itu masuk akal atau tidak.
II.4 Membaca Sintopis
(Syntoptical Reading)
Membaca Sintopis
terutama diperlukan apabila pembaca ingin mencari informasi tertentu
sebanyak-banyaknya dari berbagai buku teks atau jurnal, dalam rangka menyusun
suatu karya ilmiah atau penelitian. Dalam hal ini informasi atau pokok bahasan
hendaknya dicari dari buku atau artikel yang penad (relevan) saja. Peringkat
membaca suda dibicarakan itu bersifat akumulatif, artinya peringkat yang lebih
tinggi mencakup pula peringkat membaca yang rendah. Misalnya membaca sepintas
akan membantu Anda dalam membaca analitis dan membaca analitis akan membantu
dalam membaca sintopis.
Membaca sintopis
terdiri dari 5 langkah :
1.
Mencari bagian-bagian yang
penad. Diasumsikan bahwa pembaca sudah menguasai
membaca analitis, sehingga dapat membaca setiap buku secara menyeluruh dan
dalam (deep study reading). Berdasarkan keterampilan menyidik (membaca sidik),
pembaca sudah dapat memilih bagian dari dua buku atau lebih yang sepadan atau
kontras.
2.
Bawalah istilah dan paham
penulis ke pemahaman Anda. Dalam menafsirkan bacaan
(kaidah kedua membaca analitis), Anda harus dapat mengerti penulis dan memahami
istilah serta kunci yang digunakan penulis. Sekarang Anda alihkan maksud
penulis ke pemahaman Anda sendiri. Dengan kata lain, membaca sintopis pada
tahap ini ialah menerjemahkan sesuatu ke pemahaman Anda.
3.
Memperjelas permasalahan. Gagasan yang diajukan penulis mengenai suatu permasalahan dan
pembahasannya oleh berbagai penulis harus diperjelas sendiri agar permasalahan
itu mempunyai satu bahasa.
4.
Memperjelas pokok
permasalahan. Penjelasan mengenai suatu pokok
permasalahan oleh satu penulis dapat senada, dapat juga bertentangan dengan
penulis lain. Di sini Anda perlu memilah (to select) penjelasan mana yang
senada dan mana yang tidak, agar pokok permasalahan semakin diperjelas.
5.
Menganalisis pembahasan. Pembahasan permasalahan oleh beberapa penulis yang mengemukakan
berbagai pendapat hendaknya dianalisis dengan mencari alasan yang dikemukakan
masing-masing penulis tersebut. Apakah alasan yang dipakai itu masuk akal dan
apakah penulis itu memberikan pemecahan terhadap permasalahan yang dihadapi,
dan bila tidak apakah alasannya. Dengan demikian dapat pula dinilai buku mana
yang bermutu dan yang tidak.
Semua pembicaraan di atas merupakan
keterampilan yang dapat dilatih.
II. 5 Mengembangkan
Strategi Membaca (Metode SQ3R)
Seringkali
kita dihadapkan pada suatu bacaan yang sulit dimengerti. Menangani hal demikian
dikatakan bahwa sebaiknya membaca terus tanpa berhenti. Mekipun ada bagian yang
sukar, perhatikan saja bagian yang mudah dimengerti, konsentrasikan pada bagian
yang mudah dan jangan memperhatikan catatan kaki, komentar, dan referensi yang
sukar. Nanti pada bacaan yang kedua kalinya akan menjadi lebih mudah karena
Anda telah membaca seluruh buku sekali. Mungkin pada pembacaan pertama harus
dimengerti 50% isi buku, yang akan meningkat pada pembacaan ulang.
Terdapat suatu
cara untuk mengembangkan strategi membaca yang disebut SQ3R, berupa singkatan
dari S(urvey), Q(uestion), R(ead), R(ecite), dan R(eview). Cara ini akan sangat
bermanfaat bagi mereka yang banyak membaca buku teks. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa survei cepat mengenai topik dan subtopik dapat memberi
orientasi yang mempercepat membaca dan menolong daya ingatan. Juga dibuktikan
bahwa dengan mengajukan pertanyaan sebelum membaca akan menolong seseorang
membaca. Penelitian lain menyatakan bahwa cepat melupakan apa yang telah dibaca
dapat dikurangi dengan memaksa diri untuk mengatakan kembali dengan keras apa
yang telah dibaca. Memberi garis besar dan menghubungkan materi yang telah
dibaca dengan apa yang telah diketahui sebelumnya, dihubungkan dengan hal-hal
yang menarik, dan mengulangi kembali pada akhir pembacaan, semuanya dapat
sangat menolong pembaca untuk mengerti wacana yang telah dibaca.
Langkah-langkah SQ3R :
1.
Survei; dengan cepat bacalah judul dan subjudul dalam bab untuk
mencari informasi penting yang akan
dikembangkan. Bacalah juga ringkasan pada akhir bab. Survei ini tidak boleh
lebih dari 1 menit. Orientasi ini akan banyak membantu kemudian.
2.
Pertanyaan.
Sekarang ubahlah judul ke kalimat bertanya atau buatlah suatu pertanyaan
tentangnya. Ini akan menimbulkan ingin tahu dan karena itu menimbulkan
pengertian yang lebih baik. Mengubah judul menjadi ertanyaan dapat dilakukan
dengan cepat, tetapi memerlukan latihan yang tidak mudah.
3.
Membaca. Bacalah untuk menjawab
pertanyaan tadi. Ini merupakan pekerjaan yang memerlukan aktivitas tinggi.
4.
Mengulang. Setelah pembaca pertama tadi, cobalah untuk mengungkapkan kembali
dengan keras apa yang telah dibaca. Sebaiknya tulislah kata-kata kunci atau
frasa dalam garis besar. Urutan 1-2-3-4 dilakukan dengan bab lainnya, sampai
seluruh buku atau pelajaran dibaca habis.
5.
Mengulas. Jika selesai membaca
seluruh isi buku dengan cara seperti di atas, periksalah catatan Anda, dan
periksalah apa yang Anda ingat dari bacaan di atas.
Bila dilaksanakan dengan baik, cara atau metode SQ3R akan membantu
seseorang membaca lebih cepat, memilih topik yang penting, dan mengingatnya
dengan tepat. Metode ini juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan daya piker
dan daya tangkap Anda.
II. 6 PENUTUP
Membaca dan
membaca mempunyai perbedaan dalam hal efektif tidaknya apa yang dibaca. Teknik
membaca efektif perlu dipelajari dan dilatih agar dapat diperoleh informasi
dari media cetak itu sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin. Para
ilmuwan dan calon ilmuwan perlu memperoleh informasi yang mutakhir dalam rangka
pengembangan ilmu dan profesinya, sehingga perlu mengembangkan teknik membaca yang
efektif.
III. TEKNIK MENERJEMAHKAN [5]
Pengetahuan
tentang teori penerjemahan tidak dapat disangkal amat diperlukan oleh seorang
penerjemah. Mahasiswa yang perlu banyak membaca buku teks berbahasa asing,
khususnya bahasa Inggris, perlu memperoleh sedikit pengetahuan mengenai teori
maupun teknik ataupun kiat-kiat menerjemahkan dari bahasa asing sebagai sumber
ke bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran. Dengan menerjemahkan teks secara
tepat dan cepat akan diperoleh ilmu pengetahuan yang dibutuhkannya
sebanyak-banyaknya tanpa kekeliruan.
Menurut The
Merriam-Webster Dictionary, 1984, penerjemahan ialah pengubahan suatu
bentuk ke bentuk yang lain, atau pengubahan suatu bahasa ke bahasa yang lain,
dan sebaliknya. Menurut Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice
of Translation, 1969, penerjemahan ialah pengungkapan kembali suatu amanat
atau pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Bahasan
selanjutnya meliputi jenis-jenis terjemahan, tujuannya, masalah dalam penerjemahan
serta contoh-contoh penerjemahan sebagai latihan. Contoh tersebut
dititikberatkan pada penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, mengingat sebagian besar buku teks dan buku wajib di perguruan
tinggi menggunakan bahasa Inggris. Diharapkan pembahasan ini akan dapat
membantu mahasiswa yang kurang menguasai teks berbahasa Inggris.
III.1 Jenis-Jenis Terjemahan
Jenis-jenis terjemahan
dapat dikelompokkan dalam
berbagai macam, misalnya :
1.
Terjemahan kata demi kata (word
for word translation)
2.
Terjemahan harfiah (literal
translation)
3.
Terjemahan bebas (free
translation)
Terjemahan kata demi kata .
Terjemahan
kata demi kata ialah mengalihkan atau mengungkapkan kembali suatu amanat dari
bahasa sumber (bsu) ke bahasa sasaran (bsa), dengan cara mengalihkan setiap
unsure leksikal (yang berupa kata) bsu ke unsure leksikal bsa, misanya : Saving
for a rainy day
diartikan : Menabung untuk suatu
hari hujan
Di sini tidak diperhatikan rangkaian kata dalam bsu yang berbentuk
idiom, sehingga pengertian dalam bsa tidaklah tepat.
Terjemahan harfiah,
Terjemahan
harifiah merupakan peralihan antara jenis terjemahan kata demi kata dengan
jenis terjemahan bebas. Di sini juga diadakan penyesuaian bentuk yang lebih
sesuai dalam bsa, misalnya dengan pengurangan atau penambahan kata. Contoh di
atas menjadi :
Menabung untuk hari hujan.
Terjemahan bebas
Di sini
penerjemah tidak lagi terikat pada bentuk bsu, dan mengadakan penyesuaian agar
bentuk bsa merupakan ujaran yang wajar dan sesuai dengan aturan tata bahasa
bsa. Contoh di atas diterjemahkan menjadi :
Menabung untuk masa suram
Dalam suatu terjemahan bebas, suatu kalimat bsu dapat diterjemahkan
menjadi frase dalam bsa, atau frase menjadi satu kata dalam bsa. Di sini sudah
harus diperhatikan apakah dalam ujaran bsu itu merupakan idiom, yang mungkin
ada padanannya berupa idiom dalam bsa. Jenis terjemahan lain mengutamakan
bentuk kalimat
III.2 Terjemahan yang Menekankan Keterikatan
Bentuk.
Terjemahan
ini disesuaikan dengan keseluruhan amanat bsu, atau amanat yang terkandung
dalam bentuk aslinya (Padanan bentuk). Di sini sedapat mungkin dipertahankan
tata bahasa, kalimat, anak kalimat serta pemakaian kata-kata secara ajeg
(konsisten) menurut batasan bsu. Terjemahan demikian itu hanya dapat diterapkan
pada bahasa serumpun, karena ada kemiripan kosa kata, tata bahasa, dan latar
belakang kebudayaan bsu dan bsa.
Terjemahan yang bentuk bahasannya tidak terikat pada
naskah sumbernya, terutama bertujuan untuk mengungkapkan ide atau tempat yang
terkandung alam bsu.
Terjemahan
jenis ini paling mudah dipahami pembacanya, karena di dalamnya telah terjalin
tafsiran dari penerjemah sendiri. Terjemahan jenis ini memungkinkan adanya
perubahan, misalnya nama diri, benda nyata maupun tempat terjadinya peristiwa
dalam ceritera naskah aslinya dalam bsu, yang disesuaikan dengan latar belakang
budaya dan adat istiadat yang terdapat dalam lingkungan pemakai bsa.
Penerjemahan yang terlalu bebas dinamakan saduran.
Terjemahan yang
mengutamakan unsur padanan yang dinamis, makna, serta ekivalensi budaya antara
bsu dan bsa (padanan makna).
Terjemahan
jenis ini berlawanan dengan yang sebelumnya., sebab tidak berdasarkan pada
penerjemahan kata demi kata. Terjemahan ini dianggap paling baik, karena
mengutamakan makna tanpa harus mengorbankan bentuk kalimat, dan dapat
memberikan padanan kata dan ekivalensi budaya yang paling dekat.
Pembagian jenis terjemahan lain diutarakan oleh Mildred Laron, yang
lebih sederhana, dengan membagi jenis
terjemahan, yaitu :
1.
Penerjemah harfiah
2.
Penerjemah idiomatis
Pada hakekatnya penerjemahan harfiah ialah penerjemahan berdasarkan
bentuk teks bsu, sedangkan penerjemahan idiomatis ialah penerjemahan
berdasarkan makna, dan berusaha menyampaikan teks bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran yang jajar. Penerjemahan baris demi baris (interliniear translation)
merupakan penerjemahan harfiah mutlak. Penerjemahan harfiah tampak tidak
mempunyai makna dan hampir tidak mempunyai nilai komunikasi yang bermakna.
Penerjemahan yang disesuaikan, kadang-kadang berasal dari
penerjamahan harfiah, yaitu mengubah urutan dan gramatika bsu supaya bsa-nya
menjadi jelas, tetapi unsur leksikal (kata-kata) diterjemahkan secara harfiah.
Kadang-kadang unsur leksikal hanya diubah untuk menghindari makna yang kosong,
walaupun hasilnya belum wajar. Penerjemahan harfiah yang disesuaikan ini
mengubah bentuk gramatika jika konstruksinya mengaharuskannya, tetapi jika
penerjemah mempunyai pilihan, ia akan mengikuti bentuk teks bsu walaupun bentuk
yang berbeda mungkin lebih wajar dalam bsa.
III. 3 Tujuan Penerjemahan
Tujuan
utama suatu penerjemahan sudah jela digambarkan oleh definisi di atas, yaitu
mencari padanan makna, atau pengalihan amanat atau pesan dari suatu bahasa
sumber ke bahasa sasaran. Amanat itu disampaikan melalui kata-kata yang
terangkai menurut pola yang sesuai, dan membentuk suatu ujaran bermakna dalam
bahasa sasaran.
Seorang
penerjemah yang berusaha mencari padanan yang merupakan ungkapan yang wajar
dalam bsa dapat pula dikatakan mencari padanan yang dinamis. Padanan hendaknya
merupakan ungkapan yang wajar dalam bahasa sasaran dan kesan yang diperoleh
dari ungkapan itu hendaknya sama dengan kesan yang diperoleh dari ungkapan
bahasa sumber.
a.
Masalah Dalam Penerjemahan
Faktor penting
yang perlu diperhatikan oleh penerjemah seperti yang diungkapkan oleh Eugene
Nida terdiri atas 5 faktor :
1.
Lingkungan hidup (Ecology)
2.
Kebudayaan materi (Material
Culture)
3.
Kebuyaan sosial (Social
Culture)
4.
Kebudayaan agama (Religious
Culture)
5.
Kebudayaan bahasa (Linguistic
Culture)
Faktor Lingkungan Hidup
Adanya
keragaman lingkungan hidup dapat mengakibatkan terjadinya kesukaran dalam
mencari padanan istilah untuk bsa, yang lingkungan kehidupan masyarakatnya
berbeda dengan masyarakat pemakai bsu. Sebagai contoh, di Eropa mengalami 4
musim dalam setahun, sedangkan di daerah tropik hanya mengalami musim hujan dan
musim panas. Keragaman lingkungan hidup ini berkaitan dengan keberadaan
tumbuhan, hewan, alat yang menimbulkan keragaman ”kata” atau ”istilah” atau ”ungkapan”,
yang kadang-kadang sulit dicarikan padanannya dalam bsa yang jauh berbeda
ekologinya. Contoh :
skating - kegiatan
meluncur di atas es
sleigh - kereta
khusus untuk meluncur
Faktor Kebudayaan Materi
Kebudayaan
materi lebih kompleks daripada kebudayaan ekologi. Benda atau materi yang
digunakan sesuatu bangsa berbeda dengan yang digunakan bangsa lain. Misalnya,
dalam suatu teks diceritakan seseorang sedang ”makan pisang” (bsu), yang akan
dicarikan padanan katanya dalam bsa yang tidak pernah mengenal pisang, sehingga
”makan pisang” dapat membingungkan pemakai bsa. Jalan keluarnya ialah
menerjemahkannya menjadi : Seseorang sedang makan buah yang disebut ”pisang”.
Dengan demikian jelas bagi pemakai bsa bahwa dalam ceriteranya tersebut orang
itu sedang makan sejenis buah, bukan penganan lain. Contoh lain ialah kata
”rice” dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti padi,
beras atau nasi.
Faktor Kebudayaan Sosial
Dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Eropa ungkapan ”selamat malam” dapat diterjemahkan dengan good
evening apabila bertemu seseorang dan good night apabila hendak
masuk tidur. Dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda dikenal beberapa tingkatan
penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan siapa seseorang berkomunikasi, apakah
dengan atasannya, orang tua, atau seseorang yang tingkatannya lebih rendah. Hal
ini tidak dikenal dalam bahasa Eropa pada umumnya, kecuali di kalangan istana
raja.
Faktor Kebudayaan Agama
Dalam lingkungan
suatu agama digunakan istilah-istilah yang mungkin sulit malahan tidak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Contoh dari bahasa Melayu : Ibu menyuruh
Jabar mengantar saya ke makam Habib Noh untuk meminta keselamatan dari
tempat keramat itu. Dalam bahasa Inggris keselamatan dapat diartikan menjadi
”safety”, yang sebenarnya lebih tepat diterjemahkan menjadi ”blessing”
(berkat).
Faktor Kebudayaan Bahasa
Setiap
bahasa mempunyai aturan, baik aturan gramatikal (tata bahasa) maupun leksikal
(kata).
Terdapat
4 ciri bahasa yang berpengaruh langsung terhadap prinsip-prinsip penerjemahan.
1.
Komponen makna dikemas dalam
unsur leksikal, yang pengemasannya dalam suatu bahasa berbeda dengan bahasa
lain, misalnya, komponen makna ”jamak”, yaitu tambahan s sebagai akhiran nomina
atau verba dalam bahasa Inggris, yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia.
Seringkali suatu kata dalam bsu diterjemahkan dalam beberapa kata bsa.
2.
Komponen makna yang sama, mungkin muncul dalam
beberapa unsur (bentuk) leksikal struktur lahir (generik). Dalam bahasa Inggris
dijumpai kata ”sheep” (domba), ”ram” (domba jantan) dan ”ewe”
(domba betina), yang semuanya mencakup makna domba. Contoh lain ialah ”chicken”
(anak ayam), ”hen” (ayam betina), dan ”rooster” (ayam jantan).
3.
Sebuah bentuk kata dapat digunakan untuk
mewakili beberapa alternatif makna, misalnya
kata ”to go” mempunyai makna
primer apabila diucapkan dalam bentuk kata dasarnya,
akan tetapi kalau
disertai kata lain, dapat mempunyai makna sekunder.
Contoh : I go to
school (makna primer : pergi)
The apples go bad (menjadi busuk)
Go for it ! (raihlah)
It is no
go (tidak
dapat terjadi)
4.
Suatu makna dapat diungkapkan.dalam berbagai bentuk. Bentuk bahasa penting sekali dalam
mempelajari perbedaan bahasa. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal hukum D-M
(diterangkan-menerangkan), dalam bahasa Inggris hukum ini terbalik menjadi M-D.
Contoh : ”The young thrips are yeelowish, very
small, slender, active creature”
= Thrips muda adalah makhluk aktif, ramping, sangat kecil yang
berwarna kekuningan.
Contoh lain ialah perubahan bentuk yang
maknanya sama :
(Bahasa Indonesia) : 1. anak
nakal itu
2. anak yang nakal itu
atau perubahan bentuk aktif ke bentuk pasif
:
1.
Mereka mendorong mobil itu
2.
Mobil itu didorong oleh mereka
Contoh perubahan bentuk dengan makna sama dalam bahasa Inggris :
1.
The dog is brown
2.
The dog, which is brown
3.
The brown dog
Bahasa merupakan suatu perangkat hubungan yang kompleks antara makna
dan bentuk, sehingga setiap bahasa mempunyai bentuk yang khas yang mewakili
maknanya. Jadi makna yang sama mungkin harus diterjemahkan ke dalam bahasa lain
dalam bentuk yang sangat berbeda. Menerjemahkan bentuk suatu bahasa secara
harfiah dapat mengubah maknanya, atau paling tidak akan menghasilkan bentuk
yang tidak wajar dalam bsa. Oleh karena itu dalam penerjemahan, makna haruslah
diutamakan daripada bentuk.
b.
Persiapan Proyek Penerjemahan
Apabila
akan dimulai suatu proyek penerjemahan, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar dapat menghasilkan suatu terjemahan yang baik. Hal-hal
tersebut menyangkut Teks, Sasaran, Tim, dan Sarana seperti yang diutarakan
Mildred L. Larsen (3).
1.
Teks, merujuk ke naskah sumber yang akan diterjemahkan, apakah bermanfaat
bagi pembacanya, siapa nanti yang akan membutuhkannya serta alasan-alasan lain.
Alasan yang umum ialah untuk menyampaikan isi informasi teks sumber kepada
mereka yang bukan penutur bahasa sumber tadi. Jadi apa pun alasannya, pilihan
teks bahasa sumber itu erat hubungannya dengan khalayak bahasa sasaran.
2.
Sasaran, merujuk ke khalayak, untuk siapa terjemahan itu dibuat. Apakah
terjemahan itu akan digunakan oleh mahasiswa, insan bisnis, atau untuk bacaan
umum sebagai hiburan. Hal ini penting, karena terjemahan akan dipengaruhi oleh
dialek, tingkat pendidikan pemakai bsa, serta umur mereka. Juga populasi
pembacanya nanti, apakah luas atau hanya sekelompok golongan tertentu saja,
akan menentukan strategi penerjemahan.
3.
Tim, merujuk pada orang yang akan terlibat dalam proyek terjemahan
tersebut. Ada orang yang menguasai baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran,
atau menguasai hal-hal tertentu saja, misalnya gramatika atau padanan kata
saja. Suatu tim penerjemah dapat terdiri dari Ketua Tim, co-penerjemah (rekan penerjemah),
seorang penasehat atau konsultan yang bekerja bersama-sama. Dalam tim tersebut
juga dapat terlihat penerbit atau penyalur. Salah satu anggota tim harus dapat
membaca, menulis, dan berbicara dengan bahasa sumber, dapat menentukan makna
teks bsu serta kebudayaan bsu. Di samping itu penerjemah harus telah memahami
kebudayaan dan bsa dengan baik.Penerjemah sendiri dapat melakukan pengujian
hasil terjemahannya, tetapi alangkah baiknya apabila orang lain yang
melakukannya agar sifat objektif dapat dicapai. Seorang pemeriksa kadang-kadang
juga diperlukan, yang bertanggung jawab terhadap seluruh terjemahan, baik yang
menyangkut struktur gramatika maupun gaya bahasanya, serta dapat memberi
komentar kepada tim untuk perbaikan.
4.
Sarana, merujuk ke peralatan, tempat kerja, biaya dan materi yang
berhubungan dengan penerjemahan.
Peralatan
meliputi mesin ketik atau komputer, foto kopi, kertas, karbon, buku referensi,
kamus serta buku gramatika. Tidak kurang pentingnya ialah soal tempat kerja,
haruslah tempat yang tenang sehingga memungkinkan bekerja dengan baik. Tidak
kalah pula pentingnya dari mana sumber dana itu tersedia untuk membiayai proyek
penerjemahan itu.
c.
Langkah-Langkah Proses Penerjemahan
Apabila
dikehendaki hasil penerjemahan yang baik dan tanpa kesalahan, maka urutan kerja
berikut ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi penerjemah atau tim penerjemah.
Dalam praktek urutan tersebut tidak selalu mutlak, karena penerjemah dapat
bekerja bolak balik, kadang-kadang analisis teks sumber, ke teks sasaran dan sebaliknya.
1.
Persiapan. Ada dua macam persiapan, yaitu persiapan sebelum mulai kerja dan
sewaktu penerjemahan dimulai. Persiapan jenis pertama mencakup latihan
penulisan dan beberapa kajian ilmu bahasa. Penerjemah sebaiknya sudah pernah
menulis semacam karya tulis dalam bsa. Persiapan jenis kedua ialah membaca
keseluruhan teks bsu beberapa kali, mencatat bagian yang tidak jelas, memahami
makna pesan bsu serta informasi apa yang akan dialihkan ke bsa. Di samping itu,
penerjemah harus mempelajari latar belakang kebudayaan khalayak bsu, sejarah
penulisan, serta waktu penulisannya. Selama membaca teks bsu, harus dilakukan
pencatatan kata-kata penting, istilah, kata yang ambigu (ambigous) atau tidak
jelas artinya.
2.
Analisis, ialah mempelajari kata-kata kunci (hasil pencatatan pertama) untuk
mendapatkan padanan kata bsa. Proses analisis yang sebenarnya ialah dimulai
dari keseluruhan teks, lalu beralih ke satuan yang lebih kecil itu. Analisis
teks sumber dan pengalihannya ke bsa merupakan proses yang dinamis dan dapat bergerak
dari satuan yang besar ke satuan yang lebih kecil, atau sebaliknya.
3.
Pengalihan, ialah proses pemindahan dai analisis struktur semantis ke konsep
awal terjemahan. Sesudah analisis, penerjemah mengalihkan makna ke dalam bsa.
Dalam proses ini penerjemah mencari padanan leksikal yang baik untuk konsep
bahasa dan kebudayaan sasaran. Tanpa studi prinsip penerjemahan, proses
pengalihan dapat menjadi sulit dan hasilnya tidak memuaskan.
4.
Konsep awal. Hal ini dapat bergantung dengan hasil analisis dan pengalihan.
Penerjemah harus mulai konsep awal dengan satu paragraf, dan apabila sudah
merasa benar akan maknanya maka dapat menyusun paragraf dengan wajar tanpa
melihat teks bsu. Apabila konsep menulis paragraf sudah benar, penerjemah dapat
memeriksa kembali ketepatannya. Sewaktu membuat konsep awal, penerjemah harus
ingat akan khalayak pembacanya, tingkat pendidikan mereka dan sebagainya.
Apabila konsep awal sudah dianggap baik, maka akan lebih mudah untuk proses
selanjutnya karena tidak banyak melakukan perubahan konsep awal tadi.
5.
Pengerjaan kembali konsep
awal, mencakup pemeriksaan ketepatan dan kewajaran.
Proses ini tidak boleh dilakukan sebelum bagian yang lebih besar selesai
dikerjakan. Dalam membaca seluruh naskah, harus dilakukan :
- pencarian bentuk gramatikal
yang salah
- mengubah bagian yang
berbelit-belit
- mengubah bentuk urutan
yang salah atau janggal
- mencari bagian yang
penghubungnya salah
- memperbaiki makna yang
kedengarannya asing
- melihat gaya bahasanya,
bila perlu diadakan modifikasi.
6.
Pengujian terjemahan, meliputi aspek alasan pengujian, penguji, cara pengujian dan
penggunaan hasil pengujian. Aspek alasan pengujian ialah untuk memastikan
ketepatan, kejelasan, dan kewajaran terjemahan. Aspek penguji ialah dengan
anggapan bahwa terjemahan akan lebih baik bila melibatkan beberapa orang
penguji. Sedangkan cara penguji meliputi pembahasan tentang :
a.
perbandingan dengan teks sumber
b.
terjemahan balik ke bahasa
sumber
c.
pemeriksaan pemahaman
d.
pengujian kewajaran dan
keterbatasan
e.
pengujian keajegan
(consistency)
Aspek penggunaan hasil pengujian menjelaskan bahwa jika hasil
pengujian tidak dimasukkan ke dalam terjemahan, maka pengujian tersebut akan
sia-sia. Sesudah semua uji dilakukan, hasilnya harus dievaluasi dan perubahan
yang disarankan itu dapat diterima, ditolak, atau diganti.
7.
Penyempurnaan terjemahan, dilakukan apabila hasil penerjemahan masih mempunyai kekurangan
atau ada bagian yang dapat disempurnakan. Proses ini merupakan proses terakhir
sebelum persiapan naskah untuk pencetakan.
8.
Persiapan naskah untuk
penerbit. Proses ini merupakan proses penulisan
teks dalam bsa yang sudah mengalami penyempurnaan semua proses sebelumnya.
Dalam hal ini haruslah sudah jelas formatnya, banyaknya halaman, serta segala
sesuatu yang berkaitan dengan pencetakan.
III.4 Proses
Pengalihbahasaan
Pada tahap
proses pengalihan terdapat 3 tahapan penting yang perlu ditelaah lebih lanjut,
yaitu analisis, penalihan (transfer), dan penyusunan kembali (restructuring).
Analisis.
Analisis teks dapat dilakukan dalam 2 tahap, yaitu analisis
gramatikal dan analisis semantik.
1.
Analisis gramatikal.
Di sini penerjemah menentukan makna suatu teks bsu berdasarkan kata
atau segi leksikal, dan tata hubungan kata atau segi gramatikal dari teks
tersebut. Makna referensial (referensial meaning) ialah makna kata yang
melekat atau merujuk pada suatu benda tertentu yang dapat dibagi pula atas :
a.
Makna formal (formal meaning), yaitu makna yang dimiliki sebuah benda
dalam hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang sama.
b.
Makna konstekstual (contextual meaning), yaitu makna sebuah kata dalam
hubungannya dengan konteks dan bentuk situasi pada saat kata itu dipakai.
(Catatan : Dalam ragam bahasa ilmiah mungkin tidak ditemukan makna konstekstual
ini)
Contoh : 1. I saw a black sheep grazing
in the garden
2.
He is the black sheep in the family
Contoh dalam
bahasa Indonesia :
1. Ia berjalan-jalan di daerah lampu merah
2. Ia diseret ke meja hijau
Analisis ini perlu apabila pada teks terdapat ujaran yang dapat
menimbulkan makna ganda atau ambigu (ambigous), atau apabila suatu teks
menggunakan kalimat yang panjang, bersusun, majemuk. Untuk itu perlu dilihat
struktur batin (deep structure) ujaran tersebut. Di dalam struktur batin
tersebut akan ditemukan kalimat-kalimat inti (kernel sentences).
Contoh kalimat
ambigu :
1.
The shooting of the
hunters
2.
He hit the man with a
stick
Kalimat ini dapat
diuraikan menjadi kalimat-kalimat inti yang dapat berbeda artinya :
1.a They shoot the hunters
1.b The hunters shoot
2.a He hit the man. He hit with a stick
2.b He hit the man. The man had a stick
Contoh suatu kalimat panjang yang perlu diuraikan menjadi
kalimat-kalimat inti agar diperoleh makna yang sesuai dengan yang dimaksud :
If it were possible to evaluate and asses the manner in which all,
or at least the important, factors affect the efficacy of a drug and relate
these factors to the complex biosystem through which the drug must survive in
order to be efficacious, then, perhaps, one could intelligently construct a
molucule that would be effective in the treatment of a specific disease state.
Analisis kalimat panjang ini akan menghasilkan kalimat-kalimat inti
sebagai berikut :
1.
If it were possible to
evaluate and assess…
2.
(evaluate and assess)
The manner in which all, or at least the important factors
3.
(factors) which affect
the efficacy of drugs
4.
and relate these factors
to the complex biosystem
5.
(the biosystem) through
which the drug must survive in order to be efficacious
6.
then, perhaps, one could
intelligently construct a molecule
7.
(a molecule) which would
be effective
8.
(effective) in the
treatment of a specific desease state
Pengalibahasaan
1.
Sekiranya dimungkinkan untuk
mengevaluasi dan mengukur …
2.
(mengevaluasi dan mengukur)
cara terjadinya semua atau setidak-tidaknya faktor
yang penting
3.
(faktor) yang mempengaruh daya
kedayagunaan obat
4.
dan mengkaitkan faktor-faktor
ini dengan biosistem yang kompleks
5.
melalui (biosistem) itu obat
harus utuh agar tetap berdaya guna
6.
maka saat itulah seseorang
mungkin secara cerdik dapat mengkonstruksi suatu
molekul
7.
(molekul) yang akan efektif
8.
(efektif) pada pengobatan suatu
tahap penyakit tertentu
Hasil sintesis
kalimat :
Sekiranya dimungkinkan untuk
mengevaluasi dan mengukur bagaimana semuanya faktor atau setidak-tidaknya
faktor yang penting dapat mempengaruhi kedayagunaan obat, dan menghubungkan
faktor-faktor ini dengan biosistem yang
kompleks dimaa obat itu harus utuh agar tetap berdaya guna, maka saat itulah mungkin
seseorang secara cerdik dapat mengkonstruksi suatu molekul yang efektif pada
pengobatan setiap tahap sakit tertentu.
2. Analisis semantis.
Dalam analisis
semantis diteliti apakah kata-kata itu hanya mempunyai makna referensial atau
juga mengandung makna konotatif, misalnya perempuan dan wanita
mempunyai makna referensial yang sama, tetapi berbeda dalam makna konotatif.
Contoh lain : wash room, powder room, men’s room, lavatory.
3. Pengalihan (transfer)
Proses
penerjemahan yang sebenarnya terjadi pada tahap ini. Hasil analisis dialihkan dari
bsu ke bsa. Sebelum ini telah diuraikan
masalah kata dan ungkapan yang dipengaruhi oleh latar belakang ekologi dan
kultur. Di samping itu perlu pula diperhatikan masalah inti yang berkaitan
dengan penyesuaian semantis, yang dapat dikelompokkan dalam 8 unsur sebagai
berikut.
a)
Idiom (idioms), ialah ungkapan dua kata atau lebih yang tidak
dapat dimengerti secara harfiah, dan secara semantis berfungsi sebagai suatu
kesatuan
Contoh :
1.
He has a hard heart (seorang yang berani)
2.
The farmer called upon the president (mengunjungi)
b)
Makna kiasan (figurative meaning)
Contoh : He
is a fox (ia licik)
c)
Pergeseran komponen inti
makna (shifts in the central components of
meaning)
Contoh: Holy spirit menjadi white ghost,
yang sebenarnya berarti : roh suci
d)
Makna generik dan spesifik
Contoh :
generic meaning (makna umum) : horse (kuda)
specific meaning
(makna khusus) : stallion (jantan)
mare (betina)
pony (anak kuda)
Contoh lain : meat (makna
umum : daging)
mutton - daging domba
beef - daging sapi
pork - daging
babi
e)
Pleonasme (pleonastic expression)
Contoh : …
spoke by the mouth of yhe prophets
(diucapkan
oleh nabi)
f)
Rumusan khusus (special formulas)
Contoh : An
eye for an eye and a tooth for a tooth
(pembalasan yang setimpal)
g)
Pendistribusian kembali komponen makna (redistribution of semantic components)
Contoh : She
was caught having sexual relationship with a man not her
husband (She was caught in
adullery)
= Wanita
itu berzina
h)
Frase penuntun untuk memperjelas arti (provision for contextual conditioning)
Contoh : penggunaan
”classifier” :
Animals called camel
Ia makan buah yang disebut
pisang
4. Penyusunan kembali (restructuring)
Pada tahap penyusunan kembali atau tahap penyerasian, masih mungkin
diadakan perubahan yang telah dilakukan pada tahap pengalihan tadi, yakni dapat
berupa :
a.
reduksi, pemendekan bagian tes dengan menghilangkan kata-kata tertentu.
b.
suplementasi, penambahan kata-kata baru
c.
inversi, pengubahan urutan kata, ungkapan atau kalimat.
d.
ekuivalensi, pertukaran unsur-unsur, kata, ungkapan atau kalimat dalam bsu
dalam padanannya dalam bsa.
Selain
keempat unsur pokok itu, unsur lain yang dianggap perlu ialah unsur gaya
penulisan (writing style). Termasuk dalam gaya penulisan ialah ragam
penulisan, apakah suatu novel, prosa atau tulisan ilmiah yang masing-masing
mempunyai cara-cara penulisan tersendiri. Misalnya, suatu tulisan ilmiah harus
memenuhi syarat jelas, ringkas, lengkap, teliti, tersusun dan menyatu.
Dalam
melakukan penulisan kembali ini perlu diperhatikan beberapa hal :
a.
Bentuk alihan yang ditulis
kembali harus merupakan bentuk bahasan sasaran yang tepat, yaitu sesuai dengan
aturan tata bahasa bsa sehingga merupakan bentuk wajar dalam bsa.
b.
Untuk mendapatkan bentuk-bentuk
wajar dalam bsa, penerjemah harus membebaskan diri dari pengaruh struktur bsu.
Pergerseran
bentuk maupun pergeseran makna seringkali tidak dapat dihindari dalam suatu
terjemahan. Pergeseran makna terutama terjadi pada idiom, makna figuratif,
pergeseran komponen utama makna, makna generik, dan spesifik, ungkapan pleonastis
dan sebagainya.
Contoh
pergeseran bentuk :
But
his left hand has always been a traitor (kata benda)
Tetapi
tangan kirinya selalu berkhianat (kata kerja)
Contoh
pergeseran makna :
Here
comes my mother
Nah, itu ibu datang
III. 5 Penutup
Menerjemahkan
dari suatu bahasa sumber (bsu) ke suatu bahasa lain (bahasa sasaran = bsa)
memerlukan pengetahuan mendalam mengenai bsu dan bsa, dan pengetahuan yang
cukup mengenai bidang ilmu atau materi yang akan diterjemahkan. Di samping itu
seorang penulis buku ajar perlu pula mempelajari teori dan teknik menerjemahkan
agar dapat dihasilkan suatu terjemahan yang baik dan berguna, khalayak sasaran
buku ajar itu mungkin masyarakat ilmiah, rekan pengajar atau mahasiswa dan
orang lain yang memerlukan informasi dalam bidang itu.
Pemadanan berdasar makna lebih diutamakan daripada pemadanan
berdasar struktur kalimat. Apalagi dalam penulisan buku ajar yang bersifat
tulisan ilmiah, lebih ditekankan pada pembentukan istilah baru dan pengayaan
kosa kata.
IV TEKNIK
PRESENTASI
Suatu karya
ilmiah perlu dikomunikasikan, apakah secara tertulis melalui media cetak,
misalnya jurnal ilmiah, atau dipresentasikan secara oral di depan suatu forum
tertentu. Tidak banyak orang yang terbiasa berbicara di depan suatu forum atau
audiens, apalagi menyajikan suatu karya ilmiah di depan forum ilmiah.
Menghadapi hal ini biasanya membuat si penyaji gugup atau “stress” karena
kurang percaya diri, sama halnya menghadapi suatu ujian dan tidak belajar
dengan baik. Untuk menghilangkan keadaan
yang demikian itu, dan agar dapat membangkitkan percaya diri, maka diperlukan
persiapan-persiapan tertentu. Audiens yang dihadapi bukan saja terdiri atas 5
atau 10 orang, tetapi seringkali lebih dari 20 orang, yang perlu memperoleh
informasi secara jelas dari penyaji. Sebab itu si penyaji harus berbicara
dengan suara cukup keras dan jelas, dan menyajikan makalahnya dengan
menggunakan alat bantu. Alat bantu pandang-dengar (Audio-visual aids) yang akan
diberbicarakan di sini ialah “Overhead Projector dan “Overhead Transparencies”
(OHP/OHT). OHT adalah sarana visual berupa huruf, lambang, gambar, grafis
maupun gabungannya yang dibuat pada bahan tembus pandang atau transparan, untuk
diproyeksikan pada suatu layar atau dinding menggunakan alat OHP. Jadi sebenarnya
yang bersifat media di sini ialah OHT, sedangkan OHP ialah alat (hardware) yang
digunakan untuk media tersebut.
Masih banyak
terlihat kesalahan pada penggunaan media ini, sehingga tidak tercapai tujuan
penggunaannya. Fungsi media OHP/OHT yang terutama ialah sebagai alat bantu
untuk memperjelas apa yang dibicarakan; jadi apa gunanya OHT yang tulisannya
kecil sehingga tidak terbaca oleh audiens yang duduk di depan, apalagi yang
duduk di belakang ruangan.
Kelebihan dan Kekurangan Media OHT
Seperti halnya
jenis media proyeksi lain, OHT mempunyai kemampuan untuk membesarkan
tayangannya di layar atau dinding, tergantung kekuatan lensa dan sinar
proyeksinya. Oleh karena itu OHT sangat sesuai untuk kegiatan presentasi di
seminar, lokakarya, pelatihan atau perkuliahan yang melibatkan jumlah peserta
yang besar. Untuk dapat memanfaatkan media ini sebaik-baiknya, perlu dipelajari
berbagai karakteristiknya. Media OHT mempunyai kelebihan maupun kekurangan
sebagai berikut.
Kelebihan OHT
:
1.
Dapat menjangkau kelompok sasaran
yang cukup besar (efektif sampai 60 orang)
2.
Memungkinkan penyaji selalu
dapat bertatap muka dengan audiens.
3.
Tidak memerlukan ruangan yang
terlalu gelap (memungkinkan orang dapat membaca)
4.
Memberikan variasi teknik
penyajian yang menarik dan tidak membosankan
5.
Dapat menggunakan tampilan
warna
6.
Dapat dibuat salinan (fotokopi)
7.
Dapat dilakukan penyajian
secara sistematik.
8.
Dapat disimpan dan digunakan
berulang kali
9.
Tidak memerlukan keterampilan
khusus untuk menyajikannya
Kekurangan OHT :
1.
Tergantung pada sumber listrik
2.
Memerlukan alat OHP (Hardware)
Perancangan OHT
(Lihat Contoh pada lampiran)
Beberapa
pertimbangan yang perlu dilakukan dalam merancang OHT ialah sebagai berikut :
1)
Dapat dibaca oleh audiens yang
duduk di kursi paling belakang
-
Ukuran huruf minimal 6 mm
-
Semua tulisan berada dalam
bidang proyeksi
2)
Sederhana
-
dalam 1 lembar OHT, sebaiknya
hanya mengandung 8 – 10 baris
-
dalam 1 baris hanya terdapat 15
kata
-
setiap lembar OHT hanya
mengandung 1 topik
3)
Jelas, sistematik dan tidak
rumit (Lihat Contoh Lampiran : VISUALS)
4)
Tata Letak OHP (Lihat Contoh Lampiran)
-
diletakkan di sebelah kanan
penyaji, agar penyaji tetap berada di dalam bingkai pemandangan audiens, karena
penyaji akan menunjuk dengan tangan kanan.
-
jarak terdekat tempat duduk
adalah 3 m
-
jarak terjauh tempat duduk
ialah 10 m
-
jarak layar dari lantai ialah 1
m
-
ukuran layar 150 cm X 150 cm
5)
Teknik penyajian OHT (Lihat
Contoh Lampiran)
-
menunjuk pakai pointer,
bolpoint atau jari pada lembar OHT, jangan melihat atau menunjuk ke
layar (dilarang membelakangi audiens) karena si penyaji harus senantiasa
bertatap muka dengan audiens.
-
dapat menggunakan teknik “strip
tease”, yaitu menggunakan penutup dari selembar kertas, lalu penutup ini dibuka
sedikit demi sedikit sesuai dengan materi yang akan dibicarakan.
-
menggunakan teknuk “overlay”,
yaitu menggunakan beberapa OHT sekaligus, tetapi ditempatkan satu demi satu, di
atas yang lainnya.
-
menggunakan teknik “roll film”.
Sekarang jarang digunakan, transparansi berbentuk rol (gulungan), bukan
lembaran (sheet) yang penggunaannya
untuk ditulisi langsung (write on), sama seperti menggunakan papan tulis.
6.
Karakteristik pesan yang akan
disampaikan, yaitu relevan, jelas, mudah, sistematis, dan hanya mengandung 1
kata kunci
Sekali lagi
media OHP/OHT hanyalah alat bantu dalampenyajian makalah. Penguasaan materi
yang baik, ditambah alat bantu yang dikuasai pula dengan baik akan meningkatkan
rasa percaya diri, sehingga dapat mempresentasikan karya ilmiahnya dengan baik.
Daftar Pustaka
- Adjat Sakri (penyunting) (1985) “Ihwal Menerjemahkan”, Terbitan 2,
Penerbit ITB Bandung.
- Brown, B. Atkins, M. (1988) “ Effective Teaching in Higher Education”,
Methuen, New York.
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1989) “ Materi Penataran Calon Penulis Buku Ajar Peguruan Tinggi”, makalah dalam Lokakarya di Cisarua, Bogor.
- Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Universitas terbuka : Penataran Program PEKERTI/AA (2002)
- Larsen,M.L. (1988) “Penerjemahan Berdasar Makna : Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa”, Terjemahan oleh Kencanawati Taniran, Penerbit ARCAN, Jakarta.
- Nida, E.A. and Taber, Ch.R. (1966) “The Theory and Practice pf Translation”,
Vol.VIII by E.J.Brill, Leiden.
- Rusli, R.S. (1993) “ Membaca Akademik”, Makalah dalam Lokakarya Membaca,
Universitas Terbuka, Januari 1993.
- Simatupang, M. (1981) “ Menterjemahkan : Azas dan Kiatnya”, dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Jilid 2 , No.2, hal. 69-83.
- Stageberg, N.C. (1967) “Some Structural Ambiguities” dalam Wilson, G (ed.) A Linguistic Reader, Harper & Row, New York, pp.76-85.
- Timisela-Luhulima, C.M. “Membaca Efektif”, Makalah dalam Workshop Membaca Effektif, di Universitas Terbuka, Jakarta, 22 Januari 1993.
merit casino no deposit bonus codes 2020
ReplyDeletecasino no deposit bonus codes 2020 - play now - win real money on the internet casinos no deposit bonus 메리트카지노총판 codes 2020 · casino no deposit bonus codes 2020 · best of luck.